primbon


Web Site Hit Counters

Sejak:17 Agustus 2013
DAFTAR SAHABAT YG MASUK The truth seeker
Tidak harus menjadi yang pertama,yang penting itu menjadi orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.


Disclaimer:Artikel,gambar ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain,
dan Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber lain tersebut.Jika kami salah dalam menentukan sumber yang pertama,
mohon beritahu kami
e-mail primbondonit@gmail.com HOTLINE atau SMS 0271 9530328

GAMBAR-GAMBAR dibawah ini BUKAN HANYA IKLAN tapi merupakan LINK SUMBER




Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern,westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya,dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu.Manakala mendengar istilah mistik,akan timbul konotasi negatif.Walau bermakna sama,namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan,terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.Selama puluhan tahun,kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,westernisme dan agamisme.Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,irasional,dan primitive.Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum modern sebagai paham yang kuno,Pandangan itu salah besar.Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah.Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri,kepentingan rezim,dan kepentingan egoisme(keakuan).Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan,diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan,dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah yang sesungguhnya.Apalagi dalam roda perputaran zaman sekarang,di mana orang salah akan berlagak selalu benar.Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.Emas dianggap Loyang.Besi dikira emas.Yang asli dianggap palsu,yang palsu dibilang asli.Semua serba salah kaprah,dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.Untuk itulah Warisjati merangkum beragam artikel dari beberapa sumber tentang pengetahuan Budaya dan tradisi di Nusantara yang merupakan warisan para leluhur yang sarat akan makna dan berbagai artikel lainnya yang saling melengkapi.Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana dan mengambil pelajaran serta pengetahuan dari budaya masa lalu sebagai warisan leluhur di Nusantara ini.

ORANG YANG DENGAN MUDAHNYA MENGATAKAN SESAT KEPADA SESEORANG
ADALAH ORANG YANG TIDAK atau BELUM PAHAM AKAN DIRINYA SENDIRI



Selasa, 28 Januari 2014

CERITA MOKSWANYA PRABU JAYABAYA BESERTA PARA PUNGGAWANYA



CERITA MOKSWANYA PRABU JAYABAYA BESERTA PARA PUNGGAWANYA 
Sebelumnya mohon maaf, jika penjabaran lewat tulisan ini sama sekali berbeda dengan versi sejarah resmi. Karena apa yang akan kami bahas ini adalah versi legenda dan mitos termasuk supranatural yang berkembang di sekitar masyarakat dimana dulu kerajaan ini berdiri.
Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya. Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.
Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup, urip nurcahyo, suksma.


Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga, atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan raganya.
Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko.
Ngejawantahnya Wisnu yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka. Istananya sendiri di beri nama Mamenang.


Di bawah pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu. Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya.
Kyai Doho sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung.

Raja dan ratu Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.
Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang, Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan).
Setiap raja memutuskan pindah pusat pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi hutan kembali.
Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara.
Ki Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo. Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.

Ramalan Jayabaya Yang Kian Nyata

Ramalan Jayabaya, semakin mendekati kenyataan. Ramalan yang bersumber dari Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan pada tahun 1618 M. Adapun isi ramalan Jayabaya adalah sebagai berikut :

1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.

2. Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa.
4. Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung.
17. Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa— Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat jahat dan ganjil
31. Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat ganjil
32. Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu.
39. Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
40. Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41. Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan
43. Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malu.
45. Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
48. Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
49. Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang gonta-ganti pasangan.
51. Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda.
52. Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu.
53. Randha seuang loro— Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54. Prawan seaga lima— Lima perawan lima picis.
55. Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang.
56. Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri.
58. Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60. Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi.
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65. Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
67. Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur dimana-mana.
70. Akeh laknat— Banyak kutukan
71. Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
73. Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
74. Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru—Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78. Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
79. Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85. Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang benar.
86. Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
87. Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
90. Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
95. Akeh barang haram—Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram—Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
102. Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati—Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
112. Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
116. Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
117. Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
124. Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak orang mati lapar di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
138. Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
149. Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin bingung.
151. Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
156. Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
158. Bandha dadi memala—Hartabenda menjadi penyakit
159. Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang sewenang-wenang merasa menang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang—Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
180. Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188. Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh—Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209. Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Pamuksan Sri Aji Joyoboyo Kediri
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo atau Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah tempat berikutnya di Kediri yang kami kunjungi setelah meninggalkan Arca Totok Kerot, melewati daerah persawahan, gerumbul dan perkampungan Jarak kedua situs ini sekitar 2,7 km atau 6 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor Di samping gerbang masuk Pamuksan Sri Aji Joyoboyo ini terdapat sebuah tempat parkir tertutup yang cukup untuk beberapa buah mobil
Tulisan di gerbang masuk Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang berbunyi “Mustika Pamenang, Petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo” Dalam kisah Jawa, Jayabaya (dibaca: Joyoboyo) adalah titisan Dewa Wisnu, penguasa negara Widarba yang beribu kota di Mamenang Ayah Joyoboyo bernama Gendrayana, yang adalah anak Yudayana, anak Parikesit, anak Abimanyu, anak Arjuna dari Pandawa

Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara, yang darinya lahir Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti Jayaamijaya kemudian menurunkan raja-raja tanah Jawa, dari Kerajaan Majapahit sampai Mataram Islam Sedangkan Dewi Pramesti menikah dengan Astradarma, Raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma, Raja Malawapati
 
Tulisan pada gapura di gerbang masuk kedua yang juga berbunyi “Petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo” Kata petilasan ini ‘dikoreksi’ oleh Juru Kunci situs ini, karena sebuah petilasan adalah tempat dimana seseorang pernah tinggal dan lalu pergi dari tempat itu ke tempat lain Sedangkan situs itu dipercaya sebagai tempat ‘muksa’ (hilang lenyap bersama jasadnya) Joyoboyo, dan konon jiwa Sang Raja masih berada di tempat itu
Sebuah tengara yang menceritakan sejarah singkat Pamuksan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo Beginilah seharusnya yang dilakukan oleh dinas terkait setempat pada situs-situs lainnya, yang membuat pengunjung bisa lebih mengenal situs yang mereka kunjungi
Bangunan di tengah situs inilah yang dipercaya sebagai tempat Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang terbagi tiga tempat yang mewakili tiga fase muksa Joyoboyo, yaitu Loka Mukso, Loka Busana, dan Loka Makuta Loka Muksa merupakan tempat muksa atau hilangnya Joyoboyo bersama jasadnya, Loka Busana adalah tempat singgah busana Sang Prabu, dan Loka Makuta berarti tempat pelepasan mahkota raja
situs Pamuksan Sri Aji Joyoboyo ini bisa membantu memperoleh apa yang mereka inginkan, bisa bertirakat di situs ini selama beberapa hari Pejabat dan calon pejabat pun tidak ketinggalan mengalap berkah di situs seluas 1650 meter persegi ini
 Sebuah tengara di Pamuksan Sri Aji Joyoboyo yang menceritakan tentang pemugaran situs ini oleh Keluarga Besar Hondodento dari Yogyakarta pada 22 Februari 1975, dan diresmikan pada 17 April 1976 Sebelumnya situs ini hanya berbentuk sebuah gundukan tanah Sampai suatu saat, di tahun 1860, seorang penduduk Desa Menang bernama Warsodikromo bermimpi bahwa di area gundukan tanah itu pernah hidup seorang raja Kediri yang bernama Joyoboyo 

Loka Busana di Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dengan ornamen indah yang berada di sebelah kanan dari Loka Muksa, di dalam pagar dengan kawat berduri, mungkin untuk mencegah peziarah tidur di tempat itu atau mencongkel batu untuk dijadikan jimat

Loka Muksa di latar belakang, dengan latar depan Loka Busana, yang dipagari beton segi empat berlubang Di dalam bangunan Loka Muksa Pamuksan Sri Aji Joyoboyo ini terdapat lingga dan yoni yang menyatu dengan sebuah batu bulat berlubang yang menyerupai mata yang disebut manik
 Tiga buah lubang pintu di Loka Muksa Pamuksan Sri Aji Joyoboyo yang melambangkan tiga tahap kehidupan manusia yang dimulai dari lahir, dewasa, dan lalu mati Di latar belakang adalah manik yang menyatu dengan lingga – yoni (kelamin pria – wanita, lambang kesuburan dan kehidupan lahir dan batin)

Batu manik Pamuksan Sri Aji Joyoboyo melambangkan kewaskitaan Sri Aji Joyoboyo, memadukan nalar, rasa dan jiwa, dengan lubang tembus yang menunjukkan kemampuan melihat jauh ke masa depan
Loka Makuta yang terletak terpisah di belakang Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, dengan bentuk mahkota raja di bagian tengahnya

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah Raja Jawa yang konon sering berkunjung ke situs leluhurnya ini untuk berziarah Ketika datang, HB IX selalu berjalan jongkok dari pendopo menuju ke Loka Muksa, layaknya tengah menghadap seorang raja yang masih hidup
Relief Kala tanpa rahang bawah pada atap bagian dalam pendopo Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang menunjukkan pengaruh Hindu dari Jawa Tengah Kala atau Banaspati dari Jawa Timur biasanya lengkap dengan rahang bagian bawah Kala adalah dewa penguasa waktu, putera Dewa Siwa, yang umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci dan dipercaya sebagai penolak kekuatan jahat

Sri Aji Joyoboyo adalah Raja Kediri yang memerintah antara 1135-1157 Ia konon berhasil menyatukan kembali Jenggala yang dipisahkan oleh Airlangga, Raja Kahuripan, pada 1042 saat Airlangga turun tahta dan menjadi pendeta dengan gelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana (Prasasti Gandhakuti, 1042)

Sri Aji Joyoboyo terkenal dengan kitab “Jongko Joyoboyo” yang berisi ramalan-ramalan kejadian di Pulau Jawa sejak jaman Aji Saka sampai sampai datangnya hari kiamat Naskah yang didalamnya berisi “Ramalan Joyoboyo” diantaranya adalah Serat Jayabaya Musarar dan Serat Pranitiwakya Jayabaya turun takhta pada usia tua dan dipercayai moksa di desa Menang, dimana Pamuksan Sri Aji Joyoboyo kini berada 

Pamuksan Sri Aji Joyoboyo
Desa Menang, Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri, Jawa Timur
GPS:-777948,11208003

Lihat peta Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dalam ukuran besar

1 komentar:

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU

KEBERLANGSUNGAN

Sedekah(Bisa Menunda Kematian)
KLCK aja ICON dibawah untuk Baca berita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...