Laman

Minggu, 28 Desember 2014

LEGENDA "Tari Ronggeng Gunung" (Ciamis, Jawa Barat)

Legenda

Legenda dam Asal-usul “Ronggeng Gunung” 


Legenda dam Asal-usul “Ronggeng Gunung” 
Ciamis adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama “Ronggeng Gunung”. 

Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. 
Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.
Ada beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul, Pangandaran dan Cijulang) ini.
Versi pertama : 

  • mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.


Versi Kedua :

  • berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.


Versi ketiga: 
yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. 

Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja
Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. 

Konon, Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Ciamis selatan terdapat sebuah legenda masyarakat Dewi Rengganis. Legenda ini mengisahkan tentang kisah  seorang Putri yang bernama Dewi Rengganis atau Siti Samboja, dia adalah salah satu  putri yang ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Dalam buku sejarah Ciamis diceritakan bahwa Dewi Rengganis dan Angkalarang Memiliki sebuah kerajaan bernama kerajaan Kidang Pananjung (obyek wisata pantai pangandaran). Suatu hari kerajaan tersebut di serang oleh Para Bajo atau Bajak Laut dari sebrang (versi lain mengatakan bangsa Portugis).

Suami Dewi Rengganis Angkalarang tewas terbunuh oleh Kalasamudra (pimpinan para bajo), sedangkan Dewi Rengganis lari bersama pengikutnya. 

Dewi Rengganis sangat sedih atas kematian  Suaminya. untuk menghilangkan kesedihan dan kemarahan Putrinya atas kematian Angkalarang, Ayahandanya yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Putrinya. Isi wangsit itu adalah untuk membalas Kalasamudra atas kematian Suaminya Angkalarang, Dewi Rengganis harus menyamar menjadi Ronggeng dan memakai nama Nini Bogem. Sesuai wangsit itu Dewi Rengganis mulai belajar menari dan seni beladiri. Singkat cerita Dewi Rengganis berhasil memikat Kalasamudra dan berhasil membunuh Kalasamudra.

 Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. ###Dengan Restu dan Persetujuan Dewi Renganis atau Dewi Samboja demgan Nyai Loro Kidul### di Goa Karang bolong (Pangandaran) di dampingi oleh patih HAUR Kuning
GOA Karang Bolong (Pangandaran)
Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.

Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda
Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. 
Berikut ini adalah syairnya.

Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeulu datang deui

Singkat cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama.

Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan. Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Sebagai catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.

Pemain, Peralatan, dan Pergelaran
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang.
Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.

Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh.

Perkembangan
Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.

Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki. (ali gufron)

Foto: http://www.anjjabar.go.id

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

‘Ronggeng Gunung’ performance 
(Photograph: Agus Bebeng)
Penari Terakhir Ronggeng Gunung
Oleh Cornelius Helmy Meski gincu merah di pipi mulai pudar tersapu keringat, mata Raspi tetap berbinar-binar. Rasa lelah sepertinya enggan meninggalkan jejak di wajah si maestro tari ronggeng gunung terakhir ini. Saat pagi mulai menanti di persimpangan hari, Raspi tetap bersemangat menari. "Saya senang ternyata banyak yang ikut menari. Semakin banyak yang ikut menari, ronggeng gunung semakin terasa nikmatnya. Tarian ini adalah tarian rakyat,” ujar Raspi dalam bahasa Sunda selepas menari selama 2 jam tanpa henti pada malam pergantian tahun menuju 2011 di lapangan parkir Kebun Binatang, Bandung, Jumat (31/12/2010) mulai pukul 24.00. 

Perasaan bangga pun berlipat ganda karena ternyata banyak anak muda di kota besar masih ingin mengetahui dan belajar ronggeng gunung, satu hal yang jarang ia temui lagi. ”Ronggeng gunung semakin sepi peminat, khususnya generasi muda, dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya. Mereka lebih memilih pentas organ tunggal ketimbang kendang, ketuk, dan gong ala ronggeng gunung. Alasannya, lebih murah dan mutakhir. Kalaupun ada yang menanggap, biasanya hanya kerabat Raspi, yang tinggal dekat rumahnya di Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat. Itu pun sebatas penari pendamping atau belajar memainkan musik pengiring. ”Hinaan atau cemoohan sudah sering saya dengar saat pentas atau mencoba mengajarkan ronggeng gunung. Ronggeng gunung dianggap kuno dan membosankan,” katanya. Namun, Raspi tidak peduli. ”Saya hanya ingin menari,” ujar perempuan asal Ciamis ini. Tak berbekas Ronggeng gunung adalah tarian khas dari Ciamis. Konon, tarian ini muncul atas nama cinta dan dendam Dewi Siti Samboja, putri ke-38 Prabu Siliwangi, karena kekasihnya, Raden Anggalarang, tewas di tangan perompak. 

Namun, perlahan dendam itu berubah menjadi ungkapan syukur masyarakat pegunungan Ciamis atas hasil ladang dan sawah. Raspi mengatakan, tari ini sempat menemukan masa emasnya pada 1970-1980. Saat itu, ia selalu kewalahan memenuhi panggilan pentas. Selama 40 tahun menari, ia pernah merasakan dibayar dari Rp 200 hingga Rp 3 juta per pertunjukan. Akan tetapi, masuk tahun 1990-an ronggeng gunung perlahan tenggelam di tengah gemerlap kehidupan modern. Banyak penari ronggeng dan pemusiknya pensiun karena tidak ada lagi yang mengundang mereka. Puncaknya, Raspi bersama lingkung seni Panggugah Rasa—satu-satunya kelompok ronggeng gunung yang bertahan—paling banyak hanya sekali pentas dalam tiga bulan selama tahun 2010. 

”Sepi sekali dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya panggilan tampil ada saat bulan haji atau Syawal sebagai pengisi acara syukuran atau ruwatan,” katanya. Kini, keberadaan ronggeng gunung pun terancam tak berbekas. Fakta bahwa Raspi adalah maestro ronggeng gunung terakhir membuktikan bahwa kesenian ini rentan menambah daftar merah kesenian rakyat yang terancam punah di Jabar. Hingga tahun 2010, tercatat ada 40 kesenian terancam punah. Baru lima yang bisa direvitalisasi, yaitu gamelan ajeng dari Karawang, angklung badud (Kota Tasikmalaya), parebut seeng (Kabupaten Bogor), lisung (Ciamis), dan sandiwara (Ciamis). 

Buah ketekunan Kecintaan Raspi kepada ronggeng gunung tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak kecil. Ia mempelajarinya secara tidak sengaja saat kabur dari rumah karena hendak dinikahkan saat berusia 13 tahun. Guru pertamanya adalah Maja Kabun dari Padaherang, Ciamis. Raspi mengakui tidak mudah mempelajari ronggeng gunung. Ronggeng wajib memiliki fisik kuat. 

Alasannya, ronggeng harus memiliki kemampuan olah vokal dalam nada tinggi sekaligus menari dalam waktu lama. Ronggeng gunung biasanya dipentaskan 2 jam hingga 12 jam per pertunjukan. Raspi memiliki pengalaman menarik saat penari asal Amerika Serikat, Hally, minta diajari tari ronggeng gunung. Hally dikatakan termasuk cepat menguasai gerakan tari. 

Namun, dia menyerah saat belajar menari dan menyanyi dengan nada tinggi secara bersamaan. Hally tambah kewalahan saat harus mengingat lagu-lagu khas ronggeng gunung. Biasanya, ada enam hingga delapan lagu yang dibawakan dalam satu pertunjukan. Judul lagu antara lain ”Kudup Turi”, ”Sisigaran Golewang”, ”Raja Pulang”, ”Onday”, ”Kawungan”, ”Parut”, dan ”Trondol”. Sebagian besar bertema kerinduan kepada kekasih dan sindiran kepada perompak pembunuh Anggalarang. ”Sekarang saya mencoba meneruskan tarian ini kepada Nani Nurhayati, anak kandung saya. Namun, setelah sembilan tahun, Nani belum terlalu mahir dan masih harus banyak belajar,” katanya. Ketekunannya mempertahankan akar ronggeng gunung perlahan mulai membuahkan hasil. 

Ia berhasil mendapat penghargaan dari Taman Mini Indonesia Indah tahun 1997 dan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat 10 tahun kemudian. Yang teranyar adalah bantuan dana pembuatan pedepokan seni Rp 200 juta dari Pemerintah Provinsi Jabar tahun 2009. Namun, yang paling bisa menenangkan hatinya adalah munculnya pengembangan, seperti ronggeng kaler dan kidul. Ronggeng kaler populer di daerah utara, seperti Kuningan, sedangkan ronggeng kidul tumbuh di daerah selatan, seperti Garut dan Tasikmalaya. Keduanya memakai perangkat gamelan lengkap. Ronggeng gunung pun disajikannya lebih bervariasi, seperti perbedaan tari untuk hiburan atau adat. Ronggeng upacara adat biasanya dibawakan dengan pakem tertentu, seperti pentingnya tata urutan lagu, sedangkan ronggeng untuk hiburan biasanya lebih fleksibel karena tidak ada pakem urutan lagu. ”Ke depan, saya berharap perhatian tidak hanya itu. Saya ingin semua pihak turut membantu melestarikan dan mempertahankan ronggeng gunung sepeninggal saya nanti,” katanya. Kini di masa tuanya, Raspi masih menyimpan harap. Ke depan, ia berharap semakin banyak masyarakat yang tertarik mementaskan dan mempelajari ronggeng gunung sebagai warisan tradisional bangsa. 

Ia ingin menjaga ronggeng gunung tetap dikenal masyarakat sekaligus memberikan suntikan semangat kepada generasi muda bahwa ronggeng gunung juga bisa diandalkan membiayai kebutuhan hidup. ”Kalau sekarang, rumah layak pun saya belum punya karena hanya tinggal di rumah reyot. Kadang-kadang suka risi karena punya sanggar baru, tapi rumahnya tidak layak. Semoga ini tidak dialami ronggeng selanjutnya,” ujar Raspi malu-malu sembari menutupi mulut dengan kedua tangannya. 

Dapatkan artikel ini di URL: http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/08/15182696/Penari.Terakhir.Ronggeng.Gunung
Tari Ronggeng Gunung (Ciamis, Jawa Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU