Laman

Senin, 10 Februari 2014

Sejarah Perjuangan Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu dan Kanjeng Sunan Drajat

Walisongo 

Tapak Jejak "SUNAN DRAJAT"  (Walisongo Periode Ketiga)

Tapak Jejak "WALISONGO"  (Walisongo Periode Ketiga)

Sejarah Perjuangan Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu dan Kanjeng Sunan Drajat

Al kisah diceritakan, pada tahun 1440-an ada seorang pelaut dari banjar yang sudah memeluk agama Islam tengah melakukan pelayaran di laut Jawa, persisi di utara desa Banjaranyar. Kapal yang tengah berlayar itu tertimpa musibah sehungga karam di lautan. Sedangkan mbah Banjar terdampar di tepian pantai desa Banjaranyar yang pada waktu itu masih berbnama kampong njelaq, mbah Banjar kemudian ditolong oleh mbah Mayang Madu, seorang penguasa di kampong njelaq yang berasal dari Solo dan merupakan penganut ajaran agama Hindu.
Pada saat itu, keadaan perkehidupan masyarkat njelaqmasih dipenuhi dengan berbagai macam kepercayaan terhadapkekuatan ghaib dan roh-roh leluhur, animisme dan dinanisme, adapun agama yang sedang berkuasa di pulau Jawa pada masa itu adalah agama Hindu dan Budha.

Melihat kedaan dan situasi masyarakat yang sudah terseret kedalam lembah kesesatan dan kemusyrikan ini, beliau terketuk hatinya untuk berusaha menyebarkan ajaran agama yang haq, yakni dienul Islam demi li ila kalimatillah. Akhirnya beliau menetap di kampung Njelaq untuk memulai tugas sucinya. Pertama-tama beliau mengajak Mbah Mayang Madu agar mau mengikuti jejaknya. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan beliau berda’wah kepada masyarakat kampong njelaq dan sekitarnya
Berkat keteguhan, kesabaran dan ketekunan beliau dalam berjuang akhirnya beliau berhasil meng-Islamkan Mbah Mayang Madu. Dengan masuk Islamnya Mbah Mayang Madu maka hal ini mempunyai arti yang sangat penting bagi proses penyebaran Islam selanjutnya, karena mbah Mayang Madulah yang menyokong dan memberi dukungan penuh kepada baliau serta tidak segan-segan membantu mbah Banjar demi tercapainya tujuan yang mulia itu. Untung mengenang jasa-jasa di dalam merintis jalan dalam menyebarkan Islam di daerah tersebut, maka desa ini yang asalnya bernama kampong njelaq, diganti menjadi desa Banjaranyar, dengan demikian bertambah luaslah wilayah penyebaran Islam.
Selanjutnya, beliau bersama Mbah Mayang Madu saling bahu-membahu di dalam memperjuangkan misi sucinya, yakini menyebarkan ajaran Illahi yang agung demi tegaknya kalimat tauhid “laa ilaha illallah”. Dengan berbagai macam rintangan mereka hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan semangat perjuangan.
Pada suatu saat, Mbah Banjar berunding dengan Mbah Mayang Madu untuk mewujudkan keinginan beliau yaitu mendirikan tempat pondokan di desa Banjaranyar, namunagaknya hal tersebut menemui kendala dikarenakan tidak adanya tenaga pengajar yang ahli dan menguasai bidang tersebut. Akhirnya Mbah Banjar bersama dengan Mbah Mayang Madu sowan menghadap kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya. Di sana beliau menyampaikan keinginannya untuk nmendirikan pondok pesantren dan sekaligus mohon bantuan tenaga pengajar yang ahli dibidang ilmu-ilmu Diniyah. Kanjeng Sunan Ampel sangat senang mendengar tujuan beliau dan dengan senang hati beliau mengabulkan permohonan dan berjanji akan menugaskan putranya, R. Qosim untuk pergi ke Banjaranyar agar dapat membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu di tempat tersebut.
Di situlah R. Qosim mulai merintis pondok, tempat pendidikan Islam, sebagai bukti nyata adalah peninggalan beliau yang berupa sumur, tempat wudlu’ (padasan)dan musholla yang dibangun di atas pondasi bekas langgar dimana R. Qosim mangajar yang sampai sekarang masih ada dan dapat di manfaatkan.
R. Qosim atau Kanjeng Sunan Drajat dikenal sebagai seorang ulama’ yang berjiwa sosial tinggi, perjuangan beliau lebih dititik beratkan pada da’wah bil hal dan usaha-usahanya untuk meninggalkan ksejahteraan social dan upaya mengentas kemiskinan seperti menyantuni anak yatim, faqir miskin, menolong orang yang lemah dan sebagainya. Diantara ajaraajaran beliau yang terkenal adalah :
  • Wenehono teken marang wong kang wutho
  • Wenehono mangan marang wong kang luwe
  • Wenehono busono marang wong kang wudho
  • Wenehono iyupan marang wong kang kudanan
Maksud dari paada ajaran-ajaran tersebut, adalah antara lain bahwa manusia sebagai makhluq yang berakal budi dianjurkan :
  • Memberikan ilmu agar orang menjadi pandai
  • Berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang miskin
  • Mengajari kesusilaan terhadap orang yang tidak punya rasa malu
  • Memberikan perlindungan kepada orang yang lemah/menderita
hingga saat ini ajaran-ajaran beliau tersebut sama sekali tiada bertentangan dengan keadaan, situasi dan kondisi alam pemikiran masyarakat pada umumnya, hal ini secara jelas menunjukan bahwa R. Qosim merupakan sebuah figur ulama yang berpandangan luas dan jauh ke depan, berkepribadian penyantun dan welas asih serta ucapannya penuh dengan nilai hikmah yang tinggi.
Dalam usahanya untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, R. Qosim juga menggunakan pendekatan seni budaya. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode kesenian guna menarik perhatian masyarakat sekitar yang pada waktu itu masih beragama Hindhu-Budha. Sehingga karena itulah beliau menciptakan tembang pangkur dan menggunakan alunan suara gamelan atau gending untuk mengumpulkan masa di masjid yang telah didirikan oleh Mbah Mayang Madu tersebut dinamakan masjid Nggendingan. Demikian luwesnya R. Qosim dalam memfungsikan masjid benar-benar mengena di masyarakat.
Adapun cara R. Qosim untuk menarik minat masyarakat agar mau mempelajari dan mendalami ilmu diniyah, maka beliau menjanjikan bagi siapa saja yang mau belajar kepadanya bahwa ia akan mempaeroleh derajat yang luhur. Maka dari itu tempat di mana beliau mengajar ilmu agama tersebut dinamakan dengan rumah Drajat.
Tidak beberapa lama kemudian Mbah Banjar berpulang ke Rahmatullah. Beliau dimakamkan di desa Banjaranyar bagian utara.
Beberapa tahun kemudian, Mbah Mayang Madu pun wafat, beliau dimakamkan di belakang masjid Jelaq dan mendapat julukan Sunan Jelaq.
Sepeninggalan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu, maka tinggallah Kanjeng Sunan Drajat yang melanjutkan usaha-usaha yang sebelumnya dirintis oleh beliau bersama almarhum.
Dalam perjuangannya beliau dibantu oleh para santrinya yang menjadi pembantu setia dalam mengemban misi. Suka duka perjuangan silih berganti mewarnai kehidupan Kanjeng Sunan Drajat dan para santrinya di Banjaranyar. Masa-masa sulit beliau jalani dengan tabah dan tawakal. Saegala macam rintangan dan halangan yang dating silih berganti dari orang-orang yang iri dan dengki serta usaha-usaha yang dilakukan untuk menjegal perjuangan, beliau hadapi dengan tenang.
Pernah suatu hari beliau dilempari batu oleh penduduk desa setempat ketika sedang berda’wah, namun beliau tetap bersiteguh untuk berjuang di jalan Allah swt. Dan untuk mengenang peristiwa tersebut, maka kampung tersebut dinamakan kampung Mbandilan yang sekarang telah menjadi areal pondok pesantren Sunan Drajat pula.
Waktupun terus berlalu, kian hari perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sikap permusuhan yang dating dari para penduduk berubah menjadi kecintaan yang dalam. Para pemuda banyak yang berdatangan dari daerah-daerah ke pondok pesantren guna menimba ilmu agama kepada beliau. Mereka itulah yang kemudian dikader menjadi para da’I dan mubaligh yang tangguh, tabah dan berkompeten lalu disebarkan kepelosok negeri atau kembali ke kampung halamannya sambil membawa misi Islam.
Keberhasilan perjuangan Kanjng Sunan Drajat di Banjaranyar tidaklah membuat beliau menjadi puas, lalu duduk berpangku tangan sambil berongkang-ongkang kaki menikmati hasil perjuangannya, akan tetapi hal tersebut justru mendorong beliau untuk lebih giat dalam mengembangkan agama Islam tempat lain. Karena itulah, beliau membangun sebuah masjid di kamoung sentoro yang letaknya persis di sebelah timur komplek makam Sunan Drajat, seabagai tempat beliau memberikan pengajian mengajar dan emndidik para santrinya. Desa di mana beliau mendirikan masjid tersebut akhirnya diberi nama desa Drajat, adapun masjid yang telah dibangun Kanjeng sunan Drajat sendiri pada tahun 1424 Jawa atau 1502 M. kini telah musnah akibat gempa bumi yang pernah terjadi dua ratus tahun yang silam, namun sebagai gantinya, di tempat tersebut kini telah didirikan masjid yang direnovasi sebagaiman bentuk aslinya.
Pada masa Kanjeng Sunan Drajat inilah desa Banjaranyar, Drajat dan sekitarnya menjadi sentral pendidikan dan aktifitas keagamaan serta menjadi mercusuar penyebaran Islam di daerah pesisir pantai utara khususnya di daerah Paciran. Akhirnya beliau wafat pada tanggal 25 Sya’ban dan dimakamkan di belakang masjid tempat beliau mengajar sebagaimana yang telah kita saksikan saat ini.
Dalam kehidupan berumah tangga. Kanjeng Sunan Drajat mempunyai dua istri beliau yang pertama adlah putrid Mbah Mayang Maduyang makamnya terletak di belakanhg masjid Jelaq, Banjaranyar dank arena itulah setelah Mbah Mayang Madu meninggal. Kanjeng Sunan Drajat mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu. Adapun istri beliau yang kedua adalah seorang putri Kediri yang bernama Retno Condro Sekar Putri Adipati Surya dilaga, beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Kanjeng Sunan Drajat. Dari kedua istri beliau inilah Kanjeng Sunan Drajat mendapat keturunan yang akhirnya berkembang dalam suatu keluarga besar yang tersebar hingga saat ini.
Sepeninggalan Kanjeng Sunan Drajat. Tongkat estafet perjuangan diteruskan oleh para keturunan beliau. Namun lambat laun, perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami kemunduran seiring dengan perjalananwaktu dan akhirnya lenyap tanpa bekas, yang tertinggal hanya pondasi bekas musholla dan sumur yang tertimbun tanah sebagai saksi bisu terhadap sejarah yang pernah tergores di atasnya. Keadaan tatanan kehidupan masyarakat pada waktu itu benar-benar memprihatinkan. Tempat di masa Islam pertama kali berkembang, saat itu telah menjadi pusat kegiatan kemaksiatan dan kemusyrikan. Di dersa Banjaranyar muncullah beberapa tempat pelacuran, gedung-gedung pertunjukan yang menjadi ajang kemungkarang, munculnya beberapa germo dan Bandar judi nyang terkenal di daerah pesisir utara pada masa itu. Bahkan tanah bekas pondok pesantren yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Drajat dijadikan sebagai tempat pemujaan. Namun kejadian-kejadian tersebut segera berakhir setelah di tanah bekas pondok tersebut didirikan kembali pondok pesantren yang bertujuan untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh Wali songo.
Pada tahunn 1977, berdirilah “pondok pesantren Sunan Drajat” dengan pengasuh tunggal serta generasi muda, beliau inilah sebagai penerus dan pembangkit tenggelamnya sejarah dan penyebar Islam.
Siapakah beliau tersebut? Tidak lain adalah Prof. DR. KH. Abdul Ghofur. Dengan malang melintang serta usaha yang tak kunjung padam, sehingga saat ini perkembangan pondok pesantren Sunan Drajat semakin mencuat dan maju sebagaiman tuntunan zaman. Perkembangan tersebut sengaja tidak kami muat, agar pembaca melihat sendiri dari dekat.
Demikianlah sekilas hikayat sejarah masuknya agama Islam dan perkebangannya di pesisir pantai utara kabupaten Lamongan khususnya di wilayah Paciran yang tidak lepas kaitannya dari perjuangan dan jasa Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu dan Wali songo, dalam hal ini adalah Kanjeng Sunan Drajat atau Sunan Mayang Madu. Karena itulah untuk mengenang jasa-jasa beliau semua, maka di setiap tanggal 23-24 Sya’ban pondok pesantren mengadakan acar Haul akbar yang bersamaan dengan acara haulnya Mbah Martokan, ayahanda Romo K.H. Abdul Ghofur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU