Laman

Rabu, 12 Februari 2014

PEREMPUAN DAN AJARAN PERENIALIS DALAM " SERAT WULANG PUTRI "

Khasanah Jawa 

SÊRAT WULANG DALÊM INGKANG SINUHUN KANGJÊNG SUSUHUNAN PAKUBUWANA KAPING SAKAWAN

PEREMPUAN DAN AJARAN PERENIALIS DALAM 
" SERAT WULANG PUTRI "
Serat Wulang Putri (selanjutnya disingkat SWP) merupakan judul dari sebuah manuskrip yang  ditulis oleh Paku Buwono IV dalam aksara dan bahasa Jawa pada 4281 saka atau 1902 M. 

Ia menguraikan tentang ajaran moral atau etika yang patut dilakukan oleh wanita khususnya wanita dari kalangan bangsawan.  Di lingkungan  keraton, pendidikan etika mendapat prioritas utama di samping unsur pendidikan lainnya. 

Etika adalah ilmu yang membahas tentang morali tas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas (Bertens, 2002:15). Etika sebagai satu ajaran moralitas yang memberi arah bagaimana  sesungguhnya  hidup  yang religius sesuai dengan tuntunan agama dan norma sosial. Mulia tidaknya hidup seorang wanita tergantung pada moralnya.

Didasarkan alasan itulah PB IV men- gonstruksi ajaran etika sesuai dengan alam pikiran orang Jawa, yaitu menekankan ke- seimbangan, hidup harmoni baik bersama alam maupun sesama manusia. Membaca sama  halnya  dengan  mengisi  hati,  pikiran dan perasaan pembaca wanita dalam upayanya mencari gambaran hidup yang menyeluruh dalam membentuk frame of reference and since of bilongingness (Kohl- berg, 1984) sebagai wanita Jawa yang uta- ma (baca wanito utomo).

SPW berbasis kosmologi Jawa menekankan pada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Mengingat kebutuhan manusia san- gat kompleks,  tidak hanya dipuaskan  oleh banyaknya fasilitas kebendaan semata-mata melainkan perlu juga fasilitas  batiniah. Untuk memenuhi keduanya, dibutuhkan pendidikan olah rasa, dengan kata lain, mengasah kepekaan guna mencapai keseimbangan dalam hidup. Lebih lebih zaman sekarang, dunia materi membanjiri kehidupan kita, kalau tidak peka dapat  menggiring sikap hidup wanita menjadi hedonis. Perilaku wa- nita hedonis punya kecenderungan menga- baikan nilai keagamaan, etika, dan lebih menghamba pada nilai materialisme.

Pada masa mendatang peran wanita semakin berat karena bebannya bukan hanya sebagai ibu, sebagai istri pendamping suami, tuntutan kualitas hidup wanita untuk menjadi diri sendiri agaknya memunculkan persoalan tersendiri. Apalagi, sekarang ini, dengan munculnya gerakan feminisme Ba- rat telah menginspirasi sebagian wanita In- donesia untuk melakukan gerakan dekon- struksi terhadap nilai tradisional yang sela- ma ini dianggap mapan.   Gerakannya ber- dampak pada bergesernya nilai kewanitaan secara ekstrem, yaitu mereka beramai-ramai menggugat peran domestik, mengabaikan norma kewanitaan tradisional yang sebe- narnya adiluhung untuk selanjutnya men- gambil nilai-nilai kontemporer yang cende- rung profan. Jika pikiran dan mental demi- kian dibiarkan, lambat laun para wanita Ja- wa khususnya, dan wanita Indonesia umumnya,  dimungkinkan  akan  tercerabut dari norma atau etika kulturalnya yang ber- sumber pada warisan budaya Jawa yang is- tilah sekarang dikenal dengan nama warisan nilai sejarah.

SWP ditulis sekian puluh abad yang lalu, awal mulanya, diperuntukkan bagi wani- ta bangsawan Jawa. Namun, seiring dengan pudarnya kerajaan, dimungkinkan teks ter- sebut dibaca oleh wanita pada umumnya. Perlu dicermati bahwa nilai-nilai ajarannya pun ternyata bersifat universal dan masih relevan (up to date) bagi wanita masa kini. SWP banyak versinya namun tulisan ini sengaja memilih dari sumber PB IV, koleksi perpustakaan Sono Budaya, Yogyakarta No. Kol: SK.20, tulisan tangan, beraksara dan berbahasa Jawa, berbentuk tembang.

TEKS PENDIDIKAN
Tercatat dalam kamus Mardiwarsito (1980) kata wulang berarti mengsebutajar atau mendidik.  
Makna SWP merupakan se- buah referensi yang mengupas tentang etika dan moral kewanitaan. Keberadaan teks ter- sebut pada awalnya digunakan sebagai refe- rensi bagi para putri bangsawan yang ber- kepentingan dengan pengembangan ke- pribadian. Ketika seorang wanita mencari tahu soal  etika  (moral  sense),  SWP dapat dipakai sebagai acuan karena di dalamnya kaya akan ajaran moral lengkap dengan contoh-contohnya.  Caranya, yaitu teks ter- sebut ditembangkan. Nembang mempunyai peranan rangkap, yaitu sebagai moral sense dan sebagai sense of duty, yaitu mendorong manusia agar selalu memilih yang baik dan menjauhi yang jahat (Newman, 1947).

Dalam konteks tersebut, nembang tidak ubahnya semacam perjalanan religi dalam rangka mencari seimbangan  hidup menuju kemuliaan hidup. Demikian pula, ketika seorang   putri   bangsawan   nembang   teks SWP, sama halnya dengan belajar untuk meraih kemuliaan hidup. Menurut Sedya- wati, (2006:223), seni nembang digolong- kan dalam kesenian kelas atas (bangsawan). 

Kesenian tersebut dipandu ke arah me- ngembangkan kaidah-kaidah, baik spiritual, moral maupun estetis. Menanamkan nilai moral terhadap sang putri tidak cukup hanya nasihat, contoh teladan orang tua melainkan juga memerlukan referensi berupa buku-buku  yang  dapat  dibaca  setiap  saat dan berulang-ulang. Maka dari itu, jika seorang  wanita  bangsawan  menginginkan  hidup mulia, dianjurkan untuk belajar nembang. 

Belajar nembang merupakan sasaran antara menuju pendidikan yang sebenarnya, yaitu proses belajar mengasah pikiran, mengolah emosi (nafsu) mengolah roso dalam bertatakrama, bersosialisasi dengan lingku- ngan sosial yang semuanya itu secara rinci terdapat dalam SWP.

Adanya teks SWP sebagai bukti perha- tian PB IV terhadap eksistensi wanita di tengah-tengah   masyarakat keraton.   Pada saat itu, kedudukan dan peran wanita sudah diatur sesuai dengan nilai budaya Jawa yang menempatkan  wanita sebagai tiyang wing- king (subordinat) dan kedudukan tersebut tetap mulia berdampingan dengan laki-laki. Pembangunan moral generasi muda tergantung  pula  pada  moral  wanita sebagai  ibu dan pendidik. 

Ibulah yang kali pertama memberi sentuhan pendidikan di samping laki-laki dan ibu pulalah yang dapat menen- tukan anak masuk neraka atau surga. Seba- gaimana hadis Nabi Muhammad saw., seorang ibu diakui lebih besar pengaruhnya daripada sang ayah. Dengan harapan, wanita sebagai pendidik utama bagi putra-putrinya dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali untuk merasa, berpikir dan berbicara. Jadi wanita merupakan pemegang kunci segala bentuk pendidikan terutama pendidikan ahlak generasi penerus.

CORAK PENDIDIKAN

Di kalangan keraton, sistem pendidikan top down lebih ditekankan.  
Posisi sebagai orang tua yang memberi nasihat sangat di- tonjolkan. Melalui sarana SWP, sang putri mendidik diri terus-menerus dengan cara belajar nembang.  Hanya dengan cara begitu para putri atau wanita bangsawan diharapkan   menjadi   seorang   putri   yang   bukan hanya pandai secara lahiriah, melainkan juga pandai secara batiniah. 

Oleh karena itu, pendidikan diberikan tidak hanya bertumpu pada pendidikan lahir saja juga dilengkapi dengan pendidikan  batiniah. Keduanya se- cara bersama-sama mengisi pikiran, relung hati pembacanya dalam upaya membantu manusia menjadi manusia dengan kepriba- dian yang utuh (fully functioning person). Jika hal itu terbangun  sejak dini, niscaya, tercipta keseimbangan (balance) dalam diri manusia dan pada akhirnya dapat mencipta- kan kebahagiaan dalam dirinya.

Dalam hal ini, peran orang tua tidaklah kecil dalam memperkenalkan nilai moral terhadap anak. Justru norma-norma dari ke- luargalah yang nantinya menjadi dasar ber- pikir dan bertindak dalam bersosialisasi. Konstruksi   pendidikan   diproses   melalui suatu pranata sosial yang bernama perkawinan. 

Diikat oleh satuan unit masyarakat, yakni rumah tangga yang pada perkembangan selanjutnya merupakan satuan lingkun- gan yang paling primer dan fundamental dalam pembentukan kepribadian anak. Dari situlah kali  pertama  anak-anak  menyerap dan  mengenal  norma  sosial,  internalisasi pada norma etika.

Walaupun wanita Jawa dituntut untuk sabar, legawa, dan patuh, namun juga dituntut   mencitrakan kecerdasan, kewibawaan dan berahlaqulkarimah.  Kecerdasan  seorang wanita bangsawan salah satunya di- tampakkan pada keahliannya dalam menembang.  Dalam belajar nembang, seorang putri dirangsang untuk belajar   sendiri, self directing process.  Sambil nembang mereka mengkaji nilai etika yang ada di dalamnya. Semua itu dibutuhkan sebagai upaya mem- bentuk pribadi yang sesuai dengan tuntutan nilai keraton yang diharapkan menampilkan kehalusan,  kesucian,  kecantikan  (Mulder,1980;Handayani  dkk,  2004). 

Kehormatan dan kewibawaan seorang raja dipengaruhi pula oleh perilaku putra-putrinya.
Bagi orang Jawa, hidup bukan sekadar menumpuk material tetapi perlu juga diikuti dengan membenahi moril. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang diberikan bersifat normatif.

CORAK AJARAN
Ajaran  yang  terkandung  dalam  SPW
sebagai berikut.

Religius

Pentingnya agama sebagai pedoman hi- dup dijelaskan dengan tegas agar jangan sekali-kali  melalaikannya. Agama  mampu menjadikan manusia hidup mulia dan terhormat.     
Sehubungan  dengan  itu, dasar- dasar pendidikan  agama diberikan  sejak dini, termasuk memberikan   pemahaman akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Perhatikan kutipan di bawah ini!

Iya  manungsa sangagung /// Luwih maning dena kardi ///Solah bawa narendra /// Tan datan sepi pambudi /// Gyannya agampil agama 
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
manusia menjadi  mulia  bilamana punya  pekerjaan perilaku sebagai raja  tak  sepi dari  kebaikan  Jangan lalaikan agama

Dari fragmen tersebut PB IV mengan- jurkan kepada putra-putrinya agar tidak melalaikan  agama.  
Sebagai  orang  Jawa, pandangan  hidup  hendaknya  berbasis  agama agar hidupnya menjadi religius. Religiusitas orang Jawa tampak  dalam  aktivitas  kesehariannnya, seperti kegemarannnya menyelenggarakan slametan, istighosah, dan haul yang semuanya itu menunjukkan   bahwa hidup  dan relasi  antar penduduk dalam bidang ekonomi, politik,   dan kebudayaan berkaitan   erat dengan   pandangan keagamaan  mereka (Geertz, 1960). 

Mereka yang sealiran agama mempunyai relasi ekonomis, politis dan kebudayaan dengan kebudayaan mereka. Tidak mengherankan jika setiap tindakan orang jawa mempunyai konsekuensi agamis.

Menurut teks tersebut, anak seorang raja tetap dianjurkan untuk bekerja sebab bekerja menjadikan orang mulia dan terhormat di hadapan sesamanya.  

Bekerja merupakan cara dan sarana mengekspresikan kemauan dan kemampuan diri sebagai upaya men- gembangkan  diri menjadi diri sendiri agar memperoleh kemuliaan. 

Manusia tidak dapat meraih kemuliaan derajat jika tidak berbuat sesuatu untuk dirinya (bekerja). 
Sebenarnyalah, bekerja bukan sekadar memberi nafkah seseorang melainkan lebih dari itu. 

Bekerja adalah sebuah proses pengaktualisasian diri secara optimal dalam upaya mengangkat derajad kemanu-siannya. Bekerja juga berlaku bagi raja dan keluarganya. Meskipun diberi kelimpahan harta, tetap diajurkan untuk bekerja. 

Setiap tingkah polahnya menjadi sorotan rakyatnya. Oleh karena itu, seorang raja harus mampu  bekerja secara benar dan jujur agar meraih kemuliaan. Untuk hidup mulia, seorang wanita haruslah  pandai menjaga diri, mengatur tata berbusana yang sopan dan dianjurkan untuk belajar syariat. Hal demikian juga terjadi pada Serat Wulangreh (1986) sebagai sumber tuntunan hidup.

Pemahaman  agama secara benar dapat menuntun hidup wanita lebih mulia. Termasuk memahami kodrat (eling) sebagai wani- ta yang secara alamiah berbeda dengan laki- laki. Jika wanita bisa menerimanya dengan ikhlas, ketika menjalani peran sosialnya pun akan ikhlas. Meskipun dalam kultur Jawa, kedudukan wanita ditempatkan pada posisi sebagai tiyang wingking ,garwo itu   semua harus dipahami  sebagai  peran  yang saling melengkapi di samping laki-laki. Hal itu harus dijalani dengan legawa, sebagaimana tercantum dalam teks berikut ini:

Satuhune sira durung /// Terang lir hyang murbeng Pasti /// Samya sendyaning ngati ///  Tata titining cumandhang  /// Angadhang takdiring Widi                                                            
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :

sesungguhnya  jika engkau Terang  belum paham akan Tuhan  hendaknya kalian berusaha bersiap sedia untuk menyambut dan menanti takdir Allah

Dengan memahami isi teks tersebut, paling tidak akan mencerahkan batin sang putri bahwa perbedaan jenis kelamin menunjukkan  kekuasaan  Tuhan,  dan  hendaknya diterima sebagai tanda kemahakuasaan Tuhan. Melalui SWP, PBIV menjelaskan aja- ran moral yang kemudian ditembangkan untuk menumbuhkan keyakinan religiositas

dalam benak sang putri supaya terbina dan terciptanya suasana tata tentrem, cinta kasih di samping laki-laki. Walau diakui budaya Jawa  memberlakukan  sistem  nilai  patriarkal, itu artinya memberi keleluasaan gerak dan kesempatan bagi laki-laki di bandingan perempuan. 

Namun, perbedaan tersebut hendaknya dipahami sebagai rahmatanlilalamin. Perbedaan peran sosial dijadikan se- bagai pembagian peran yang disesuaikan dengan kodrat. Bahkan, perempuan tidak pernah lepas dari kodratnya. Jika hal itu di- yakini benar akan berpengaruh terhadap keseimbangan dan harmoni kehidupan.

Rasa Malu
PB IV mendasari kejiwaan para putri bangsawan untuk memiliki  perasaan malu. 
Menanamkan rasa malu dalam diri seseorang tidak kalah pentingnya dengan menanamkan nilai-nilai moral lainnya. Malu merupakan dasar kejiwaan yang harus dimiliki oleh manusia pada umumnya dan ditanamkan sejak kanak-kanak untuk melengkapi daya kepekaannnya terhadap situasi sosial (lihat Simuh, 2002) karena hal itu me- nyangkut  kesadaran  kita  akan  orang  lain dan  apa yang mereka pikirkan  tentang kita. 

Perhatikan penggalan teks berikut!
Tinindaken lawan patut ///  Pinantes pantes tiniti /// Timbalan isinira /// Nagara Surakarta /// Tan kena gelinukuhan /// Angkuhing ing tyas anglakoni
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
dilakukan dengan yang layak dan sepantasnya diperhatikan  untuk mengetahui  negara Surakarta  tak boleh menggunjing dan berlaku sombong

Dalam teks tersebut, disinggung mengenai   beban   wanita sebagai keluarga keraton yang   harus  tampil  anggun,  menawan dan berakhlaqulrimah serta  menjaga kewibawaan sang raja di mata masyarakat. 

Itu semua dapat dilakukan jika seorang putri mempunyai rasa malu (isin). Dapat di bayangkan jika manusia dan terlebih wanita tidak memiliki rasa malu maka sangat mungkin hidupnya menjadi nista, dan merugikan orang lain termasuk kewibawaan sang  raja.

Malu merupakan dasar kejiwaan yang harus dimiliki setiap manusia. Mengembangkan  rasa malu merupakan  unsur  penting dalam pengembangan kepribadian wanita khususnya. 
Perasaan malu (isin) dapat muncul berkaitan dengan suasana sosial. Menurut Suseno (1999:64), orang Jawa me- rasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap  hormat  yang  tepat  terhadap  orang yang pantas dihormati. Menurut Lanur (1984),  menanamkan  rasa malu sama halnya dengan mendidik seseorang untuk memahami siapa-siapa sebenarnya kita, mau menjadi apa dan mau menjadi wanita macam apakah kita seharusnya.

Eling
Konsep eling lahir dari seorang putra Jawa yang berusaha memberi jalan untuk mengenali diri sendiri   guna   memahami orang lain. 

Dalam budaya Jawa, eling me- rupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri, kekuatan pikiran yang diikuti membang- kitkan  kekuatan  batiniah.  Eling  menekan- kan  penguasaan terhadap diri sendiri dalam merespons sesuatu yang bermakna. Penguasaan  diri  mempunyai  kaitan  logis  dengan nilai keseimbangan, orang yang sanggup menguasai dirinya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dalam masyarakat.

Maning sira angadhepi /// Ing rama ibu ta nini  /// Tegese sira nucekna /// Iya sariranireki  /// Dene dennya nglakoni /// Eneng eninga ing kalbu /// Awas eling supata /// Sirna nepsu ta nini /// Anganak ana sih kalawan amirah

jika kau menghadap  ayah ibu, anaku  engkau  hendaknya menyucikan dirimu  dengan cara menjalani  keheningan di kalbu  hendaknya waspada dan ingat dengan menghilangkan napsu  dengan kasih sayang.

Menjadi wanita utama dibutuhkan ke- cerdasan batinah (EQ) di samping kecerda- san intelektual (AQ). Keduanya saling me- lengkapi. Hanya wanita-wanita yang eling yang dapat menempatkan diri. Dengan me- mahami konsep eling diharapkan putri raja mempunyai kepekaan intuitif, ketajaman emosi (to be sensitive to the realit).
Secara konseptual eling dapat disejajar-
kan dengan kesadaran eksistensialisme da- lam filsafat Eksistensialisme atau tao dalam ajaran Taoisme.   Eling    menekankan pen- guasaan terhadap diri dalam merespons se- suatu yang bermakna.  Konsep  penguasaan diri mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan dalam arti orang sanggup menguasai dirinya. Oleh karena itu, manu- sia hendaknya selalu berusaha  eling  untuk menguasai nafsunya demi menciptakan ke- seimbangan  batin,  sehingga  yang  tampak dari luar adalah sikap halus, lemah lembut sebagaimana digariskan dengan jelas dalam SWP.

Sabar
Wanita itu  ......sabar mring panca kayaning / nganti tinampang sukur lan lila / legaweng tyas wusing budi   (terjemahan bebasnya, sabar merupakan suatu kekayaan, bersyukur, rela dan legawa). 

Ketiga unsur, yaitu sabar, legawa, dan lila (pasrah) cukup melekat pada sifat wanita. 
Sifat-sifat tersebut tak lain merupakan bentuk the personal self atau ego yang selanjutnya akan melahirkan beberapa tingkat kesadaran, seperti, sabar, pasrah, dan legawa (Gerungan, 19:2002). 
Sikap sabar harus dilatih dan ditumbuhkan dalam diri dan membutuhkan proses belajar terus menerus. Sifat demikian bukannya sikap pasif, tidak mempunyai inisiatif,  menerima  apa  adanya  atau  menye- rah, melainkan justru menunjukkan sifat ketelitian, kehati-hatian, memasrahkan diri pada Yang Kuasa bahwa jalan hidup seseo- rang sudah diatur-Nya.

Sabar, legawa, dan lila adalah sebuah permainan emosi dalam usaha mengatasi konflik.  Penyabar  bukanlah  bawaan  lahir atau kodrat melainkan harus dipelajari  terus menerus  sepanjang  hayat.  Sikap  semacam itu harus dilatih ditumbuhkan dalam diri.Pada  dasarnya,  secara  kodrat  manusia bukan orang yang sabar sebaliknya cenderung berkonflik. 
Untuk mengatasi  itu, dibutuhkan ketiga unsur tersebut guna meredamnya. Butir-butir nilai yang dijelaskan di atas tentu perlu dipelajari, diusahakan. Hal itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan haruslah dikondisikan baik secara lahiriah maupun batiniah. Seseorang yang mempunyai  sikap sabar akan lebih mudah menciptakan kebahagiaan baik untuk diri- nya sendiri maupun untuk orang lain. Jelas bahwa sabar, legawa dan nrima  berfungsi sebagai orientasi  tidakan.
model baju kebaya modern

RELEVANSINYA DENGAN MODERNISME
Modernisme telah menjauhkan wanita dari akar budayanya,  banyak wanita seka- rang ini secara sadar menanggalkan nilai- nilai kultural yang dianggap sebagai peng- hambat kemodernan. Akibatnya, terjadi distorsi nilai moral, ini dapat dilihat dari mere- baknya perselingkuhan, kawin cerai, tindak kriminal yang dilakukan kaum wanita. Ma- ka, perlu kiranya upaya membenahi, mem- bangkitkan, dan menyosialisasi nilai-nilai lokal untuk membangun identitas kewanitaan.

Nilai moral seperti dijelaskan, sebenar- nya tergolong   universal.  Wanita atau pe- rempuan mana pun jika ingin menjadi wani- ta berbudi pekerti luhur (akhlaqulkarimah) hendaknya menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai di atas dan itu berlaku dari dulu hingga sekarang. Menjadikan wanita reli- gius, eling bersikap  sabar; bukanlah  sikap bawaan lahir atau bukan tumbuh dalam diri sendiri, melainkan harus dilatih, jangan se- gan untuk belajar sepanjang hidup (long live education.)

Tidak  ada  salahnya  jika  wanita  masakini menengok  kembali  nilai-nilai  warisan budaya sendiri dan mempelajarinya. Meng- ingat  situasi sekarang ini,  zaman terus ber- kembang, segala nilai   yang adanya sedikit berubah, akibatnya banyak  wanita modern yang kehilangan orientasi hidup karena adanya perbedaan khusus fisik dan jiwa perempuan  dan  laki-laki  adalah  satu  fakta yang tidak dapat ditolak. 

Mewujudkan persamaan hak tanpa memedulikan karakteristik tersebut bertentangan dengan hukum penciptaan  Tuhan  dan  menyimpang  dari asas keadilan.

KESIMPULAN
Dalam teks tersebut, dipaparkan dengan jelas bahwa seorang wanita ketika menjalani hidup dan kehidupan tidak hanya memiliki kecerdasan akal (AQ), melainkan juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). 
Ketiga unsur nilai tersebut idealnya tidak berjalan sendiri-sendiri, me lainkan menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dalam membentuk kepribadian wanita yang berbudi luhur atau berakhlakulkarimah.

Nilai  etika  yang  terdapat  dalam  SWP masih cukup relevan diamalkan oleh wanita masa kini dan masa mendatang. Walaupun teks tersebut ditulis sekian puluh abad yang lalu, dibaca pada masa kini dengan cara pandang  sekarang  masih tetap up to date. Kiranya, teks tersebut patut dikaji ulang, direnungkan kembali mana-mana nilai yang sudah di makan zaman dan mana yang masih relevan  dengan  masa kini agar wanita Indonesia tidak tercerabut dari nilai budaya adilihungnya.

DAFTAR RUJUKAN
  • Bertens.K,. 2002 Etika, Jakarta, Gramedia. Geertz,  Clifford.  1960.    The  Realigion  of Java, Free Press of Glencoe, Gerungan,   2002.   Psikologi   Sosial,   Bandung, Penerbit Rafika. 
  • Harsono, Handi, 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh , Yogyakarta, Pura Pustaka. Handayani,   Christina   dkk.   2004.   Kuasa
  • Wanita Jawa. Jogyakarta,LkiS.
  • Kohlberg, Lawrence, 1984. The Psychology of Moral Development, San Francis- co,Harper & Row Publisher.
  • Lanur,  Al.  1984.  Rasa  Malu  Cenderung  Berkurang. Basis. XXXVII, Juni 1984
  • Mardiwarsito, 1980. Kamus Jawa Kuna- Indonesia, Ende Flores, Nusa Indah.
  • Mulder, Niels. 1980.   Holy Mother, Mother Dear .Basis, Desember.
  • Newman, John Henry. 1947. An Essay   in Aid of a Grammar of Assent. London, Longmans.
  • Simuh,2002.  Sufisme   Jawa,   Jogyakarta, Bentang Budaya.
  • Suseno, Magnis.1999. Etika Jawa, Jakarta,Pustaka Utama.
  • Sedyawati,Edi. 2006. Budaya Indonesia, Ja- karta. Raja Grafindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU