Majapahit
Wanita Sederhana Gagahkan Majapahit (Gayatri atau Rajapatni)
Wanita Sederhana Gagahkan Majapahit
Setiap daerah pasti memiliki era keemasan, dan setiap era keemasan pasti ada satu bintang yang membuatnya cerah. Sama halnya dengan era keemasan Majapahit, terdapat seorang penentu yang mengambil peran utama di balik kejayaanya.
Kebanyakan orang mengenal Raden Wijaya, Jayanegara, atau bahkan Mahapatih Gajahmada yang turut ambil bagian dalam kesuksesan Majapahit. Namun jika lebih diteliti lagi mereka hanyalah bagian dari kesuksesan itu.
Memang benar, nama-nama kesatria gagah ini sering muncul laksana pahlawan dalam membentuk kejayaan Majapahit. Namun dibalik keperkasaanya, ada sosok wanita lembut yang peranya justru jauh lebih besar karena dialah yang membimbing kesatria besar ini menuju tujuan Majapahit yang mulia.
Wanita yang namanya jarang bahkan tidak pernah sama sekali melintas di telinga kita.
Dialah Gayatri Rajapatni, istri Raden Wijaya, anak dari Kertanegara, ibu dari Ratu Tribhuwana, dan mentor dari Mahapatih Gajahmada. Gayatri, wanita cantik, cerdas, dan penuh kasih dari Tumapel adalah anak Raja Kertanegara, penguasa terakhir Singhasari. Mewarisi kecantikan buyutnya yaitu Kendedes, aura Gayatri selalu terpancar menenangkan dan penuh kecerdasan. Kemahirannya dalam bidang teater, hukum, tata negara, dan ahli strategi menjadikannya orang yang paling suka diajak berunding oleh ayahnya. Salah satu cita-cita sang ayah adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan. Namun hingga wafat, Kertanegara belum mampu mewujudkannya.
Gayatri memegang teguh dalam mewujudkan cita-cita luhur sang ayah ini. Usahanya untuk bertahan hidup disaat Singhasari dikalahkan Kediri dan belajar dari ilmu yang diwariskan sang ayah, nampaknya mampu meluluhkan hati pangeran Wijaya, kakak iparnya.
Raden Wijaya berjanji akan menikahinya ketika kelak ia menjadi raja. Janji seorang pangeran tampan ini ditepati setelah dia berhasil menumpas kerajaan Kediri dan memukul balik passukan Mongol yang menyerang Jawa saat itu. Bertempat di khawasan hutan tarik, yang terkenal dengan buah maja yang pahit, jadilah Wijaya dinobatkan sebagai raja di sana dan dengan segera mempersunting gayatri yang saat itu berumur sekitar 19 tahun.
Cita-cita luhur ayahnya dia utarakan pada suaminya, dan mereka berdua membangun Majapahit dengan pesat. Kebahagiaan mereka nampaknya tidak berlkangsung lama, karena Raden Wijaya wafat di usianya yang masih 46 tahun. Kini giliran putranya, yaitu Jayanegara yang menjadi raja. Dengan tangan besi dan semena-mena, Jayanegara memerintah Majapahit. Tentu pembrontakan adalah buah yang terjadi akibat perbuatannya.
Untungnya masih satu ada hal yang tepat dilakukan oleh Jayanegara, yaitu mengangkat Gajah Mada sebagai panglima perang. Mada yang sangat keras dan sangat cerdas ini, mampu menumpas setiap pembrontakan. Namun bukanya malah surut, pembrontakan malah semakin meluas. Gayatri tidak diam melihat hal ini, dia secara tidak langsung mempersilahkan Gajah Mada untuk mengakhiri nyawa sang raja biadab itu. Setelah Jayanegara meninggal, Tribhuwana ditunjuk menjadi Ratu Majapahit. Dengan bimbingan sang ibu, yakni Gayatri, Tribhuwana mengembalikan Majapahit pada kejayaanya.
Gajah Mada yang hebat memiliki mental yang masih labil. Sebagai Patih, dia sangat keras kepala dan bandel. Maka dengan penuh kesabaran, Gayatri membimbing Mahapatih ini agar selalu berpikir dan menggunakan akal yang disertai perasaan dalam bertindak. Alhasil, Gajah Mada mampu menjadi Mahapatih yang dipercaya dan bahu membahu dengan Ratu Tribhuwana serta Gayatri demi membangun Majapahit.
Ratu Tribhuwana memiliki putra yang bernama Hayam Wuruk. Gayatri berpesan padanya agar kelak Hayam Wuruk harus menjadi raja dan mewarisi sifat kakeknya, yakni Raden Wijaya. Lewat petuah-petuah neneknya ini Hayam Wuruk menjadi Raja yang bijaksana, serta mampu mengembangkan Majapahit menjadi lebih maju. Khususnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan.
Tidak ada gading yang tak retak, hal inilah yang juga terjadi pada Gayatri. Dia wafat di usia ke 76 tanpa sekalipun diketahui oleh masyarakat bahwa dialah yang berperan besar dalam membangun kerajaan Majapahit. Dia tidak mengejar gelar dan penghargaan, karena dalam usia senjanya dia ingin mengabdikan diri sebagai Bhiksuni.
Silsilah Gayatri
Nagarakretagama menyebutkan Raden Wijaya menikahi empat orang putri Kertanagara raja terakhir Singhasari, yaitu Tribhuwana bergelar Tribhuwaneswari, Mahadewi bergelar Narendraduhita, Jayendradewi bergelar Prajnyaparamita, dan Gayatri bergelar Rajapatni. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri dari Melayu bernama Dara Petak bergelar Indreswari.
Dari kelima orang istri tersebut, yang memberikan keturunan hanya Dara Petak dan Gayatri. Dari Dara Petak lahir Jayanagara, sedangkan dari Gayatri lahir Tribhuwanotunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanotunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya.
Peranan Gayatri dalam Perjuangan
Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.
Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwana saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.
Pararaton menyebutkan, Raden Wijaya bersekutu dengan bangsa Tatar (Mongol) untuk dapat mengalahkan Jayakatwang. Konon raja Tatar bersedia membantu Majapahit karena Arya Wiraraja menawarkan Tribhuwana dan Gayatri sebagai hadiah.
Kisah tersebut hanyalah imajinasi pengarang Pararaton saja, karena tujuan utama pengiriman pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese ke tanah Jawa adalah untuk menaklukkan Kertanagara.
Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja ganti menghadapi pasukan Tatar. Dikisahkan dalam Pararaton bahwa, kedua putri siap untuk diserahkan dengan syarat tentara Tatar harus menyembunyikan senjata masing-masing, karena kedua putri tersebut ngeri melihat senjata dan darah. Maka, ketika pasukan Tatar, tanpa senjata, datang menjemput kedua putri, pasukan Raden Wijaya segera membantai mereka.
Gayatri Sepeninggal Jayanagara
Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit sejak tahun 1293. Ia meninggal tahun 1309 dan digantikan putranya, yaitu Jayanagara. Pada tahun 1328 Jayanagara mati dibunuh Ra Tanca.
Menurut Nagarakretagama, sebagai sesepuh keluarga kerajaan yang masih hidup, Gayatri berhak atas takhta. Akan tetapi Gayatri saat itu sudah mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dengan menjadi Bhiksuni (pendeta Buddha). Ia lalu memerintahkan putrinya, yaitu Tribhuwanotunggadewi naik takhta mewakilinya pada tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang tidak punya keturunan. Pada tahun 1350, Tribhuwanotunggadewi turun takhta bersamaan dengan meninggalnya Gayatri.
Nagarakretagama seolah memberitakan kalau takhta Jayanagara diwarisi Gayatri, karena ibu tirinya itu adalah putri Kertanagara. Mengingat Gayatri adalah putri bungsu, kemungkinan saat itu istri-istri Raden Wijaya yang lain sudah meninggal semua dan garis keturunan yang masih tersisa adalah dari Gayatri. Karena Gayatri telah menjadi pendeta, maka pemerintahannya pun diwakili oleh puterinya, Tribhuwanotunggadewi yang diangkat sebagai Rajaputri (Raja perempuan), sebutan untuk membedakan dengan istilah "Ratu" dalam bahasa Jawa yang berarti "penguasa".
Sementara pihak menganggap berita dalam Nagarakretagama tersebut kurang tepat, karena pada tahun 1351 Tribhuwanotunggadewi masih menjadi rajaputri, terbukti dengan ditemukannya prasasti Singasari. Nagarakretagama dan Pararaton juga memberitakan pada tahun 1362 Hayam Wuruk (raja keempat) mengadakan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Gayatri Rajapatni.
Candi Gayatri (Seri Peradapan Kuno)
Candi Gayatri atau bisa juga dikenal dengan Candi Boyolangu terletak di Dukuh Dadapan, Desa Boyolangu Tulungagung Jawa Timur. Ditemukan pada tahun 1914 oleh masyarakat desa setempat. Awalnya bangunan candi Gayatri terkubur di dalam tanah, lalu digali oleh penduduk setempat karena rupanya didalam terdapat bangunan candi beserta patung-patung kuno yang masih terkubur.
Candi Gayatri menurut para ahli sejarah dari BP. Trowulan merupakan candi peninggalan jaman Kerajaan Majapahit. Dibangun ketika era Raja Hayam Wuruk sebagai bentuk penghormatan dan makam Putri Gayatri yang bergelar Rajapatni istri keempat Raja Kertarajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Informasi tentang Candi Gayatri sebagai candi budha diperoleh dari Kitap Negarakertagama, yang menyebutkan terdapat candi budha di wilayah Boyolangu Tulungagung pada tahun 1369-1380 Masehi.
Candi Gayatri. Makam Rajapatni
Mengapa Candi Gayatri merupakan candi budha bukan candi hindu? Padahal Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan dengan dominasi agama hindu. Karena Putri Gayatri sepeninggal Raden Wijaya mengabdikan hidupnya sebagai biksuni hingga akhir hayatnya. Sehingga dalam kompleks bangunan Candi Gayatri ditemukan Candi Budha dengan sikap tangan arca adalah Dharmacakramuda (mengajar). Sayangnya ketika ditemukan patung-patung Budha tersebut dalam keadaan rusak dengan kepala terpenggal. Sekarang sisa dari patung-patung yang ditemukan di areal Candi Gayatri telah disimpan dan diamankan di Museum Daerah Tulungagung.
Candi Gayatri merupakan kompleks percandian yang terdiri dari tiga bangunan perwara. Masing-masing bangunan menghadap ke barat. Bangunan pertama disebut sebagai bangunan induk perwara, karena berukuran lebih besar dibandingkan dua bangunan yang lain. Bangunan ini terletak di tengah-tengah bangunan lainnya.
Bangunan Induk Perwara terdiri dari dua teras berundak yang hanya tinggal kaki bangunannya.Bangunan berbentuk bujur sangkar dengan panjang dan lebar 11, 40 Meter. Sisa ketinggian candi kurang lebih 2,30 Meter.
Bentuk area menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana,dengan duduk diatas singgasana berhias daun teratai.Sikap tangan arca Dharmacakramuda dan bertatah halus dengan gaya Majapahit.Bangunan perwara yang kedua sudah rusak, berada di selatan bangunan induk. Hanya tertinggal bangunan kaki saja. Bangunan perwara ketiga, yang berada di sebelah utara bangunan induk kondisinya sudah runtuh, dengan bentuk bujur sangkar dengan panjang dan lebar 5,80 meter.
Sudah empat kali saya mengunjungi Candi Gayatri, berdasarkan novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Bahwa Candi Gayatri adalah makam putri Gayatri. Ibunda dari Dyah Gitarja (Tribuwanatunggadewi, raja ketiga Majapahit) dan Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa, yang berkuasa di kediri).
Kesan saya ketika pertama kali mengunjungi Candi Gayatri sewaktu saya SD kira-kira 20 tahun yang lalu. Kondisi patung-patung di sekitar Candi sangat mengenaskan. Semua kepala patung terpenggal dan beberapa tangan candi terpotong.Seringkali terjadi kasus pencurian patung disana. Akhirnya patung-patungnya di pindah Di Museum Tulungagung dan museum Trowulan Mojokerto.
Setidaknya dari Candi Gayatri secara kronologis merunut kebelakang waktu yang jauh..jaman dahulu pernah terdapat pusat agama Budha Di Boyolangu Tulungagung.Dan mungkin ada peradapan yang telah maju dan masih terkubur di wilayah Boyolangu. Karena beberapa informan yang saya temui seringkali ketika menggali tanah mereka menemukan bangunan semacam candi, tetapi hal itu dibiarkan saja karena respon aparat kurang tanggap ketika diberikan laporan.
Dan di Wilayah Kabupaten Tulungagung masih banyak terdapat beberapa seri candi yang lain. Tetapi sayangnya kurang ada kajian arkeologi yang komprehensif untuk menguak artefak-artefak tersebut.
Kebanyakan orang mengenal Raden Wijaya, Jayanegara, atau bahkan Mahapatih Gajahmada yang turut ambil bagian dalam kesuksesan Majapahit. Namun jika lebih diteliti lagi mereka hanyalah bagian dari kesuksesan itu.
Memang benar, nama-nama kesatria gagah ini sering muncul laksana pahlawan dalam membentuk kejayaan Majapahit. Namun dibalik keperkasaanya, ada sosok wanita lembut yang peranya justru jauh lebih besar karena dialah yang membimbing kesatria besar ini menuju tujuan Majapahit yang mulia.
Wanita yang namanya jarang bahkan tidak pernah sama sekali melintas di telinga kita.
Dialah Gayatri Rajapatni, istri Raden Wijaya, anak dari Kertanegara, ibu dari Ratu Tribhuwana, dan mentor dari Mahapatih Gajahmada. Gayatri, wanita cantik, cerdas, dan penuh kasih dari Tumapel adalah anak Raja Kertanegara, penguasa terakhir Singhasari. Mewarisi kecantikan buyutnya yaitu Kendedes, aura Gayatri selalu terpancar menenangkan dan penuh kecerdasan. Kemahirannya dalam bidang teater, hukum, tata negara, dan ahli strategi menjadikannya orang yang paling suka diajak berunding oleh ayahnya. Salah satu cita-cita sang ayah adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan. Namun hingga wafat, Kertanegara belum mampu mewujudkannya.
Gayatri memegang teguh dalam mewujudkan cita-cita luhur sang ayah ini. Usahanya untuk bertahan hidup disaat Singhasari dikalahkan Kediri dan belajar dari ilmu yang diwariskan sang ayah, nampaknya mampu meluluhkan hati pangeran Wijaya, kakak iparnya.
Raden Wijaya berjanji akan menikahinya ketika kelak ia menjadi raja. Janji seorang pangeran tampan ini ditepati setelah dia berhasil menumpas kerajaan Kediri dan memukul balik passukan Mongol yang menyerang Jawa saat itu. Bertempat di khawasan hutan tarik, yang terkenal dengan buah maja yang pahit, jadilah Wijaya dinobatkan sebagai raja di sana dan dengan segera mempersunting gayatri yang saat itu berumur sekitar 19 tahun.
Cita-cita luhur ayahnya dia utarakan pada suaminya, dan mereka berdua membangun Majapahit dengan pesat. Kebahagiaan mereka nampaknya tidak berlkangsung lama, karena Raden Wijaya wafat di usianya yang masih 46 tahun. Kini giliran putranya, yaitu Jayanegara yang menjadi raja. Dengan tangan besi dan semena-mena, Jayanegara memerintah Majapahit. Tentu pembrontakan adalah buah yang terjadi akibat perbuatannya.
Untungnya masih satu ada hal yang tepat dilakukan oleh Jayanegara, yaitu mengangkat Gajah Mada sebagai panglima perang. Mada yang sangat keras dan sangat cerdas ini, mampu menumpas setiap pembrontakan. Namun bukanya malah surut, pembrontakan malah semakin meluas. Gayatri tidak diam melihat hal ini, dia secara tidak langsung mempersilahkan Gajah Mada untuk mengakhiri nyawa sang raja biadab itu. Setelah Jayanegara meninggal, Tribhuwana ditunjuk menjadi Ratu Majapahit. Dengan bimbingan sang ibu, yakni Gayatri, Tribhuwana mengembalikan Majapahit pada kejayaanya.
Gajah Mada yang hebat memiliki mental yang masih labil. Sebagai Patih, dia sangat keras kepala dan bandel. Maka dengan penuh kesabaran, Gayatri membimbing Mahapatih ini agar selalu berpikir dan menggunakan akal yang disertai perasaan dalam bertindak. Alhasil, Gajah Mada mampu menjadi Mahapatih yang dipercaya dan bahu membahu dengan Ratu Tribhuwana serta Gayatri demi membangun Majapahit.
Ratu Tribhuwana memiliki putra yang bernama Hayam Wuruk. Gayatri berpesan padanya agar kelak Hayam Wuruk harus menjadi raja dan mewarisi sifat kakeknya, yakni Raden Wijaya. Lewat petuah-petuah neneknya ini Hayam Wuruk menjadi Raja yang bijaksana, serta mampu mengembangkan Majapahit menjadi lebih maju. Khususnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan.
Tidak ada gading yang tak retak, hal inilah yang juga terjadi pada Gayatri. Dia wafat di usia ke 76 tanpa sekalipun diketahui oleh masyarakat bahwa dialah yang berperan besar dalam membangun kerajaan Majapahit. Dia tidak mengejar gelar dan penghargaan, karena dalam usia senjanya dia ingin mengabdikan diri sebagai Bhiksuni.
Arca Dewi Prajnyaparamita adalah merupakan arca puteri Gayatri (Rajapatni)
Gayatri atau Rajapatni
adalah nama salah satu istri Raden Wijaya raja pertama Majapahit (1293-1309) yang menurunkan raja-raja selanjutnya.
Nagarakretagama menyebutkan Raden Wijaya menikahi empat orang putri Kertanagara raja terakhir Singhasari, yaitu Tribhuwana bergelar Tribhuwaneswari, Mahadewi bergelar Narendraduhita, Jayendradewi bergelar Prajnyaparamita, dan Gayatri bergelar Rajapatni. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri dari Melayu bernama Dara Petak bergelar Indreswari.
Dari kelima orang istri tersebut, yang memberikan keturunan hanya Dara Petak dan Gayatri. Dari Dara Petak lahir Jayanagara, sedangkan dari Gayatri lahir Tribhuwanotunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanotunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya.
Peranan Gayatri dalam Perjuangan
Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.
Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwana saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali.
Pararaton menyebutkan, Raden Wijaya bersekutu dengan bangsa Tatar (Mongol) untuk dapat mengalahkan Jayakatwang. Konon raja Tatar bersedia membantu Majapahit karena Arya Wiraraja menawarkan Tribhuwana dan Gayatri sebagai hadiah.
Kisah tersebut hanyalah imajinasi pengarang Pararaton saja, karena tujuan utama pengiriman pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese ke tanah Jawa adalah untuk menaklukkan Kertanagara.
Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja ganti menghadapi pasukan Tatar. Dikisahkan dalam Pararaton bahwa, kedua putri siap untuk diserahkan dengan syarat tentara Tatar harus menyembunyikan senjata masing-masing, karena kedua putri tersebut ngeri melihat senjata dan darah. Maka, ketika pasukan Tatar, tanpa senjata, datang menjemput kedua putri, pasukan Raden Wijaya segera membantai mereka.
Gayatri Sepeninggal Jayanagara
Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit sejak tahun 1293. Ia meninggal tahun 1309 dan digantikan putranya, yaitu Jayanagara. Pada tahun 1328 Jayanagara mati dibunuh Ra Tanca.
Menurut Nagarakretagama, sebagai sesepuh keluarga kerajaan yang masih hidup, Gayatri berhak atas takhta. Akan tetapi Gayatri saat itu sudah mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dengan menjadi Bhiksuni (pendeta Buddha). Ia lalu memerintahkan putrinya, yaitu Tribhuwanotunggadewi naik takhta mewakilinya pada tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang tidak punya keturunan. Pada tahun 1350, Tribhuwanotunggadewi turun takhta bersamaan dengan meninggalnya Gayatri.
Nagarakretagama seolah memberitakan kalau takhta Jayanagara diwarisi Gayatri, karena ibu tirinya itu adalah putri Kertanagara. Mengingat Gayatri adalah putri bungsu, kemungkinan saat itu istri-istri Raden Wijaya yang lain sudah meninggal semua dan garis keturunan yang masih tersisa adalah dari Gayatri. Karena Gayatri telah menjadi pendeta, maka pemerintahannya pun diwakili oleh puterinya, Tribhuwanotunggadewi yang diangkat sebagai Rajaputri (Raja perempuan), sebutan untuk membedakan dengan istilah "Ratu" dalam bahasa Jawa yang berarti "penguasa".
Sementara pihak menganggap berita dalam Nagarakretagama tersebut kurang tepat, karena pada tahun 1351 Tribhuwanotunggadewi masih menjadi rajaputri, terbukti dengan ditemukannya prasasti Singasari. Nagarakretagama dan Pararaton juga memberitakan pada tahun 1362 Hayam Wuruk (raja keempat) mengadakan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Gayatri Rajapatni.
(terinspirasi dari buku Earl Drake berjudul Gayatri Rajapatni)
Kepustakaan
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Candi Gayatri (Seri Peradapan Kuno)
Candi Gayatri menurut para ahli sejarah dari BP. Trowulan merupakan candi peninggalan jaman Kerajaan Majapahit. Dibangun ketika era Raja Hayam Wuruk sebagai bentuk penghormatan dan makam Putri Gayatri yang bergelar Rajapatni istri keempat Raja Kertarajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Informasi tentang Candi Gayatri sebagai candi budha diperoleh dari Kitap Negarakertagama, yang menyebutkan terdapat candi budha di wilayah Boyolangu Tulungagung pada tahun 1369-1380 Masehi.
Candi Gayatri. Makam Rajapatni
Bangunan Induk Perwara terdiri dari dua teras berundak yang hanya tinggal kaki bangunannya.Bangunan berbentuk bujur sangkar dengan panjang dan lebar 11, 40 Meter. Sisa ketinggian candi kurang lebih 2,30 Meter.
Bentuk area menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana,dengan duduk diatas singgasana berhias daun teratai.Sikap tangan arca Dharmacakramuda dan bertatah halus dengan gaya Majapahit.Bangunan perwara yang kedua sudah rusak, berada di selatan bangunan induk. Hanya tertinggal bangunan kaki saja. Bangunan perwara ketiga, yang berada di sebelah utara bangunan induk kondisinya sudah runtuh, dengan bentuk bujur sangkar dengan panjang dan lebar 5,80 meter.
Kesan saya ketika pertama kali mengunjungi Candi Gayatri sewaktu saya SD kira-kira 20 tahun yang lalu. Kondisi patung-patung di sekitar Candi sangat mengenaskan. Semua kepala patung terpenggal dan beberapa tangan candi terpotong.Seringkali terjadi kasus pencurian patung disana. Akhirnya patung-patungnya di pindah Di Museum Tulungagung dan museum Trowulan Mojokerto.
Taman di candi gayatri. doc sari
Satu minggu yang lalu saya mengunjungi Candi Gayatri, terlihat areal candi yang cukup asri. Dengan taman bebunga di sekitar bangunan candi walaupun candi dan patungnya sudah rusak. Juru kunci yang saya wawancarai terlihat cukup telaten membersihkan dan memelihara areal Candi Gayatri.
Sisa reruntuhan Candi Gayatri. Doc sari
Harapannya kedepan adalah tidak rusak, Kita sebagai generasi muda menjaga warisan bersejarah. Tidak melihatnya bukan hanya sebagai batu-batu tanpa makna tetapi sarat makna dan sejarah.Setidaknya dari Candi Gayatri secara kronologis merunut kebelakang waktu yang jauh..jaman dahulu pernah terdapat pusat agama Budha Di Boyolangu Tulungagung.Dan mungkin ada peradapan yang telah maju dan masih terkubur di wilayah Boyolangu. Karena beberapa informan yang saya temui seringkali ketika menggali tanah mereka menemukan bangunan semacam candi, tetapi hal itu dibiarkan saja karena respon aparat kurang tanggap ketika diberikan laporan.
Dan di Wilayah Kabupaten Tulungagung masih banyak terdapat beberapa seri candi yang lain. Tetapi sayangnya kurang ada kajian arkeologi yang komprehensif untuk menguak artefak-artefak tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU