TAPAK PERADABAN, DI SEPENGGAL JAWA BAGIAN SELATAN
DESA ADAT "kaum adat bonokeling"
Sekilas tidak ada yang berbeda di Desa Pekuncen. apabila dibandingkan dengan desa-desa di sekitarnya. Desa yang secara geografis terletak di sebelah utara Kabupaten Banyumas tersebut, berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap. Dua kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Tengah.
Yang menjadikan desa pekuncen istimewa adalah, pada hari jumat terakhir bulan sadran atau jumat terakhir sebelum memasuki bulan puasa, ada sebuah ritual yang dilakukan oleh sekelompok warga adat yang tergabung dalam "Kaum Adat Bonokeling".
Ritual tersebut dinamakan "Unggah-unggahan" atau sering juga disebut tradisi unggahan oleh warga kaum adat bonokeling.
TRADISI sadranan sudah berlangsung secara turun-temurun. Sudah lebih dari 30 generasi tanpa ada perubahan dalam tata caranya. Masyarakat Bonokeling di Desa Pekuncen Jatilawang Banyumas Jawa tengah dianggap sukses dalam memegang teguh pranata dan budaya lokal di tengah gempuran budaya globalisasi seperti sekarang ini.
Faktor ini pula yang menarik minat Presiden Soeharto untuk menetapkannya sebagai cagar dan situs budaya berdasarkan UU RI No. 05 Tahun 1992 dan PP No. 10 Tahun 1993.
Ritual "Unggah-unggahan" merupakan ritual puncak, dari seluruh ritual yang dilakukan oleh kaum adat bonokeling, dalam kurun waktu satu tahun.
Ritual "Unggahan" atau Sadran (mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa sesaji) merupakan tradisi yang digelar setiap Jumat terakhir pada bulan Ruwah (Syaban) guna menyambut datangnya Ramadhan.
Dalam tradisi tersebut, para penganut Kejawen wajib mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu kaum wanita hanya memakai "kemben" (kain jarit) dengan selendang berwarna putih, sedangkan kaum pria harus memakai kain atau sarung serta mengenakan iket (ikat kepala). Sebelum mereka berziarah, mereka wajib untuk berwudhu.
Ritual unggah-unggahan tersebut merupakan acara puncak menyambut bulan puasa. Meskipun pada awalnya, sebelum Islam datang, acara tersebut dilakukan sebelum masa tanam padi.
Peserta ritual berasal dari Banyumas dan Cilacap. Mereka datang ke tempat ritual dengan cara berjalan kaki. Saat menuju tempat ritual yang jaraknya bisa mencapai 30 kilometer, mereka dilarang menggunakan alas kaki. Biasanya ritual ini berlangsung selama tiga hari.
Dilakukan di kompleks makam Kyai Bonokeling di Desa Pekuncen, Jatilawang, Jawa Tengah, yang oleh pemerintah daerah kabupaten banyumas telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya, dengan tujuan menjaga pelestarian budaya dan kaum adat bonokeling.
Warga yang menjadi kaum adat bonokeling sendiri percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Kyai Bonokeling, atau biasa diebut dengan istilah anak putu mbah bonokeling.
Dan tradisi unggahan merupakan prosesi ziarah makam yang melibatkan seluruh "trah" bonokeling, dan dilakukan dengan cara berjalan kaki menuju kompleks makam, dari rumah mereka dengan jarak mencapai 40 kilometer.
Memang sulit jika sudah seperti itu. Hanya saja di Kelurahan Demangan Kota Madiun Jawa Timur, kemasyuran Bonokeling justru digunakan untuk menamai sebuah jalan raya. Ketokohannya juga terekam dalam kisah Babad Pacitan sebagai sosok kesatria yang ditugaskan Raja Brawijaya untuk memerintah wilayah yang kini menjadi perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam babad tersebut, sejarah Pacitan dimulai dari kedatangan Ki Bonokeling pada abad ke 12 M dan menjadi penguasa hingga empat generasi. Konflik mulai timbul saat masa pemerintahan Ki Bonokeling ke-IV di mana salah satu tokoh syiar Islam yakni Kyai Ageng Petung menyebarkan Islam di bumi Pacitan. Keduanya pun saling bersitegang hingga akhirnya memicu perang yang dimenangkan oleh kubu Kyai Ageng Petung.
Saat itu Ki Bonokeling ke-IV dikenal memiliki kesaktian yang membuatnya tidak bisa mati. Hanya ada satu cara untuk membuatnya mati abadi, yakni dengan memisah tubuhnya menjadi tiga bagian dan memakamkannya di tiga tempat berbeda, yang dipisahkan oleh aliran sungai besar.
Di bawah kepemimpinan Kyai Ageng Petung, periode Islam pun mulai berkembang di Pacitan. Sejarah pun berlanjut hingga beberapa generasi kepemimpinan. Hingga pada tahun 1840, keturunan Bonokeling yang ke-XII bernama Joyoniman atau dikenal dengan nama Kanjeng Jimat, memimpin Pacitan.
Besar kemungkinan, tiga tempat berbeda yang dimaksud tersebut berada di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Progo dan Serayu. Jika memang seperti itu, lalu bagian tubuh mana yang dimakamkan di Desa Pekuncen yang notabene merupakan kawasan DAS Serayu?
“Iya, itu adalah makam Ki Bonokeling, Sedangkan terkait pertanyaan itu, seperti yang tadi kami sampaikan, biarlah itu tetap menjadi rahasia kami para keturunan Ki Bonokeling,‘ tutur Sumitro.
Di tempat terpisah, peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Ridwan, mempunyai versi tersendiri tentang Bonokeling.
Dalam riset etnografinya, nama Bonokeling identik dengan tokoh misterius, karena merupakan nama samaran atau bukan nama sesungguhnya.
Dan jika diterjemahkan, Bonokeling dapat diartikan sebagai Wadah Hitam.
Bono berarti wadah dan keling artinya hitam.
“Itu tercermin dalam berbagai ritual Masyarakat Bonokeling terutama kaum pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam,‘ kata Ridwan.
Di samping itu tidak ada sejarah yang mencatat kapan tokoh Bonokeling berkiprah di tempat itu dan kapan dia meninggal. Masyarakat umum hanya mengetahui bahwa Bonokeling merupakan sosok yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur yang kala itu berada di bawah Kerajaan Pajajaran atau Galuh Kawali.
Demikian juga kisah historis atau catatan yang secara persis menjelaskan kedatangan Bonokeling dan keterkaitannya dengan Desa Pekuncen yang pada masa tersebut masih sangat terpencil. Namun dari wawancaranya dengan para sesepuh pendahulu, Bonokeling ada di Pekuncen jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Banyumas.
“Saya yakin kisah Bonokeling yang ada saat ini hanya setitik rahasia yang bocor ke masyarakat umum. Sedangkan sebagian besar atau bahkan nyaris seluruhnya masih aman terjaga. Ini luar biasa. Selama ratusan tahun, para tetua adat masyarakat Bonokeling masih bisa menjaga rahasia tentang Bonokeling,‘ ujar Ridwan.
Menurutnya, rahasia asal-usul Bonokeling masih dapat tetap terjaga hingga 100 tahun ke depan. Kearifan lokal inilah yang menurutnya harus mendapat perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah daerah Banyumas.
Sekilas tidak ada yang berbeda di Desa Pekuncen. apabila dibandingkan dengan desa-desa di sekitarnya. Desa yang secara geografis terletak di sebelah utara Kabupaten Banyumas tersebut, berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap. Dua kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Jawa Tengah.
Ritual tersebut dinamakan "Unggah-unggahan" atau sering juga disebut tradisi unggahan oleh warga kaum adat bonokeling.
Faktor ini pula yang menarik minat Presiden Soeharto untuk menetapkannya sebagai cagar dan situs budaya berdasarkan UU RI No. 05 Tahun 1992 dan PP No. 10 Tahun 1993.
Ritual "Unggah-unggahan" merupakan ritual puncak, dari seluruh ritual yang dilakukan oleh kaum adat bonokeling, dalam kurun waktu satu tahun.
Ritual "Unggahan" atau Sadran (mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa sesaji) merupakan tradisi yang digelar setiap Jumat terakhir pada bulan Ruwah (Syaban) guna menyambut datangnya Ramadhan.
Dalam tradisi tersebut, para penganut Kejawen wajib mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu kaum wanita hanya memakai "kemben" (kain jarit) dengan selendang berwarna putih, sedangkan kaum pria harus memakai kain atau sarung serta mengenakan iket (ikat kepala). Sebelum mereka berziarah, mereka wajib untuk berwudhu.
Ritual unggah-unggahan tersebut merupakan acara puncak menyambut bulan puasa. Meskipun pada awalnya, sebelum Islam datang, acara tersebut dilakukan sebelum masa tanam padi.
Peserta ritual berasal dari Banyumas dan Cilacap. Mereka datang ke tempat ritual dengan cara berjalan kaki. Saat menuju tempat ritual yang jaraknya bisa mencapai 30 kilometer, mereka dilarang menggunakan alas kaki. Biasanya ritual ini berlangsung selama tiga hari.
Warga yang menjadi kaum adat bonokeling sendiri percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Kyai Bonokeling, atau biasa diebut dengan istilah anak putu mbah bonokeling.
Siapakah SOSOK KYAI BONOKELING
Tradisi sadranan sendiri tidak terlepas dari sosok Ki Bonokeling. Seperti diketahui Ki Bonokeling dimakamkan di Komplek Makam Ki Bonokeling Desa Pekuncen
Namun siapakah Ki Bonokeling?
Bonokeling sampai sekarang memang masih misterius. Meski demikian, sebetulnya para tetua adat tahu siapa sebetulnya Bonokeling, namun tidak boleh memberikan keterangan kepada khalayak. “kalau disini disebutnya Kyai Bonokeling, walaupun itu sebenarnya hanyalah nama samaran. Dia adalah tokoh yang berasal dari Pasir Luhur. Pasir Luhur merupakan kadipaten di bawah Kerajaan Padjajaran atau Galuh-Kawali,”
Rasanya hampir tidak mungkin atau bahkan mustahil untuk bisa mengungkap asal-usul Kyai Bonokeling ini. Selain hanya kisah tentang berbagai tradisi dan ritual kejawen yang dianut para keturunannya. Konon, hanya para sesepuh atau tetua adat masyarakat Bonokeling saja yang mengetahui siapa sejatinya tokoh ini.
Sesuai dengan tradisi dan kearifan lokalnya, mereka dilarang atau pantang untuk menceritakan perihal tersebut kepada masyarakat umum.
“Maaf, secara adat kami khususnya para sesepuh masyarakat Bonokeling dilarang serta tidak bisa untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Biarlah rahasia ini tetap menjadi kearifan lokal di Desa Pekuncen khususnya bagi keturunan Kyai Bonokeling,‘ kata juru bicara Makam Bonokeling, Ki Sumitro.
***********************************************
Dalam babad tersebut, sejarah Pacitan dimulai dari kedatangan Ki Bonokeling pada abad ke 12 M dan menjadi penguasa hingga empat generasi. Konflik mulai timbul saat masa pemerintahan Ki Bonokeling ke-IV di mana salah satu tokoh syiar Islam yakni Kyai Ageng Petung menyebarkan Islam di bumi Pacitan. Keduanya pun saling bersitegang hingga akhirnya memicu perang yang dimenangkan oleh kubu Kyai Ageng Petung.
Saat itu Ki Bonokeling ke-IV dikenal memiliki kesaktian yang membuatnya tidak bisa mati. Hanya ada satu cara untuk membuatnya mati abadi, yakni dengan memisah tubuhnya menjadi tiga bagian dan memakamkannya di tiga tempat berbeda, yang dipisahkan oleh aliran sungai besar.
Besar kemungkinan, tiga tempat berbeda yang dimaksud tersebut berada di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Progo dan Serayu. Jika memang seperti itu, lalu bagian tubuh mana yang dimakamkan di Desa Pekuncen yang notabene merupakan kawasan DAS Serayu?
“Iya, itu adalah makam Ki Bonokeling, Sedangkan terkait pertanyaan itu, seperti yang tadi kami sampaikan, biarlah itu tetap menjadi rahasia kami para keturunan Ki Bonokeling,‘ tutur Sumitro.
Di tempat terpisah, peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, Ridwan, mempunyai versi tersendiri tentang Bonokeling.
Dalam riset etnografinya, nama Bonokeling identik dengan tokoh misterius, karena merupakan nama samaran atau bukan nama sesungguhnya.
Dan jika diterjemahkan, Bonokeling dapat diartikan sebagai Wadah Hitam.
Bono berarti wadah dan keling artinya hitam.
“Itu tercermin dalam berbagai ritual Masyarakat Bonokeling terutama kaum pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam,‘ kata Ridwan.
Demikian juga kisah historis atau catatan yang secara persis menjelaskan kedatangan Bonokeling dan keterkaitannya dengan Desa Pekuncen yang pada masa tersebut masih sangat terpencil. Namun dari wawancaranya dengan para sesepuh pendahulu, Bonokeling ada di Pekuncen jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Banyumas.
“Saya yakin kisah Bonokeling yang ada saat ini hanya setitik rahasia yang bocor ke masyarakat umum. Sedangkan sebagian besar atau bahkan nyaris seluruhnya masih aman terjaga. Ini luar biasa. Selama ratusan tahun, para tetua adat masyarakat Bonokeling masih bisa menjaga rahasia tentang Bonokeling,‘ ujar Ridwan.
Menurutnya, rahasia asal-usul Bonokeling masih dapat tetap terjaga hingga 100 tahun ke depan. Kearifan lokal inilah yang menurutnya harus mendapat perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah daerah Banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU