primbon


Web Site Hit Counters

Sejak:17 Agustus 2013
DAFTAR SAHABAT YG MASUK The truth seeker
Tidak harus menjadi yang pertama,yang penting itu menjadi orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.


Disclaimer:Artikel,gambar ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain,
dan Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber lain tersebut.Jika kami salah dalam menentukan sumber yang pertama,
mohon beritahu kami
e-mail primbondonit@gmail.com HOTLINE atau SMS 0271 9530328

GAMBAR-GAMBAR dibawah ini BUKAN HANYA IKLAN tapi merupakan LINK SUMBER




Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern,westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya,dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu.Manakala mendengar istilah mistik,akan timbul konotasi negatif.Walau bermakna sama,namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan,terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.Selama puluhan tahun,kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,westernisme dan agamisme.Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,irasional,dan primitive.Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum modern sebagai paham yang kuno,Pandangan itu salah besar.Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah.Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri,kepentingan rezim,dan kepentingan egoisme(keakuan).Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan,diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan,dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah yang sesungguhnya.Apalagi dalam roda perputaran zaman sekarang,di mana orang salah akan berlagak selalu benar.Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.Emas dianggap Loyang.Besi dikira emas.Yang asli dianggap palsu,yang palsu dibilang asli.Semua serba salah kaprah,dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.Untuk itulah Warisjati merangkum beragam artikel dari beberapa sumber tentang pengetahuan Budaya dan tradisi di Nusantara yang merupakan warisan para leluhur yang sarat akan makna dan berbagai artikel lainnya yang saling melengkapi.Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana dan mengambil pelajaran serta pengetahuan dari budaya masa lalu sebagai warisan leluhur di Nusantara ini.

ORANG YANG DENGAN MUDAHNYA MENGATAKAN SESAT KEPADA SESEORANG
ADALAH ORANG YANG TIDAK atau BELUM PAHAM AKAN DIRINYA SENDIRI



Sabtu, 22 Februari 2014

Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) "WALISONGO" Periodesasi ke-6 (1533 – 1546 M)

Tapak Jejak dan PERIODESASI "WALI SONGO" 

Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) "WALISONGO" Periodesasi ke-6 (1533 – 1546 M)

Tapak Jejak dan PERIODESASI "WALI SONGO"
Periodesasi ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari:
  1. Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar,
  2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II,
  3. Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah,
  4. Fathullah Khan (Sunan Gunung jati II) (wafat 1573),
  5. Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus,
  6. Sunan Gunung Jati (wafat 1569),
  7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang,
  8. Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan
  9. Sunan Muria (wafat 1551).
Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu)
Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar,
Alias : Sunan Sedayu 
Lahir : Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur
Orangtua : Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini bin Syekh Datuk Sholih bin Syekh Maulana ‘Isa ‘Alawi 
Menggantikan: Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini (Ayahnya) Syekh Siti Jenar
Daerah da’wah: Jawa Tengah dan Jawa Timur
Makam : Bukit Amitunon, Sendang Duwur, Paciran, Lamongan, Jawa Timur
Masjid Sunan Sendang Duwur
[Masjid+Sendang+Duwur.JPG]
[Masjid+Sendang+Duwur2.JPG]
[Bumi+Sholawat1.JPG][Bumi+Sholawat2.JPG]
[Bumi+Sholawat3.JPG]
[Bumi+Sholawat4.JPG]

MAKAM DAN MASJID SENDANG DUWUR, Akulturasi Peradaban Jawa, Hindu dan Islam
I. KELETAKAN DAN LATAR BELAKANG SEJARAH.

Makam Sendang Duwur terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Pacirian, Kabupaten Lamongan. Desa Sendang Duwur kurang lebih 4 km berada di sebelah tenggara Desa Pacirian, tepatnya berada disebuah Bukit Amituno atau Bukit Tunon yang berketinggian ± 50-70 diatas permukaan laut (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 14:2003). 

Bila ditempuh berkendaraan montor dari Tuban mencapai 33 Km ke Paciran dan dari Paciran ke Desa Sendang Duwur dapat dicapai 3 Km (Tjandrasasmita, 155 :1964). Bangunan makam Sendang Duwur memberi kesan pertama sebagai gugusan candi kecil daripada suatu peninggalan kepurbakalaan Islam peralihan setelah Majapahit runtuh. Bangunan tersebut relative masih lengkap, sejak dipugar pertama kali pada tahun 1938. Lokasi makam tersebut disebuah bukit yang merupakan salah satu ciri khas dari bangunan Islam di Jawa (H. Mustopo, 2001 : 66).
20130203_083534
Tokoh utama yang dimakamkan dikomplek makam Sendang Duwur adalah Raden Nur Rahmad. Beliau bertempat tinggal di Desa Sedayu Lawas, tepatnya di Desa Brondong. Raden Nur RAhmad adalah Putera dari Abdul Qohar Bin MAlik Bin Syeikh Abu Yazid Al Baghdi keturunan raja-raja Persia di Negei Iraq. Ibu Raden Nur Rahmad adalah Dewi Sukarsih, Puteri dari Tumenggung Joyo dari Sedayu Lawas. Setelah ayah Raden Nur Rahmad (Abdul Qohar) wafat, Raden Nur Rahmad diboyong ibunya pindah ke Dusun Tenon guna menyebarkan agama Islam disekitar daerah tersebut. (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003 : 14).

Setelah sampai di Dusun Tenon Raden Rahmad membuat rumah yang disekitarnya terdapat genangan air atau Sendang dan berguru kepada Sunan Drajat yang makammya tidak jauh dari komplek Makam Sendang Duwur. 

Raden Rahmad oleh penduduk didaerah sekitar disebut dengan Sunan Sendang karena rumah dalam menyebarkan agama Islam dekat dengan Sendang. Setelah mendapatkan gelar tersebut,Sunan Sendang diperintah oleh Sunan Drajad mendirikan Masjid dan supaya ke Mantingan,Jepara, Jawa Tengah untuk menemui Nyai Ratu Kalinyamat (Mbok Rondo Mantingan) untuk membeli pendoponya seharga senyoto salebak ketheng (sakheteng = ½ sen). Setelah masjid berdiri, disekitar masjid kering tidak terdapat sumber air untuk berwudlu. Atas ijin dari Allah maka keluarlah air dari dalam tanah (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003 : 14).
20130203_092111
Pada ambang pintu kayu yang berukir yang menuju makam Sunan Sendang, terdapat gambar bulan sabit, ditengahnya terdapat angka tahun yang berhuruf Jawa Kuno 7041 S. dalam membaca angka tahun ini harus terbalik jadi berangka tahun 1407 S atau 1485 M. Stuttenheim dengan argumennya membaca sebagai angka 1507 atau tahun 1585 M. Bacaan yang disangkal Damais, dengan pertimbangan paleografis, ia menafsirkan angka itu tahun 1407 S. atas dasar angka itu ia berpendapat bahwa tahun pada makam Sunan Sendang ini merupakan tahun tertua dari periode peralihan (Mustopo, 2001 : 69-70).Inskripsi tersebut merupakan data penting dan tertua yang dipahatkan pada suatu bangunan makam Islam di Jawa Timur hingga kini. Dengan kata lain, situs Komplek Makam Sendang Duwur mewakili bangunan masa peralihan tertua yang didukung oleh bukti data epigrafi dari bangunannya sendiri.

Data penanggalan lain yaitu pada masjid kini, terdapat sebuah papan kecil tergantung pada tembok serambi, papan tersebut bertuliskan huruf Jawa Kuno dan memuat candrasengkala yang berbunyi “Gunaning salira tirtha haju” yang berarti tahun 1483 S atau 1561 M. Kebenaran tentang angka tahun tersebut dapat dibuktikan oleh candrasengkala yang terdapat pada naskah tentang riwayat Sunan Sendang yang berbahasa Jawa berhuruf Arab sebanyak 18 lembar ukurab folio (tinulat pada tahun 1920), selain itu terdapat pembangunan dan pemugaran masjid yang ditulis pada papan yang tergantung yang berhuruf Arab dan kalimat-kalimat Arab yang disalin bahasa Indonesia yaitu “ Ketahuilah bahwa masjid ini dibina dua kali, yang pertama pada tahun Jawa 1483, sesui dengan tahun 971 Hidjriah, yang kedua pada tahun Jawa 1851, sesui dengan 1339 Hidjriah, sehingga diantara dua pembinaan itu ada 368 tahun-bulan. Pada pembinaan yang kedua dipergunakan batu-batu dan sebagain pula kayu-kayu dari bangunan pertama”(Tjandrasasmita, 1964 : 166). 
Pada waktu setelah pendirian masjid, disekitar masjid kering tidak terdapat sumber air untuk wudlu. Maka dengan kesaktian Sunan Sendang terdapat sumber air yang terletak di sebelah selatan masjid yaitu Sumur Giling yang berkedalaman ± 35 m. peristiwa ini terdapat dalam naskah huruf Arab Pegon yang disimpan oleh masyarakat setempat yang berbunyi : “Sampun lami-lami boten wonten toya kang celak wonten manjing ashar ningali kukus lajeng dipun dudhuk sitinipun nuten kinarya sumur. Sampunipun lebet wonten duwung ngadeg peksinipun (keris) kacabut medal sumberipun toyalangkung agung” (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003 : 15). 

II. DISKRIPSI GAPURA KOMPLEK MAKAM SENDANG DUWUR.
Komplek Makam Sendang Duwur terbagi dalam beberapa halaman yang berada disebelah utara dan barat Masjid Sendang Duwur. Tiap-tiap halaman dibatasi oleh pagar dengan pintu gerbang sebagai jalan masuknya. Secara umum komplek makam dibagi menjadi empat halaman dengan pola tata letak tersusun kebelakang dengan makam Sunan Sendang (Raden Nur Rahnad) berada di halaman III (paling belakang) (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003 : 15).

Letak bangunan pintu gerbang yang berjumlah tujuh buah seolah-olah melingkari bagian dinding masjid dari depan sebelah kanan, nelingkar kearah selatan, kemudian membelok ketimur yang berlawanan dengan arah jarum jam (Prasawya) Jawa. Pintu Gerbang di Komplek Makam Sendang Duwur berbentuk Bentar dan Paduraksa, yang dimana ketujuh bangunan Pintu Gerbang tersebut dibangun pada dataran yang berbeda-beda ketinggiannya (H. Mustopo, 67:2001). Dalam sejarah kesenian Indonesia-kuno kedua pintu gerbang yang cungkupnya tertutup itu lazim dinamakan Paduraksa, yang sebaliknya dari sebutan candi bentar utuk pintu gerbang terbelah atau terpisah (Tjandrasasmita, 1964 : 155).

1. Halaman I.
Halaman ini dibagi lagi menjadi dua halaman yang lebih kecil dengan dibatasi oleh lorong yang berpagar di sisi kanan dan kirinya. Dihalaman ini terdapat tiga buah bangunan pintu gerbang. Ketiga buah pintu gerbang tersebut adalah pintu gerbang G sebagai jalan masuk kehalaman I lainnya, pintu gerbang F sebagai jalan masuk kehalaman I, dan pintu gerbang E sebagai jalan masuk kehalaman II.

a. Pintu Gerbang G.
Pitu gerbang ini menghadap ke timur berbentuk candi bentar dan berbahan batu putih. Sebenarnya di depan pintu gerbang ini ada halaman yang tampaknya dahulu dibatasi oleh pagar yang sekarang hanya tinggal pondasinya saja, dengan pintu gerbang kecil bentuk candi bentar berbahan batu merah. Secara structural arsitektural pintu gerbang G terdiri dari kaki, tubuh, dan atap. Bagian kaki berukuran massif, mengapit sembilan buah anak tangga. Kaki pintu gerbang berbentuk bidang bertingkat dan berlapis tiga, semakin mengecil kedepan dengan permukaan paling depan berbentuk bidang lengkung (Cembung).

Bagian tubuh pintu gerbang ini dapat dibagi lagi menjadi tubuh bagian bawah, tengah, dan atas. Tubuh bagian bawah berupa bidang yang dihiasi motif geomentris berbentuk segi enam berjajar, diatasnya berupa tingkatan-tingkatan pelipit yang dihiasi bentuk-bentuk artefik. Tubuh bagian tengah terdiri dari tiga lapis semakin melebar kesamping.

Lapisan satu berbentuk pilar, lapisan dua berupa pelipit tiga tingkat. Tubuh bagian atas berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Disamping kanan-kiri tubuh terdapat semacam sayap pintu gerbang berupa sebuah bidang dengan ujungnya berbentuk lengkung menempel diatas pagar, dibagian tengah dihiasi bentuk kerawangan motif roset.Bagian atapnya bertingkat lima semakin keatas semakin mengecil dengan bagian kemuncaknya berbentuk trapezium. Atap tingkat satu berupa bidang segi empat yang dihiasi antefiks-antefiks dan motif rosset. Empat tingkat atap diatasnya berupa tingkatan-tingkatan pelipit semakin mengecil keatas yang juga dihiasi bentuk antefiks (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003:16).
b. Pintu Gerbang F.
Pintu Gerbang ini menghadap ke selatan berbentuk Paduraksa yang terbuat dari bahan batu putih, sebagaimana jalan masuk ke halaman I lainnya, secara structural arsitekturnya terdiri dari kaki, tubuh, dan atap. Bagian kakinya terdiri dari tiga tingkat yang semakin mengecil keatas dan melebar kesamping, mengapit tiga anak tangga. Tingkat satu dan dua berupa tingkatan-tingkatan pelipit, sedangkan tingkat yang ketiga berupa bidang segi empat dengan bagian depannya berhias motif tumpal. Bagian tubuhnya juga terbagi atas tiga bagian yaitu bagian bawah, tubuh, dan atas. Secara keseluruhan bagian tubuh terdiri dari tiga lapis bidang makin melebar kesamping. Khusus lapisan ke tiga berupa bidang datar mulai kaki sampai dengan tubuh bagian atas yang bersambungan dengan pilar-pilar bagian pagar yang berada di samping kanan-kiri.

Sedangkan lapisan satu dan dua tubuh bagian bawah berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Lapisan satu tubuh bagian tengah berupa pilar yang dihiasi bentuk lengkung yang bersambungan sampai bagian atas ambang pintu gerbang. Lapisan kedua tubuh bagian tengah sebagian telah hilang, dari bagian yang tersisa tampak ada hiasan motif segi enam dan antefiks. Tubuh bagian atas lapisan satu berupa pilar sambungan dari tubuh bagian tengah, sedangkan lapisan kedua berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Tubuh bagian atas ini mengapit ambang pintu atas pintu gerbang, yang disisi bawahnya berbentuk latiyu tingkat tiga., sedangkan pada sisi depannya berupa bidang berhias motif stiliran kepala kala.

Bagian atapnya terdiri dari tujuh tingkat semakin mengecil ketas, dengan bagian kemuncak berbentuk trapezium. Atap satu berupa bidang segi empat yang dihiasi bentik-bentuk antefiks. Atap tingkat dua, tiga, dan empat berbentuk trapezium yang juga dihiasi bentuk antefiks, atap kelima berbentuk antefiks polos, sedangkan atap enam dan tujuh berbentuk trapezium terbalik tanpa hiasan (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003: 16).
c. Pintu Gerbang E.
Pintu gerbang ini menghadap ke timur berbentuk paduraksa yang terbuat dari bahan batu putih, sebagai jalan menuju sebuah lorong di halaman II. Secara structural arsitekturnya terdiri dari bagian tubuh dan atap, tanpa bagian kaki karena memang tidak ada bagian yang diidentifikasikan sebagai bagian kaki pintu gerbang. Bagian tubuhnya terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama berupa bidang datar yang dihiasi motif burung Merak. Sedangkan tubuh tingkat dua berupa pilar polos yang ditengahnya ada ceruk yang membentuk garis lurus dari atas kebawah.

Didepan tubuh tingkat dua bagian bawah terdapat panel-panel segi lima yang dihiasi motif flora yang diantaranya berupa pohon jambu air. Disamping kanan-kiri bagian tubuh tingkat dua tampak bagian sayap pintu gerbang yang sudah terputus. Pada bagian yang tersisa itu ada hiasan flora dan stiliran kepala gajah. Dahulu pintu gerbang ini memiliki sayap dalam bentuk naturalis seperti sayap burung yang akan terbang. Bagian atas sisi dalam dari tubuh tingkat dua ini mengapit ambang atas pintu gerbang berupa latiyu tingkat sembilan disanggga oleh pilar dari kayu, mungkin dahulu sebagai tempat daun pintunya. Latiyu tingkat dua, empat, enam, dan delapan dihiasi motif tumpal berjajar seperti gigi gergaji, sedangkan tingkatan latiyu lainnya polos.

Bagian atapnya terdiri dari empat tingkat dengan bagian dasar atap berbentuk trapezium terbalik. Atap tingkat satu, dua, dan tiga berupa bidang datar yang pada sisi atasnya berbentuk melengkung-lengkung. Pada bagian atap tingkat satu disebelah kiri dihiasi motif flora dan stiliran kepala burung. Bagian atap tingkat empat berupa bidang datar dengan sisi kanan-kiri melengkung ke dalam hiasan (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003:16). Pintu gerbang E mempunyai ukuran tinggi seluruhnya lebih kurang 6,625 m, tinggi pintunya yaitu dari ambang pintu bawah hingga ambang pintu atas adlah 2,375 m, sedangkan lebarnya 1,25 m (Tjandrasasmita, 1964:155).
2. Halaman II.
Halaman II komplek makam Sendang Duwur ini disekat-sekat lagi menjadi beberapa halaman yang lebih kecil, dibatasi oleh pagar dengan pintu gerbang sebagai jalan masuk. Dihalaman ini ada dua pintu gerbang yang menarik untuk dibahas yaitu pintu gerbang D dan pintu gerbang B.

a. Pintu Gerbang D.
Pintu gerbang ini menghadap ke Utara berbentuk candi bentar terbuat dari batu putih, sebagai jalan masuk menuju ke komplek Masjid Sendang Duwur dari sebuah lorong di halaman II. Secara structural arsitektur pintu gerbang ini terbagi dari bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kaki pintu gerbang ini terbagi dari tiga tingkat , mengapit delapan buah anak tangga dari sepuluh buah tangga yang ada di pintu gerbang ini. Bagian kaki tingkat bawah berupa balok, yang sebelah Timur tertutup oleh rangkaian pagar yang membujur di depannya. 

Kaki bagian tengah terdiri tiga lapisan, lapisan satu berupa pilar polos, sedangkan lapisan dua dan tiga berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Kaki bagian atas juga terdiri dari tiga lapisan, lapisan satu bagian bawah berupa bidang lengkung yang dihiasi motif tumpal, dan bagian atasnya berupa bidang datar segi empat, sedangkan lapisan dua dan tiga berupa bidang datar. Di samping kanan-kiri, bagian kaki ini bersandar pada pagar.Pada pagar bagian barat ada hiasan motif geometris seperti bentuk segi tiga berjajar dan bentuk segi empat.
Bagian tubuhnya dapat dibagi tubuh bagian bawah, tengah, dan atas. Tubuh bagian bawah berupa bidang datar dihiasi motif geometris bentuk segi empat berjajar. Tubuh bagian tengah terdiri tiga lapis, lapisan satu berupa pilar polos, lapisan dua dan tiga berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Tubuh bagian atas berupa tingkatan-tingkatan pelipit. Di samping kanan-kiri tubuh ada semacam sayap pintu gerbang berupa bidang datar dengan bagian ujungnya berbentuk lengkung. Di bagian tengahnya ada hiasan bentuk trapesium dan di bawahnya dihiasi motif segi tiga berjajar. 

Bagian atapnya terdiri dari lima tingkat dengan bagian kemuncak berbentuk kotak berpelipit tiga tingkat tiga, lima tingkat atap di bawah kemuncak berupa tingkatan-tingkatan pelipit yang semakin mengecil keatas membentuk bidang trapesium, di tiap-tiap tingkatnya dihiasi bentuk-bentuk antefiks (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 17-18 : 2003). Disekitar tembok yang menghubungkan Pintu Gerbang D pernah ditemukan sebuah patung dewa Siwa yang tergali pada waktu melakukan restorasi pada tahun 1938. 

Sayang patung tersebut tidak utuh, sebagian kepala dan badannya masih dapat dikenali, demikian pula atribut patungnya yang berupa aksamala ditangan kiri, dan parasu (?) di tangan kanan. Pada kepalanya masih tersisa mahkota walaupun sudah rusak (Mustopo, 2001 : 69) dan patung tersebut sekarang diletakkan di bawah Pintu Gerbang D bagian Selatan di kiri. Dihalaman II terdapat bangunan baru yaitu tempat menerima tamu penziarah dan bangunan untuk meletakkan kerangka bangunan masjid.
b. Pintu Gerbang B
Sebelum masuk ke halaman II yang menuju Pintu Gerbang B ada bangunan beratap yang berhimpitan dengan pagar di sebelah barat. Pada pagar yang berhimpitan dengan bangunan tersebut terdapat pintu sebagai jalan masuk ke sekat halaman berikutnya, dari sekat halaman ini ada jalan menuju ke pintu gerbang B. Pintu gerbang B menghadap ke Utara agak condong ke Barat Laut. Bentuknya paduraksa terbuat dari batu putih sebagai jalan masuk menuju ke halaman III. Secara struktural arsitektur pintu gerbang ini terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kaki pintu gerbang ini terdiri dua tingkat berbentuk balok, mengapit tiga buah anak tangga. Di atas kaki tingkat satu terdapat hiasan makara berupa kepala naga denga mulut menganga. 
Pada bagian atas kaki tingkat dua dihiasi motif flora yang muncul dari batu-batu karang. Bagian kaki sisi Timur menempel pada tanah tebing di sebelahnya, sedangkan bagian kaki sisi barat menempel pada rangkaian pagar, pada pagar ini ada hiasan motif roset. Bagian tubuhnya secara keseluruhan berupa pilar kwadrangular yang di sisi depanya kaya akan hiasan. Pada tubuh bagian bawah terdapat hiasan flora yang timbul dari batu-batu karang. 

Di atas bagian tersebut ada hiasan lengkung kala merga yang bersambungan hingga ambang atas pintu gerbang. Bagian tubuh sisi Timur menempel pada tanah di sebelahnya, sedangkan tubuh sisi barat menempel pada pagar yang mempunyai hiasan motif pintu gerbang bersayap dan di atasnya ada hiasan motif segi enam berjajar. Ambang atas pintu gerbang ini berupa latiyu tingkat lima yang disangga oleh balok kayu sebagai tempat menempelkan daun pintunya. 

Ambang atas pintu gerbang sisi depan selain berhias kala merga juga dihias motif flora. Di kanan-kiri tubuh terdapat sayap pintu gerbang berbentuk naturalis yang kaya hiasan motif flora dan fauna dan ada juga hiasan stiliran kepala gajah. Sayap pintu gerbang sebelah barat tampak lebih besar jika dibandingkan dengan sayap sebelah tirnur. Sayap sebelah barat berdiri menempel di atas pagar dan ujungnya menempel pada bagian kemuncak dari pilar pagar tersebut, sedangkan sayap sebelah timur menempel di atas tanah tebing. Bagian atapnya tempak tingkat tiga dengan kemuncak berbentuk trapesium. 

Atap tingkat satu berupa bidang dihiasi motif flora yang timbul dari batu-batu karang dalam jumlah banyak bertingkat-tingkat. Atap tingkat dua berbentuk trapesium yang di tengahnya dihiasi stiliran burung garuda dan di sekitamya dihiasi motif flora. Atap tingkat tiga berbentuk trapesium yang jauh lebih kecil dari pada atap tingkat dua, juga dihiasi dengan motif-motif flora (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003: 18-19).

Pintu Gerbang B mempunyai pintu masuk yang lebar berukuran 70 cm, tinggi dasar pintu hingga ambang pintu atas 1,80 m dan tinggi pintu gerbang keseluruhannya kira-kira ada ada 3,75 m sera lorongnya berukuran panjang 2 m. Bila dilihat seksama puncak pintu gerbang B menggambarkan kepala garuda (mahkota) (Tjandrasasmita, 1964 : 155-156). Di sebelah kanan sebelumke Pintu Gerbang B terdapat cungkup yang dibawahnya terdapat tujuh buah makam, no 3 dari barat terdapat makam yang nisannya terdapat Surya Majapahit dan ditengahya terdapat tulisan huruf Arab berupa Syahadat dan di area cungkup Makam Sunan Sendang juga terdapat nisan yang terdapat Surya Majapahit.

3. Halaman III
Halaman ini tepatnya berada di sekitar sisi barat dari Masjid Sendang Duwur. Di halaman ini tersebut terdapat makarn tokoh utama yaitu makam Sunan Sendang (Raden Nur Rahmad) yang diperkirakan sebagai perlrdiri pertama Masjid Sendang Duwur. Makamnya berdiri di atas teras dan di beri pelindung bangunan beratap (cungkup). Pada teras cungkup tersebut terdapat bingkai dari batu yang mempunyai hiasan relief rmotif flora. Sebelum masuk ke cungkup sebelah Selatan ada pintu gerbang bentuk candi bentar yang mempunyai semacam sayap. Di bawah sayap terdapat panil-panil hiasan motih flora dengan garis-garis krearif dan motif-motif tumpal, di dekat pintu gerbang ini dahulu terdapat dua buah patung singa dari kayu yang kini tinggal bekas kakinya saja, dua buah patung singatersebut dibawa ke Museum Nasional Jakarta. 

Selain itu pada sisi depan pintu gerbang ini terdapat hiasan motif flora dan motif bunga. Pada bagian bawah dari cungkup juga kaya hiasan seperti panel-panel heksagonal yang di dalamnya ada bentuk-bentuk tumpal, flora batu-batuan, bangunan seperti pendopo bersayap, dan juga motif sulur-suluram. Kemudian ada juga motif roset yang di dalamnya berisi motif daun bunga dan bunga. Bagian atasnya ada hiasan motif rantai dari daun-daunan yang membentuk segi tiga dan lingkaran.

Bagian tubuh cungkup terbuat dari kayu yang sebagian juga ada hiasannya. Bagian yang ada hiasannya berada di sisi depan (selatan), dipisahkan oleh rangka-rangka yang membentuk panel-panel hiasan yang tengah berisi motif tumpal dan heksagonal, sedang panel lainnya berisi motif-motif flora dan sulur-suluran. Pada panel yang berbentuk hexagonal di dalamnya ada hiasan berbentuk seperti sabit dikelilingi oleh tumbuhan yang berbuah. Di sekiling panel ada hiasan bentuk batu-batuan dan ada juga bentuk flora yang keluar dari pot, di atasnya ada motif bunga berbentuk lotus, pada bagian ini ditemukan sedikit tulisan Jawa Kuna yang mungkin merupakan tahun pendirian bangunan cungkup tersebut(Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003: 19-20).

Pintu masuk ke cungkup tampak kecil dan indah, berbentuk persegi empat. Di bagian pintu ini juga terdapat hiasan motif sulur-suluran dan bunga ada juga panel berbentuk heksagonal yang diisi motif sulur-suluran (motif arabesque). Pada panel yang tengah mempunyai hiasan motif raset berisi bunga lotus dan ada juga yang berisi daun-daunan. Pada panel tengah yang lain ada hisan motif sulur-suluran dan bunga ada juga bunga bentuk lotus, motif tumpal, dan bentuk sudut 16, serta ada motif roset dalam sebuah lingkara

4. Halaman IV
Halaman ini sebagian besar berada di sebelah Selatan Masjid Sendang Duwur. Untuk masuk ke halaman ini dapat melewati sebuah jalan sempit di antara tumpuan batu yang memisahkan halaman IV dengan halaman II dan halaman III yang ada di sebelah barat Masjid Sendang Duwur. Halaman ini juga dapat dimasuki melalui pintu gerbang C yang ada di sisi selatan. Halaman ini juga disekat-sekat dengan pagar yang terbuat dari bata merah. Pada pagar dinding ini terdapat pilar-pilar yang di atasnya terdapat bentuk candi laras yang kelihatan sederhana.

a. Pintu Gerbang C
Pintu gerbang ini menghadap ke Selatan berbentuk candi bentar terbuat dari batu putih. Arsitekturnya hampir mirip dengan pintu gerbang G dan pintu gerbang D di sebelah utara masjid, yaitu terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan atap. Bagian kakinya terdiri dari tiga lapis bidang makin mengecil ke depan, dengan permukaan paling depan berbentuk cembung. Bagian tubuhnya dapat dibagi menjadi tubuh bagian bawah, tengah, dan atas. Tubuh bagian bawah berupa bidang segi empat yang dihiasi motif segi empat berjajar. Tubuh bagian tengah terdiri dari tiga lapis. lapisan satu berbentuk pilar, sedang lapis dua dan tiga berupa pelipit tingakt tiga, tubuh bagian atas berupa tingkatan-tingkatan pelipit. 

Di samping kanan-kiri tubuh terdapat semacam sayap pintu gerbang berupa bidang datar dengan bagian ujungngya melengkung. Di tengahnya ada hiasan berbentuk trapesium. Bagian atapnya terdiri dari lima tingkat semakin mengecil ke atas, dengan bagian kemuncaknya berbentuk trapesium. Lima tingkat atap di bawah kemuncak berupa tingkatan petipit semakin mengecil ke atas. Tiap-tiap atap dihiasi bentuk-bentuk antefiks (Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur, 2003: 18-19).
A.SAYAP BURUNG
Pintu Gerbang (Paduraksa) bersayap di Komplek Makam Sendang Duwur dihiasi dengan motif-motif yang lazim ditemukan dalam gunung, seperti: bukit, batu cadas, kolam, gua, motif awan dan berbagai jenis flora dan fauna. Ragam hias di Pintu Gerbang B yang terdapat hiasan sayap menggambarkan sebuah gapura beratap yang pintunya tertutup, dengan sayap bulu dikanan kirinya bangunan ini nampak ditengah bukit karang dan pepohonan yang mirip randu alas (randu hutan). Ragam hias berupa “curing” menambah kesan lingkungan batu kapur (cadas) yang banyak dipakai untuk bangunan cungkup dan patung. Disudut kiri atas terdapat bingkai kosong, mungkin untuk memahat angka tahun atau inskripsi lain yang belum jelas.

Helai bulu yang tersusun simentris membentuk sayap yang ujung kedua sayapnya runcing melengkung keatas, berbeda dengan hiasan sayap dipintu gerbangnya, yang tersusun tiga lapis. Pangkal hiasan sayap tersebut tertutup dengan ragam hiasan lengkung kedalam. Atap gapura cukup menarik karena berupa gugusan puncak bukit yang tersusun dengan kemuncak dengan tepi yang membentuk siluet teratai dan dihiasi dengan aneka ragam motif.

Diatas anbang pintu terdapat hiasan kala merga, yang menyusur kebawah hingga dipertengahan pilar-pilar. Ragam ini merupakan ragam hias yang sudah dikenal pada masa Hindhu-Buddha. Sayap yang mengapit kanan-kiri Pintu Gerbang (paduraksa) B ini direntang, dihias dengan berbagai motif antara lain gugusan bukit, gua bersayap, bangunan bertiang tunggal, dan berbagai jenis flora. Seperti dikemukakanj B. Kempers, pintu gerbang bersayap melambangkan gunung, yaitu Gunung Meru, tempat bersemayamnya para dewa. Dalam kesenian Islam peralihan, desain tersebut tetap populer (Mustopo, 2001: 201-203). Ragam hias gunung bersayap juga terdapat pada Pintu Gerbang E dan dahulu terdapat sayap di pintu gerbang tersebut namun kini tidak ada kemungkinan hancur atau roboh.
Selain itu terdapat panil bersayap dibawah cungkup Sunan Sendang. Panil berbingkai belah ketupat dihiasi dengan gambar bukit bersayap dengan paranoma daerah bukit berkarang yang banyak dijumpai di daerah Gugusan Kendeng Utara.

Ragam hias sayap biasanya dikaitkan dengan burung. Tema tentang burung banyak terdapat pada syair Sufi. Cerita Nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung telah dibahas oleh Farid al-Din Attar di dalam Mantiq al Tayr. Secara esoteris, motif burung dapat dikaitkan dengan ucapan burung, yaitu pancaran atau bisikan halus dari Allah kepada Nabi Muhammad yang merupakan wahyu pedoman hidup manusia aagar memperoleh keselamatan. Didalam suluk Malang Sumirang pupuh IV baris 23-26, burung dengan segala bagiannya merupakan lambang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Jadi dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa motif sayap yang terdapat di Komplek Makam Sendang Duwur mengandung makna ajaran pelepasan manusia dari sifat dan nafsu dunia untuk mencapai kesempurnaan.

B. SINGA
Dikomplek Makam Sendang Duwur terlihat hasil-hasil perpaduan yang menarik antar tradisi seni Majapahit dan tradisi seni Islam pada umumnya tidak menyukai bentuk-bentuk yang bersifat zoomorfik naturalis. Menurut F.D.K.Bosch, singa sebagi lambang dan hias dalam kesenian pada umumnya masih belum cukup diteliti secara mendalam. Namun menurut faktanya singa banyak digunakan dalam seni patung dan ragam hias artefak maupun bangunan dari periode Hindhu-Budhha dan Islam.

Dari masa awal perkembangan Islam, patung singa dan kayu yang menghiasi tangga cungkup Sunan Sendang merupakan contoh cirri-ciri peralihan dalam seni patung Islam saat itu. Patung singa yang berada di makam Sunan Drajad dan patung singa di cungkup makam Sunan Sendang melihatkan kesamaan.Patung Singa di yang dahulu terdapat diatas pangkal pipi tangga pintu cungkup makam Sunan Sendang terdapat dua ekor yang keduanya dalam pose duduk dan bentuk mulutnya mirip dengan mulut singa yang menganga yang bersifat naturalistic. Sekarang patung singa tersebut berada di Museum Arkeologi yang berada di Jakarta.

Ornamen singa juga terdapat di pilar Pintu Gerbang E, sebelah kiri menghadap keselatan yang merupakan ornament Singa bersayap. Singa bersayap ini dalam relief dalam posisi duduk, dan pada kepalanya tampak hiasan semacam tanduk, yang tidak lain adalah gambar telinganya. Mulutnya terbuka, terlihat diujungnya melengkung terangkat keatas. Kadang-kadang rahang atasnya yang melengkung seperti belalai, sehingga memberi kesan bahwa pahatan itu menggambarkan seekor gajah.

Singa sebagai ornament dikenal secara luas dan bersifat universal. Pada umumnya melambangkan matahari, keperkasaan, pelindung terhadap pengaruh jahat dan pembe-basan. Dalam kepercayaan Ibrani, singa merupakan kendaraan judas dan menunjukkan mata angina selatan. Dalam peradaban kuno, lambang kemaharajaan, amtahari dan cahaya dan dalam kesenian Islam Singa dikenal sebagai pelindung terhadap bahaya dan roh jahat. Penempatan patung dan ragam hias zoomorfik dimakam seorang wali terutama di Jawa cukup menarik karena tidak dijumpai pada makam-makam Islam di dunia Islam umumnya. 

Menghiasi makam dengan patung serta ragam hias makluk bernyawa (fauna) masih dapat diterima muslim saat itu, dan jelas merupakan sauatu survival dan tardisi menghias bangunan pendharmaan raja-raja par-Islam (Mustopo, 2001: 200-201).
C BURUNG MERAK
Pada masa peralihan terutama di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di Pintu Gerbang E di halaman I terdapat hiasan Burung Merak. Burung Merak merupakan fauna asli dan hidup dikawasan hutan Indonesia. Dalam kesenian, jenis burung ini banyak digunakan sebagai ragam hias pada artefak serta bangunan, contoh pada masa Hindhu-Budhha antara lain di Candi Panataran (Palah), Candi Sumberjati (Simping) yang merupakan tempat pendharmaan raja Majapahit Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang memerintah dari tahun 1293-1309 M, dan di bagian atas relief di Penanggungan LXVII. Dalam kesenian Hindhu-Buddha Burung Merak dikenal sebagai binatang kendaraan dewa perang Skanda atau Kartikeya, putera Siwa dan Parwati.

Dalam kesenian Cina Burung Merak tersebut juga popular sebagai salah satu ragam hias, dan barang kali dalam gayanya yang khas ikut mempengaruhi seni rupa di Indonesia pada periode Islam Peralihan. Hal ini dapat dilihat pada hiasan hasil seni batik dari Pekalongan dan Lasem. Biasanya burung merak digambarkan dengan ekor dan sayap yang mengembang. Burung lain yang banyak dijumpai dalam ornamentik ialah Burung Phoenix, ragam hias ini mungkin berasal dari pengaruh kesenian Cina yang berkembang di Indonesia di Daerah pusat perdagangan pantai Utara Jawa Timur. Burung Phoenix dapat dikenal dari ekornya yang panjang yang digambarkan berombak, dan kepalanya berjambul, bulu-bulu ekornya sering juga dihiasi dengan “mata”, seperti halnya dengan bulu Merak, hingga kedua burung tersebut tidak selalu dapat dibedakan (Mustopo, 2001: 205-206).
Relief Merak di Komplek Makam Sendang Duwur terutama di bagian tubuh Pintu Gerbang E sepintas lalu menyerupai Burung Phoenix, jenis burung yang juga dikenal secara luas, di kalangan Sufi disebut “Simurgh”, dalam mitologinya burung ini bertempat tinggal di Gunung Qaf. Burung ini melambangkan angina yang mengandung kekuatan dahsyat, dan secara spiritual Allah membuka jasad material dunia ini. Burung tersebut adalah lambing ruh wali atau wali sendiri. Menurut Arnstrong, Burung Simurgh merupakan burung legendaris yang bernama tanpa bentuk, Simurgh kadang-kadang melukiskan Al-Halab, debu primodial yang dengannya segala sesuatu terjadi. Bila tafsiran ini benar dan dapat diterima maka pemilihan motif burung tersebut dalam konteks makam, merupakan suatu yang terkait dengan roh sang Wali sesui dengan ajaran Sufi. Dengan kata lain kesejajaran antara lambang Merak dengan Simurgh merupakan unsure baru dalam ragam hias Islam Peralihan (Mustopo,2001-206).

D. NAGA
naga atau ular sudah dikenal sejak masa prasejarah dan dalam kesenian Hindhu-Budhha yang dianggap lambang kesucian serta lambang keabadian. Motif tersebut banyak menghiasi bangunan suci Hindhu-Budhha, diantaranya teras pendapa dan Candi Naga di Panataran. Hal ini terkait dengan erat dengan Gunung Meru, serta air keabadian. Lebih jauh lagi berkaitan dengan tempat meditasi para raja untuk menyatu dengan dewa penjelmaannya. Dalam kerangka ini cukup menarik karena di Komplek Makam Sendang Duwur terdapat ragam hias Naga atau ular yang berada di dinding kiri halaman ke II yang menghadap ke timur. Pahatannya yaitu dua ekor Naga yang ekornya terjalin dalam bentuk relief. Dalam Pintu Gerbang E dan B yang berbentuk paduraksa terdapat ragam hias Kepala Kala yang disambung dengan kepala rusa, perpaduan hiasan disebut Kala-muga. Ragam hias Naga atau ular merupakan lambang dari tangga pelangi untuk menuju ke alam atas. Hal ini menunjukkan bukti adanya kesinambungan dengan tradisi seni hias pra-Islam.

E. GAJAH
Gajah merupakan binatang yang mempunyai badan besar dan dapat dipakai kendaraan dalam perang. Selain itu gajah mempunyai kekuatan besar, maka ragam hias gajah dipandang sebagai lambang keberanian dan kekuatan. Gajah sebagai kendaraan, maka apabila dihubungkan dengan kematian ragam hias gajah digunakan sebagai lambang penghantar roh orang yang telah meninggal dan dilihat dari fisiknya gajah juga digunakan sebagai lambang kesuburan. Di Indonesia masa lampau gajah hanya boleh dimiliki oleh raja dan pada saat itu hanya raja dan orang yang terpenting yang boleh menaikinya sehingga gajah melambangkan kebesaran. Dalam cerita pewayangan negeri Hastinapura berarti Negeri gajah yang dimaksud adalah negeri besar.

Kemampuan seniman atau pemahat dalam menggayakan kepala gajah sangat menonjol sehingga keindahan lebih tampak dari pada sifat menyeramkan. Di Bali, untuk menghias bangunan penempatan karang gajah biasanya pada bidang sudut atau ukiran perabot rumah tangga dan perhiasan (Hamzuri, 2000: 126-127). Bila menilik dari pendapat diatas maka ragam hias di Pintu Gerbang E dan B di Komplek Makam Sendang Duwur yang berada di bangunan bagian atas disudut kiri yang berhiaskan kepala gajah dapat diduga dijadikan wahana roh yang meninggal di Komplek Makam Sendang Duwur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU

KEBERLANGSUNGAN

Sedekah(Bisa Menunda Kematian)
KLCK aja ICON dibawah untuk Baca berita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...