Kebermaknaan "NGURIPI AGEMING AJI"
Kebermaknaan "NGURIPI AGEMING AJI"
( Dia yang sudah mengetahui jalan, menghayati tanda-tanda kebijaksanaan, menjangkau inti pribadi, telah bisa menyaksikan secara nyata, yang menghalangi telah menyingkir, benar-benar memasuki alam sunyi, terlihatlah segala keadaan, terlihat tanpa batas, itulah yang dinamakan bertemu dengan jejak Tuhan )
( Seperti itulah manusia utama, senang tenggelam dalam kesunyian, setiap hari ketika dia menemukan kesempatan, mempertajam dan membersihkan jiwa, setia menjalankan peran sebagai kesatria, bertindak baik, rendah hati, pandai bergaul dan membuat hati orang terpikat, itulah yang disebut orang-orang yang menghayati agama )
Agama adalah “ ageming aji “, pegangan yang baik...ajaran yang harus dipegang dengan kukuh dan dihayati agar muncul kebaikan.
Agama ibarat obor..ia dipegang…dijadikan penerang, agar kehidupan kita di muka bumi ini tetap berada di jalan setapak kebenaran, tidak terperosok apalagi tersesat, dan ujungnya…kita bisa kembali kepada asal muasal sekaligus tujuan akhir kita, sangkan paraning dumadi, Dialah Hyang Tunggal, Hyang Wisesa, yang disebut manusia dengan berbagai nama: Allah, God, Elli, dan semacamnya.
Berbicara tentang kebaikan, kita mesti berbicara tentang kebaikan pada tiga dimensi: dimensi pribadi, dimensi sosial, dan dimensi semesta.
Beragama yang baik, indikatornya adalah ketika ketiga dimensi yang melingkupi hidup kita itu selalu dalam keadaan baik. Baik pada dimensi pribadi, adalah bahwa kita menemukan kebahagiaan sejati, kita bisa merasakan kedamaian yang tak bercampur dengan kegelisahan, kita masuk ke dalam alam keselamatan yang tak lagi dikotori musibah. Sementara baik pada dimensi sosial, maknya kita dipersepsi baik oleh orang di sekitar kita, karena kita selalu memberikan kebahagiaan, ketenangan, rasa aman, dan keselamatan kepada mereka. Dan terakhir, baik pada dimensi semesta…kita, sebagai jagad alit, menjadi selaras dengan jagad ageng. Kita bisa merasa terhubung dengan tanah, udara, air, api…kita bisa merasa satu dengan tetumbuhan, hewan, matahari, bulan, semesta yang tak terbatas…yang wujud nyatanya, alam ini selamat dari semua kejahatan kita.
Sudahkah agama membawa kebaikan bagi kita? Harus kita sendiri yang menentukannya secara jujur. Kadang ada orang yang tahu apakah kita sudah beragama dengan baik atau belum..merekalah kaum yang waskito…tapi walau mereka tahu, mereka tak bisa mengubah nasib kita. Kita sendirilah yang harus mengubah keadaan, perjalanan hidup kita.
Dalam kenyataan hidup saat ini, di nusantara yang kita cintai ini, terlihat apa yang disebut dengan peningkatan gairah beragama. Di mana-mana orang menunjukkan semangat untuk kembali pada agama.
Sayang sekali..pada banyak kasus..kebangkitan itu hanya pada tataran artifisial. Orang ternyata baru kembali pada kulit agama…mereka seperti anak-anak di hari lebaran yang bangga ketika mengenakan baju baru tanpa peduli akan makna kembali pada fitrah dan kesucian.
Seringkali..hakikat agama itu sendiri tak terlihat…Banyak orang yang ternyata bajunya saja yang sudah baju agama, tetapi dalamnya, lapisan jiwanya..belum diterangi oleh agama.
Gampang sekali mengamati fenomena di atas. Kita bisa melihat orang atau kelompok yang paling merasa beragama dan paling merasa dekat Tuhan…di kalangan mereka agama diteriakkan, Tuhan juga diteriakkan…tapi hasilnya justru orang merasa tak nyaman, merasa tak aman, dan jauh dari kedamaian.
Tanda paling jelas untuk melihat kualitas keberagamaan kita adalah dengan melihat bagaimana respons alam ini. Saat ini, mengiringi bangkitnya semangat keagamaan, ternyata alam malah menjadi tak bersahabat. Bahkan alam ini, bumi pertiwi malah berduka…jagade gonjang ganjing!
Jelas ada yang keliru! Kebaikan pada berbagai dimensinya tidak muncul ketika saat ini orang seperti telah kembali pada agama. Mengapa? Karena sesungguhnya mereka tidak kembali pada hakikat agama sebagai agama ageming aji dan aturan yang mencegah manusia dan semesta ini terperosok pada ketidakteraturan. Agama yang hanya dipahami sebagai identitas budaya, yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang atau kelompok lainnya…Itu jelas hanya akan menciptakan keburukan pada dimensi sosial sekaligus membuat kita terputus hubungan dengan semesta. Apalagi saat ini kita juga bisa melihat banyak pihak mengulang pola yang sudah lama mewarnai Nusantara maupun berbagai belahan dunia: memanipulasi agama, baik sengaja maupun tak sengaja. Ketika agama dimanipulasi, agama dijadikan topeng untuk ambisi, hasrat, dan obsesi rendah. Jelas, pada tataran sosial yang terjadi adalah kekacauan, pada tataran alam yang muncul adalah bencana.
Jika kita mau agama kita memberikan kebaikan yang utuh..maka apa yang dituliskan dalam Serat Wedatama di atas layak jadi pegangan. Kita mulai belajar menjalani agama sebagai petunjuk untuk memasuki alam kesunyian, alam pertemuan dengan Dzat Yang Maha Misteri. Langkah praktisnya adalah menekankan aspek agama sebagai petunjuk tentang perilaku yang baik: agama sebagai pedoman akhlakul karimah ( budi pekerti luhur ). Berbagai ritual agama, ditempatkan pada konteks riyadhoh, pelatihan, agar diri ini bisa terkendalikan, dan kemudian, bisa terbiasa untuk berbuat baik kepada diri sendiri, kepada Yang Mencipta kita, dan kepada sesama ciptaan.
Pada posisi beragama seperti yang diajarkan dalam Serat Wedhatama, arogansi dalam beragama, yang muncul dalam kebiasaan mengaku-ngaku sebagai satu-satunya kelompok yang pantas menjadi kekasih Tuhan, satu-satunya umat yang selamat dan bisa menikmati surga..harus disingkirkan. Itu harus diganti dengan kerendahan hati..dengan sikap diam dalam ketekunan menjalankan laku prihatin. Keberagamaan kita tidak lagi disampaikan lewat kata-kata, tapi dibuktikan melalui perilaku mulia yang membuat orang lain tersenyum bahagia karena keberadaan kita.
//// Source :///
- Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelayut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.
( Dia yang sudah mengetahui jalan, menghayati tanda-tanda kebijaksanaan, menjangkau inti pribadi, telah bisa menyaksikan secara nyata, yang menghalangi telah menyingkir, benar-benar memasuki alam sunyi, terlihatlah segala keadaan, terlihat tanpa batas, itulah yang dinamakan bertemu dengan jejak Tuhan )
- Mengkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben dina rikala mangsa, mangsah amamasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susilo anoraga, wignya men tyasing sasami, yeku aran wong barek berag agama.
( Seperti itulah manusia utama, senang tenggelam dalam kesunyian, setiap hari ketika dia menemukan kesempatan, mempertajam dan membersihkan jiwa, setia menjalankan peran sebagai kesatria, bertindak baik, rendah hati, pandai bergaul dan membuat hati orang terpikat, itulah yang disebut orang-orang yang menghayati agama )
Agama ibarat obor..ia dipegang…dijadikan penerang, agar kehidupan kita di muka bumi ini tetap berada di jalan setapak kebenaran, tidak terperosok apalagi tersesat, dan ujungnya…kita bisa kembali kepada asal muasal sekaligus tujuan akhir kita, sangkan paraning dumadi, Dialah Hyang Tunggal, Hyang Wisesa, yang disebut manusia dengan berbagai nama: Allah, God, Elli, dan semacamnya.
Berbicara tentang kebaikan, kita mesti berbicara tentang kebaikan pada tiga dimensi: dimensi pribadi, dimensi sosial, dan dimensi semesta.
Beragama yang baik, indikatornya adalah ketika ketiga dimensi yang melingkupi hidup kita itu selalu dalam keadaan baik. Baik pada dimensi pribadi, adalah bahwa kita menemukan kebahagiaan sejati, kita bisa merasakan kedamaian yang tak bercampur dengan kegelisahan, kita masuk ke dalam alam keselamatan yang tak lagi dikotori musibah. Sementara baik pada dimensi sosial, maknya kita dipersepsi baik oleh orang di sekitar kita, karena kita selalu memberikan kebahagiaan, ketenangan, rasa aman, dan keselamatan kepada mereka. Dan terakhir, baik pada dimensi semesta…kita, sebagai jagad alit, menjadi selaras dengan jagad ageng. Kita bisa merasa terhubung dengan tanah, udara, air, api…kita bisa merasa satu dengan tetumbuhan, hewan, matahari, bulan, semesta yang tak terbatas…yang wujud nyatanya, alam ini selamat dari semua kejahatan kita.
Sudahkah agama membawa kebaikan bagi kita? Harus kita sendiri yang menentukannya secara jujur. Kadang ada orang yang tahu apakah kita sudah beragama dengan baik atau belum..merekalah kaum yang waskito…tapi walau mereka tahu, mereka tak bisa mengubah nasib kita. Kita sendirilah yang harus mengubah keadaan, perjalanan hidup kita.
Dalam kenyataan hidup saat ini, di nusantara yang kita cintai ini, terlihat apa yang disebut dengan peningkatan gairah beragama. Di mana-mana orang menunjukkan semangat untuk kembali pada agama.
Sayang sekali..pada banyak kasus..kebangkitan itu hanya pada tataran artifisial. Orang ternyata baru kembali pada kulit agama…mereka seperti anak-anak di hari lebaran yang bangga ketika mengenakan baju baru tanpa peduli akan makna kembali pada fitrah dan kesucian.
Seringkali..hakikat agama itu sendiri tak terlihat…Banyak orang yang ternyata bajunya saja yang sudah baju agama, tetapi dalamnya, lapisan jiwanya..belum diterangi oleh agama.
Gampang sekali mengamati fenomena di atas. Kita bisa melihat orang atau kelompok yang paling merasa beragama dan paling merasa dekat Tuhan…di kalangan mereka agama diteriakkan, Tuhan juga diteriakkan…tapi hasilnya justru orang merasa tak nyaman, merasa tak aman, dan jauh dari kedamaian.
Tanda paling jelas untuk melihat kualitas keberagamaan kita adalah dengan melihat bagaimana respons alam ini. Saat ini, mengiringi bangkitnya semangat keagamaan, ternyata alam malah menjadi tak bersahabat. Bahkan alam ini, bumi pertiwi malah berduka…jagade gonjang ganjing!
Jelas ada yang keliru! Kebaikan pada berbagai dimensinya tidak muncul ketika saat ini orang seperti telah kembali pada agama. Mengapa? Karena sesungguhnya mereka tidak kembali pada hakikat agama sebagai agama ageming aji dan aturan yang mencegah manusia dan semesta ini terperosok pada ketidakteraturan. Agama yang hanya dipahami sebagai identitas budaya, yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang atau kelompok lainnya…Itu jelas hanya akan menciptakan keburukan pada dimensi sosial sekaligus membuat kita terputus hubungan dengan semesta. Apalagi saat ini kita juga bisa melihat banyak pihak mengulang pola yang sudah lama mewarnai Nusantara maupun berbagai belahan dunia: memanipulasi agama, baik sengaja maupun tak sengaja. Ketika agama dimanipulasi, agama dijadikan topeng untuk ambisi, hasrat, dan obsesi rendah. Jelas, pada tataran sosial yang terjadi adalah kekacauan, pada tataran alam yang muncul adalah bencana.
Jika kita mau agama kita memberikan kebaikan yang utuh..maka apa yang dituliskan dalam Serat Wedatama di atas layak jadi pegangan. Kita mulai belajar menjalani agama sebagai petunjuk untuk memasuki alam kesunyian, alam pertemuan dengan Dzat Yang Maha Misteri. Langkah praktisnya adalah menekankan aspek agama sebagai petunjuk tentang perilaku yang baik: agama sebagai pedoman akhlakul karimah ( budi pekerti luhur ). Berbagai ritual agama, ditempatkan pada konteks riyadhoh, pelatihan, agar diri ini bisa terkendalikan, dan kemudian, bisa terbiasa untuk berbuat baik kepada diri sendiri, kepada Yang Mencipta kita, dan kepada sesama ciptaan.
Pada posisi beragama seperti yang diajarkan dalam Serat Wedhatama, arogansi dalam beragama, yang muncul dalam kebiasaan mengaku-ngaku sebagai satu-satunya kelompok yang pantas menjadi kekasih Tuhan, satu-satunya umat yang selamat dan bisa menikmati surga..harus disingkirkan. Itu harus diganti dengan kerendahan hati..dengan sikap diam dalam ketekunan menjalankan laku prihatin. Keberagamaan kita tidak lagi disampaikan lewat kata-kata, tapi dibuktikan melalui perilaku mulia yang membuat orang lain tersenyum bahagia karena keberadaan kita.
//// Source :///
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU