Laman

Rabu, 22 Januari 2014

SEKELUMIT TENTANG BUSANA ADAT JOGJA

FASHION TRADISIONAL

SEKELUMIT TENTANG BUSANA ADAT JOGJA

Oleh : Yuwono Sri Suwito publising : http://primbondonit.blogspot.com/

“Ajining dhiri gumantung ing lathi, ajining raga gumantung ing busana”
Ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut mengisyaratkan bahwa harga diri dan martabat seseorang tergantung dari ucapan lisannya, sedang nilai jatidiri seseorang tergantung kepada busana yang dipakainya. Dengan demikian busana yang dipakai seseorang tidak hanya sekedar sebagai penutup badan, namun mempunyai arti yang sangat penting bagi si pemakai busana dimaksud. 

Bahkan di dalam Al Qur’an, Surat Al Baqoroh ayat 187 dinyatakan bahwa antara suami istri diibaratkan sebagai busana.

“…..Hunna Libaasul lakum wa antum libaasul lahunna…..” (mereka pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka….)

            Juga di dalam Al Qur’an Surat Al A’rof ayat 26 dinyatakan bahwa taqwa seseorang itu diibaratkan pakaian yang lebih baik untuk manusia.

            “Yaa banii Aadama qad anzalnaa ‘alaikum libaasay yuwaarli sau-atikum wa riisyaw wa libaaasut taqwaa dzaalika khairun dzaalika min aayaatillaahi la’allahum yadzdzakkaruun” (Hai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, sedang pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah supaya mereka selalu ingat).

            Dalam perkembangannya busana bagi para pemakainya dapat berfungsi sebagai penutup aurat, penjaga kesehatan, maupun sebagai perhiasan. Di dalam budaya Jawa makna filosofi dari jenis busana, motif kain sampai aksesoris yang dipakai menduduki posisi yang sangat penting. Bahkan ada beberapa jenis busana, motif maupun assesoris dimaksud kadang ada yang diperbolehkan dipakai, atau tidak diperbolehkan dipakai oleh seseorang apabila dikaitkan dengan pranatan yang berlaku di dalam Kraton.

            Sebagai contoh kain dengan motif parang rusuk atau motif parang barong tidak boleh dipakai oleh sembarang orang, disebabkan kain tersebut merupakan kain kebesaran yang dipakai oleh raja. 
surjan/baju taqwa motif sembagi (surjan dengan motif kembang)
Juga surjan/baju taqwa motif sembagi(surjan dengan motif kembang) di dalam Kraton hanya boleh di pakai oleh raja (Sultan) atau para pengeran yang mendapat ijin dari raja. 
            
Motif batik parang rusuk
parangrusakbarongMotif atau pola parang rusak muncul dimasa Raden Panji,pahlawan kerajaan Kediri dan Jenggala,Jawa Timur, pada abad ke 11.
Yang lain percaya,desain ini diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram (1613-1645) usai meditasi di pantai Selatan Jawa. Konon,ilham datang dari fenomena gelombang-gelombang besar yang memecah karang dan merusaknya. Dalam bahasa Jawa,istilah parang dekat dengan kata karang. Parang rusak berarti karang yang pecah atau rusak.
Batik motif parang, konon dapat memberikan sugesti bagi pemakainya seakan menjadi seorang pembesar. Dalam mitologi jawa, motif parang merupakan pakaian kebesaran raja saat acara-acara resmi kerajaan dan menerima tamu kehormatan. 
Motif batik parang Barong
Parang Barong yang ukurannya kurang lebih 15 cm hanya diperuntukkan bagi Sultan & keluarganya, bahkan proses pembuatannya pun dikisahkan untuk menulis tiap garisnya harus ditulis dalam satu tarikan nafas, sehingga memerlukan konsentrasi lahir batin agar garisnya tidak terputus.

Selain Parang Barong, ada pula Parang Klithik yang boleh dikenakan oleh Keluarga Sultan (Istri & putra-putrinya). Ukuran Parang Klithik pun lebih pendek dari Parang Barong, yakni sekitar 6 cm.
sinuhun-paku-buwana-x-dan-permaisuri
Gambar di atas ini memperlihatkan busana SISKS Pakoe Boewono X beserta permaisuri GKR Mas yang memakai batik bermotif parang rusak.Motif ini menjadi kegemaran para Raja Jawa,di Surakarta maupun di Jogjakarta,sehingga motif parang rusak juga menjadi larangan bagi orang kebanyakan.Aturan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi bagi lingkungan di luar istana/kraton.Nama-nama jenis parang rusak ini dibedakan berdasarkan ukuran polanya.Parang rusak dengan ukuran polanya yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klitik.

surjan/baju taqwa motif sembagi
(surjan dengan motif kembang)
Oleh karena ketidak tahuan masyarakat atas pranatan tersebut, kini banyak sekali pemakaian yang salah atas surjan sembagi dimaksud, bahkan surjan sembagi banyak dipakai oleh para niyaga (penabuh gamelan), seragam among tamu dalam perhelatan, sampai seragam sinoman (pramuladi). Ketidaktahuan masyarakat tersebut dimungkinkan karena di Kraton sendiri banyak aturan (pranatan) yang tidak tertulis atau sosialisasi yang kurang kepada masyarakat, atau tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang atas makna yang terkandung di dalam busana Jawa tersebut.

            Kraton Yogyakarta sebagai sumber acuan busana tradisional membedakan jenis busana adat yang dipakai yang didasarkan atas keperluan dan tingkat usia bagi pemakainya meliputi : 
  1. Busana Padintenan (untuk keperluan sehari-hari), 
  2. Busana untuk Upacara Alit, dan 
  3. Busana untuk Upacara Ageng.

Busana Padintenan (Busana Sehari-hari)
            Busana untuk keperluan sehari-hari di dalam Kraton Yogyakarta dibedakan atas jenis kelamin (putra & putri) dan usia pemakainya. Pembedaan itu meliputi : 
(a) Busana anak-anak, yakni untuk anak usia 5 – 10 tahun; 
(b) Busana remaja, busana untuk usia 11 – 15 tahun; 
(c) Busana dewasa (belum menikah), untuk usia > 16 tahun; dan 
(d) Busana dewasa (yang sudah menikah).

            Busana sehari-hari ini masih dibedakan lagi, sesuai jenis kelamin, tingkat usia, dan status (belum atau sudah menikah), seperti berikut ini.

Busana sehari-hari bagi para Putri 
sampeyan dalem yang masih kanak-kanak.

            Busana ini dinamakan “Sabuk Wala” terdiri dari nyamping kain batik motif parang, ceplok atau gringsing, sabuk (lonthong) sutera atau batik motif tritik, kamus (epek) songket dengan timangan/gesper/cathok bentuk kupu-kupu. Perhiasan terdiri dari subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang, bros, dan gelang. Bagi yang berambut panjang disanggul dengan model konde. Bagi yang berambut pendek tidak memakai sanggul, hanya dihiasi bulu-bulu.

Busana sehari-hari bagi para Putra Dalem 
yang masih kanak-kanak.

            Busana ini dinamakan “kencongan”, diambil dari model kain batik yang dikenakan, baju surjan, sabuk (lonthong) dan akmus (epek) songketan dengan cathok/ gesper/timangan berbentuk garuda, kalung emas dengan liontin berbentuk uang dinar dengan ujung penanggalan.

Busana sehari-hari bagi Putri Dalem 
yang menginjak remaja.

            Busana untuk ini dinamakan dengan “Pinjung Padintenan (Bedintenan)” terdiri dari nyamping kain batik yang sekaligus sampai ke atas sebagai penutup dada. Salah satu sudut kain berbentuk segitiga, sabuk (lonthong) sutera dengan kamus songket, timangan/ gesper berbentuk kupu. Di bagian akhir dipasang udhetdari sutera, dengan plisir atau renda emas, tanpa mengenakan baju. Sanggul model gelung tekuk polosan,  di atas sanggul sebelah kiri diberi tuauk konde.

Busana Sabuk Wala dan Pinjung Padintenan.

Busana jenis ini ada bermacam-macam, digunakan sesuai dengan kegiatan upacara di Kraton. Jenisnya antara lain: Sabuk Wala Gerebegan, Sabuk Wala Tetesan, Pinjung Tingalan Dalem, Pinjung Garebegan, Pinjung Tarapan. Kata gerebegan, tetesan, tingalan dalem dan tarapan menunjuk pada nama acara atau kegiatan.

Busana bagi Putra Dalem yang menginjak remaja

            Busana ini terdiri atas baju surjan, nyamping kain batik dengan wiron, lonthong (sabuk), kamus songket, timang, dan dhester (blangkon).

Busana sehari-hari para putrid Dalem pada usia mengajak dewasa (16 -17 tahun)

            Busana ini juga dinamakan sebagai “semekan Rasukan Bikak”, dinamakan demikian karena di luar semekan (kemben) dikenakan baju kebaya pendek tanpa kuthu baru yang diberi lis keemasan atau renda keemasan. Busana bagian bawah kain batik tulis tanpa wiron yang tersebut deredan dengan tepi kain jatuh dipinggang sebelah kanan, sedang pada bagian atas diberi kemben (semekan) sebagai penutup dada. Warna dasar nyamping (kain) di bawah diusahakan kontras (berlawanan) dengan warna dasar semekannya. Di bawah pinggang sebelah kiri dipasang kacu sutera yang pada salah satu ujungnya diberi dompyong sebagai hiasan.
  
Sanggul berbentuk sanggul tekuk dengan diberi tusuk konde kecil di atas sanggul sebelah kiri yang disebut slempitan (tlesepan). Perhiasan yang dipakai gelang cincin dan subang tanpa kalung.

Busana Putra Dalem yang sudah menikah.

Putri Dalem yang sudah menikah, apabila masuk kraton mengenakan jenis busana yang dinamakan “Semekanan”. Jenis ini berupa kain (nyamping) batik tulis tanpa wiron, sebagai penutup dada dipakai kemben (semekan) batik, kacu sutera diselipkan di bawah semekan bagian bawah pinggang kiri dengan hiasan dompyong di salah satu ujungnya. Gelung tekuk dengan hiasan bunga yang disebut dengan “seplok jenthir”. Perhiasan yang dipakai hanya subang dan cincin tanpa gelang dan kalung. Apabila dibandingkan denganbusana semekan rasukan bikak, perbedaan yang nyata dengan busana semekananbagi Putri Dalem yang telah menikah adalah perbedaan hiasan bunga yang khusus sebagai aksesoris sanggul bagi Putri dalem yang telah menikah yang asesoris ini tidak diperkenankan bagi Putri Dalem yang belum menikah.

            Busana “Semekanan” di dalam kraton Yogyakarta dengan motif “semekan” yang berbeda, menunjukan bahwa busana tersebut dipakai pada upacara tertentu yang diselenggarakan di dalam kraton. Sebagai contoh :Semekan dindur, dikenakan pada upacara perkawinan. Semekan Dringin, dikenakan Putri Dalem Sultan pada saat menjalani Upacara Tantingan sebelum ijab, biasanya pada saat Malam Midodareni. Semekan tritik, dipakai pada upacara tingalan Dalem, semekan Sutra bleg-blegan dan Semekan bathik tengahan sutra dipakai pada upacara kecil di dalam kraton seperti, tedhak siten, dan sebagainya.

            Busana ubed-ubed
             Busana putrid Dalem yang sudah menikah pada waktu masuk kraton, terdiri atas: semekan (kemben) kainbatik tulis, nyamping batik, kaculsaputangan suterayang diselipkan pada semekan bagian bwah dengan memakai subang, cincin, dan ceplok jenthir sebagai hiasan sanggul, tanpa gelang dan kalung.

            Busana pada Upacara Alit dan Ageng
            Jenis busana pada saat upacara alit (kecil) dan ageng (besar) terdiri dari beberapa nama, terkait dengan pemakainya, seperti berikut ini.

            Busana tetesan untuk Putri Raja.
             Tetesan merupakan istilah khitan atau sunat untuk kaum wanita. Hanya bedanya untuk upacara Tetesan di dalam budaya jawa tidak ada bagian yang dimultilasi. Di pedesaan jaman dahulu upacara Tetesan dilaksanakan oleh seorang perempuan yang sudah tua dan telah banyak pengalaman, bahkan kadang seorang dukun bayi sebagai pelaksana upacara tetesan. Yang dipotong oleh si pelaksana upacara tadi adalah sepotong kunyit sebagai simbul bahwa gadis tersebut telah disunat.

            Untuk pelaksanaan upacara Tetesan di Kraton disertai dengan busana khusus bagi putrid yang akan melaksanakan upacara Tetesan. Busana yang dipakai adalah nyamping cindhe yang dikenakan dengan model sabuk wala, dan busana sabuk wala nyamping praos (prada) untuk busana tetesan yang diselenggarakan bersamaan dengan upacara supitan (khitan). Busana lain yang dikenakan adalah lonthong (sabuk), kamus (epek) bludiran, cathok/gesper/timangan bentuk kupu tersebut dari emas dan permata, slepe, kalung ulur, subang, gelang tretes, dan cincin temunggul. Sanggul berbentuk konde dengan hiasan bros di tengahnya, hiasan lancur dari bulu burung. Di atas sanggul diletakkan pethat (sisir) berbentuk penanggalan atau bulan sabit.

            Busana Tarapan
            Upacara Tarapan adalah upacara yang dilaksanakan pada saat anak perempuan mendapatkan haid yang pertama kalinya. Dalam upacara Tarapan ini si gadis yang mendapatkan haid untuk yang pertama kalinya menjalani upacara siraman seperti upacara siraman untuk calon pengantin.

            Busana yang dikenakan adalah: nyamping/ kain cindhe model pinjung, lonthong (sabuk), kamus (epek) bludiran, unhet cindhe, siepe, gelang kana, sangsangansusun, mengenakan subang dan cincin. Sanggul (gelung) model tekuk dengan hiasan pethat (sisir) model gunungan. Pada bagian tengah sanggul diberi hiasan bros, lancur serta peniti renteng pada sisi kiri-kanan belakang sanggul. Upacara supitan bersamaan dilaksanakan bersamaan dengan upacara Tetesan, baju yang dikenakan adalah rasukan budhaya gombyok, mengenakan tutp kepala berbentuk surban yang dinamakan “puthut”, kalung susun serta karset rante.

            Busana Kasatriyan Ageng dan Cara Putri
             Busana ini dikenakan pada saat seorang pangeran serta istri, atau para putra putri raja yang bukan suami istri pada saat menghadiri upacara pernikahan baik di dalam kraton maupun diluar kraton. Busana yang dikenakan terdiri dari kain/nyamping batik wiron, lonthong (sabuk), kamus (epek), timang, keris, baju surjan sembagi, dhestar, ratai, karset, mengenakan bros di dada sebelah kanan serta memakai selop (cenela).

            Untuk pakaian putrid, kain/nyamping batik, rasukan sutera cekak dengan lis keemasan, memakai peniti/bros susun, ukel tekuk dengan slempitan (tlesepan), bagi yang sudah bersuami dapat ditambah dengan hiasan bunga disanggulnya, memakai subang, cincin dan cenela.

Pakaian Pesiar
Pakaian ini dikenakan oleh seorang putrid Sultan pada saat mengadakan perjalanan jauh (keluar daerah). Sang Putri mengenakan kain/nyamping panjang dengan wiron, kebaya sutera dengan lis bludiran kecil keemasan, mengenakan topi dengan hiasan bulu, rimong beludru, stocking dan sepatu. Sementara sang Putri memohon diri dariayahandanya di dalam kraton, suaminya yang berpangkat Bupati menunggu di luar pintu gerbang Magangan. Pakaian yang dikenakan kain/nyamping batik dengan wiron, beskap warna hitam atau atela berwarna putih,mengenakan dhestar, ditambah dengan topi dengan plisir keemasan.

Busana Rasukan Sutera Panjang.
 Busana ini dikenakan oleh Putri sultan yang sudah menikah untuk menjamu tamu resmi di dalam kraton. Rasukan panjang yang dikenakan dari bahan sutera lis-lisan,peniti susun, nyamping/kain batik, ukel tekuk dengan ceplok jebehan, pethat (sisir) gunungan,mengenakan hiasan bunga di sanggul sebagai tanda kalau sudah menikah, subang, cincin dan mengenakan cenela.

Busana Malam Selikur
 Busana ini dikenakan oleh seorang Pangeran pada saat mengikuti upacara setiap malam tanggal 21 Ramadha untuk menyongsong awal dari malam LaillatulQodar. Busana yang dikenakan nyamping/kain batik, lonthong (sabuk). Kamus (epek), timang, bara, keris, surjan,kuluk warna hitam, memakai bros dipasang di dada kanan, rantai, kalset serta memakai cenela.

Busana Takwa dan Pranakan. 
Busana model Taqwa dan Pranakan adalah busana yang saat ini paling berkembang di dalam kraton dan di luar kraton. Khusus busana Pranakan ini menjadi busana resmi bagi para Abdi Dalem Kraton Yogyakarta pada saat bertugas dan berada di dalam lingkungan kraton. 

Adapun busana model taqwa mempunyai kedudukan khusus di dalam lingkungan kraton Yogyakarta. Konon busana model Taqwa ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diilhami oleh Qur’an, Surat Al A’rof ayat 26 seperti tersebut di atas.

Oleh raja-raja Mataram baju Taqwa ini dipakaisebagai bentuk busana Mataram resmi yang kita kenal sampai sekarang. Busana Mataram atau baju Taqwa ini juga mempunyai sebutan lain yakni “Surjan” yang berasal dari bahasa Arap sirojan yang berarti lampu/pelita atau “pepadhang”

Bentuk dan cirri-ciri baju Taqwa ini adalah; berlengan panjang, ujung baju runcing, krah leher (jangan) dilengkapi dengan 3 pasang kancing (jumlah keseluruhan 3x2=6), yang menggambarkan Rukun iman yang berjumlah enam (Iman kepala Allah SWT, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT, Iman kepada para Nabi dan Rosul, Iman kepada  hari Kiamat, dan Iman kepada Qadla dan Takdir). Cirri lainnya adalah, dua kancing baju di dada kiri dan kanan melambangkan dua kalimah Syahadat, dan tiga buah kancing yang ditutup dan tidak kelihatan dari luar melambangkan tiga macam nafsu manusia yang harus dilawan dan ditutup yakni nafsu Lauwamah, nafsu Bahimah (nafsu hewani) dan nafsu Syaitoniyah (syaitan).

surjan/baju taqwa motif sembagi
(surjan dengan motif kembang)
Ageman Taqwa ini terutama yang bermotif kembang-kembang (sembagi) atau yang lebih dikenal sebagia surjan Sembagi hanya diperkenankan di pakai oleh Sri Sultan sendiri dan para Pangeran dan Putra Dalem atas ijin Sri Sultan.

Oleh karenya masyarakat di luar kraton pada saat itu mempopulerkan kain lurik sebagai bahan pakaian Ageman Taqwa/surjan karena masyarakat menyafari bahwa surjan sembagi hanya diperuntukkan bagi Sri Sultan sendiri dan untuk para Pangeran dan Putra Dalem yang telah mendapat ijin dari SriSultan.

Ageman Pranakan adalah pakaian resmi para abdi Dalem Kraton Yogyakarta. Baju Pranakan ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V.  pada  saat Sri Sultan Hamengku Buwono V berkunjung ke Banten, beliau melihat di pesantren dimana para santri putrinya memakai baju kurung (baju berbentuk kurung dengan belahan di bawah leher sampai dada yang diberi kancing, dengan lengan panjang yang ujung lengannya dibelah dan diberi kancing. Fungsi belahan di depan dimaksudkan untuk memudahkan pemakaian baju kurung tersebut, sedang belahan di ujung lengan dimaksudkan untuk memudahkan pemakainya pada saat berwudhu.

Kemudian oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V di ciptakan baju peranakan berbentuk baju kurung dengan ujung lengan bagian bawah dibelah sehingga dinamakan “belah Banten”. 

Makna simbolik baju Pranakan ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono V adalah:
  • Motif Lurik Baju Pranakan disebut “lurik telupat” karena jumlah garis-garis lurik ini adalah “telu-papat” yang bermakna “kewulu minangka prepat”, atau dianggap sebagai saudara kandung antar – abdi dalem satu denga lainnya, dan sangat dekat dengan Sri Sultan, sekaligus sebagai manifestasi konsep “Manunggaling Kawula Gusti”
  • Warna baju pranakan yang biru bermakna sangat dalam, sulit diduga, tidak dapat dianggap remeh, namun juga bermakana rendah hati tetapi tidak rendah diri.
  • Makna kancing pada belah Banten yang berjumlah 5 bermakna Rukun Islam yang berjumlah lima (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, dan Haji), sedang jumlah enam kancing di leher depan menggambarkan jumlah Rukun Iman yang 6 (enam) seperti apa yang ada di dalam Baju Taqwa.

 Apabila para abdi dalem memakai baju Pranakan, maka wiron kainnya dibuat wiron engkol (sebagian wiron di depan diurai/dijebol dan ditata ke bawah), dan tidak diperkenankan memakai cenela di dalam kraton.

Apabila memakai baju Pranakan, maka lonthong (sabuk) yang di pakai harus polos dan kamus (epek) sulaman (bukan kamus bludiran gim). Lonthong bermotif cinde dan kamus bludiranbahan gim hanya diperkenankan bagi abdi dalem sipat bubati ke atas.

Busana Atela dan Beskap. 
Yang dimaksud busana atela dan Beskap di Kraton Yogyakarta adalah busana yang khusus dikenakan oleh abdi dalem Reh Kaprajan (Pegawai Negeri atau mantan pegawai negeri) berpangkat Penewu ke atas, sedang bagi para abdi dalem Reh Punakawan, dengan pangkat Rio Bupati Anom ke atas. Untuk busana atela dan beskap ini bentuk dan potongannya sama, hanya warnanya yang berbeda. Untuk Atela berwarna putih, dan Beskap berwarna hitam. Krah leher (janggan) tegak dengan kancing “kenup” dua buah
<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU