Primbon
Kebermaknaan Tradisi Sekaten dalam era kekinian Mengandung Makna Filosofi Mendalam (Versi Solo)
Kebermaknaan Tradisi Sekaten dalam era kekinian
Mengandung Makna Filosofi Mendalam
(Versi Solo)
Dari panjangnya sejarah Sekaten, memunculkan pendapat yang berbeda tentang istilah Sekaten itu sendiri. Ada yang menyebut istilah Sekaten berasal dari nama gamelan yang pertama kali digunakan, gamelan Kiai Sekati. Ada juga yang berpendapat Sekaten berasal dari kata suka ati, hati yang bersuka ria menyambut perayaan kelahiran Nabi. Pendapat yang paling umum adalah Sekaten berasal dari kata syahadatain, pernyataan ke-Islaman seseorang, tujuan awal diadakannya perayaan ini.
Tradisi Sekaten diperkirakan sudah ada sejak jaman kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak (1475-1548 M). Sebagai kerajaan baru, Kerajaan Demak ingin menguatkan posisinya dimata masyarakat, juga sebagai sarana penyebaran agama Islam yang belum begitu berkembang, maka para Wali Songo yang juga sebagai penasihat spritual kerjaan Demak, menciptakan tradisi perayaan Sekaten.
Gamelan Sekaten
Berbondong-bondong orang memenuhi halaman Masjid Agung Surakarta. Hujan gerimis yang turun sejak pagi, tak menyurutkan semangat mereka. Sebagian besar datang dari luar kota, dari eks-karesidenan Surakarta, seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Boyolali, dan juga dari daerah-daerah lainnya.
Air hujan membuat halaman masjid sedikit berair. Para pedagang menutupi dagangannya dengan lembaran plastik lebar. Para pengunjung yang tidak membawa payung atau memakai mantel, berteduh di serambi masjid, pendapa, dan emperan bangunan lainnya. Semuanya menanti acara sakral yang berlangsung setiap tahun sekali disini. Hari ini adalah hari dimana gamelan Sekaten akan dibunyikan pertama kali, menandai awal tujuh hari perayaan Sekaten tahun 2012 M atau 1433 H atau 1945 Saka.
Kebanyakan pengunjung Sekaten berkumpul di tiga tempat, di serambi masjid dan di dua bangsal Pradangga yang ada di halaman kanan dan kiri masjid. Setelah pembacaan doa, dan Sekaten secara resmi dibuka, gamelan sekaten ditabuh. Yang pertama adalah gamelan Kyai Guntur Madu yang ada di bangsal Pradangga sebelah kanan (selatan), yang memainkan gendhing Rambu selama sekitar 12 menit. Lalu setelah selesai, alunan gendhing Rangkung akan dilantunkan oleh gamelan Kyai Guntur Sari yang ada bangsal Pragangga kiri (utara).
Pada saat gamelan Kyai Guntur Madu pertama kali ditabuh, pengunjung Sekaten menyambutnya dengan suka cita. Di serambi masjid, mereka secara bersama-sama mengunyah kinang. Dipercaya bahwa mengunyah ramuan dari campuran tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet (kapur sirih) dan kembang kanthil ini akan membawa berkah dan membuat awet muda. Pengunjung yang ada di sekitar bangsal Pradangga selatan, akan berebut janur yang menjadi penghias atap bangsal. Janur – daun muda pohon kelapa – itu juga dipercaya dapat membawa berkah. Di bangsal Pradangga utara, rebutan janur menunggu gendhing Kyai Guntur Madu selesai dan Kyai Guntur Sari ditabuh pertama kali.
Puas. Setelah berjuang, berebut, berdesak-desakan, akhirnya ibu ini berhasil mendapatkan janur juga.
Gamelan Sekaten mulai dibunyikan dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai tanggal 11 Mulud dan pada tanggal 12-nya diadakan Grebeg Mulud, puncak perayaan Sekaten. Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari akan bergantian dibunyikan dari pagi sampai menjelang Maghrib setiap hari, kecuali pada hari Kamis sampai waktu ‘Ashar, dan pada hari Jum’at dimulai setelah sholat Jum’at. Tradisi tabuh gamelan inilah tradisi asli Sekaten yang konon sudah ada sejak jaman Wali Songo, pada masa kerajaan Demak.
Tradisi Sekaten diperkirakan sudah ada sejak jaman kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak (1475-1548 M). Sebagai kerajaan baru, Kerajaan Demak ingin menguatkan posisinya dimata masyarakat, juga sebagai sarana penyebaran agama Islam yang belum begitu berkembang, maka para Wali Songo (sembilan wali, penyebar agama Islam di Jawa) yang juga sebagai penasihat spritual kerjaan Demak menciptakan tradisi perayaan Sekaten.
Perayaan Sekaten adalah perayaan menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.aw, pembawa agama Islam. Perayaan ini dilakukan dengan menabuh gamelan selama seminggu – mengikuti jumlah hari perayaan dalam tradisi Hindu-Majapahit – sebelum peringatan hari kelahiran Nabi. Gamelan yang ditabuh berjumlah sepasang dan dimainkan bergantian, sehingga suara gamelan akan terus terdengar dan memancing orang-orang untuk mendekat dan datang ke arah suara, yaitu ke Masjid Demak.
Perayaan Sekaten adalah perayaan menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.aw, pembawa agama Islam. Perayaan ini dilakukan dengan menabuh gamelan selama seminggu – mengikuti jumlah hari perayaan dalam tradisi Hindu-Majapahit – sebelum peringatan hari kelahiran Nabi. Gamelan yang ditabuh berjumlah sepasang dan dimainkan bergantian, sehingga suara gamelan akan terus terdengar dan memancing orang-orang untuk mendekat dan datang ke arah suara, yaitu ke Masjid Demak.
Gamelan yang digunakan berasal dari perangkat gamelan Kiai Sekar Delima, peninggalan Majapahit yang dibawa oleh raja pertama Demak, Raden Patah. Raden Patah adalah anak raja Majapahit tekahir, Brawijaya V dari selirnya yang berasal dari China, Siu Ban Ci. Oleh Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang , gamelan ini dirubah dan dibuat menjadi dua perangkat gamelan berlaras pelog yaitu Kiai dan Nyai Sekati. Sekati adalah satuan berat timbangan tradisional yang kira-kira setara dengan 6,25 ons. Timbangan berarti seimbang.
Pada jaman dahulu, gamelan hanya dimainkan pada acara khusus seperti ulang tahun raja, kenaikan tahta, penyambutan tamu agung, pernikahan putra-putri raja, dan acara-acara sakral lainya yang biasanya hanya diadakan di lingkungan keraton (ka-ratu-an, tempat tinggal ratu). Keadaan lingkungan yang belum banyak terkena polusi suara seperti sekarang ini, juga membuat suara gamelan, terutama gong, dapat terdengar sampai jauh. Gamelan Sekaten menarik banyak orang untuk berdatangan. Dan ketika mereka berdatangan, mereka akan akan tahu mengapa gamelan itu dibunyikan, mengenal para wali, mengenal Nabi Muhammad, dan mengenal Islam.
Pada jaman dahulu, gamelan hanya dimainkan pada acara khusus seperti ulang tahun raja, kenaikan tahta, penyambutan tamu agung, pernikahan putra-putri raja, dan acara-acara sakral lainya yang biasanya hanya diadakan di lingkungan keraton (ka-ratu-an, tempat tinggal ratu). Keadaan lingkungan yang belum banyak terkena polusi suara seperti sekarang ini, juga membuat suara gamelan, terutama gong, dapat terdengar sampai jauh. Gamelan Sekaten menarik banyak orang untuk berdatangan. Dan ketika mereka berdatangan, mereka akan akan tahu mengapa gamelan itu dibunyikan, mengenal para wali, mengenal Nabi Muhammad, dan mengenal Islam.
Gamelan yang digunakan waktu itu berasal dari perangkat gamelan Kiai Sekar Delima, peninggalan Majapahit (1293-1500) yang dibawa oleh raja pertama Demak, Raden Patah (Jin Bun atau Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, 1455-1518). Raden Patah adalah anak raja Majapahit tekahir, Brawijaya V (?-1478) dari selirnya yang berasal dari China, Siu Ban Ci.
Gamelan Kiai Sekar Delima konon dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta Pati dan Panji Semirang (Dewi Candra Kirana) dari kerajaan Jenggala (1042-1130) dan kemudian diwariskan turun temurun kepada raja-raja Majapahit. Perangkat gamelan ini terdiri dari Bonang sapangkon (sepasang), Demung dua pangkon, Kempyang sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon, dan sebuah Gong Gedhe.
Oleh Sunan Kalijogo (Raden Said, 1450-?) dan Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim, 1465-1525), gamelan ini dirubah dan dibuat menjadi dua perangkat gamelan berlaras pelog (tujuh nada) yaitu Kiai Sekati dan Nyai Sekati. Sekati adalah satuan berat timbangan tradisional yang kira-kira setara dengan 6,25 ons. Timbangan berarti seimbang. Manusia harus selalu menjaga keseimbangan hidupnya, antara kehidupan dunia dan akherat. Juga sebagai pengingat bahwa manusia agar selalu mengukur segala sesuatunya, tindakan, perilaku, dan ucapannya, karena nantinya semua amal perbuatannya akan ditimbang dan dipertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan.
Gamelan Kiai Sekar Delima konon dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta Pati dan Panji Semirang (Dewi Candra Kirana) dari kerajaan Jenggala (1042-1130) dan kemudian diwariskan turun temurun kepada raja-raja Majapahit. Perangkat gamelan ini terdiri dari Bonang sapangkon (sepasang), Demung dua pangkon, Kempyang sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon, dan sebuah Gong Gedhe.
Oleh Sunan Kalijogo (Raden Said, 1450-?) dan Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim, 1465-1525), gamelan ini dirubah dan dibuat menjadi dua perangkat gamelan berlaras pelog (tujuh nada) yaitu Kiai Sekati dan Nyai Sekati. Sekati adalah satuan berat timbangan tradisional yang kira-kira setara dengan 6,25 ons. Timbangan berarti seimbang. Manusia harus selalu menjaga keseimbangan hidupnya, antara kehidupan dunia dan akherat. Juga sebagai pengingat bahwa manusia agar selalu mengukur segala sesuatunya, tindakan, perilaku, dan ucapannya, karena nantinya semua amal perbuatannya akan ditimbang dan dipertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan.
Dua pasang gamelan juga diartikan sebagai dua kalimat syahadat atau syahadatain. Syahadat adalah kredo pernyataan masuknya seseorang ke agama Islam. Pada waktu gamelan tidak dibunyikan, para wali mengisinya dengan petuah-petuah hidup dan ceramah keagamaan, dan mengajak pengunjung yang datang untuk mengucapkan syahadatain, sebagai tanda masuk Islam.
Sedang gendhing (komposisi musik) utama yang dimainkan selama Sekaten adalah adalah Rambu, yang dimainkan oleh gamelan Kyai Guntur Madu dan Rangkung, oleh gamelan Kyai Guntur Sari. Kata Rambu berasal dari kata Arab Rabbuuna yang artinya (Allah) Tuhan kami sedangkan Rangkung berasal dari kata Arab Raukhuun, yang artinya jiwa yang agung.
Perjalan sejarah, intrik para raja, dan kerajaan yang berpindah-pindah, sampai saat ini tidak begitu jelas dimana gamelan asli peninggalan Majapahit dan Demak itu. Gamelan Sekaten diklaim oleh tiga kerajaan, Kasepuhan Cirebon, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.
Sedang gendhing (komposisi musik) utama yang dimainkan selama Sekaten adalah adalah Rambu, yang dimainkan oleh gamelan Kyai Guntur Madu dan Rangkung, oleh gamelan Kyai Guntur Sari. Kata Rambu berasal dari kata Arab Rabbuuna yang artinya (Allah) Tuhan kami sedangkan Rangkung berasal dari kata Arab Raukhuun, yang artinya jiwa yang agung.
Perjalan sejarah, intrik para raja, dan kerajaan yang berpindah-pindah, sampai saat ini tidak begitu jelas dimana gamelan asli peninggalan Majapahit dan Demak itu. Gamelan Sekaten diklaim oleh tiga kerajaan, Kasepuhan Cirebon, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.
Sepasang gamelan Kiai Sekati yang asli konon ada di istana Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon. Dibawa kesana sebagai hadiah pernikahan antara Ratu Mas Nyawa, putri Raden Patah dan Pangeran Bratakelana, putra Sunan Gunung Jati dari istrinya, Syarifah Bagdad, pada tahun 1495. Di Keraton Kasepuhan gamelan Sekati ditabuh pada Hari Raya Idul Adha, bulan Besar (Dzulhijah) di bangunan Sri Manganti. Sedangkan di Keraton Kanoman, gamelan Sekati ditabuh pada bulan Mulud (Rabiul Awal) dalam upacara ritual Muludan (Panjang Jimat), seperti Sekaten di Solo dan Jogja.
Gamelan yang dipakai pada perayaan Sekaten di Solo dan Jogja diperkirakan dibuat oleh atau pada jaman Sultan Agung (Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, 1593-1646), raja Mataram Islam ke-3. Sepasang gamelan itu bernama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari.
Gamelan Kyai Guntur Sari menjadi milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Agar dapat dipakai untuk perayaan Sekaten, dua pecahan Mataram ini membuat kembali pasangan masing-masing gamelan. Kyai Guntur Sari di Surakarta mutrani (memiliki putra) gamelan bernama Kiai Guntur Madu, sedangkan Kiai Guntur Madu di Jogja mutrani gamelan bernama Kiai Nogo Wilogo.
Gamelan yang dipakai pada perayaan Sekaten di Solo dan Jogja diperkirakan dibuat oleh atau pada jaman Sultan Agung (Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, 1593-1646), raja Mataram Islam ke-3. Sepasang gamelan itu bernama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari.
Gamelan Kyai Guntur Sari menjadi milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Agar dapat dipakai untuk perayaan Sekaten, dua pecahan Mataram ini membuat kembali pasangan masing-masing gamelan. Kyai Guntur Sari di Surakarta mutrani (memiliki putra) gamelan bernama Kiai Guntur Madu, sedangkan Kiai Guntur Madu di Jogja mutrani gamelan bernama Kiai Nogo Wilogo.
Ketika Mataram dipimpin oleh Pakubuwana III (1732-1788), terjadi banyak pemberontakan, yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian ini memecah Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono I. Selain wilayah kerajaan, benda-benda pusakapun dibagi dua, termasuk sepasang gamelan Sekaten.
Gamelan Kyai Guntur Sari menjadi milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kyai Guntur Madu menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Agar dapat dipakai untuk perayaan Sekaten, dua pecahan Mataram ini membuat kembali pasangan masing-masing gamelan. Kyai Guntur Sari di Surakarta mutrani (memiliki putra) gamelan bernama Kiai Guntur Madu, sedangkan Kiai Guntur Madu di Jogja mutrani gamelan bernama Kiai Nogo Wilogo.
Dari panjangnya sejarah Sekaten, memunculkan pendapat yang berbeda tentang istilah Sekaten itu sendiri. Ada yang menyebut istilah Sekaten berasal dari nama gamelan yang pertama kali digunakan, gamelan Kiai Sekati. Ada juga yang berpendapat Sekaten berasal dari kata suka ati, hati yang bersuka ria menyambut perayaan kelahiran Nabi. Pendapat yang paling umum adalah Sekaten berasal dari kata syahadatain, pernyataan ke-Islaman seseorang, tujuan awal diadakannya perayaan ini.
Dari panjangnya sejarah Sekaten, memunculkan pendapat yang berbeda tentang istilah Sekaten itu sendiri. Ada yang menyebut istilah Sekaten berasal dari nama gamelan yang pertama kali digunakan, gamelan Kiai Sekati. Ada juga yang berpendapat Sekaten berasal dari kata suka ati, hati yang bersuka ria menyambut perayaan kelahiran Nabi. Pendapat yang paling umum adalah Sekaten berasal dari kata syahadatain, pernyataan ke-Islaman seseorang, tujuan awal diadakannya perayaan ini.
Seiring perubahan jaman, Sekaten saat ini juga telah mengalami banyak perubahan, baik dari tujuan dan juga pelaksanaannya. Kalau dulu Sekaten digunakan sebagai sarana penyebaran agama dan penanda kekuatan politik, sekarang lebih kepada sekedar menjaga tradisi dan sarana hiburan rakyat. Walaupun banyak yang masih memanfaatkannya untuk mendapatkan berkah atau keutamaan relijius, tapi ramainya Sekaten justru bukan karena gamelannya. Keramaian Sekaten sudah dimulai jauh lebih lama dari seminggu sebelum Grebeg Mulud, dan pusat keramaiannya pun berada diluar halaman masjid.
Karena banyaknya orang yang datang menyaksikan gamelan Sekaten, para wali mengijinkan penduduk untuk berjualan sekedar makanan dan minuman, serta beberapa barang lainnya. Makanan dan minuman yang dijual antara lain sego liwet (nasi uduk), cabuk rambak (makanan dari kupat sambal kacang putih dan karak, kerupuk nasi), jenang dodol, dan wedhang ronde. Sedang barang-barang lainnya adalah kinang (campuran dari tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet dan kembang kanthil), pecut (cemeti), gangsingan bambu, mainan kodok-kodokan, kapal-kapalan seng, dan peralatan dari tembikar. Sampai saat ini, makanan, minuman, dan barang-barang ini masih dijual disetiap perayaan Sekaten. Keramaian Sekaten pun menjelma menjadi seperti pasar tiban. Dan dari waktu ke waktu, pasar tiban itu semakin ramai dan ramai.
Karena banyaknya orang yang datang menyaksikan gamelan Sekaten, para wali mengijinkan penduduk untuk berjualan sekedar makanan dan minuman, serta beberapa barang lainnya. Makanan dan minuman yang dijual antara lain sego liwet (nasi uduk), cabuk rambak (makanan dari kupat sambal kacang putih dan karak, kerupuk nasi), jenang dodol, dan wedhang ronde. Sedang barang-barang lainnya adalah kinang (campuran dari tembakau kering, daun sirih, gambir, jambe, injet dan kembang kanthil), pecut (cemeti), gangsingan bambu, mainan kodok-kodokan, kapal-kapalan seng, dan peralatan dari tembikar. Sampai saat ini, makanan, minuman, dan barang-barang ini masih dijual disetiap perayaan Sekaten. Keramaian Sekaten pun menjelma menjadi seperti pasar tiban. Dan dari waktu ke waktu, pasar tiban itu semakin ramai dan ramai.
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar tiban atau lebih dikenal dengan Pasar Malam Sekaten dilangsungkan jauh lebih lama dari sepekan perayaan Sekaten, dari sebulan sebelum gamelan Sekaten berbunyi, sampai sekitar seminggu setelahnya. Ragam jualannya pun menjadi sangat bermacam-macam. Dari mainan anak-anak, baju, perlengkapan rumah tangga, cinderamata, CD/ DVD, berbagai macam makan dan minuman, dan yang paling meriah adalah adanya bermacam wahana permainan. Perayaan Sekaten menjelma menjadi sarana rekreasi, hiburan yang menyenangkan untuk semua orang. Pada titik ini, mungkin lebih tepat menyebut Sekaten berasal dari kata suka ati, perayaan yang membuat hati bergembira.
///Source///
Karena Pasar Malam biasanya berlangsung lama – di Sekaten bisa sampai sebulan – dan perusahaan penyedia ini berasal dari tempat yang jauh, Pasar Malam juga digunakan para pekerja sebagai ‘rumah’nya juga. Mereka makan dan tidur di dalam wahana, di kios, atau di area sekitar Pasar Malam. Jika jadwal padat, mereka bisa berbulan-bulan tidak pulang ke kampung halaman. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, mencari tempat keramaian dimana Pasar Malam bisa digelar.
Dengan hanya beratapkan langit dan berlantai tanah lapang, kehidupan pasar malam sangat bergantung pada cuaca. Jika cuaca cerah banyak pengunjung yang datang dan keuntungan bisa berlipat. Sebaliknya jika hujan, Pasar Malam menjadi sepi, orang-orang takut kehujanan dan malas berjalan di tanah lapang yang becek. Dulu pernah dibuat Pasar Malam yang lebih modern, dengan tenda raksasa ber AC, lampu neon terang, dan lantai kayu. Tapi penggunaan tenda ini harus ditebus dengan tiket masuk yang mahal dan banyak ditentang masayarakat. Akhirnya Pasar Malam pun kembali ke tradisi asalnya yang khas dan sederhana.
///Source///
DOKUMENTASI PASAR MALAM
Sekaten di Solo
Bervariasi. Semakin besar pasar malam, semakin bervariasi wahana permainan yang ada.
Lampu Sorot. Pada beberapa tahun terakhir, Pasar Malam juga sering dilengkapi lampu sorot besar yang dapat terlihat dari jarak belasan kilometer. Sebagai penarik dan penanda lokasi Pasar Malam.
Drumolem. Atau biasa disebut Kincir atau Bianglala, salah satu wahana ciri khas Pasar Malam. Karena dibuat untuk dapat dibongkar pasang, biasanya Drumolem hanya berukuran kecil. Tapi tetap menarik, terlebih di malam hari, dengan lampu yang warna-warni.
Ombak Banyu. Salah satu wahana permainan yang sangat menarik. Wahana ini tidak menggunakan mesin, tapi menggunakan tenaga manusia sebagai penggeraknya. Ombak Banyu berupa tempat duduk melingkar yang diikat tali baja pada beberapa titik busurnya dan ujung tali-tali lainnya disatukan diatas sebuah tiang. Bentuknya seperti kerucut yang terangkat dari permukaan tanah sekitar 1,5 meter. Untuk naik mengunakan tangga, dan petugas akan menata posisi duduk pengunjung sehingga lingkaran dapat seimbang mendatar.
Kerjasama. Sekitar 4-5 orang petugas lalu memutar wahana Ombak Banyu ini. Sebagian ada yang sambil menariknya ke bawah, sehingga lingkaran akan naik turun. Berputar dan naik turun, seperti ombak. Tidak ada pengaman pada tempat duduknya. Pengunjung dapat berpegangan pada bagian belakang tempat duduk, tali baja, atau cukup bergantung pada gaya sentrifugal saja.
Bonus Atraksi. Untuk menambah ketegangan, selama putaran Ombak, beberapa petugas juga menyisipkan beberapa aksi akrobatik di antara bangku-bangku yang kosong atau pada tali-tali baja.
Ragam wahana permainan Pasar Malam terus bertambah mengikuti perkembangan jaman, seperti wahana Bom-bom Car (Mobil Senggol), Kereta Mini, Rumah Hantu, Roler Coaster, Kora-kora (Perahu Ayun), Perahu Kayuh, Bola-bola Air, dan lain sebagainya. Meskipun banyak wahana baru, wahana-wahana yang lama masih tetap dipertahankan, dan semuanya masih tetap murah meriah. Pada saat foto in diambil, harga tiket untuk semua wahana rata-rata sama, sekitar Rp 5.000,- an.
Pasar Malam di siang hari. Pada hari libur, Pasar Malam juga ramai dikunjungi pada siang hari.
Kurang menantang? Tidak seperti Histeria, Halilintar, Kicir-kicir atau Tornado di Dufan? Coba saja bayangkan begini. Tidak seperti pada wahana-wahana modern itu – yang dibuat dengan profesional, perhitungan rumit, riset dan ujicoba – wahana-wahana di Pasar Malam dibuat dengan pengerjaan dan peralatan seadanya, las, sekrup, konstruksi, dan perhitungan yang masih manual dan seadanya. Saat menaikinya, sambungan las dan sekrup-sekrupnya kelihatan bisa lepas sewaktu-waktu.
Berkembang. Walaupun kebanyakan masih buatan tangan, wahana-wahana permainan di Pasar Malam selalu berkembang. Menyesuaikan dengan mode kesukaan dan jaman.
Yang paling menarik dari wahana-wahana permainan di Pasar Malam adalah kebanyakan wahana-wahana permainan itu buatan dalam negeri sendiri. Dibuat oleh para pengrajin mainan, pandai besi, tukang las, tukang fiberglas, dan tukang kayu asli Indonesia. Warna dan dekorasi wahana juga hasil lukisan sendiri. Hanya mesin, lampu, dan wahana yang bahannya tidak ada di Indonesia yang masih harus didatangkan dari luar. Hal menarik lainnya adalah semua wahana permainan Pasar Malam dirancang untuk dapat dibongkar-pasang dengan mudah, karena itu rata-rata wahana ini berukuran kecil. Membuat benda bergerak yang dapat dibongkar-pasang, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan, tentu bukan hal yang mudah.
Perawatan. Kecuali hari libur biasanya, pasar malam hanya buka pada malam hari saja. Pada pagi atau siang hari digunakan untuk perawatan wahana.
Komidi Putar. Wahana ini juga tidak menggunakan mesin. Hanya mengandalkan keseimbangan titik tumpu lingkaran, sehingga cukup ringan di dorong berputar.
Sepur Kelinci. Salah satu wahana permainan yang ‘wajib’ ada di Pasar Malam. Dulu biasanya menggunakan sejenis traktor yang dihias seperti kelinci dan menarik beberapa gerbong yang cukup panjang – karena itu disebut sepur (kereta) kelinci. Rute jelajahnya berkeliling di sekitar Pasar Malam. Sekarang, karena jalanan yang semakin macet, sepur kelinci berukuran lebih kecil. ‘Lokomotif’nya dari mobil biasa atau bahkan sepeda motor, dengan dua tiga gerbong kecil saja. Walaupun hiasan lokonya juga sudah bermacam-macam, namanya tetap ‘Sepur Kelinci’.
Wahana-wahana permainan di Pasar Malam kebanyakan dimiliki oleh satu perusahaan penyedia jasa pasar malam. Perusahan penyedia inilah yang mengatur dan menyediakan semuanya, dari wahana permainan, tenaga kerja, dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. Tenaga kerjanya juga cukup beragam. Ada yang bertugas menjual tiket, menjual makanan dan minuman, dan salesman. Ada yang memerlukan keahlian khusus seperti operator wahana, mekanik, akrobator, dan seniman. Untuk acara besar seperti Sekaten, biasanya ada lebih dari satu perusahaan penyedia. Bisa dibayangkan, berapa banyak orang yang terlibat, bekerja, dan menggantungkan hidupnya di Pasar Malam.
Kiosku rumahku istanaku. Banyak pedagang di Pasar Malam adalah bagian dari perusahaan penyedia pasar malam tersebut. Dan seperti anggota lainnya, mereka semi nomaden. Mereka hidup di tempat rombongannya singgah. Kios ini selain dipakai untuk jualan, juga dipakai untuk tidur.
Rejeki Bersama. Tidak seperti wahana-wahana permainan yang dikelola satu perusahaan, banyak pedagang yang meramaikan pasar malam adalah pedagang lepas. Mendapat informasi berantai dari rekan sesama pedagang, mereka membuka lapak sementara selama Pasar Malam berlangsung.
Ragam Jualan. Selain beragam wahana permainan, Pasar Malam yang besar juga menarik banyak pedagang berdatangan. Bisa mencari bermacam barang disini, dari mainan anak-anak, baju, makanan, minuman, juga peralatan dapur ini.
Arum Manis. Salah satu jajanan khas Pasar Malam, dibuat dari gula yang diberi pewarna perasa dan diputar sangat cepat dengan sebuah alat. Gula tersebut akan menjadi serat, lalu dikumpulkan dan menjadi kapas yang rasanya manis dan harum, karena itu disebut arum manis. Dengan beberapa bahan tambahan, seperti marshmallow di Amerika.
Masa lalu dan masa kini. Permainan masa kecil yang masih ada sampai sekarang, kapal-kapalan seng yang bisa berjalan dengan bahan bakar minyak goreng. Minyak goreng diberi sumbu kapas, lalu disulut. Apinya akan memanaskan air dari pipa yang diisi air. Air yang panas akan mendorong kapal ke depan. Terlihat juga dijajakan topeng tokoh pahlawan anak-anak masa kini, Ultraman, Power Ranger, dan Kamen Rider.
Dengan hanya beratapkan langit dan berlantai tanah lapang, kehidupan pasar malam sangat bergantung pada cuaca. Jika cuaca cerah banyak pengunjung yang datang dan keuntungan bisa berlipat. Sebaliknya jika hujan, Pasar Malam menjadi sepi, orang-orang takut kehujanan dan malas berjalan di tanah lapang yang becek. Dulu pernah dibuat Pasar Malam yang lebih modern, dengan tenda raksasa ber AC, lampu neon terang, dan lantai kayu. Tapi penggunaan tenda ini harus ditebus dengan tiket masuk yang mahal dan banyak ditentang masayarakat. Akhirnya Pasar Malam pun kembali ke tradisi asalnya yang khas dan sederhana.
Tidak mau kalah dengan para pedagang, banyak juga pengemis yang mencoba mengais rejeki di keramaian Pasar Malam.
Halo.. halo.. Beberapa wahana perlu juga dipromosikan, seperti wahana Tong Stand ini. Mungkin karena tidak kelihatan dari luar atau agar tambah laku.
Tong Stand. Dulu namanya Tong Setan, entah mungkin karena dianggap menakutkan, atau takut dianggap sebagai pemuja setan, namanya berubah menjadi Tong Stand, tong yang berdiri. ‘Tong’ terbuat dari susunan melingkar papan kayu berdiri hampir tegak lurus dengan tanah, dengan ketinggian sekitar lima meter. Atraksi utamanya adalah sepeda motor, kadang bahkan sepeda angin, yang dipacu dengan kecepatan tertentu – dengan memanfaatkan gaya sentrifugal – sehingga motor atau sepeda tersebut dapat melaju di dinding tong.
Sawer. Penonton yang terhibur dengan atraksi menegangkan Tong Stand kadang memberi saweran, dengan menjulurkan tangan ke arah dalam tong. Lalu pengendara akan memacu motornya naik ke ujung atas tong untuk mengambilnya. Atraksi ini cukup berbahaya, baik bagi pengendara ataupun pemberi sawer. Karena itu kadang pemberi sawer langsung menjatuhkan saja sawerannya kedalam tong.
Pasar Malam adalah ragam wahana permaian buatan sendiri yang berwarna-warni dan perjuangan bertahan hidup orang-orang yang tak menyerah. Menyaksikan Pasar Malam adalah menyaksikan kreatifitas, kecerdasan, dan kegigihan manusia Indonesia.
///Source//
Puncak Acara Sekaten di Solo (Surakarta)
Grebeg Mulud
Puncak Acara Sekaten di Solo (Surakarta)
Grebeg Mulud
Cuaca cerah. Setelah beberapa hari langit mendung dan hujan yang turun hampir tiap hari, hari ini langit terlihat membiru dan matahari bersinar terang. Menjelang siang, semakin banyak orang-orang berdatangan, memenuhi halaman Masjid Agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Mereka datang dari berbagai daerah di sekitar Kota Solo, seperti Wonogiri, Sragen, Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo. Beberapa bahkan datang Jawa Timur, seperti dari Ngawi dan Magetan dan Nusantara.
Berjejal. Semakin siang, orang-orang berdatangan menyesaki halaman Masjid Agung Surakarta. Datang dari berbagi daerah. Banyak yang sudah berulang kali mengikuti Grebeg Mulud ini, dan menjadikannya tradisi.
Ditutup. Menjelang kedatangan Gunungan, pintu utama gapura Masjid Agung ditutup, untuk membersihkan jalur jalan arak-arakan.
Halaman masjid yang pada hari-hari sebelumnya banyak ditempati penjual kinang, telur kamal, cabuk rambak, nasi liwet, wedang jahe, pecut, dan gangsingan bambu, pada hari ini berubah. Penjual yang masih ada adalah penjual asongan berkeliling menjajakan minuman segar dan makanan ringan. Hampir semua tempat di Masjid Agung dan sekitarnya dipenuhi lautan manusia: para pengunjung, petugas keamanan, penjual asongan, wartawan, dan wisatawan. Semuanya menunggu berlangsunganya perhelatan setahun sekali yang dilaksanakan oleh Keraton Surakarta, Grebeg Mulud.
Wirengan. Divisi prajurit keraton yang berseragam hitam-hitam ini bertugas sebagai cucuk lampah arak-arakan gunungan Sekaten.
Prawiro Anom. Barisan berikutnya adalah prajurit berseragam hijau, Pariwo Anom, yang artinya kira-kira ‘perwira muda’.
Jayeng Astro. Diikuti dengan prajurit berseragam biru, kesatuan Jayeng Astro.
Surogeni. Namanya berarti api yang menyala-nyala, seperti warna seragam divisi prajurit ini, merah-merah.
Grebeg Mulud adalah Prosesi Ritual sebagai puncak perayaan Sekaten.
Sekaten adalah perayaan menyambut kelahiran Nabi Muhammad yang sudah diadakan sejak era Kerajaan Demak dan diteruskan oleh dua pecahan Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Perayaan ini ditandai dengan ditabuhnya dua gamelan pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari selama 7 hari pada tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai tanggal 11 Mulud. Pada tanggal 12 Mulud atau tanggal kelahiran Nabi, perayaan Sekaten ditutup dengan acara Grebeg Mulud, yang puncak acaranya adalah mengarak dan rayahan atau memperebutkan bermacam gunungan yang dibuat oleh Keraton. Acara inilah yang paling ditunggu pengunjung Sekaten yang rela berkerumun dan berdesakan-desakan, berdatangan dari berbagai daerah sejak pagi.
Monumen Hidup. Seorang abdi dalem yang sudah puluhan tahun mengabdi dan tetap setia pada Keraton Surakarta.
Istilah bahasa Jawa grebeg, garebeg, gerbeg, mempunyai beberapa arti, yaitu suara angin yang menderu, riuh atau ribut, atau dapat juga berarti digiring, dikumpulkan, gerak bersama, atau iring-iringan. Jika disingkat, grebeg dapat diartikan keramaian.
Grebeg atau keramaian menyambut hari-hari penting dalam agama Islam sudah ada sejak jaman Wali Songo dan Kerajaan Demak. Tujuannya waktu itu adalah sebagai sarana penyebaran agama Islam dengan tetap memelihara tradisi Majapahit-Hindu yang telah mengakar kuat pada masyarakat Jawa. Pembauran atau akulturasi budaya ini dipelopori oleh Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim, 1465-1525) dan Sunan Kalijaga (Raden Said, 1450-?).
Iringan Gamelan. Pada pagi hari tanggal 12 Mulud, sepasang gamelan Sekaten dibawa kembali ke Keraton Surakarta. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Pada siang hari, gamelan Kyai Guntur Sari ini akan dibawa kembali ke Masjid Agung sebagai pengiring Gunungan Sekaten. Selama mengiringi, gamelan ini tetap dibunyikan dengan irama gendhing yang telah ditentukan.
Selesai. Setelah selesai bertugas mengriringi Gunungan Sekaten, gamelan Kyai Guntur Sari dibawa kembali ke Keraton untuk disimpan di ruang pusaka. Karena sudah tidak dibunyikan, seperangkat bonang inipun diletakkan terbalik.
Dipikul. Seperangkat gamelan Kyai Guntur Sari yang total beratnya bisa mencapai 3 ton ini ini dibawa dengan dipikul bergantian selama perjalanan pulang pergi mengiringi Gunungan Sekaten.
Ada tiga acara Grebeg yang dikenal dan dilaksanakan menurut kalender Jawa Islam, yaitu Grebeg Pasa atau Grebeg Sawal yang dilaksanakan pada 1 Sawal menyambut Bakdo atau Idul Fitri, Grebeg Besar pada 10 Besar menyambut hari raya Qurban atau Idul Adha, dan Grebeg Mulud pada 12 Mulud menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi Grebeg ini masih bertahan sampai sekarang di wilayah-wilayah yang dulu pernah berhubungan dengan Kerajaan Demak seperti Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta. Di Demak sendiri tradisi grebeg yang masih berlangsung sampai sekarang hanya Grebeg Besar.
Pada era Mataram Islam, tradisi grebeg ini kemudian dilengkapi dengan bermacam Gunungan. Gunungan adalah bermacam hasil bumi, makanan, bunga, dan benda-benda lain yang disusun menyerupai gunung atau kerucut yang dibuat oleh raja sebagai sedekah kepada rakyatnya. Dalam tradisi Jawa, gunung atau meru dianggap sebagai tempat keramat, tempat para dewa bertahta. Dengan banyaknya mata air dan kekayaan mineralnya, gunung-gunung di Jawa juga merupakan tempat yang sangat subur dan memberi kemamuran bagi penduduk disekitarnya. Miniatur gunung dalam gunungan dengan bermacam isinya ini dapat dianggap sebagai keinginan raja – perwakilan para dewa di dunia – untuk memakmurkan rakyatnya.
Gunungan adalah bermacam hasil bumi, makanan, bunga, dan benda-benda lain yang disusun menyerupai gunung atau kerucut yang dibuat oleh raja sebagai sedekah kepada rakyatnya. Dalam tradisi Jawa, gunung atau meru dianggap sebagai tempat keramat, tempat para dewa bertahta.
Gunungan Putri. Berbentuk seperti payung yang terbuka atau yoni. Bersama dengan Gunungan Kakung yang berbentuk lingga, sepasang gunungan ini adalah simbol kesuburan dan proses penciptaan dan asal-usul manusia. Gunungan Putri ditempatkan di jodhang yang dialasi kain bangotulak berwarna putih dan merah, dengan pola warna merah diatas putih. dan keempat sisinya diberi kain plisir warna kuning. Gunungan ini adalah gunungan yang diarak paling depan, menyusul berikutnya Gunungan Kakung, Gunungan Anakan, dan Ancak Cantaka.
Bahan-bahan. Pada bagian atas Gunungan Putri ini terdapat kue besar berwarna hitam yang ditumpuk dan disekelilingnya terdapat kue berbentuk daun. Tubuh gunungan tertutup dengan kue ketan berbentuk lingkaran (rengginan) dan bagian tengahnya terdapat kue kecil dan bermacam hiasan. Puncak gunungan terdapat cakra dan bendera merah putih. Pada gunungan ini juga terdapat bermacamjajanan pasar seperti wajik (kue ketan), jadah (kue nasi), jenang (dodol), dan kacu (kue ketan). Terdapat pula bahan non makanan seperti giwangan bima, samir jene, sujen, daun pisang, dan tali.
Gunungan Kakung. Berbentuk seperti tumpengan, lingga, atau meru. Sebagai pasangan gunungan Putri. Tingginya melebihi tinggi orang dewasa berdiri. Bermacam bahan yang ada juga merupakan gambaran tentang dunia seisinya seperti bumi, langit, api, air, tanaman, binatang, dan manusia. Gunungan Kakung ini diletakkan diatas sebuah jodhang (wadah) yang ditutup dengan kain bangotulak berwarna merah dan putih, dengan pola putih diatas merah, dan keempat sisinya diberi kain plisir warna kuning.
Bahan-bahan. Bagian atas (mustaka atau kepala) Gunungan Kakung terdapat entho-entho, kue dari tepung beras dan telur asin yang disusun melingkar. Ditengahya ditancapkan cakra dan bendera merah putih. Cakra adalah senjata pusaka milik Prabu Kresna. Bendera merah putih juga dipasang dibagian bawah mengelingi gunungan. Bendera gula kelapa ini menyimbolkan negara. Seluruh tubuh gunungan tertutup oleh kacang panjang yang ujungnya diberi kue kecil dan lombok abang (cabai merah). Pada gunungan Kakung ini juga terdapat wapen atau simbol raja yang berkuasa dan bermacam hasil bumi seperti terong, wortel, tebu, daun pisang, ketimun, dan daging. Ada juga bahan lain seperti dami (jerami), sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene.
Pada Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, tradisi Grebeg paling besar dan ramai baik dari pelaksanaan dan pengunjungnya adalah Grebeg Mulud. Selain karena tidak bertepatan pada dua Hari Raya dimana kebanyakan orang sudah mempunyai acaranya sendiri, pada Grebeg Mulud ini, gunungan yang dijadikan rayahan atau rebutan berjumlah paling banyak.
Ada empat macam gunungan yang dibuat dan dibagikan pada acara Grebeg Mulud ini yang masing-masingnya berjumlah cukup banyak, yaitu 12 Gunungan Kakung atau Jaler, 12 Gunungan Putri atau Estri, puluhan Gunungan Anakan atau Saradan, dan 24 tumpeng Ancak Cantaka. Jumlah ini dahulu mencerminkan jumlah daerah yang menjadi kekuasaan Mataram Islam.
Ada empat macam gunungan yang dibuat dan dibagikan pada acara Grebeg Mulud ini yang masing-masingnya berjumlah cukup banyak, yaitu 12 Gunungan Kakung atau Jaler, 12 Gunungan Putri atau Estri, puluhan Gunungan Anakan atau Saradan, dan 24 tumpeng Ancak Cantaka. Jumlah ini dahulu mencerminkan jumlah daerah yang menjadi kekuasaan Mataram Islam. Gunungan-gunungan itu kemudian dibagikan kepada masing-masing daerah tersebut. Sekarang, karena Keraton Surakarta sudah tidak mempunyai daerah kekuasaan, jumlah masing-masing jenis gunungan berkurang. Biasanya hanya 1-2 pasang Gunungan Kakung dan Putri, beberapa Gunungan Anakan, dan tumpeng Ancak Cantaka yang tetap berjumlah 24.
Gunungan Anakan. Diantara Gunungan Kakung dan Putri diarak beberapa gunungan berukuran kecil yang disebut Gunungan Anakan atau Saradan. Barang yang ada pada gunungan ini antara lain uang logam, kue rengginan kecil berwarna merah, hitam, dan putih, jene, bermacam bunga, dan eter. Eter adalah hiasan berbentuk jantung pisang (tuntut). Eter juga ada pada Gunungan Putri.
Gunungan-gunungan tersebut diarak dari Kori Kamandungan, melewati jalan Supit Urang, Alun-alun Utara, memasuki jalan dan halaman Masjid Agung. Semua gunungan tersebut kemudian diletakkan dalam aula Masjid untuk didoakan. Arak-arakan gunungan ini dikawal oleh ratusan prajurit Keraton Surakarta dari berbagai kesatuan dan diiringi dengan tabuhan Gamelan Kyai Guntur Sari yang memainkan Gending Mungga dan Kodhok Ngorek. Gamelan Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu adalah sepasang gamelan yang ditabuh pada hari sebelumnya selama seminggu menyambut perayaan Sekaten.
Tidak Sabar. Seharusnya Gunungan Sekaten didoakan dulu, baru dibawa kehalaman masjid untuk dijadikan rayahan. Tapi pengunjung sudah tidak sabar. Rayahanpun terjadi di serambi Masjid. Beberapa tahun lalu malah pernah gunungan sudah dirayah saat masih berada di halaman menuju masjid, belum sempat memasuki serambi dan didoakan.
Berbagi. Peserta rayahan yang dapat mencapai gunungan, biasanya mengambil tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi dibagikan juga kepada mereka yang tidak bisa mendekat dengan melemparkannya.
Setelah rombongan dan gunungan sampai di serambi Masjid Agung, Pepatih Dalem menyampaikan hajat Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom dan untuk meminta doa restunya. Setelah Kyai Penghulu Tafsiranom menerima dan mendoakan, gunungan-gunungan tersebut kemudian di bawa keluar halaman Masjid Agung untuk diberikan, atau lebih tepatnya diperebutkan, kepada rakyat atau pengunjung Sekaten.
Para pengunjung yang sudah menunggu lama pun segera berebut mengambil apa saja yang bisa diambil dari gunungan ini. Lombok, kacang panjang, rengginan, jadah, wajik, jenang, kue-kue, telur asin, wortel, tebu, timun, pisang, terong, sampai jerami ataupun tali rafia pun dalam beberapa menit ludes dijadikan rayahan. Yang menarik, walupun selama rayahan banyak terjadi kontak fisik, hampir tidak pernah ada keributan atau orang yang terluka. Beberapa orang yang kebetulan pas berada dekat gunungan dan mendapat banyak barang rayahan, sering melempar-lemparkannya, membagi-bagikan hasil rayahan tersebut kepada orang lain yang tidak bisa mendekat. Dan biasanya hampir setiap orang yang mengikuti rayahan ini bisa mendapat barang-barang dari gunungan, entah apapaun wujudnya.
Sebagai antitesa dari budaya masyarakat Jawa yang halus, menahan emosi, dan menahan diri, rayahan Gunungan ini adalah perwujudan sebuah falsafah Jawa, ora obah ora mamah. Dari terjemahan asli, tidak bergerak tidak mengunyah, dapat diartikan sebagai simbol semangat dinamis masyarakat Jawa. Jika tidak berusaha, manusia tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Hidup, dan terus berusaha.
Keberuntungan. Lombok merah dan hijau, dua hasil bumi yang ada di Gunungan Kakung berhasil didapat, walaupun tidak harus benar-benar mendekat gunungan dan berdesakan berebut. Seperti perpaduan antara keberuntungan dan usaha.
Tali Rafia. Tali plastik yang kelihatan sudah mbundet (ruwet) inipun tak luput dari rayahan, dipotong-potong dan dibagi rata. Tali ini adalah salah satu barang yang ada di Gunungan Putri.
Gunungan Grebeg Mulud adalah perayaan gerak. Peserta rayahan berharap berkah bermacam barang dari Gunungan, tapi mereka tidak akan mendapatkannya hanya dengan berdiam diri saja. Untuk mendapatkan keinginannya setiap orang harus bergerak, berusaha semampunya. Jika tidak bisa mendapatkan langsung, akan ada jalan lain untuk mendapatkannya. Setiap orang hanya harus terus tetap berusaha dan tidak menyerah.
Sebagai antitesa dari budaya masyarakat Jawa yang halus, menahan emosi, dan menahan diri, rayahan Gunungan ini adalah perwujudan sebuah falsafah Jawa, ora obah ora mamah. Dari terjemahan asli, tidak bergerak tidak mengunyah, dapat diartikan sebagai simbol semangat dinamis masyarakat Jawa. Jika tidak berusaha, manusia tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Hidup, dan terus berusaha.
Perjuangan Keluarga. Semua anggota keluarga bersatu. Ayah, ibu, dan anak ini bahu membahu berebut dan mengumpulkan hasil rayahan Gunungan Sekaten.
Seger Waras. ‘Dinggo gen seger waras’, jawab ibu tua ini ketika ditanya untuk apa ikut rayahan gunungan. Dan kelihatannya, meskipun usianya sudah cukup tua, ibu ini masih terlihat lincah dan seger waras (segar dan sehat).
itulah Sekelumit Tentang Sekaten (Versi Solo)
katah migunani, matur nuwun
BalasHapus