Laman

Rabu, 22 Januari 2014

BUSANA TRADISIONAL "ADAT JOGJAKARTA" ( Menyikapi Kesalahan dalam berbusana antara Gaya Surakarta dan Mataraman Jogja ) JOGJAKARTA dan SURAKARTA Bersaudara berbeda karakter - a cultural review

BUSANA ADAT JOGJAKARTA

BUSANA TRADISIONAL "ADAT JOGJAKARTA"

( Menyikapi Kesalahan dalam berbusana antara Gaya Surakarta dan Mataraman Jogja )
JOGJAKARTA dan SURAKARTA

Bersaudara berbeda karakter - a cultural review

Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu tepat ditandatangani nya perjanjian Gianti yang membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Karena latar belakang politik yaitu perang saudara yang makin memanas antara Pangeran Aryo Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono II akhirnya Kompeni berusaha menengahi sekaligus menjalankan taktik licik VERDEEL EN HEERS membagi dan menaklukkan atau yang lebih beken Devide et Impera. 

Belanda kompeni memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram agar kekuasaannya terpecah belah sehingga lebih mudah dikuasai.. melalui perjanjian ini Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta dan kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sementara Sinuhun Paku Buwono III berkuasa di  Surakarta. Masyarakat di kedua wilayah ini lalu bertumbuh dengan adanya ‘caranya’ masing-masing. Mulai dari cara pandang, cara hidup, cara bicara, cara berbusana sampai pada seni gamelan dan seni tarinya. Yah, sangat beragam dan unik sekali. Contohnya seperti ini, ternyata ada perbedaan dari gaya berbusana antara pria Jogja dan Solo.

 “busana rasa bawa” artinya berbagai macam busana yang kita pakai diberbagai kesempatan akan berbeda pula sikap dan prilakunya sesuai dengan busana yang melekat. Misal : mengenakan celana panjang dengan mengenakan kain tentunya sikap duduk dan prilaku juga berbeda.  
Busana juga dipandang sebagai cerminan stratifikasi sosial dan tingkat peradapan masyarakat suatu bangsa. Seorang raja, pangeran, kerabat kraton, abdi dalem dan masyarakat umum di desa, di perkotaan memiliki stratifikasi sosial yang berbeda dan tentunya busana yang dikenakan  diberbagai acarapun berbeda pula.

Penggunaan busana adat tradisional Yogyakarta yang memiliki latar belakang budaya ketimuran, maka apabila seseorang mengenakannya tampak perilaku yang amat terikat oleh budaya yang melingkupi busana itu.Setidaknya menunjukkan sikap yang teratur dan terkendali kebebasannya, meskipun tetap menunjukkan keanggunannya.

Menurut KRT Pujaningrat  yang dimaksud pakaian adat tradisional Yogyakarta menunjukkan bentuk-bentuk pakaian yang digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Yogyakarta. Artinya pakaian itu sudah dipergunakan untuk kurun waktu tertentu diwilayah Yogyakarta.

Akan tetapi kenyataan di lapangan belum banyak panatacara upacara pengantin yang konsisten, sehingga hal ini menjadikan sebuah persoalan tersendiri. 

Penyaji sebagai perias pengantin seringkali “kerjasama” (yang mencari ingkang kagungan kersa) dengan panatacara beserta busana yang dikenakan. 

Misalkan rangkaian upacara adat Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta, tetapi busana yang dikenakan gaya Surakarta (Solo). Busana yang dikenakan panatacara lebih “mompyor” (macak gajah/berlebihan) daripada yang punya hajat. Beskap dan surjan gaya Yogyakarta, nyamping dan keris gaya Surakarta.

Tentang busana jawa tradisional gaya Yogyakarta bagi panatacara baik pria maupun wanita, meskipun sebagian besar panatacara di wilayah Yogyakarta adalah pria.
JOGJAKARTA dan SURAKARTA
Bersaudara berbeda karakter - a cultural review
Ladrang Surakarta, Ladrang Mangkunegaran, 
kiri : keris Solo kanan : keris Jogja

Wisuda MC Jawa Ke-25 Tembi Rumah BudayaBUSANA JAWA GAYA YOGYAKARTA UNTUK PRIA
A. Perlengkapannya :
    - Blangkon
    - Surjan, peranakan, beskap
    - Setagen cindhe atau setagen polos berwarna, panjang 2 meter.
    - Kamus  timang yang dihiasi   
      dengan sulaman benang gim atau sulaman kristik.
    - Keris branggah atau gayaman.
    - Kain batik Yogyakarta (latas putih) parang atai motif lainnya seperti  sidoasih,          ciptoning, kohinor  dan lain - lain.
     - Selop.
     - Asesoris 

Surjan Lurik, juga sering disebut Baju Taqwa adalah salah satu pakaian adat Jawa yang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga. Surjan Lurik terbuat dari tenunan benang tradisional yang membentuk potongan baju bermotif garis-garis.

SURJAN : PAKAIAN TAKWA
Pakaian (Jw:pengageman) Jawa yang melekat di badan adalah simbol identitas budaya yang dalam sekali maknanya, disamping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal, makanan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi. Tanpa disadari, pakaian yang banyak dikenakan itu telah terbaratkan dan menjauhkan orang Jawa dari jati diri mereka.

Pengageman Jawa sebagai penutup badan dicipta SUNAN KALIJAGA berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. 

Dan pakaian takwa (dimaksud agar selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini.

Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan perihal pakaian yang perlu diatur kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’, sedang PB III mengatakan belum siap. 

Lalu Mangkubumi memperlihatkan rencana pakaian tersebut dan mengatakan jika dikehendaki dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat. PB III setuju sambil menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman takwa dari Mataram yang suda ada.

Pakaian takwa sering disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa seperti Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh.

*)Disarikan dari Pemaparan KRT Jatiningrat pada forum Pameran PDM Mantrijeron -TOJ Kotagede pertengahan tahun 2009 di Pendopo Hotel Brongto dan acara Disparda DIY pada Penyergaran Pemandu Wisata Jogja di Purawisata, 11 Desember 2009.

1.    Surjan:  atau biasa disebut baju takwa yaitu khusus Ageman Dalem Sultan dengan para Pangeran Putra Dalem. Bentuk pengageman Takwa atau Surjan :
a.    Lengan panjang
b.    Ujung baju runcing
c.    Leher tinggi berkancing 3 pasang (6 buah), menggambarkan rukun Iman yaitu:
Iman kepada Allah
Iman kepada Malaikat
Iman kepada Utusan Allah
Iman kepada  Kitab-kitab
Iman kepada Hari Kiamat
Iman kepada Qadla/Takdir
d.    Dua buah kancing di dada berarti dua kalimat Syahadat
e.    Tiga buah kancing tertutup di ulu hati berarti: 
       menutup tiga nafsu manusia:
Nafsu Bahimah=Hewani
Nafsu Laumah= Perut
Nafsu Syaitoniah= Setan

Ada lagi bentuknya sama dengan surjan, lancip dewpan agak pendek disebut “Baju Janggan” warna hitam, untuk para Abdi Dalem Putri, para Waranggana dan para penabuh Putri juga Keparak para Gusti (KRT Tejasaputra, 4 Maret 2009).

2. Peranakan :  bahan terbuat dari kain lurik tenun pengkol dengan warna dasar biru tua mendekati hitam, bergaris biru muda telu dan papat tua atau Telupat yang bermakna Kewulu Minangka Prepat yang berarti Rinengkuh Dados Kadang (KRT Tejasaputra, 4 Maret 2009).
Pengageman PRANAKAN
Berarti pakaian meliputi wadah bayi, rahim ibu, juga keturunan, kadang, saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan. Baju terbuat dari kain lurik, bercorak garis lirik telu papat (telupat) kewelu minangka prepat, yang berarti Rinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan. Warna pakaian adalah Biru Tua, yang berarti sangat dalam, susah diduga, tak bisa dianggap remeh dan tidak sembarangan.

Menurut sejarah, pengageman pranakan diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwana V yang idenya sesudah kunjungan beliau ke Pesantren di Banten, melihat santriwati berbaju kurung dengan lengan panjang, berlubang sampai di bawah leher. Cara pakai kedua tangan bersama-sama dimasukkan, baru kemudian kepala masuk lubang yang terbelah, lalu merapikan dengan menarik bagian bawah baju.

Proses seseorang mengenakan pengageman Pranakan digambarkan seakan si pemakai masuk ke dalam rahim ibu, lubang pranakan dimana tiap manusia pernah menghuni sebelum dilahirkan. Dengan aman dan nyaman oleh dekapan ibu, bayi yang di dalam rahim secara alamiah tinggal, sandi Cinta Kasih golong-gilig. Pranakan adalah juga Pakaian untuk Penggawa Kraton dengan corak dan model sama, dimaksud adanya demokratisasi di Ngayogyakarta Hadiningrat.***
“pakaian Pranakan Kraton yang penuh makna yang dalam dengan garis vertical berjumlah tiga dan empat”

  • Busana Peranakan ini berlengan panjang dan berkancing lima buah yang berarti lima Rukun Islam yaitu : Sahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Haji, 
  • Berleher tinggi dan berkancing tiga pasang (6 buah), sama dengan surjan.
  • Beskap / Atela: busana ini biasa dikenakan para Bupati pada saat pisowanan
  • Pakaian Takwa ini di dalam Kraton hanya dipakai oleh Sri Sultan dan Pangeran Putra Dalem. Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.

B. Cara Pemakaiannya :
  • Kain diwiru 3 jari diawali lipatan pertama sered tampak  dari depan  dan jatuh di tepi bagian luar. Selajutnya kain yang sudah diwiru dililitkan  dari arah kanan ke kiri, bagian dalam diwiru pula sesuai dengan sisi kainnya. Apabila menggunakan kain motif parang, motif lereknya harus berlawanan dengan arah pemakaian keris. Pemakaian kain seharusnya menutupi mata kaki, rapi dan enak untuk berjalan. Setelah itu baru diikat dulu dengan tali.
  • Memakai setagen  biasa disebut lonthong  dililitkan sebatas cethik dari kanan ke kiri hanya satu sap (bukan bersap-sap seperti Surakarta).
  • Memakai  kamus timang dengan  cara dililitkan tepat pada tengah  setagen/lonthong.
  • Memakai surjan, beskap/atela gaya Yogyakarta. Spesifik untuk pemakaian peranakan, model wiron kainnya dengan cara engkol yaitu permukaan sered yang tampak berkelok-kelok 
  • Pemakaian keris branggah atau gayaman diselipkan pada lonthong.
  • Memakai blangkon
  • Memakai selop.




TATA BUSANA JAWA GAYA YOGYAKARTA 
UNTUK WANITA:
A. Perlengkapannya :
  • Kebaya kartini dan kebaya kethubaru.
  • Kain batik latar putih motif parang atau lainnya
  • Selop terbuka bagi kebaya  kethubaru  dan  selop  tertutup  bagi  kebaya kartini.
  • Selendang untuk diserasikan dengan kebaya kethubaru
  • Gelung tekuk dan gelung kondhe (kondhe nasional)
  • Asesoris : bros,  kalung,   tusuk   kondhe,  subang,  sisir  (pethat),  peniti renteng, penetep, ceplok jebehan, ceplok jenthit.

B.  Cara Pemakainnya :
  • Kain diwiru 1,5 jari diawali   dengan  lipatan  pertama  serednya tampak  dari depan ,  terus  lipatan berikutnya, 7, 9, 11 lipatan. Kain yang sudah diwiru  dililitkan dari kiri  ke kanan. Apabila menggunakan kain motif  parang, arah parang  dari kiri ke bawah ke kana atas. Pemakaian kain ada dua cara  yakni pertama, kain bagian dalam dibentuk segitiga baru dililitkan seterusnya hingga rapi, enak untuk jalan dan menutup mata kaki. Kedua, kain bagian dalam kedua ujungnya dililitkan  badan dan diikat  baru lilitan-lilitan  berikutnya hingga rapi  kemudian diikat dengan tali. Pada kenyataannya cara kedua  tidak menguntungkan, karena jika dipakai  untuk berjalan  kain bagian dalam menyingkap  ke atas lalu tampak betis kakai  dari depan.
  • Setelah itu memakai setagen  dan streples. Saat ini  sudah ada streples     dengan lilitan-lilitan  tali yang dapat dikencangkan maupun dikendorkan sesuai kebutuhan badan pemakai.
  • Mengenakan kamisol sebagai penutup streples, jika kebaya terbuat dari  broklat atau kebaya yang dikenakan  kebaya kethubaru.  
  • Untuk asesoris yang dikenakan pada  wanita cara Surakarta dan Yogyakarta  berbeda. Selain itu asesoris yang  dikenakan wanita menikah dengan wanita gadis  dibedakan  seperti yang  diberlakukan di dalam keraton. Busana keraton sering menjadi acuan bagi masyarakat Yogyakarta, misalnya busana perkawinan, dhomas, busana untuk lomba ngadi salira, dan busana adat lainnya.
  • Kebaya kartini  yang diplisir dengan pita emas (biasa disebut kebaya plisir)  ini untuk wanita remaja/gadis, sedang untuk wanita menikah  busana sama tetapi berbeda  hiasan sanggulnya. (lihat gambar).
 Kebaya Kartini

Kebaya Kartini : yaitu kebaya yang bagian depannya tidak mempunyai beef / kutu baru / kain tambahan yang menjadi penghubung antara bagian kiri dan kanannya. Bagian kiri dan kanan terhubung langsung dan mempunyai krah berdiri yang menerus sampai ke bawah.

Sanggul Tekuk untuk Gadis


    Sanggul Tekuk untuk Wanita Menikah
sanggul (3)
GKR Pembayun, luwes dengan gelung tekuk dan kebaya

Yogya Putri Cunduk Mentul
(c) sekar-paes.blogspot.com
Sanggul tekuk merupakan gaya rambut yang menjadi simbol gaya rias pengantin Yogya Putri. Sedangkan untuk pelengkap aksesoris rambut, mempelai wanita diharuskan memakai cunduk mentul besar dan pelat gunungan. Baju pengantin yang menjadi ciri khas gaya rias pengantin ini adalah kain kebaya panjang berbahan beludru. Kalau pada gaya rias pengantin Solo Putri motif batik yang digunakan adalah motif kain batik Sidoasih, tidak untuk gaya rias yang satu ini. Sang mempelai wanita memakai kebaya dengan motif kain batik prada.
Yogya Paes Ageng
(c) mudahmenikah.wordpress.com

Hampir sama dengan gaya rias Solo Putri yang memakai tata rias warna hitam. Gaya rias Yogya Paes Ageng juga mengharuskan sang mempelai wanita untuk memakai tata rias hitam di dahi dengan pinggiran emas. Kemudian, rambut sang mempelai wanita disanggul dengan mengaplikasikan gaya gajah ngolig. Gaya rambut seperti ini akan membiarkan rambut mempelai wanita menjuntai dengan sangat cantik. Rambut yang menjuntai tadi kemudian dihiasi dengan sumping dan beberapa aksesoris lainnya.

Ciri khas yang nampak terlihat dari gaya rias pengantin Jawa adalah warna hitam yang ada pada dahi. Warna hitam pada dahi ini biasa disebut dengan paes. Paes merupakan simbol kecantikan wanita yang dipercaya dapat menjauhkan tindakan buruk yang mungkin mengancam jiwa wanita. Paes juga disebut-sebut sebagai salah satu penanda kedewasaan seorang wanita. Riasan warna hitam pekat yang biasa 'dibubuhkan' pada dahi ini memiliki empat cengkorongan yang masing-masing diberi nama gajahan, pengapit, penitis, dan godeg.

DAFTAR PUSTAKA
  • Bawoek Soemiyati. Berkerudung Tanpa Paes, Tata Rias Pengantin Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
  • Condronegoro,  Mari S.. Busana Adat Kraton Yogyakarta, Makna dan Fungsi Dalam Berbagai Upacara.Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 1995.
  • Pujaningrat.” Busana Adat Karaton Yogyakarta”.
  • Tejosaputra. “Perbedaan Antara Baju Surjan Dengan Baju Pranaan”. Makalah yang disajikan dalam rangka HUT Hastanata ke-31 di Djowitan, 4 Maret 2009.
  • Tienuk Riefky.Kasatrian Ageng Selikuran & Kasatrian Ageng.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
  • Yosodipuro, Marmien Sardjono. Rias Pengantin Gaya Yogyakarta Dengan Segala Upacaranya.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
  • Dinas Pariwisata Jogja
  • dan berbagai sumber secara lisan tidak bisa disebutkan satu persatu.

2 komentar:

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU