primbon


Web Site Hit Counters

Sejak:17 Agustus 2013
DAFTAR SAHABAT YG MASUK The truth seeker
Tidak harus menjadi yang pertama,yang penting itu menjadi orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.


Disclaimer:Artikel,gambar ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain,
dan Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber lain tersebut.Jika kami salah dalam menentukan sumber yang pertama,
mohon beritahu kami
e-mail primbondonit@gmail.com HOTLINE atau SMS 0271 9530328

GAMBAR-GAMBAR dibawah ini BUKAN HANYA IKLAN tapi merupakan LINK SUMBER




Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern,westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya,dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu.Manakala mendengar istilah mistik,akan timbul konotasi negatif.Walau bermakna sama,namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan,terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.Selama puluhan tahun,kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,westernisme dan agamisme.Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,irasional,dan primitive.Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum modern sebagai paham yang kuno,Pandangan itu salah besar.Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah.Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri,kepentingan rezim,dan kepentingan egoisme(keakuan).Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan,diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan,dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah yang sesungguhnya.Apalagi dalam roda perputaran zaman sekarang,di mana orang salah akan berlagak selalu benar.Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.Emas dianggap Loyang.Besi dikira emas.Yang asli dianggap palsu,yang palsu dibilang asli.Semua serba salah kaprah,dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.Untuk itulah Warisjati merangkum beragam artikel dari beberapa sumber tentang pengetahuan Budaya dan tradisi di Nusantara yang merupakan warisan para leluhur yang sarat akan makna dan berbagai artikel lainnya yang saling melengkapi.Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana dan mengambil pelajaran serta pengetahuan dari budaya masa lalu sebagai warisan leluhur di Nusantara ini.

ORANG YANG DENGAN MUDAHNYA MENGATAKAN SESAT KEPADA SESEORANG
ADALAH ORANG YANG TIDAK atau BELUM PAHAM AKAN DIRINYA SENDIRI



Selasa, 28 Januari 2014

BABAT TANAH JAWA RIWAYAT SUNAN KALIJAGA (P#4)



BABAT TANAH JAWA 
RIWAYAT SUNAN KALIJAGA (P#4)
Raden Mas Sahid/Syeh Malayakusuma
(Kangjeng Susuhunan Ing Kalijaga)
RIWAYAT SUNAN KALIJAGA (4)
Diambil pupuh-pupuh dari Babad Tanah Jawa yang berkaitan dengan riwayat Sunan Kalijaga Diterjemahkan oleh :Damar Shashangka


PUPUH KINANTI

1. 
Syeh Malaya nêmbah matur, mring Jêng Sunan Gunungjati, Dhuh pukulun Sang Pinudya, amba minta tuduh Jati, singir kang sampun kinocap, paran artosipun mangkin.

Syeh Malaya menyembah dan berkata, kepada (Kang)jeng Sunan Gunungjati, Duh yang mulia yang hamba puji, hamba memohon petunjuk sejati, syair yang sudah diucapkan (oleh para ahli Tassawuf), bagaimanakah arti sesungguhnya.

2. 
Wontêna ing sih pukulun, rehning mudha dameng budi, sasat sato upaminya, Jêng Sunan Ing Gunungjati, alon denira ngandika, Rungunên mêngko sun wisik.

Semoga ada belas kasihan paduka, karena saya masih muda dan masih bodoh, bagaikan hewan seumpama, Jeng Sunan Ing Gunungjati, pelan berkata, dengarkanlah sekarang aku wejang. 

3. 
Têgêse singir pan kidung, kinarya pangeling-eling, Para Syeh ing tanah Arab, yen pana winor ing gêndhing, sadhapur singir punika, saking Syeh Ibrahim Arki.

Syair itu sama dengan kidung, (kata-kata mutiara yang) dibuat sebagai pengingat-ingat, (oleh) para Syeh di tanah Arab, namun kata-kata itu harus memiliki irama dan harus indah, ini adalah sebuah syair, dari Syeh Ibrahim Arki. 

4. 
Iya tatkalane panggut, ing kaca ingkang barêsih, yeku lawan diwangkara, mangka antarane kadi, dahana akantar-kantar, wus nyata tanpa ling-aling.

Manakala tengah bertemu, di sebuah cermin yang sangat bersih, (bertemu) dengan cahaya matahari, maka terlihat di dalam cermin itu, bagaikan api yang berkobar, nyata tanpa penghalang lagi. 

5. 
Sabawang sumilir iku, iya sang sêdya ngulati, kalawan kang ingulatan, iya kang nêdya pinanggih, yayi rasakna den krasa, punika ujaring singir.

Bagai sepucuk bawang (jaraknya), dia yang mencari, dengan Dia yang tengah dicari, dia yang ingin bertemu (dengan Dia yang ingin ditemui), adikkku renungkanlah benar-benar, inilah bunyi syair (dari Syeh Ibrahim Arki). 

6. 
Wontên malih singiripun, asale saking Syeh Sabti, satuhu makripatira, têtêp dadi aling-aling, antarane kang tumingal, nênggih mring kang den tingali.

Adalagi syair, dari Syeh Sabti, Sungguh-sungguh Ma’rifat dia! Tetap akan menjadi penghalang, antara yang melihat , dengan yang dilihat. 

7. 
Sirnakna ing tingalipun, ing liyan kang den tingali, wontên malih singiringwang, nênggih saking Syeh Mukidin, Kangjêng Syeh Mukidin mapan, kang putra Syeh Ing Arabi.


Sirnakanlah pandangan itu (menganggap ada subyek yang melihat dan obyek yang dilihat), pandanglah yang ada hanya YANG DILIHAT itu saja! Ada lagi syair, dari Syeh Muhyiddin, Kangjeng Syeh Muhyiddin, putra Syeh Araby. 
……………………………………………………
30. 
Uwus yayi mung puniku, mungguh babaraning singir, tarbukaning sangkan paran, keni kinarya nyaringi, panglimbanging budinira, Syeh Malaya anampeni.

Demikianlah adikku, seluruh syair (para ahli Tassawuf), sebagai sarana membuka rahasia asal usul kehidupan, bisa dibuat untuk penyaring, dan mengasah kesadaranmu, Syeh Malaya menerima. 

31. 
Kanugrahan kang linuhung, sarahsaning wos wus tamsil, Syeh Malaya ngaras pada, mring Jêng Sunan Gunungjati, alon wau aturira, Wong dadya Guru Sejati.

Anugerah yang begitu berharga, intisari makna dari kata-kata, Syeh Malaya mencium kaki, (Kang)jeng Sunan Gunungjati, berkata pelan, Manusia yang disebut Guru (ilmu) Sejati. 

32. 
Yen kirang waspadeng sêmu, kasamaran têmah maring, rahsane datan kacakup, kathah guru-guru sisip, kengsêr sire kabalasar, tulus kang ngaran tulis.

Jika kurang waspada akan rahasia yang tersimpan dalam kata-kata, maka rawan terkecoh, maknanya tidak bisa didapati, banyak para guru yang salah, terkecoh pemahamannya dan sesat, (sesat karena tidak mampu memahami) makna yang tersirat dari yang tersurat. 

33. 
Jêng Sunan ngandika arum, Angel pratingkahe urip, sanadyan ahliya kitab, ahli suluk ahli pikir, lamun ora puruhita, tatane kurang prêmati.

(Kang)jeng Sunan (Gunungjati) berkata pelan, Sangat sulit memahami rahasia hidup, walaupun ahli kitab, ahli suluk dan ahli fikir, apabila tidak berguru, pemahamannya kurang benar. 

34. 
Dene Pra Oliya sagung, tulis mung mangka pangeling, nanging rahsane datan sah, sahe saking tinalêsih, maksude musawaratan, mrih mulyane mêgatpati.

Bagi seluruh Para Auliya’, segala yang tertulis hanya dibuat sebagai catatan semata, akan tetapi intisarinya belum tentu bisa dituangkan dalam tulisan tersebut, makna akan didapat bila dikupas, bisa dengan cara saling bermusyawarah, agar mendapat kemuliaan saat menjelang kematian. 

PUPUH MEGATRUH

1. 
Nabi Musa ngaku luhur tanpa guru, angamungkên nyaring tulis, ngandêlakên Torat-ipun, den nyana wus anguwisi, tan wruh lamun maksih adoh.

Nabi Musa mengaku dirinya mendapat keluhuran tanpa guru, hanya bersandarkan pada tulisan, mengandalkan Tauratnya, dikiranya sudah sampai pada puncak, tidak tahu bahwa itu masih jauh dari tujuan (ilmu Kesejatian). 

2. 
Meh kêlantur ing pratingkah esmu puguh, gya binêndhon ing Hyang Widdhi, nulya kinen anggêguru, nggêguru mring Nabi Kilir, kang kari anut mangkono.

Hampir saja keangkuhan dan kekolotan mewarnai tingkah lakunya, segera mendapat murka Hyang Widdhi, lantas disuruh berguru, berguru kepada Nabi Kilir (Nabi Khidlir), dan (Nabi Musa)-pun menjalani. 
……………………………………………

36. 
Poma yayi estokna yen anggêguru, saliyane saking mami, den awas wasananipun, angele wong ulah ngelmu, yen kablender amalendo.

Oleh karenanya adikku benar-benar ingatlah saat berguru, selain dari padaku, waspadalah, sangat sulit orang yang berguru, jika sampai keliru akan terpeleset dan tersesat. 

37. 
Syeh Malaya alon denira umatur, mring Jêng Sunan Gunungjati, Sewu ing pamundhinipun, wrin rêrancangan rêricik, parabota amrih kawroh.

Syeh Malaya pelan berkata, kepada (Kang)jeng Sunan Gunungjati, Sangat-sangat berterima kasih, telah diberi segala wejangan dan nasihat, dalam mencari guru yang bisa memberikan ilmu (yang benar). 

38. 
Nanging ulun mangke lilanana matur, lampahaning Para Nabi, kang sampun kawarta wau, Nabi Musa Nabi Kilir, dene têka sewu elok.

Akan tetapi hamba mohon diperkenankan bertanya, tentang cerita para Nabi, yang sudah disinggung tadi, (yaitu cerita) Nabi Musa Nabi Kilir (Nabi Khidlir), bagi hamba sangat-sangat mengherankan. 

39. 
Têka mawi Nabi Kilir kang linuhur, amung kang buwana balik, asor asale aluhur, kang luhur asor mayat sih, Jêng Sunan ngandika alon.

Ternyata Nabi Kilir (Nabi Khidlir) lebih luhur, bagaikan dunia yang dibalik, yang tak berkedudukan (sebagai pemimpin) malah lebih luhur, sedangkan yang berkedudukan (sebagai pemimpin/Nabi Musa) malah kalah keluhurannya, (Kang)jeng Sunan (Gunungjati) berkata pelan. 

40. 
Ngelmu iku tan pasthi neng janma luhur, tan pasthi neng janma singgih, tan pasthi neng janma sêpuh, ana Nugraha pribadi, têrkadhang ana wong anom.

Ilmu (Sejati) itu tidak dapat dipastikan berada pada manusia luhur, tak bisa dipastikan berada pada manusia kaya, tak dapat dipastikan berada pada manusia yang telah tua, semua adalah anugerah secara pribadi, bahkan ilmu (Sejati) bisa ada pada orang muda. 

PUPUH SINOM

1. 
Kadhang aneng sudra papa, ora kêna den gagapi, tan kêna kinayangapa, pêpancenira pribadi, yen rinilan ing Widdhi, nadyan durung masanipun, angulah kalêpasan, têrantame wus patitis, angungkuli pangawikaning kusuma.

Terkadang berada pada manusia sudra yang miskin, tidak bisa ditebak, tak bisa dikira-kira, semua murni anugerah pribadi, dan kehendak Hyang Widdhi, walaupun seolah belum waktunya, mengalami puncak kesejatian, ternyata dia sudah mahir, bahkan mengungguli kemahiran para bunga (para bangsawan atau Auliya’).

2. 
Kaya mau Nabi Musa, kalawan Jêng Nabi Kilir, kawruhe ing kasunyatan, linuhurkên Nabi Kilir, marga wus anglakoni, akarêm mring ora iku, acêgah napsu hawa, ing nala dumilah wêning, konang-konang kahananing kene kana.

Seperti halnya Nabi Musa, dengan (Kang)jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir), kesadaran akan kesejatian, lebih unggul Nabi Kilir (Khidlir), sebab sudah mencapai tingkatan, tidak terpikat segala keduniawian, mampu melampaui hawa nafsu, batinnya telah bercahaya jernih, dimanapun dia berada cahaya jiwanya berkedip bagai kunang-kunang. 

3. 
Mandar antuk kanugrahan, panjênêngan Nabi Kilir, kinarya heh Nabiyullah, nartani nora ngêmasi, wus angênggoni gaib, lir batinipun kawêngku, iku njaring mring kitab, êmbuh nyatane samangkin, dene pan wus karoban ing pirang jaman.

Mendapat anugerah, beliau Nabi Kilir (Nabi Khidlir), diangkat sebagai Nabiyullah, hidup tak dapat mati, berbadan gha'ib, lahir batin telah sempurna, telah melampaui segala kitab suci, tetapi entah sekarang keberadaan beliau, karena cerita (antara Nabi Musa dengan Nabi Khidlir tersebut) sudah tertimbun oleh rentang waktu yang lama. 

4. 
Umatur Sang Syeh Malaya, Dhuh pukulun Sang Ayogi, bilih makatên kang sabda, ulun kapencut ing kapti, kados Jêng Nabi Kilir, kêdah kesdu anggêguru, amba nyuwun pitêdah, mangke dumunung ing pundi, nadyan têbih jangji kenging ingulatan.

Berkata Sang Syeh Malaya, Duh yang mulia Sang Yogi, bila benar perkataan paduka, hamba terpikat dalam hati, ingin seperti Nabi Kilir (Nabi Khidlir), hamba ingin berguru pada beliau, hamba mohon petunjuk, dimanakah beliau tinggal sekarang, walau jauh sekalipun akan hamba cari. 

5. 
Saestu kawula angkah, lari-lari angulati, numpal keli ngulandara, ngêranggeh Nugraha Jati, Jêng Sunan ngandika ris, Ujaring pawarta iku, iya ing BARULLAKHAH, dumununging Nabi Kilir, tanah LULMAT AGAIB panggonanira.

Sungguh akan hamba jalani, kemanapun akan saya cari, walau harus hanyut air atau terbawa angin sekalipun, hamba siap untuk mencari Anugerah Sejati, (Kang)jeng Sunan (Gunungjati) menjawab pelan, Menurut kabar, beliau berdiam di daerah BARULLAKHAH (Bandingkan dengan kata LADDAKH, sebuah kota di daerah pegunungan Himalaya), disanalah Nabi Kilir (Nabi Khidlir) tinggal, disebut tanah LULMAT GHAIB. 

6. 
Kaya ora kalampahan, sira adrêng anglêlari, sasat ngupaya kumandhang, Syeh Malaya matur aris, Kêncêng tyas ulun mangkin, amung pangestu Pukulun, sagêda kasêmbadan, pinanggih Jêng Nabi Kilir, kalilahna mangkat samangkin kewala.

Sepertinya tidak akan tercapai, walau kamu benar-benar ingin bertemu beliau, seolah bagai mencari gema suara semata, Syeh Malaya berkata, Sudah bulat tekad hamba sekarang, hanya hamba mohon doa restu paduka, semoga tercapai, bertemu dengan (Kang)jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir), mohon diijinkan hamba berangkat sekarang juga. 

7. 
Ngungun sakala miyarsa, Jêng Sunan Ing Gunungjati, ing antêbe Syeh Malaya, winawas ing sambang liring, dadya Damar Sejati, wasana sewu jumurung, lajêng ungkur-ungkuran, Jêng Suhunan Gunungjati, mangan mulat angkate Sang Syeh Malaya.

Keheranan seketika mendengarnya, Jeng Sunan Ing Gunungjati, (heran mendengar) tekad bulat Syeh Malaya, sesaat diperhatikan melalui kejernihan batin, terlihat Pelita Sejati di sana, seketika (Sunan Gunungjati) memberikan restunya, lantas berpisah, Jeng Sunan Gunungjati, memperhatikan kepergian Sang Syeh Malaya. 

8. 
Saking Cirebon angkatnya, Sang Syeh Malaya winarni, lampahe alêlancaran, tan ana kaya kaesthi, amung Nugraha Jati, ingugêr granina jêjantung, mangalor paranira, prapteng pasisir watawis, mangu mulat lirap-liraping samudra.

Dari Cirebon berangkat sudah, Sang Syeh Malaya, berjalan sendirian, tidak ada yang dituju, hanya Anugerah Sejati yang dipikirkannya, melekat erat di dalam hati, berjalan ke arah utara, sampai di pesisir pantai, tertegun melihat riak samudera. 

9. 
Tan ana palwa katingal, anuju kalaning ratri, pakewêd raosing driya, deniarsa numpal keli, kalanganing jaladri, nanging merang lamun wangsul, nadyan datan kantenan, têlêng ingkang den ulati, mangsah mudya angêningakên wardaya.

Tak terlihat satupun perahu, bertepatan malam menjelang, bingung di dalam hati, keinginannya untuk mencari, terhalang oleh samudera, tetapi segan jika harus pulang balik, walau tidak pasti, arah yang hendak dituju, (Syeh Malaya)pun diam mengheningkan batin. 

10. 
Mêpêg gêlaraning hawa, amung anyipta sawiji, tanjane ingkang sinêdya, wontên parmaning Hyang Widdhi, sakala Nabi Kilir, prapta aneng ngarsanipun, apindha lare bajang, ganda ngambar marbuk wangi, duk mangeja apindha gêbyaring kilat.

Menjernihkan segala keinginan, hanya fokus pada satu hal, yaitu dia yang tengah dicari, mendapat anugerah Hyang Widdhi, seketika Nabi Kilir (Nabi Khidlir), hadir di depannya, bagaikan sosok anak kecil, berbau harum semerbak mewangi, saat datang bagaikan gebyar kilat. 

11. 
Syeh Malaya tan kumêdhap, dennya umangsah samadi, Jêng Nabi Kilir ngandika, Luwarên pardining budi, aja tambuh sun iki, jatining kang sira luru, Nabi Kilir ya ingwang, ana paran amarsudi, kudu têmu lan jênêngingsun samangkya.

Syeh Malaya tak bergeming, tetap bersemadi, Jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir) berkata, Waspadakanlah oleh Kesadaranmu, jangan terkejut jika aku ini, sesungguhnya yang tengah kamu cari, Nabi Kilir (Nabi Khidlir) itulah aku, ada keperluan apakah, sehingga kamu ingin bertemu denganku saat ini? 
12. 
Syeh Malaya mudhar asta, gurawalan manganjali, alon wau aturira, Sumangga karsa Sang Yogi, saestu Tuwaningsih, tan kilap sasêdya ulun, Nabi Kilir ngandika, Bênêr aturira iki, sadurunge sajarwa yêkti sun wikan.

Syeh Malaya melepaskan tangannya yang tengah bersedekap, terkejut segera menghaturkan sembah, pelan dia berkata, Hamba pasrah kepada kehendak Sang Yogi, sungguh tuan yang penuh kasih, tidak tersilap kepada maksud hamba yang sesungguhnya, Nabi Kilir (Nabi Khidlir) berkata, Tepat apa yang kamu katakan, sebelum kamu haturkan maksudmu sungguh aku telah mengetahui. 

13. 
Sira kêsdu puruhita, anênabêt kaya mami, dumadine Caibullah, apa bisa anglakoni, sumingkiring asinggih, Syeh Malaya nêmbah matur, Rehning sampun sinêdya, abot entheng den lampahi, janji antuk wêwêngan sih kawêlasan.

Dirimu hendak berguru, menginginkan seperti diriku, menjadi Nabiyullah, apa bisa menjalani, tidak terikat dengan duniawi? Syeh Malaya menyembah dan berkata, Karena sudah hamba tekadkan, berat maupun ringan akan hamba jalani, asal mendapatkan Kasih tuan. 

14. 
Dhumatêng jasad kawula, pindha sato saumpami, angsala dêdalan mulya, Jêng Nabi ngandika ris, Ingsun darma jalari, atas aneng kabêgjanmu, lah merêma kewala, sun tuduhken nggon kang ening, supayaning wêruh maring panarima.

Kasih kepada diri hamba, yang masih bagai binatang, hamba mengharapkan jalan mulia. Jeng Nabi (Khidlir) berkata pelan, Aku hanya menunjukkan, semua tergantung dirimu sendiri, sekarang pejamkan matamu, aku akan tunjukkan tempat yang hening, agar tahu apa arti ikhlas itu. 
15. 
Syeh Malaya pan lênggana, wau ta Jêng Nabi Kilir, sumêbut saking panggenan, tan kadya anampel wêntos, Syeh Malaya tan kari, tan andangu prapta sampun, ing nggen langkung ajêmbar, lir ara-ara aradin, kinubêng ing samudra tanpa watêsan.

Syeh Malaya menurut, sedangkan Jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir), seolah berkelebat dari tempat semula, bagai tak menginjak bumi, Syeh Malaya tidak tinggal diam mengikuti, tak berapa lama telah sampai, di sebuah tempat yang sangat luas, bagai lapangan tanpa tepi, dikelilingi samudera tanpa batas. 

16. 
Wus kinen mbuka paningal, Syeh Malaya aningali, panggenan kalangkung jêmbar, myang samudra tanpa têpi, lênglêng reh ing pangeksi, datan wrin êlor myang kidul, kulon kalawan wetan, surya candra tan kaeksi, panyanane dumunung jagad walikan.

(Syeh Malaya) sudah diperintahkan untuk membuka mata, Syeh Malaya melihat, tempat yang sangat luas, dan samudera tanpa batas, tertegun kala melihatnya, tidak diketahui mana utara mana selatan, mana barat mana timur, matahari dan bulanpun tidak terlihat, seolah-olah berada di bawah dunia. 

17. 
Syeh Malaya matur nembah, Pukulun Sang Maha Yogi, kawula nyuwun têtanya, punika alam ing pundi, dene tan sarwa mamring, lamat-lamat nyamut-nyamut, nglangut tanpa wêkasan, Ngandika Jêng Nabi Kilir, Kawruhanmu ya iki panggonaningwang.

Syeh Malaya menyembah dan berkata, Paduka Sang Maha Yogi, ijinkan hamba bertanya, alam apakah ini, segalanya sangat sepi, lamat-lamat dan sunyi, sunyi tak berbatas, Menjawab Jang Nabi Kilir (Nabi Khidlir), Ketahuilah inilah tempat tinggalku. 

18. 
Ora ana paran-paran, mung asunya lawan ruri, têka sira kapi brangta, kaya raganingsun iki, apa kang den ulati, ing kene sêpen samun, Umatur Syeh Malaya, Makatêna boten lirip, rehning sampun dados kêkêncengan kula.

Tidak ada apa-apa, hanya sepi dan kosong belaka, lantas mengapa kamu terpikat, hendak meniru diriku ini, apa yang hendak kamu cari, di sini sangat sunyi sepi, Menjawab Syeh Malaya, Walaupun begitu hamba tidak mundur, karena sudah menjadi tekad bulat hamba. 

19. 
Sanadyan prapta ing pêjah, boten rumêngkang pun patik, Jêng Nabi Kilir ngandika, Sukur yen mantêb ing kapti, payo padha lumaris, Sang Syeh Malaya jumurung, lajêng mider lumampah, tan adangu aningali, cahya padhang tri rupa andiwangkara.

Walau harus mati, tidak akan goyah tekad hamba, Jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir) berkata, Syukurlah jika benar-benar telah mantab, mari kita berjalan, Sang Syeh Malaya menurut, lantas berjalan beriringan, tak berapa lama melihat, tiga cahaya terang bagai matahari sinarnya. 

20. 
Warna abang irêng jênar, Syeh Malaya matur aris, Punika cahya punapa, Ngandika Jêng Nabi Kilir, Pramana araneki, upama aneng sireku, êndi kang den piliha, Syeh Malaya matur aris, Langkung ajrih yen botên wontên pitêdah.

Berwarna merah hitam dan kuning, Syeh Malaya bertanya, Ini cahaya apakah? Menjawab Jeng Nabi Kilir (Nabi Khidlir), ini Pramana namanya, seandainya berada di dalam dirimu, mana yang akan kamu pilih, Syeh Malaya menjawab, Sangat takut saya menjawab kalau tidak ada petunjuk. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU

KEBERLANGSUNGAN

Sedekah(Bisa Menunda Kematian)
KLCK aja ICON dibawah untuk Baca berita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...