Laman

Minggu, 15 November 2015

Kebermaknaan Tembang “Gethek Sinonggo Bajul”


Kebermaknaan Tembang “Gethek Sinonggo Bajul”

Kebermaknaan Tembang “Gethek Sinonggo Bajul”
Tembang Jawa yang satu ini, menceritakan tentang perjalanan Jaka Tingkir. 
Liriknya sebagai berikut :

sigro milir
sang gethek sinonggo bajul
kawan doso kang njageni
ing ngarso miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kering
sang gethek lampahnyo alon

"mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri

sang rakitpun berjalan pelan"

Arti secara bahasa dalam tembang tersebut adalah, 

  • Sigro berarti segera. 
  • Milir berarti meluncur atau mengalir. 
  • Sang berarti gelar kepada junjungan seperti Kanjeng, Sang Prabu, dan lain-lain. 
  • Gethek berarti sampan, yang biasanya terbuat dari batang bambu atau pohon pisang. 
  • Sinonggo yang berarti ditopang atau diangkat.
  • Kawan doso, singkatan dari sekawan doso yang berarti empat puluh. Dalam tradisi masyarakat Jawa, angka tersebut memiliki makna tersendiri. 
  • Kang berarti yang, kata penghubung. 
  • Njageni berarti mengawal atau melindungi. 
  • Ing berarti di, kata depan untuk keterangan waktu atau tempat. 
  • Ngarso berarti depan, 
  • Miwah (hampir sama dengan lan) berati dan, 
  • Pungkur berarti belakang. 
  • Tanapi berarti juga. 
  • Lampahnyo artinya langkahnya. 
  • Alon berarti pelan, namun mengandung suatu kepastian langkah.

Dalam kisah tersebut, rakit yang dikendarai oleh Jaka Tingkir diserang oleh kawanan buaya siluman. Namun karena Jaka Tingkir sakti, maka kawanan buaya yang jumlahnya 40 ekor itu dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit yang dikendarai oleh Jaka tingkir sampai ke tujuan.

Tapi ada pula yang menyebutkan bahwa tembang Jawa yang satu ini merupakan sindiran halus kepada Jaka Tingkir (Mas Karebet). Suatu ketika Jaka Tingkir sedang dalam perjalanan ke Demak Bintoro, dan mampir ke sebuah desa yang bernama Kedung Srengenge. Di desa itu Jaka Tingkir bertemu dengan seorang gadis, lalu dipikatnya. Gadis desa itu pun hamil dan minta pertanggungjawaban Jaka Tingkir, tetapi ia mengelak. Ayah gadis itu dan warga desa marah, serta berniat memaksa Jaka Tingkir mengawini gadis desa itu. Akan tetapi, dengan kesaktiannya Jaka Tingkir berhasil mengalahkan 40 warga desa yang mengeroyoknya itu.

Ada pula yang memaknai tembang “gethek sinonggo bajul” tersebut menceritakan perjalanan Jaka Tingkir bersama tiga orang kawannya ke daerah Prawata. Dengan menaiki gethek (sampan), mereka menyusuri Sungai Dengkeng, Bengawan Picis dan akhirnya sampai di Kedung Srengenge. Di tempat inilah secara tiba-tiba sampan yang mereka naiki dikepung oleh ratusan buaya. Namun, dengan kesaktian Jaka Tingkir dan kawan-kawannya, mereka dapat mengalahkan buaya-buaya tersebut. Bahkan, dengan sukarela buaya-buaya tersebut akhirnya mendorong dan mengawal sampan yang mereka naiki hingga sampai di ujung Desa Bulu, satu desa dengan sungai terdekat dari wilayah Prawoto.

Jika dimaknai lebih dalam, tembang di atas menggambarkan tentang seorang atau beberapa orang ksatria yang menempuh perjalanan dengan menyusuri sungai. Mereka tidak mengayuh dayung, karena sampan (gethek) yang mereka tumpangi telah didorong dan dikawal oleh empat puluh kawanan buaya. Hanya dengan memberikan perintah atau aba-aba, maka buaya-buaya tersebut akan mengantarkannya sampai tempat tujuan.


Sampan secara harfiah memang sarana transportasi air, namun sampan bisa ditafsirkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Benda ini juga bisa dimaknai sebagai kekuasaan untuk mencapai kemakmuran sebuah negara. Sedangkan para ksatria, yang berada di atas sampan adalah raja beserta para punggawanya. Sementara perintah yang diucapkan oleh para penumpang sampan dapat diartikan sebagai keputusan dan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam menyelamatkan negara dan kesejahteraan rakyat.

Air, yang menjadi pijakan sampan untuk sampai ke tujuan adalah rakyat, masyarakat biasa yang santun dan tunduk kepada rajanya, namun pada satu waktu dapat menjadi amarah ketika terusik harga dirinya. Air bisa menenggelamkan orang-orang yang berada di atas sampan, sebagaimana rakyat kecil yang diperlakukan secara tidak adil.

Sementara bajul (buaya) yang menjadi penunggu sungai bermakna sebagai tokoh masyarakat atau bangsawan-bangsawan lokal. Para tokoh masyarakat atau bangsawan lokal ini akan menambah wibawa suatu masyarakat, sehingga tidak akan diusik oleh orang luar, seperti sungai yang dihuni buaya juga tidak akan dibuat mandi secara sembarangan.

Sedangkan “kawan doso”, dapat dimaknai sebagai tokoh masyarakat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Maka semakin banyak tokoh masyarakat atau punggawa kerajaan yang bisa diorganisir oleh raja maka semakin kuat kekuasaannya.

Inti pesan tembang tersebut, menjadi raja atau pemimpin yang baik dan tetap survive diperlukan kemampuan untuk mengorganisir kekuatan dan elemen kekuasaan yang ada di bawahnya. Sang raja atau pemimpin harus mampu mengeluarkan titah yang sebagaimana mestinya pada elemen-elemen kekuasaan tersebut, berupa keputusan dan kebijakan yang memihak pada rakyat kecil.
Diolah dari berbagai sumber
Foto Info Seputar Kudus - ISK.
Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.

Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) "WALISONGO" Periodesasi ke-8 (1592- 1650 M)
Klik disini untuk mengetahui kisahnya.

1 komentar:

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU