primbon


Web Site Hit Counters

Sejak:17 Agustus 2013
DAFTAR SAHABAT YG MASUK The truth seeker
Tidak harus menjadi yang pertama,yang penting itu menjadi orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.


Disclaimer:Artikel,gambar ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain,
dan Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber lain tersebut.Jika kami salah dalam menentukan sumber yang pertama,
mohon beritahu kami
e-mail primbondonit@gmail.com HOTLINE atau SMS 0271 9530328

GAMBAR-GAMBAR dibawah ini BUKAN HANYA IKLAN tapi merupakan LINK SUMBER




Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern,westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya,dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu.Manakala mendengar istilah mistik,akan timbul konotasi negatif.Walau bermakna sama,namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan,terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.Selama puluhan tahun,kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,westernisme dan agamisme.Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,irasional,dan primitive.Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum modern sebagai paham yang kuno,Pandangan itu salah besar.Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah.Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri,kepentingan rezim,dan kepentingan egoisme(keakuan).Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan,diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan,dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah yang sesungguhnya.Apalagi dalam roda perputaran zaman sekarang,di mana orang salah akan berlagak selalu benar.Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.Emas dianggap Loyang.Besi dikira emas.Yang asli dianggap palsu,yang palsu dibilang asli.Semua serba salah kaprah,dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.Untuk itulah Warisjati merangkum beragam artikel dari beberapa sumber tentang pengetahuan Budaya dan tradisi di Nusantara yang merupakan warisan para leluhur yang sarat akan makna dan berbagai artikel lainnya yang saling melengkapi.Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana dan mengambil pelajaran serta pengetahuan dari budaya masa lalu sebagai warisan leluhur di Nusantara ini.

ORANG YANG DENGAN MUDAHNYA MENGATAKAN SESAT KEPADA SESEORANG
ADALAH ORANG YANG TIDAK atau BELUM PAHAM AKAN DIRINYA SENDIRI



Sabtu, 01 Februari 2014

SIAPAKAH SUKU OSING di Banyuwangi (Pewaris Asli Blambangan)

Nusantara 

SIAPAKAH SUKU OSING di Banyuwangi (Blambangan)

Suku Osing

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Sejarah
Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.

Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat terluhat dari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan dengan tari-tari tradisional bali lainnya, termasuk juga busana tari dan instrumen musiknya. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Osing dan Suku Bali yang mempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan.

Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing sangat berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.

Kepercayaan
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebaga usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

Demografi

Demografi

Suku Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi,Kecamatan singonjuruh,Kecamatan Sempu, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon. Komunitas Osing atau lebih dikenal sebagai wong Osing oleh beberapa kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Songgon, Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk non-Osing, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Osing menyebutnya wong Jawa-Kulon).
banyuwangi pada tahun 1815
banyuwangi 1815
banyuwangi,rogojampi,pampang(muncar),grajagan, rajegwesi 1815
bw2
grajagan 1815
grajagan 1815
rajegwesi
banyuwangi sekarang
bwi sekarang 1
Profesi
Profesi utama Suku osing adalah petani, dengan sebagian kecil lainya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan, guru dan pegawai pemda.

Stratifikasi Sosial
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. tetapi telah ditemukan perbedaan stratifikasi di Suku tersebut, kaum Drakula, kaum sudrakula, kaum hydrakula, kaum coliba. mereka merupakan penduduk asli.

Seni
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya suku bali dan suku tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung, Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong dan Jedor.

Desa Adat Kemiri
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku osing yang cukup besar dengan menetapkan desa kemiri di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Suku Osing. Desa kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.
Barong Ider Bumi merupakan salah satu upacara adat tahunan yang dilakukan masyarakat suku Using, Banyuwangi. Ritual ini masih sering diadakan di desa adat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Kegiatan Barong Ider Bumi ini rutin diadakan setiap tahun, biasanya dilaksanakan dua hari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Iring-iringan barong itu diarak keliling kampung dengan dikawal tujuh perempuan tua yang membawa ubo rampe (perkakas ritual). Kirab barong itu juga disertai lima perempuan pembawa beras kuning dan uang Rp. 99.900. Ada juga dua perempuan pembawa kendi.
Menurut tetua adat Kemiren, Barong Ider Bumi sudah berlangsung sejak tahun 1940. Pelaksanaannya serba dua, karena kekuatan pelestarian alam ada dua. Baik dan buruk, wanita dan laki-laki.
Asal muasal adanya Barong Ider Bumi berawal dari adanya wabah pagebluk (penyakit) dan bencana yang melanda Kemiren. Setelah itu, tetua adat di Desa Kemiren mendapat wangsit melalui mimpi Buyut Cili (yang merupakan tetua adat Kemiren terdahulu). Dikatakan bahwa untuk menghilangkan pagebluk itu harus dilaksanakan Barong Ider Bumi.
Dalam iring-iringan Barong Ider Bumi diharuskan ada ”barong” sebagai lambang persatuan, ”uang koin” sebagai pengusir lelembut, dan ”sembur uthik-uthik” beras kuning sebagai pelengkap.
Makna dari sebuah gending PODHO NONTON
gandrung banyuwangiGandrung adalah kesenian khas Banyuwangi. Kesenian ini merupakan bentuk manifestasi masyarakat suku Osing dalam melawan penjajah. Sejarah masa lalu suku osing yang kelam pada waktu dibawah pemerintahan kerajaan Blambangan karena masalah politik baik itu perlawanan terhadap kerajaan Majapahit walaupun akhirnya Majapahit memberikan kesempatan kepada Blambangan untuk melepaskan diri tetapi kerajaan lain seperti Mataram, Demak, Pasuruan dan Bali bahkan perlawanan terhadap penjajah VOC menyebabkan karakteristik 
masyarakat suku Osing yang tertutup dan cenderung egaliter. Pada puncaknya perlawanan yang terjadi pada tahun 1771-1772 yang dikenal dengan perang “Puputan Bayu”(puputan = habis-habisan, bayu = tempat dimana terjadinya perang, daerah Bayu yang terletak di kecamatan Songgon) yang dipimpin oleh pangeran Rempeg Jogopati, walaupun peperangan dimenangkan oleh pihak VOC. 
Kesenian gadrung merupakan bentuk perlawanan wong Osing terhadap penjajah Belanda dalam bentuk kesenian yang sifatnya mengkritik penjajah pada waktu itu. Sehingga sebagian besar gending-gending gandrung mempunyai makna perjuangan melawan para penajajah. Hingga saat ini kita masih bisa mendengar gending-gending tersebut seperti Podo Nonton yang merupakan lagu wajib yang dinyanyikan oleh penari gandrung pada saat sesi pertama pertunjukan gandrung, yang lebih dikenal dengan istilah Jejer. 
Berikut teks gending Podo Nonton.
Podo Nonton
Podo nonton, pudak sempal ring lelurung
Ya, pendite pudak sempal, lambeyane para putra
Para putra, kejalan ring kedung Lewung
Ya, jalang jala sutra, tampange tampang kencana

Kembang Menur, melik-melik ring bebentur
Ya, sun siram alum, sun petik nyirat ati
Lare angon, gumuk iku paculana
Tandurana kacang lanjaran, sak unting ulih perawan

Kembang Gadung, sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang, kang nowo wong adol kembang
Wong adol kembang sun barisno ring Temenggungan
Sun iring Payung Agung, labeyane mebat manyun

Kembang Abang, selebrang tiba ring kasur
Mbah Teji balenana, sun enteni ning paseban
Paseban Agung, kidemang mangan nginum
Sleregan wong ngunus keris, gendam gendis kurang abyur

Terjemahannya :
Semua Menyaksikan
Semua menyaksikan, tubuh yang bergelimpangan di jalan
Tubuh yang bersabuk emas, pertanda mereka adalah putra-putri
Putra-putri yang tertipu di kelokan air
Ya, tertipu pada sebuah jala dari sutera yang bertatahkan Kencana
Bunga Melati, indah menawan di sudut halaman
Kusiram layu, kupetik menyentuh hati
Wahai anak gembala cangkul bukit itu
Tanamlah kacang panjang, seuntai seharga anak perawan
Bunga yang memabukkan, sekuntum ditawar seribu
Tiada murah, tiada mahal, telah ditawar penjaja bunga
Penjaja bunga, kujajarkan di Temenggungan
Kuiringi Payung Agung, melambaikan keagungan
Kembang merah, indah di petilaman
Ingatlah semangat Mbah Teji, kutunggu di depan sekali
Di Pendapa Agung, para penguasa makan dan minum
Gemerincing senjata (keris) dihunus, laksana gula jawa yang mencair

Jika kita perhatikan syair gending tersebut, kita bisa menafsirkan betapa beratnya perjuangan wong osing pada waktu itu. 

Para pejuang yang rela mengorbankan nyawa mereka hanya untuk mempertahankan tanah airnya. Pencipta gending ini berusaha memberikan semangat kepada wong osing. Uniknya, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui siapa pencipta gending-gending gandrung karena sepengetahuan saya, ketika melihat kaset-kaset gandrung tidak mencantumkan pencipta gending. 

Semoga saja, lare osing saat ini bisa meneruskan perjuangan para pahlawan. Membangun kota Banyuwangi agar lebih maju dengan rahmat Allah, dan tentunya Lare Osing harus Jenggirat Tangi.
Ojo lali yo dulur-dulur, konco-konco lare osing kabeh, riko ojo sampek lali ambi tanah kelahiran riko dhewek Banyuwangi. Kanggo poro pemuda laros utamane, tetep semangat nggayuh cita-cita masa depan lan ojo sampaek riko parek-parek nang arane NARKOBA kerono biso mateni masa depan lan awak riko dhewek. Lan kanggo poro pejabat ojo sampek riko ngelakoni KORUPSI, KOLUSI lan NEPOTISME, kerono iku biso nggarai ancure negoro.

OSING ( PEWARIS BLAMBANGAN )

SISA –SISA LASKAR BLAMBANGAN 2
Osing merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927). 

Menurut Leckerkerker (1923:1031),orangorang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya (Stoppelaar, 1927). sebagai kelompok budaya yang keberadaannya tidak ingin dicampuri budaya lain. Penilaian masyarakat luar terhadap orang Osing menunjukkan bahwa orang Osing dengan budayanya belum banyak dikenal dan selalu mengaitkan orang Osing dengan pengetahuan ilmu gaib yang sangat kuat (Engel, 1990:3)Perjalanan sejarah tidak bisa di belokan .walau pembelokan sejarah/pembunuhan karat er terus mengrogoti.Using adalah sebutan orang luar yang tidak Tahu sebenarnya siapa sebenarnya masyarakat ini…Kalau diselidiki kembali kebelakang menelaah sejarah yang terjadi .

Novi Anoegrajekti, dosen Fakultas Sastra Universitas Jember, dalam pengantar novel Kerudung Santet Gandrung, punya pendapat menarik tentang bahasa Osing. Masyarakat Osing adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan kecil di ujung timur pulau Jawa yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Penyerbuan terus-menerus oleh Majapahit membuat masyarakat Osing cenderung defensif, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Dan itulah potensi oposisi terhadap orang-orang Jawa Kulon.

Sikap oposisi ini diwujudkan dalam bentuk sosio-kultural. Masyarakat Osing enggan mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa. Mereka menegaskan identitas diri yang berbeda. Salah satunya, “Menggunakan bahasa Osing,” kata Novi. Selain itu, muncul kesenian gandrung  “Ini contoh mereka menegaskan identitas dirinya,” katanya.
Istilah Osing sendiri berasal dari kata sing atau hing, yang berarti “tidak”. Menurut Novi, penduduk “asli” Banyuwangi yang menolak hidup bersama pendatang dari luar, sikap defensif ini buah dari trauma psikologi penyerbuan orang-orang Majapahit ke Kerajaan Blambangan dan trauma perang bayu. Penegasan identitas diri itu melahirkan bahasa, tradisi, dan pranata sosial yang berbeda dengan masyarakat Jawa kebanyakan.

juga bisa ditelusuri estafet blambangan dari sejarah gandrung ,
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang
Demikian antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.

            Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai berikut:
Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya didalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).
            Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau  di selong (di buang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.
            Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.
            Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian  setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal; 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut;
Pada tanggal 7 Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya. (Balambangan Indisch Gids II th. 1923 h. 1060).
            Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni
tidak bisa dipungkiri lagi wong osing adalah sisa wong blambangan yang masih ada.sebutan wong blambangan bisa kita telusuri dari sejarah tawang alun.sampai Pemberontakan Rempeg jogopati.dimana tawang alun adlah seorang raja besar yang mempunya banyak selir.yang menurunkan tokoh-tokoh blambangan.
Sejarah penguat kanapa wong osing adalah sisa wong blambangan bisa dilihat dari perjalanan sejarah ;
  1. sinuhun tawang alun yang mendirikan kerajaan di daerah hutan Sudiamara  atau macan putih.daerah tsb berada di wilayah kec kabat.sampai sekarang penduduknya masih penutur bahasa osing.
  2. Pemberontakan Rempeg jogopati terkonsentrasi di daerah bayu,songgon.(songgon terletak di kec songgon.dan sampai sekarang masih penutur aktif osing)
  3. Pemberontakan wong Agung Willis di banyuwangi.
  4. Sayu Wiwit yang di tugaskan Rempeg Jogopati menghadang belanda di jember,sampai sekarang menyisakan sebagian masyarakat daerah jember masih menggunakan bahasa osing.seperti daerah puger……………….
  5. Banyaknya nama-nama desa (yang tercantum dalam Babad blambangan)sampai sekarang nama desa tsb masih  ada terutama di lingkaran segitiga emas.
  6. Susuhunan Tawang Alun adalah raja blambangan terakhir, melahirkan/mempunyai hubungan keluarga tokoh-tokoh seperti agung wilis,Rempeg Jogopati.rempeg jogopati/mas pakis berasal dari desa pakis.
  7. Makam mas Surongganti di desa gladag ( penutur osing aktif).Tawang Alun I memiliki Putra :Gede Buyut,Mas Ayu Widharba,Mas Lanang Dangiran (Mbah Mas Brondong),Mas Senepo/Mas Kembar,Mas Lego.selanjutnya Mas Lego menurunkan MAS SURANGGANTI dan MAS SURODILOGO (MBAH KOPEK)
  8. kutipan Van Wikkerman mengatakan  ”Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya. (Balambangan Indisch Gids II th. 1923 h. 1060)..———-petang berada di daerah kec kabat,kaligung-rogojampi,pucang kerep?….
  9. Kutipan makalah sri margana, “tahun 1930-an yang menyebut dirinyanya ‘insider‘‘menyatakan ,Nama “oesing” yang biasa digunakan untuk menyebut orang Blambangan di ujung timur (Jawa).
  10. Dengarlah dia menyanyikan gendingnya, “Cengkir Gading” dan menggerakan kipasnya, lalu rakyat Blambangan yang dewasa dan masih anak-anak mengalir ke suatu tempat dan di luar kesadaran mereka riwayat yang telah lampau diproyeksikan kembali, irama yang gembira dari tarian Ciwa di Chidambaram, tariannya si Gandri di Cungking, pusat dari segala-galanya, yakni dalam hati manusia.  (Gandroeng Van Banjoewangi, John Scholte, 1927).
  11. Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit., hal.153-154.

Desa Dhadhap (Kidang Wulung),= dadapan(sekarang )—kabat
Songgon (Ki Sapi Gemarang), = songgon
Derwana (Ki Kendit Mimang),=derwono—-songgon
Tembelang (Ki Lembupasangan), =tembelang—-kabat
Bareng (Ki Kuda Kedhapan),=bareng—kabat
Balungbang (Ki Sumur Gumuling), =belumbang—-rogojampi
Lemahbang (Ki Suranata),= lemahbang/mabang—-rogojampi
Gitik (Ki Rujak Watu),= gitik—rogojampi
Banglor (Ki Suragati),= LATENG—rogojampi
Labancina (Ki Rujak Sinte),= laban cina—laban asem?—kabat
Kabat (Ki Pandholan),= kabat
Kapongpongan (Ki Kamengan),=popongan—–kabat
Welaran ( Ki Jeladri),= welaran
Tambong (Ki Reksa), = tambong–kabat
Bayalangun (Ki Sukanandi), =boyolangu——giri
Desa Penataban (Ki Singadulan),= penataban—–giri
Majarata (Ki Maesandanu),= mojoroto
Cungking (Ki Jangkrik Suthil),= cungking—kabat
Jelun (Ki Lembu Singa),= jelun—–licin
Banjar (Ki Bakul).=banjar (sebelah timur glagah)
Pegambuiran (Ki Serandil),=gambiran
Ngandong (Ki Seja),= andong
Kebakan (Ki Kebo Waluratu),= bAbakan?
Gagenteng (Ki Kudha Serati),= genteng
Kadhal (Ki Jaran Sukah),= Kendal Ds sragi—-songgon
Sembulung (Ki Gagak Sitra),= sembulung—–cluring
Jajar (Ki Gajah Anguli), = Nongko Jajar tambong—-kabat
Benculuk (Ki Macan Jingga),benculuk
Keradenan (Ki Jala Sutra),= keradenan
Gelintang (Ki Maesagethuk), =gintangan—-rogojampi
Grajagan (Ki Caranggesing).= grajagan —grajagan
Mamelik (Ki Surya), = melik —singonjuruh
Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan),= dusn kelonthang Ds Gendoh—sempu
Rerampan (Ki Kidang Bunto),= dsun Rampan Ds Cantuk
Singalatrin (Ki Banyak Ngeremi).=singolatren
Bubuk (Ki Marga-Supana),= bubuk——–rogojampi
Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul),=gebang(mlebu deso benelankidul)——–singojuruh
Gambor (Ki Bajuldahadhi),=gambor——–singonjuruh
Gembelang (Ki Butakorean),=gombolirang—kabat
Muncar (Ki Genok),=muncar
Bama (Ki Baluran),= bomo—-rogojampi
Geladhag (Ki Margorupit), gladag—-rogojampi
Susuhan ( Ki Tambakboyo),= susukan—songgon
Ngalian (Ki Kidang-Garingsing)=alian
Tamansari (Ki Gajah Metha),= taman sari——-licin
Danasuke (Ki Kebowadhuk),= donosuko
Kalisuca (Ki Jaransari). = kaligung—-rogojampi
Lalerangan (Ki Menjangan Kanin),= larangan= cangkring —rogojampi
Rewah-Sanji (Kidang Wulung),=….(belum diketahui)
Suba/Kuwu (Kidang Wulung), =
Tulah (Ki Lempu Putih), =
Kadhu (Ki Sidamarga), =
Mumbul (Ki Rujak Sentul),=
Cendana (Ki Kebo Waleri),=
Cekar (Ki Gundol), =
Pelancahan (Ki Butangerik)=
Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan),=
Papencan (Ki Bantheng Kanin),=
Jongnila (Ki Gagakngalup)=
Konsul (Ki Maesasura).=
Repuwan (Ki Butānguri),=

desa desa tersebut  95%  penutur osing aktif. seperti desa macanputih bekas kerajaan prabu tawang alun/1655-1692), dari dulu sampai sekarang masih menggunakan bahasa osing atau tidak dijumpai penutur bahasa lain di daerah macanputih.
Fakta penguat .

1. menurut Novi Anoegrajekti, dosen Fakultas Sastra Universitas Jember dalam “seblang-using studi tentang ritus dan identitas using” Dalam peta geografi kebudayaan Banyuwangi, komunitas Using menempati wilayah tengah hingga ke arah timur Banyuwangi. Mereka berdiam secara menyebar di Kecamatan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Singojuruh, Genteng, dan Srono. Dalam kenyataannya sekarang, terutama di dua kecamatan terakhir, mereka telah bercampur dengan penduduk nonUsing yang kebanyakan datang dari Jawa Kulon. Secara geografis, wilayah ini berada di ujung timur pulau Jawa dan berseberangan dengan pulau Bali. Kondisi geografis tersebut tenyata menempatkan komunitas dan budaya Using berada di paling pinggir Jawa dan Bali.   Sejumlah ahli antara lain, Scholte (1927); Stoppelaar (1927), Herusantosa (1987); dan Wolbers (1992), menyebut bahwa komunitas Using terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang, penuh

dengan ketegangan dan konflik antara penduduk -penguasa di Banyuwangi di satu pihak dengan penduduk-penguasa Jawa bagian barat (wong kulonan) dan Bali di pihak lain. Secara historis, Banyuwangi merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad berikut: Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan (Arifin, 1995). Runtuhnya Majapahit diakhir abad XV memberi kesempatan bagi Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan manapun. Tetapi kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagai daerah yang harus ditaklukkan dan dikuasai. Bahkan, Mataram bekerja sama dengan VOC, berusaha menaklukkan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang memperoleh perlawanan keras dari Blambangan di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.

Belanda tidak hanya berhasil memenangkan peperangan itu, karena tidak lama kemudian ia memboyong sejumlah tenaga kerja dari Cirebon, Banyumas, dan Kebumen untuk diperkerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada di bumi Blambangan. Kehadiran tenaga kerja ini kemudian disusul oleh gelombang migrasi dari Jawa Kulon untuk berbagai pekerjaan, khususnya di bidang perkebunan dan pertanian yang tampak membanjir sejak akhir abad XVIII atau awal abad XIX (Stoppelaar, 1927:6; Herusantosa, 1987: 14; 84). Tidak hanya dari Jawa bagian barat, migrasi serupa juga berdatangan dari Madura, Bali, Bugis, dan Mandar sehingga sejak awal abad XIX Banyuwangi tidak lagi dihuni oleh komunitas Using yang homogen melainkan bercampur dengan berbagai pendatang. Jika pada akhir abad XIX penduduk Banyuwangi berjumlah 100.000 jiwa, maka lebih dari separohnya diperkirakan berasal dari kaum migran (Ali, 1993: 5).
Penegasan identitas diri terlihat sangat urgen bagi komunitas Using. Keengganan bahkan ketidakmauan orang Using untuk mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa, terwujud dalam penggunaan bahasa Using, panggilan-panggilan keakraban yang khas, pembentukan pranata sosial warung bathokan, sebutan-sebutan seperti wong Banyuwangi asli, wong Banyuwangen, wong blambangan masih sering terdengar sampai sekarang, bahkan mereka membangun dan mengembangkan ritus serta kesenian.

2.Traumatik terhadap Kerajaan Majapahit.
Didasari dari pengalaman traumatik terhadap kerajaan Majapahit, masyarakat Using atau Blambangan menutup diri dari pengaruh Jawa. Akibat serangan kerajaan Majapahit yang terus menerus terhadap mereka, membentuk sikap antipati terhadap segala yang identik dengan Majapahit atau Jawa. Ada keinginan dari diri mereka sendiri untuk berkata tidak, dan mengembangkan sebuah bahasa dan budaya sendiri yang berbeda dari tetangga mereka di sebelah barat. Di sinilah terlihat bagaimana sikap isolatif dapat menyebabkan sebuah variasi bahasa yang berbeda dengan sekitarnya. Ada faktor historis yang membentuk sikap seperti ini.

3.Keadaan Geografis yang isolatif.
Secara geografis, wilayah Using Banyuwangi memang agak terisolasi, yaitu tertutup oleh pegunungan Ijen dan raung di sebelah utara, Selat Bali disebelah timur, dan Pesisir Selatan Pantai Selatan di sebelah selatan. Keadaan ini sudah barang tentu menyebabkan frekuensi interaksi sosial suku Using dengan masyarakat di luar tidak terlalu tinggi. Selain karena faktor historis yang sudah dijelaskan sebelumnya, ketertutupan ini membuat bahasa Using yang sama-sama berakar dari bahasa Jawa Kuno, memiliki pembeda bila dibandingkan dengan bahasa Jawa atau Bali. Ada interaksi yang lebih intensif sesama orang Using daripada keluar masyarakat Using. Hal ini menyebabkan masyarakatnya cenderung untuk mengembangkan ciri khasnya sendiri, bukan meniru atau mengadaptasi pengaruh luar. Selain itu, fakta masih adanya kata Maning atau Riko yang merupakan kata asli dari Bahasa Jawa Kuno, menegaskan keadaan isolatif yang mereduksi masyarakat Using dari pengaruh luar.

4. Keinginan untuk Memiliki Identitas.
Faktor sosial inilah yang paling menentukan dalam pencirian Bahasa Using terhadap Bahasa Jawa pada khususnya. Orang Using tidak ingin diidentifikasikan sama dengan orang Jawa atau Majapahit yang secara historis ada relasi tidak baik sebelumnya. Berangkat dari prestige inilah, ada kecenderungan orang Using untuk membentuk identitasnya sendiri. Salah satunya adalah dengan mengembangkan Bahasa Using yang berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya.

5. Bahasa sendiri.
Sejarah wong Using atau Osing kabupaten Banyuwangi tidak bisa dipisahkan dari sejarah kerajaan majapahit. Masyarakat Using hakikatnya adalah keturunan dari kerajaan Blambangan yang terletak di ujung timur pulau Jawa. Kata using sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno Sing atau Hing yang artinya tidak. Sebutan ini menurut Dosen fakultas Sastra Universitas Jember Novi Anoegrajekti(dalam Majalah Tempo on-line, http://www.tempointeraktif.com, mengacu pada pengalaman traumatik masyarakat Blambangan akibat serangan kerajaan Majapahit yang terus-menerus,pemberontakan Rempeg Jogopati, Pengalaman ini mengakibatkan sikap defensif masyarakat Using terhadap orang Majapahit, sehingga kata Using yang berarti tidak itu tercetus. Ada sikap antipati dari orang Blambangan terhadap masyarakat Jawa Kulon yang berbahasa Jawa mataraman itu. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Prof. Dr. Suparman Heru Santosa yang telah mengadakan uji linguistik terhadap bahasa Using. Dari penelitian Prof. Suparman, disimpulkan bahwa Bahasa Using merupakan dialeg dari bahasa Jawa Kuno. Jadi sama dengan Sunda, atau Bali..

Using bukan istilah yang dipakai untuk menyebut penduduk keseluruhan Kabupaten Banyuwangi. Suku orang orang Using terdapat hanya di bagian tengah dan bagian utara Kabupaten Banyuwangi, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, kec kabat, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.Dari ciri vonologis bahasa, dapat terlihat perbedaan dengan pengucapan dalam Bahasa Jawa modern. Meski ada kesamaan secara kosakata, namun cara pengucapan yang berbeda terkadang membuat orang yang biasa berbahasa Jawa tak mengerti ketika mendengar ucapan dalam Bahasa Using (Priantono, 2005). Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penciri Bahasa Using dari Bahasa Jawa. Meski sama-sama berasal dari akar Bahasa Jawa Kuna, ada perbedaan yang menghasilkan Bahasa Using sebagai bahasa yang berdiri sendiri.

Dalam teknis penggunaan, pilihan varian dapat digunakan oleh penutur Bahasa Jawa untuk mengidentifikasi status sosial mereka. Ketika digunakan varian bahasa yang semakin tinggi, maka hal tersebut mengindikasikan status sosial yang semakin tinggi pula. Dari sini terlihat jelas perbedaan register antara Bahasa Jawa dan Using. Jika Bahasa Jawa mendasarkan pada status sosial, sedangkan Bahasa Using didasari pada fungsi okasional.

Kosakata Bahasa Using berakar langsung dari bahasa Jawa Kuna, dimana banyak kata-kata kuna masih ditemukan disana, disamping itu, pengaruh Bahasa Bali juga sedikit signifikan terlihat dalam bahasa ini. Seperti kosakata sing (tidak) dan bojog (monyet). Lebih jauh lagi, ada pula kata seperti maning yang biasanya kita dengar di penduduk daerah Tegal. Kata tersebut merupakan salah satu kata asli dari Bahasa Jawa Kuna yang masih dipergunakan sampai sekarang di masyrakat Using. Sehingga demikian, menurut Bambang Priantono (dalam blognya di
http://bambangpriantono.multiply.com/, diunduh pada 21 Maret 2010 jam 19:30 WIB) daerah seperti Banten, Cirebon, Tegal, Tengger, Banyumas, dan Banyuwangi adalah sisa-sisa Bahasa Jawa yang masih kuno dan masih tersimpan di dalamnya kosakata Jawa Kuna.Ciri khas lain dari bahasa Using adalah dalam gaya penggunaan. Tidak seperti Bahasa Jawa yang mengenal unggah-unggahan bahasa seperti Ngoko, Kromo, dan seterusnya, Dalam Bahasa Using tidak ditemukan hal serupa. Yang ada hanya gaya bahasa berbeda untuk situasi yang berbeda, bukan karena status sosial. Selain itu, ada pula perbedaan penggunaan pronomina (kata sapaan) untuk orang dengan umur atau kedudukan yang berbeda, sekali lagi bukan karena status sosialnya.

salamun wataslimun
talam watase limun
dari berbagai sumber dan sumber  artikel : http://osingkertarajasa.wordpress.com/

8 komentar:

  1. aku bangga jadi orang Banyuwangi :)

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, ini adalah referensi yang sangat lengkap dan membantu sekali untuk tugas saya :)

    BalasHapus
  3. Kekayaan budaya bangsa yg aneka ragam , apakah di desa pesisir pantai kota kamal madura yg bahasa nya tdk sm dgn madura dan jawa juga termasuk duku osing ? Sejak prnjajahan tdk pernah belanda atau jepang pernah menginjakan kakinya di desa tsb , bahkan hingga kini pemda jatim blm pernah melihat budaya dan makanan khasnya , pernah dalam duatu pameran masakan jatim saya perkenalkan makanan cotonya , semua tamu nyobain sampai berebut krn enak bahkan panitia gsk tau keberadaan desa yg dekat dgn kita kamal madura tsb , letak geografinya di madura tp budaya dan bahasanya tdk seperti bhs madura juga logatnya.

    BalasHapus
  4. Terima kasih ini referensi sangat menarik ����

    BalasHapus
  5. Joss mas bro, bisa bangga jadi lare banyuwangi..

    BalasHapus

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU

KEBERLANGSUNGAN

Sedekah(Bisa Menunda Kematian)
KLCK aja ICON dibawah untuk Baca berita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...