Majapahit
Misteri Armada Cheng Ho di wilayah Majapahit
"Maraknya Yongle ke singgasana kekaisaran Tiongkok itu bertepatan dengan babak awal perang paregreg Majapahit. Keturunan dinasti Ming itu membawa Tiongkok mulai bangkit kembali meraih kejayaannya. Sebaliknya yang tengah melanda Majapahit ialah terjadinya perang saudara memperebutkan takhta yang akibatnya sangat fatal, yakni mulai melemahkan kekuatan militer utama: angkatan laut Majapahit mulai bertempur satu sama lain. Di samping itu juga menggoyahkan sendi pada segala bidang kehidupan negara maritim di belahan bumi selatan itu," ujar Rakryan Vadia mengawali kisahnya sepagi itu.
Dan pendengar setianya, Dewi Anggia, yang menyaksikan langsung kini kehidupan penduduk kotaraja mulai berubah, menjadi sulit dalam mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Semua dikerahkan untuk kebutuhan prajurit Majapahit yang dikirimkan ke medan perang untuk menghancurkan pemberontak dari pedalaman timur kotaraja. Dengan meletusnya peperangan, dan demi memenuhi kebutuhan militer maka bahan pangan tidak dapat lagi dipasok secara bebas dari pedalaman untuk umum. Para penduduk kotaraja Majapahit pada akhirnya berusaha mencari kebutuhan itu di pasar gelap, dan bahan pangan dalam keadaan sesulit itu tentu dijual dengan harga tinggi. Walaupun demikian, semua itu tidak mempengaruhi kehidupan keluarga begawan pujangga itu, karena mereka dapat memproduksi sendiri semua kebutuhan pangannya.
"Dan di tengah-tengah antara kebangkitan dinasti Ming di Tiongkok dan kekacauan di Majapahit saat ini, tiba-tiba muncul sebuah nama asing: Cheng Ho yang telah terdengar di mana-mana, terutama di kerajaan bawahan Majapahit, dia adalah seorang tokoh Tionghoa, Cheng Ho atau Zheng He...."
"Siapa Cheng Ho itu ayahanda?" tanya Dewi Anggia.
Begawan itu menjawab, "Cheng Ho, seorang dayang lelaki atau kasim dari istana kekaisaran Tiongkok, sebagai dayang ia pun turut dikebiri seperti pada umumnya di sana. Ia tidak pernah tertarik apalagi dapat dibujuk dengan wanita. Dengan kecerdasannya dan kesetiaannya kepada kaisar Yongle, pada akhirnya Cheng Ho mendapat anugerah dari kaisar untuk memimpin ekspedisi pelayaran persahabatan kapal Tiongkok yakni dengan mengunjungi negeri-negeri asing dengan satu tujuan yakni mewartakan kepada dunia, 'ajakan persahabatan dari kekaisaran Tiongkok'."
Sejak mancal dari Tiongkok dengan bekal melimpah, dan diuntabkan dengan kebesaran mulailah armada tak bersenjata itu mengaduk perairan selatan.
Satu demi satu kerajaan bawahan Majapahit mulai terpengaruh dengan gemerlapnya gugusan kapal Cheng Ho yang supermewah. Di mana pun Cheng Ho mendarat maka ia mengadakan berbagai kegiatan sosial: pertunjukan sulap, pengobatan massal, dan memberikan bantuan cuma-cuma bagi penduduk yang miskin. Dan untuk merontokkan kesetiaan para pejabat setempat terhadap Majapahit, maka Cheng Ho tidak segan-segan memberikan hadiah dalam jumlah spektakuler. Cheng Ho mendarat hampir di semua pelabuhan, tentu dengan diam-diam menghancurkan telik sandi maupuk kaki tangan Majapahit, sejak mulai dari Vietnam, Campa, Semenanjung Malaka, Sumatera, dan Kalimantan. Dan selanjutnya ia mulai mengarah ke Pulau Jawa dari pesisir utara paling barat terus menyusur ke timur hingga pusat kotaraja Majapahit.
"Apa yang membuat Cheng Ho diterima di mana-mana, ayahanda?" tanya Dewi Anggia.
"Di samping melakukan hal yang ayahanda sebutkan di atas tadi. Cheng Ho juga menyebarkan ajaran baru yang berbeda dengan Syiwa-Buddha Majapahit. Hampir semua petinggi Majapahit terpengaruh dengan ajaran baru itu, ananda."
"Jadi mereka para wakil Majapahit itu ramai-ramai membangkang terhadap sang Maharani, ayahanda."
"Mereka semua sebenarnya bingung, di satu sisi mereka punggawa Majapahit yang baik, dan bersetia kepada Majapahit. Sementara itu suasana politik Majapahit yang tidak kondusif dengan terjadinya perang saudara atau perang paregreg itu, maka satu-satunya pilihan ialah menyambut uluran tangan murah hati yang datang itu," suara begawan itu terdengar murung.
"Mengapa mereka, bawahan Majapahit itu, tidak ingin memihak salah satu, Majapahit atau Blambangan, ayahanda?"
Begawan itu terdiam mengukur pengetahuan yang dimiliki putrinya, ia merasa puas sejenak menghela napas dan menghembuskannya pelahan, "Pelindung kerajaan bawahan Majapahit yakni pasukan laut mulai dari semenanjung hingga Palembang, maupun Sambas, mereka -- armada Majapahit -- sibuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu di sisi lain armada Tiongkok datang membawa kemegahan dan memamerkan kebesaran. Akan tetapi di balik kebaikan hati armada Tiongkok terhadap penduduk, mereka diam-diam melakukan kontra-telik sandi, dan diam-diam menghancurkan angkatan laut majapahit yang mulai korup itu dengan permainan dan membanjiri harta-benda para perwiranya dan juga para syahbandar Majapahit."
"Sang Maharani tidak tahu hal itu, ayahanda?"
"Cheng Ho tetap mengibarkan bendera persahabatan, maka wajah yang sebenarnya memang tidak pernah tampak dari istana Majapahit. Sang Maharani yang pada akhirnya menyadari sepak-terjang Cheng Ho akan tetapi juga mulai merasa cadangan negara sudah tipis itu memutuskan tidak ingin menghadapi Cheng Ho dengan kekuatan militer."
Hari ini cuaca mendung sepanjang hari. Suasana kotaraja semakin suram saja. Begawan itu melanjutkan, "Perompak di Selat Malaka yang sebenarnya berasal dari Tiongkok itulah yang justru berusaha menyerang armada Cheng Ho. Mereka mencoba bersekutu dengan armada Majapahit yang menjaga perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sesuai titah Maharani Majapahit, tidak boleh ada serangan dari pihak Majapahit terhadap armada Tiongkok. Namun demikian dalam suasana perang paregreg itu dan sebagian armada Majapahit itu pun tidak terkontrol dan mulai bekerjasama dengan perompak Tiongkok yang berkedudukan di pulau-pulau kecil di Selat Malaka pada akhirnya mulai menyerang armada Cheng Ho. Armada Cheng Ho berlindung di pelabuhan Singapura yang telah berhasil dipengaruhinya. Segala kerugian akibat serangan perompak maupun armada Majapahit pun diadakan perhitungan teliti oleh juruhitung Cheng Ho. Taksiran yang berjumlah beberapa ribu tahil itu pun oleh Cheng Ho lantas disodorkan ke istana Majapahit untuk mendapatkan ganti rugi."
Dewi Anggia telah pulas di sudut ruangan, begawan pujangga Ra Vadia melanjutkan kisahnya dalam kepalanya, "Menghadapi Cheng Ho yang menuntut ganti-rugi itu baik maharani Kusumawardhani maupun Wikramawardhana menjawab, "Yang Mulia Ma San Pao, kami saat ini berada dalam suasana perang, segala kerugian yang diderita oleh armada Tiongkok akibat memasuki wilayah perang kami, maka tentu tidak sepenuhnya dapat kami ganti-rugi sekarang. Kelak kami akan mengadakan penyelidikan dan perhitungan bagian mana yang memang seharusnya menjadi tanggungan kami atas kerugian yang diderita
oleh armada Yang Mulia, akan tetapi semua itu dapat kami lakukan seusai perang berakhir."
Cheng Ho, alias Ma San Pao atau San Bao mengangguk kepada kaisarina Majapahit, "Terimakasih Yang Mulia, kami akan menunggu hingga Majapahit dapat menyelesaikan perang dan berakhir secepatnya." Dalam hati Cheng Ho memang tidak benar-benar menuntut ganti-rugi itu, Tiongkok terlalu kaya untuk jumlah sebagai itu, dari airmukanya tampak Cheng Ho hanya berusaha untuk menekan Majapahit dengan soal seperti itu demi kebesaran Tiongkok.
Dan pendengar setianya, Dewi Anggia, yang menyaksikan langsung kini kehidupan penduduk kotaraja mulai berubah, menjadi sulit dalam mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Semua dikerahkan untuk kebutuhan prajurit Majapahit yang dikirimkan ke medan perang untuk menghancurkan pemberontak dari pedalaman timur kotaraja. Dengan meletusnya peperangan, dan demi memenuhi kebutuhan militer maka bahan pangan tidak dapat lagi dipasok secara bebas dari pedalaman untuk umum. Para penduduk kotaraja Majapahit pada akhirnya berusaha mencari kebutuhan itu di pasar gelap, dan bahan pangan dalam keadaan sesulit itu tentu dijual dengan harga tinggi. Walaupun demikian, semua itu tidak mempengaruhi kehidupan keluarga begawan pujangga itu, karena mereka dapat memproduksi sendiri semua kebutuhan pangannya.
"Dan di tengah-tengah antara kebangkitan dinasti Ming di Tiongkok dan kekacauan di Majapahit saat ini, tiba-tiba muncul sebuah nama asing: Cheng Ho yang telah terdengar di mana-mana, terutama di kerajaan bawahan Majapahit, dia adalah seorang tokoh Tionghoa, Cheng Ho atau Zheng He...."
"Siapa Cheng Ho itu ayahanda?" tanya Dewi Anggia.
Begawan itu menjawab, "Cheng Ho, seorang dayang lelaki atau kasim dari istana kekaisaran Tiongkok, sebagai dayang ia pun turut dikebiri seperti pada umumnya di sana. Ia tidak pernah tertarik apalagi dapat dibujuk dengan wanita. Dengan kecerdasannya dan kesetiaannya kepada kaisar Yongle, pada akhirnya Cheng Ho mendapat anugerah dari kaisar untuk memimpin ekspedisi pelayaran persahabatan kapal Tiongkok yakni dengan mengunjungi negeri-negeri asing dengan satu tujuan yakni mewartakan kepada dunia, 'ajakan persahabatan dari kekaisaran Tiongkok'."
Sejak mancal dari Tiongkok dengan bekal melimpah, dan diuntabkan dengan kebesaran mulailah armada tak bersenjata itu mengaduk perairan selatan.
Satu demi satu kerajaan bawahan Majapahit mulai terpengaruh dengan gemerlapnya gugusan kapal Cheng Ho yang supermewah. Di mana pun Cheng Ho mendarat maka ia mengadakan berbagai kegiatan sosial: pertunjukan sulap, pengobatan massal, dan memberikan bantuan cuma-cuma bagi penduduk yang miskin. Dan untuk merontokkan kesetiaan para pejabat setempat terhadap Majapahit, maka Cheng Ho tidak segan-segan memberikan hadiah dalam jumlah spektakuler. Cheng Ho mendarat hampir di semua pelabuhan, tentu dengan diam-diam menghancurkan telik sandi maupuk kaki tangan Majapahit, sejak mulai dari Vietnam, Campa, Semenanjung Malaka, Sumatera, dan Kalimantan. Dan selanjutnya ia mulai mengarah ke Pulau Jawa dari pesisir utara paling barat terus menyusur ke timur hingga pusat kotaraja Majapahit.
"Apa yang membuat Cheng Ho diterima di mana-mana, ayahanda?" tanya Dewi Anggia.
"Di samping melakukan hal yang ayahanda sebutkan di atas tadi. Cheng Ho juga menyebarkan ajaran baru yang berbeda dengan Syiwa-Buddha Majapahit. Hampir semua petinggi Majapahit terpengaruh dengan ajaran baru itu, ananda."
"Jadi mereka para wakil Majapahit itu ramai-ramai membangkang terhadap sang Maharani, ayahanda."
"Mereka semua sebenarnya bingung, di satu sisi mereka punggawa Majapahit yang baik, dan bersetia kepada Majapahit. Sementara itu suasana politik Majapahit yang tidak kondusif dengan terjadinya perang saudara atau perang paregreg itu, maka satu-satunya pilihan ialah menyambut uluran tangan murah hati yang datang itu," suara begawan itu terdengar murung.
"Mengapa mereka, bawahan Majapahit itu, tidak ingin memihak salah satu, Majapahit atau Blambangan, ayahanda?"
Begawan itu terdiam mengukur pengetahuan yang dimiliki putrinya, ia merasa puas sejenak menghela napas dan menghembuskannya pelahan, "Pelindung kerajaan bawahan Majapahit yakni pasukan laut mulai dari semenanjung hingga Palembang, maupun Sambas, mereka -- armada Majapahit -- sibuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu di sisi lain armada Tiongkok datang membawa kemegahan dan memamerkan kebesaran. Akan tetapi di balik kebaikan hati armada Tiongkok terhadap penduduk, mereka diam-diam melakukan kontra-telik sandi, dan diam-diam menghancurkan angkatan laut majapahit yang mulai korup itu dengan permainan dan membanjiri harta-benda para perwiranya dan juga para syahbandar Majapahit."
"Sang Maharani tidak tahu hal itu, ayahanda?"
"Cheng Ho tetap mengibarkan bendera persahabatan, maka wajah yang sebenarnya memang tidak pernah tampak dari istana Majapahit. Sang Maharani yang pada akhirnya menyadari sepak-terjang Cheng Ho akan tetapi juga mulai merasa cadangan negara sudah tipis itu memutuskan tidak ingin menghadapi Cheng Ho dengan kekuatan militer."
Hari ini cuaca mendung sepanjang hari. Suasana kotaraja semakin suram saja. Begawan itu melanjutkan, "Perompak di Selat Malaka yang sebenarnya berasal dari Tiongkok itulah yang justru berusaha menyerang armada Cheng Ho. Mereka mencoba bersekutu dengan armada Majapahit yang menjaga perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Sesuai titah Maharani Majapahit, tidak boleh ada serangan dari pihak Majapahit terhadap armada Tiongkok. Namun demikian dalam suasana perang paregreg itu dan sebagian armada Majapahit itu pun tidak terkontrol dan mulai bekerjasama dengan perompak Tiongkok yang berkedudukan di pulau-pulau kecil di Selat Malaka pada akhirnya mulai menyerang armada Cheng Ho. Armada Cheng Ho berlindung di pelabuhan Singapura yang telah berhasil dipengaruhinya. Segala kerugian akibat serangan perompak maupun armada Majapahit pun diadakan perhitungan teliti oleh juruhitung Cheng Ho. Taksiran yang berjumlah beberapa ribu tahil itu pun oleh Cheng Ho lantas disodorkan ke istana Majapahit untuk mendapatkan ganti rugi."
Dewi Anggia telah pulas di sudut ruangan, begawan pujangga Ra Vadia melanjutkan kisahnya dalam kepalanya, "Menghadapi Cheng Ho yang menuntut ganti-rugi itu baik maharani Kusumawardhani maupun Wikramawardhana menjawab, "Yang Mulia Ma San Pao, kami saat ini berada dalam suasana perang, segala kerugian yang diderita oleh armada Tiongkok akibat memasuki wilayah perang kami, maka tentu tidak sepenuhnya dapat kami ganti-rugi sekarang. Kelak kami akan mengadakan penyelidikan dan perhitungan bagian mana yang memang seharusnya menjadi tanggungan kami atas kerugian yang diderita
oleh armada Yang Mulia, akan tetapi semua itu dapat kami lakukan seusai perang berakhir."
Cheng Ho, alias Ma San Pao atau San Bao mengangguk kepada kaisarina Majapahit, "Terimakasih Yang Mulia, kami akan menunggu hingga Majapahit dapat menyelesaikan perang dan berakhir secepatnya." Dalam hati Cheng Ho memang tidak benar-benar menuntut ganti-rugi itu, Tiongkok terlalu kaya untuk jumlah sebagai itu, dari airmukanya tampak Cheng Ho hanya berusaha untuk menekan Majapahit dengan soal seperti itu demi kebesaran Tiongkok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU