Laman

Minggu, 16 Februari 2014

Budaya SAPARAN REBO PUNGKASAN BENDUNG KAYANGAN (Kulonprogo) Jogjakarta

 Budaya Nusantara

Budaya SAPARAN REBO PUNGKASAN BENDUNG KAYANGAN (Kulonprogo) Jogjakarta


" Sebuah acara dan upacara adat tradisi masyarakat Desa Pendoworejo di kaki tebing menjulang, pada delta dam kuno, Bendung Kayangan, beserta hamparan tanah pertanian sawah-ladang, berpagarkan lereng Penggunungan Menoreh. Prosesi utama: Kenduri “Kembul Sewudulur” dengan menu khusus, dan “Guyang Jaran” dengan atraksi jaran kepang, disertai rangkaian penggenapannya."
Penggunungan Menoreh
BUKIT KAYANGAN Hijaunya Lembah.... Hijaunya Lereng Pengunungan Menoreh

TEBING menjulang.  Tinggi sejauh pandang. Bagai menusuk langit. Kaki tebing, genangan aliran sungai. Lereng bukit-bukit, deretan Pegunungan Menoreh, hijau terpandang. 
Pohonan rindang, semak-semak hijau ikuti irama gelombang kontur perbukitan.  Di kaki bukit-bukit Kayangan,  melintang bendungan lawas. Dam irigasi teknis peninggalan zaman Belanda. Bendung Kayangan. 

Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan, sebuah kalimat puitis ciptaan SH Mintardja, 

cocok buah mengenang kawasan lereng pegunungan ini.  Jauh sebelum dam irigasi teknis itu, konon, telah ada bendungan air buah karya leluhur warga setempat, Bei Kayangan.  Bendung itu pula yang menyulap lereng pegunungan dapat dioncori aliran air dan tumbuh menjadi areal persawahan menghampar hingga ke lembah terbawah. Di kawasan itu ada garis sejarah yang nyaris terlewat, meski tanda-tanda petilasan menguatkan, adanya peristiwa bermakna di masa lalu. Suatu muasal pada suatu satuan warga yang mewarisinya.

Lereng dan lembah Pendoworejo. Sawah terbentang, pada lereng berundak, mengisi seluruh cekung lembah, menyusun hamparan yang nyaman disaksikan. Pemandangan alam yang sempurna, baik kala sawah menghijau, menguning, atau saat sedang diolah berlupur-lumpur.  Puncak-puncak bukkit yang mengitar, bisa jadi tempat memandang. 

Di lembah kawasan yang sejak lama dikenal sebagai daerah Watumurah, terdapat mutiara sejarah tersembunyi, pesona tradisi penuh pikat, bersama dengan sejumput misteri yang menyelimuti.

DIMANAKAH ?                                    
BENDUNG KAYANGAN
Status administrasinya : terletak di Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kabuapten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Posisi gerografisnya, di lereng Pegunungan Menoreh sisi timur. Untuk mencapainya, cukup mudah. Dari kota Yogyakarta, 23 kilometer kea rah barat. Tegak lurus dari Tugu, langsung menyusur Jalan Godean. Selepas Pasar Godean, terus lurus kea rah barat, melewati Kali Progo hingga perempatan Kentheng, Kecamatan Nanggulan.

Perempatan ini, jika ke kiri (selatan) menuju Kecamatan Nanggulan hingga Kota Kecamatan Sentolo yang terletak di jalur Yogya-Wates. Jika belok kanan (utara) menuju Kecamatan Kalibawang dan bisa diteruskan hingga Muntilan, Mendut, Borobudur dan Magelang.

Menuju Bendung Kayangan, dari perempatan Kentheng lurus ke barat ke arah Kecamatan Girimulyo. Tidak terlalu jauh, dan jalanan makin menanjak. Tatkala mencapai tanjakan mendaki lereng bukit terdepan, sampailah di dataran Watumurah. Pada saat itu akan dijumpai sebuah kitaran perbukitan memagar dengan lembah persawahan yang menghampar. Sebuah lembah dengan gunung gemunung, lebat menghijau, mengitar menjulang.

Pada sisi barat laut area persawahan itu, terlihat tebing tinggi menjulang, dengan sebuah guratan sungai di kaki bukit. 

Disitulah Bendung Kayangan. Dengan melintas jalan raya menuju Girimulyo, mengitar persawahan, selepas melintas jembatan kecil Kali Kayangan, belok ke kanan menyusuri jalan kecil. Di penghujung jalan di kaki bukit itulah area Bendung Kayangan. Dekat dan mudah dijangkau.

Jika perjalanan diteruskan, jalan kea rah Kecamatan Girumulyo dengan tanjakan dan kelokan yang menantang, akan dicapai perbukitan dalam deret gugusan Pegunungan Menoreh yang bisa menjangkau Samigaluh di utara, Kota Wates di selatan, dan ke barat akan terjumpa Goa Kiskendo, Goa Suplawan, dan Kota Purworejo.

Mitos dan Legenda 
BEI KAYANGAN Sang Pekathik
Kisah-kisah cikal bakal, asal muasal, Bendung Kayangan.
Kembul sewu 3
SEBUAH versi cerita rakyat mengisahkan, saat Prabu Brawijaya pungkas, raja Majapahit yang mengembara menghindar dari penaklukan dan melakukan perlawanan budaya, suatu saat sampai di Lereng Pegunungan Menoreh dan sempat tetirah. Bersamadi di tepian kali sambil memandang tebing cadas menjulang. Mungkin Sang Prabu merasai adanya getaran energi yang menguatkan tekadnya untuk terus mengembara menemukan kesejatian hidup, melepas kenikmatan tahta, kalah namun tidak pernah takluk.

Dalam pengembaraan panjang menghindar dari kejaran lawan, Sang Prabu terkesan pada suasana nyaman dan tentram berada di tengah alam yang terlindung oleh pagar-pagar bukit rimbun dengan aliran sungai bening. Saat hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu meminta salah satu abdi bersama sejumlah pendamping agar tetap tinggal dan membangun kehidupan di sekitar kali dan tebing itu. 


Demikianlah, setiap kali singgah di suatu tempat, Sang Prabu selalu menandainya menjadi petilasan. Di lereng Pegunungan Menoreh, Sang Prabu meminta abdi kinasihnya, seorang yang ahli dalam mengurus kuda-kuda Sang Prabu, untuk tetap tinggal dan membangun kehidupan serta perkampungan di kawasan itu. Pria pengurus kuda (pekathik) itu dikemudian hari dikenal sebagai Bei Kayangan. Seorang punggawa raja (bei) yang tinggal di lereng bukit Kayangan.

Versi cerita rakyat lainnya menyebutkan, salah seorang keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, terus mengembara menghidar dari pertikaian tanpa akhir di Majapahit. Pengembaraan berakhir ketika sampai di sebuah perbukitan berlembah yang terlindung. 

Di dekat tebing bukit dan aliran sungai, bersama dua pendamping setianya, Ki Diro dan Ki Somoito, ia menghentikan perjalanan. 

Tetirah dan menemukan kedamaian diri. Selanjutnya, mengembangkan kawasan itu menjadi pemukiman dan bercocok tanam. Guna kebutuhan persawahan dan perladangan, dibangunlah sebuah bendungan air dan saluran oncoran. Keturunan Brawijaya itu dikemudian hari dikenal sebagai Bei Kayangan, cikal bakal Dusun-dusun didesa yang kini dikenal sebagai Desa Pendoworejo.

Ketika berada di tempat itu, keahlian mengurus kuda tentu tidak ditinggalkan. Tak heran, jika Bei Kayangan mengembangkan lingkungan tinggalnya cocok untuk memelihara kuda. 
Kuda butuh pakan hijauan, air yang cukup, dan area penggembalaan sekaligus tempat melatih kuda sebagai kuda tunggang, kuda beban, dan kuda-kuda prajurit. Disamping itu, kawasan tinggal harus berkesuburan dengan menghasilkan sumber-sumber pangan. 

Bei Kayangan membuat bendungan air agar tanah dapat diolah buat bercocok tanam. Meski demikian, lereng itu tidak pernah menghapus diri sebagai kawasan tetirah dan menenangkan diri. Sembari bercocok tanam dan memiara kuda, Bei Kayangan terus setia pada perintah Sang Prabu. Kuda-kuda piaraannya, sering dimandikan di aliran air dekat bendungan. Hingga, pada suatu saat tanpa diketahui banyak orang, Bei Kayangan menghilang bersama kuda kesayangannya. Diperkirakan, Bei Kayangan dan kudanya muksa di tempat itu.
Sebagai bentuk penghormatan kepada jasa Bei Kayangan, lahir tradisi kenduri wujud syukur kecukupan air untuk pertanian pangan dan ritual memandikan (ngguyang) kuda di aliran Bendung Kayangan. Tradisi kenduri di Bendung Kayangan itu turun temurun diselenggrakan sekali setahun, pada tiap hari Rabo terakhir di bulan Sapar. Lalu, dikenallah Saparan Rebo Pungkasan. 

Belum ada penjelasan, mengapa hari Rabo, dan mengapa pula bulan Sapar. Alasan pemilihan waktu, sejauh ini, belum dikaitkan dengan peristiwa yang dialami Bei Kayangan atau perhitungan almanak tertentu. Apakah, hari Rabo terakhir di bulan Sapar itulah diperkirakan Bei Kayangan muksa?

Di seputaran Bendung Kayangan, ada sejumlah makam kuno. Beberapa di antaranya, belum dapat terjelaskan. Tugas sejarah buat menyingkapnya, perkenan para ahli pikir mengungkapnya.

Demikianlah kisah lahirnya tradisi Saparan Bendung Kayangan. Mirip kisah-kisah Saparan di tempat lain, banyak yang mengambil sumbu kisah Brawijaya V, kisah abu-abu masa akhir keruntuhan Majapahit. Kisah keruntuhan kerajaan Majapahit dan raja Brawijaya terakhir yang mengembara, menghindar dan melakukan perlawanan, bersama para pengikut setianya. 

Kisah-kisah ini banyak digunakan sebagai rujukan dari banyak asal usul perkampungan dan tempat bersejarah (petilasan) , muasal tradisi, dan bahkan silsilah keturunan suatu kaum.
Terdapat penanda-penanda fisik pada banyak petilasan yang dipercaya sebagai peninggalan Sang Prabu. Ada pula penanda penting lain, yaitu meninggalkan keturunan, buah perkawinan dengan perempuan setempat. 

Saparan Rebo Pungkasan
Kembul Sewu Dulur menjadi salah satu tradisi yang selalu digelar dalam upacara adat Saparan Rebo Pungkasan “Ngguyang Jaran Kepang” Bendung Kayangan di Desa Pendoworejo, Kulonprogo.
Saparan Rebo Pungkasan “Ngguyang Jaran Kepang Kembul Sewu Dulur” Bendung Kayangan Kulonprogo

Kenduri, peristiwa budaya yang merata hampir ada dalam tradisi manusia. Kenduri, tradisi universal. Hanya bentuk, cara, dan isinya saja yang berbeda-beda. Pada intinya, makan bersama. 

Demikian pula dalam Rebo Pungkasan Bendung Kayangan, kenduri menjadi mata acara utama. Diceritakan, tradisi kenduri massal di area bendungan ini sudah berlangsung turun temurun dan tidak diketahui lagi awal mula dan muasalnya.  
Berlangsungnya Kenduri :

Ketika hari Rabu terakhir di bulan Sapar tiba, setiap rumah tangga (somah) di dusun-dusun Ngrancah, Kalingiwa, Turusan, Krikil, Banaran, Kepek dan Gunturan bersiap dengan serangkaian menu siap saji yang dimasak sendiri. Menu utama yang mereka siapkan: bothok lele, panggang mas, dan nasi golong. Semuanya tanpa dibumbui garam. Menu variasi dan tambahan, boleh disertakan. Biasanya, urap sayur mayor, lauk pauk ala kadarnya. Sementara itu, menu unggulan disediakan oleh Lurah. Biasanya, berupa satu ingkung ayam jago utuh.

Hebatnya, meski disiapkan menu khusus, namun tidak satupun yang disiapkan sembagi sesaji seperti upacara tradisi pada umumnya. Di Bendung Kayangan, seluruh menu makanan yang dibawa ke area kenduri untuk dimakan bersama. Sebelum makan, dilangsungkan doa bersama.

Apa itu bothok lele?
Bothok lele, masalah berbahan baku ikan lele. Dibersihkan dan dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Dicampur dengan adonan bumbu rempah mirip bumbu pepes tanpa daun kemangi, dengan tambahan parutan kepala yang belum terlalu tua. Dibungkus dengan daun pisang dan dikukus hingga masak. Lele bumbu bothok. Khusus dalam upacara ini, bothok lele dilarang menggunakan bumbu garam. Tanpa garam.
Konon, Bei Kayangan yang tinggal di dekat Bendung Kayangan, menyukai masakan bothok ikan lele. Lele, diambil dari sungai. Mungkin. Mengapa harus tanpa garam? Menurut sumber setemat, itu dimaksudkan sebagai pepeling atau nasihat dari Bei Kayangan, bahwa saat menikmati makanan lezat, harap diingat bahwa kelezatan itu karena peran garam. Tanpa garam semua menjadi tawar dan hambar. Karena itu, jika mendapatkan kenikmatan selalulah bersyukur, sekaligus tetap prihatian (bersahaja), tidak berlebihan, dan ingat jasa pengorbanan pihak lain.

Kenapa bothok? Konon, bothok salah satu jenis masakan yang menyatupadukan segala ramuan dan bahan bakunya. Juga paduan antara sumber makanan hewani dan nabati. Terbungkus dalam satu wadah dan matang bersama-sama antara bungkus, adonan bumbu, dan bahan utamanya. Bothok, menurut cerita, symbol harapan untuk senantiasa manjing ajur ajer, hidup menyatu tanpa pernah membeda-bedakan meskipun jelas-jelas semuanya punya perbedaan.

Apa itu panggang mas?
Panggang mas, sebenarnya masakan sederhana. Telur ceplok. Cara masaknya juga sederhana, dipanaskan di atas perapian melalu wajan pemanggang. Minyak goreng secukupnya saja, cukup dioleskan, lalu telur dituang begitu saja. Nyala api kecil. Panggang Mas diusahakan matang perlahan. Telor ceplok matang terpanggang, bukan matang tergoreng. Panggang mas, kesat dan ranum kecoklatan. Telur panggang yang ranum keclokalatan, menyerupai warna emas.

Lagi-lagi, panggang mas dimasak tanpa garam. Tanpa bumbu apapun. Mengapa telur ceplok? Ceplok artinya memasak telur tidak dengan mengaduk cairan putih dan kuning telurnya. Tidak seperti dalam memasak dadar. Langsung, kuning dan putih telor dituang ke pemanggangan. Konon, sebagai nasihat bahwa orang harus ingat sangkan atau asal muasal, dari bibit (winih) yang dilambangkan telur. Siapapun bermula dari bibit yang sama, tugas setiap manusia, mengubah bibit itu menjadi emas, menjadi sesuatu yang berharga.

Apa itu sego golong?
Sego golong, adalah nasih putih yang disajikan dalam bentuk golong, atau bulatan yang rapat dan berpermukaan halus, rata dalam lengkung yang harmonis. Sego golong melambangkan persatuan dan kesatuan kekuatan utama dari para warga.  
Rumah Makan Kertasari | Nasi Golong
Nasi sumber kekuatan utama, dan para pemakannya harus bersedia untuk golong gilig, sesia sekata, bahu membahu, dan bergotongroyong berkerjasama dalam hidup seharihari. Dengan cara disajikan dalam bentuk golong, nasi akan mudah disantap dan tidak tercerai berai.

Apa itu ingkung?
Ingkung itu ayam dipotong dan dibersihkan,  dimasak utuh dengan cara direbus bersama bumbu rempah-rempah sederhana. Saat menjelang masak, santan kental dimasukkan kedalam rebusan bumbu dan ayam. Ayam gurih yang tersaji utuh. Ingkung ayam ini bukan sajian keharusan dalam Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini melainkan hanya simbol kesediaan pemimpin desa member yang terbaik bagi warganya.
Jelas sekali, seluruh masakan yang diperlukan dalam kenduri ini berasal dari sumber-sumber local dan tersedia di lingkungan desa. Tidak perlu mencari-cari sajian kenduri yang aneh-aneh. Bei Kayangan mengajarkan kesederhanaan, kerukunan, kebersamaan, dan menghindari kesia-siaan.

Semua menu disiapkan oleh setiap somah atas biaya sendiri. Porsi tiap-tiap menu, secukupnya saja, tidak berlebihan. Cara takar porsi menu, biasanya diporporsionalkan dengan jumlah anggota keluarganya. Meski demikian, tetap disiapkan sesuai kemampuan. 

Seluruh masakan ditata di dalam tenong. Tenong, semacam benjana dari anyaman bambu, lingkar berwengku, terdiri dari alas di bawah dan sungkup penutup di atas, bisa difungsikan buka dan tutup, menjadi alat tradisional untuk taruh, bawa, kirim, masakan dan makanan.  Menu utama, nasi golong, panggang mas, dan bothok lele menjadi semacam keharusan. Lainnya, bersifat manasuka. 

Selesai ditata dalam tenong, pada siang hari saat waktu makan siang, isan gawe, warga laki dan perempuan, mengangkat tenong menuju delta Bendung Kayangan. Perjalanan mereka menuju lokasi kenduri, berderet berjajar, melangkah perlahan menyusuri lereng, menyunggi tenong di kepalanya, mengalir hingga area perhelatan. Di area perhelatan, sudah disiapkan tikar ala kadarya, penduh ala kadarnya, lalu warga menurunkan tenongnya, menjajarkan dengan tenong-tenong warga lainnya. Sembari menunggu kedatangan warga lainnya, mereka duduk-duduk menunggu sembari bercanda dan mempercakapkan kehidupan sehari-hari mereka. 

Di antara hidangan dalam tenong itu, ada satu tenong yang disiapkan Lurah. Isinya, plus ingkung ayam jago. Hidangan paling istimewa. Air kali terus mengalir. Angin terus menghembus. Para pemilik kuda kepang, siap dengan kuda mereka masing-masing. Panas siang seakan meredup di antara segarnya alam dan gemericik air yang terus mengalir. Tebing bukit seakan memberi penahan dan perlindungan.  Seluruh yang hadir, bergabung dengan ratusan warga yang sedang menghadapi barisan tenong-tenong. Ketika para pembesar desa telah tiba dan semua warga telah terkumpul, dimulailah ritual kenduri bersama itu. Khidmat, warga memulai kenduri.
Sungkup tenong dibuka. Pak Lurah memberi pidato ringkas. Semua yang hadir, warga, para pemilik kuda kepang, dan tetamu dari manapun datangnya dan siapapun mereka diajak untuk bersama-sama mendekat. mBah Modin, tetua desa mulai mengumandangkan doa-doa. Semua takzim mengamini. Doa syukur pun dikumandangkan ringkas dan bersahaja. 

Selesai, maka seluruh warga dan siapapun yang berada di tempat itu, diajak bersama menikmati seluruh hidangan yang disajikan. Semua boleh menikmati sepuasnya, boleh memilih tenong milik siapapun. Ingkung ayam yang disediakan Lurah pun dibagi-bagi semerata mungkin. Beralaskan daun pisang, mereka lahap makan di tepian bending, aliran dan genangan air. Pesta rakyat itu menghilangkan sekat-sekat tanpa batas, mereka setara menikmati yang ada. Tak ada hidangan yang diperebutkan, tidak ada yang terbuang. Kalaupun tersisa nanti akan dibawa pulang. Tidak ada yang mubazir.

Atas hakikat pesta rakyat, kenduri bersama ini sebagai bentuk mengajak siapapun yang dating untuk bersama menikmati hidangan, makan bersama, maka istilah adat yang semula hanya disebut “KENDUREN”, diubah pada tahun 2007 menjadi “KEMBUL SEWUDULUR” yang bermakna makan bersama seribu saudara. Makan bersama dengan orang banyak, membangun persaudaraan. KEMBUL SEWUDULUR lebih sebagai sarana pengeratan warga dan persaudaraan antar umat manusia.

GUYANG JARAN
Kuda Betulan dan Kuda Kepang
saparan rabu pungkasan tradisi adat budaya kulon progo girimulyo pendoworejo nanggulan kenteng godean jathilan ngiwa gunturan majapahit brawijaya kuda ngguyang jaran kembul sewu sedulur sedhulur
Memperagakan Mbah Bei Kayangan yang sedang memandikan kuda.
Itu kuda jathilan umurnya sudah beratus-ratus tahun.
Pada awalnya, diperkirakan, tradisi ini bersifat ritual tahunan. Memandikan kuda piaraan dengan air Bendung Kayangan. Dipercaya, Bei Kayangan seorang pekathik kuda yang tangguh. Terampil dalam merawat dan melatih kuda. Bendung Kayangan yang dibangunnya di masa lalu pun tidak lepas dari kebutuhan perawatan kuda, disamping untuk kebutuhan irigasi pertanian. Para pemilik kuda di seputaran Bendung Kayangan di masa lalu, mungkin, punya keyakinan tertentu atas manfaat air bendung kayangan bagi kuda-kuda mereka.

Tatkala kuda tak lagi menjadi hewan piaraan untuk membantu kerja manusia, karena tergantikan kendaraan bermesin, maka entah sejak kapan acara ritual itu diubah dengan memandikan kuda kepang, modifikasi figure kuda sebagai alat menari dalam pertunjukan seni tradisi. Alat itu terbuat dari anyaman bamboo yang dihias dan dicat warna warni, menjadi barang seni. Yang terang, banyak grup kesenian yang mengirim kuda kepangnya untuk dimandikan pada Rebo Pungakasan di Bendung Kayangan ini. Kuda kepang dimandikan, dibersihkan, dijamas dengan air Bendung Kayangan.

Prosesi memandikan kuda ini mungkin juga untuk memperkuat kenangan kepada leluhur warga, Bei Kayangan yang pecinta kuda. Kehadiran kuda yang dirawat dengan baik (dimandikan/dibersihkan) seakan menjadi proses pemuas dan pelega, sesuatu yang menggembirakan bagi Bei Kayangan. Tradisi turun temurun.

Prosesi ini dilangsungkan setelah Kembul Sewudulur. Di aliran Kali Kayangan itu, kuda-kuda kepang dimandikan dengan air sungai. Kuda kepang, yang biasa digunakan untuk menari kuda lumping, reyog, dan jathilan dimainkan oleh para penarinya dan dibawa masuk ke dalam genangan aliran air sungai. Para penari dan kuda kepang yang dinaikinyapun basah kuyup. Para warga yang selesai pesta rakyat makan bersama pun bisa tergelak menyasikan para pengguyang jaran itu.

Disamping upacara ritual, memandikan kuda kepang di sungai itu juga sebagai hiburan bagi warga dan tetamu Kembul Sewudulur. Akan lebih menarik, prosesi ini tergarap dalam komposisi seni pertunjukan ritual yang menggugah rasa ingin tahu para penghadir.


Rebo Pungkasan
Sajian Wisata Berbobot

Upacara adat tradisinya, menarik. Lain dari Rebo Pungkasan di tempat lain. Lokasi prosesi, menantang. Ada bukit, lereng, sungai, hutan, perkampungan, sawah, ladang, dan seni kerajinan. Letak strategis, di lintas wisata Yogyakarta -- Borobudur – Mendut dan Pantai Selatan serta Pegunungan Menoreh. Ragam wisata alam, agro, arkeo, komunitas, minat khusus, pasar tradisional, budaya, dan seni pertunjukan, bisa tersedia. Bendung Kayangan, gerbang utama Kulonprogo. Persinggahan penting kunjungan wisata ke Yogyakarta ***
////Source : dari berbagai sumber net///

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU