Laman

Rabu, 03 September 2014

P#2. Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta. (bag.2 dari 4)


Salakanagara

P#1. Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, 
Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta. (bag.1 dari 4) KLIK DISINI
Salakanagara

Merupakan bagian kedua dari: Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta

BAGIAN 2 
SALAKANAGARA

Purwayuga
Sedemikian jauh, di Tatar Sunda belum ditemukan fosil manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen‑Bawah, maupun dari lapisan Pleistosen‑Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya fosil manusia Pithecanthropus Mojokertensis dan Meganthropus Palaeojavanicus dari lapisan tanah Pleistosen-Tengah di Jetis dekat Sangiran (Mojokerto), kemudian ditemukan pula fosil manusia dari lapisan Pleistosen‑Tengah di Trinil tepi Bengawan Solo dari jenis Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa saja terjadi di Tatar Sunda.

Sebelum kemungkinan itu terbukti, berdasarkan Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa I Sarga 1, dikemukakan kisah tentang Purwayuga (Zaman Purba), antara lain sebagai berikut:

  • ...// witan sarga  kala niking bhumitala / bhumitala pinakagni dumilah mwang usna //prayuta warsa tumuli kukm peteng rat bhumandala canaih canaih dumanarawata sirna / bhumi mahatis yadyastun mangkana/ tatan hang jang gama / ateher bhumandala nikang dadi prawata lawan sagara//prayuta warsa tumuli dadi to sthawarahalit ateher dadi to janggama prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi mina mwang sarwa mina // ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang nanawidha mwang ring samangkana dadi to jang gama satwa raksasanung nanawidha prakaranya/atehersanuwa jang gama satwa binturun mwang sadwa lenya waneh/ kadi waraha / turangga mwang lenya manih // ateher prayuta wana tumuluy dadi to janggama prakara manusadhama lawan tatan pcmna// liana Pwa Purwwajanma purusa satwa/ atelier lawasira mewu iwu warsa manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa manusa// lawas ri huwus ika dadi to purusakara/ ateher manusadhama mwang wekasan dadi ta purusa pumna //a. (Wangsakerta,1677: 2422)
Terjemahan:

  • Pada awal masa penciptaan permulaan bumi (bhumitala), permukaan bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka bumi secara berangsur‑angsur dan terus-menerus seluruhnya menghilang. Bumi menjadi dingin. Namun demikian, belum ada makhluk hidup. Kemudian, permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan. Beberapa juta tahun kemudian muncullah tumbuh‑tumbuhan kecil, lalu muncul makhluk hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya. Beberapa juta tahun kemudian, muncul berjenis‑jenis tumbuhan dan hewan raksasa yang beraneka ragam jenisnya; kemudian bermacam‑macam makhluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti babi hutan dan kuda. Berjuta juta tahun kemudian, muncullah makhluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan belum sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu‑ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia sempurna.

Kira‑kira 1.000.000 tahun sampai 600.000 tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia yang masih rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang menyebutnya manusia hewan (satwa‑purusa) dari zaman purba, karena mereka berlaku seperti setengah hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa, tubuhnya berbulu dan kejam perangainya.

Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak memiliki budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah berayun‑ayun pada cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa, hutan Sumatera, hutan Makassar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).

Di daerah lain di Pulau Jawa, antara 750.000 sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya baik dan lebih cerdas dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari mereka membuat senjata dari bahan tulang dan batu. Mereka selalu diserang oleh sekelompok manusia hewan yang menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua kelompok itu selalu seru. Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya makhluk manusia hewan yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa dan lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu, disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa). Mereka tinggal di dalam goa di lereng gunung.

Manusia jenis ini akhirnya punah karena sejak 600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia pendatang dari benua Utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira‑kira 250.000 tahun yang silam, manusia hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu habis binasa. Zaman ini oleh para mahakawi dinamai masa purba yang pertama (prathama purwwayuga).

Sementara itu, antara 500.000 sampai 300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah, hidup manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas. Makhluk jenis ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum pendatang baru dari benua Utara.

Seterusnya, antara 300.000 sampai 50.000 tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia berwujud setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok manusia ini belum diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan manusia yaksa yang punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kulit agak gelap, tidak banyak berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan dengan manusia yaksa yang telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena didesak, diburu, dan akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua Utara. Periode ini oleh para mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).

Selanjutnya, pernah pula hidup manusia kerdil (wamanapurusa) atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para mahakawi dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai 25.000 tahun yang silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat dari batu, tetapi buatannya tidak bagus, makhluk jenis inipun akhimya punah. Zaman ini oleh para mahakawi disebut masa purba pertengahan (madya ning purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).

Kedalam zaman tersebut, termasuk pula masa hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng) atau manusia Jawa‑purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 40.000 sampai 20.000 tahun yang silam, jumlahnya tidak banyak. Mereka ini pun akhirnya punah karena bencana alam, saling bunuh di antara sesamanya, dan akhirnya seperti juga nasib penghuni Pulau Jawa yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari benua Utara.

Pendatang dari Utara
Dalam buku Geografi Kesejarahan II Indonesia (1984), yang mengacu kepada hasil penelitian para ahli, Daldjoeni mengemukakan pendapatnya tentang asal‑usul ras Melayu, antara lain:
Di Hindia belakang ada dua pusat persebaran bangsa. Dari daerah Yunnan di Cina Selatan, berangkatlah suku‑suku yang tergolong Proto Melayu Tua dan dari dataran Dongson di Vietnam Utara (Daldjoeni, 1984:1).
Yunnan, yang disebut-sebut sebagai daerah asal kelompok Melayu Tua di Cina Selatan, dijelaskan pula oleh Ales Bebler, antara lain:
Merupakan dataran tinggi kering dengan ketinggian rata‑rata 1000 meter di atas permukaan laut. Alamnya tertutup oleh rerumputan, pepohonan yang rendah dan semak belukar. Wilayahnya terbelah‑belah oleh jurang-jurang yang cukup dalam sehingga membatasi gerak penduduknya dalam mengusahakan pangan. Mata pencaharian mereka aslinya berburu dan mengumpulkan buah‑buahan. Dalam perkembangan selanjutnya mereka beralih ke usaha peternakan dan pengolahan tanah secara primitif.
Peta Yunnan, Cina Selatan.
Asal bangsa Indo‑mongolid, yang jelas adalah Cina Selatan, akan tetapi sebagian dari mereka itu dahulunya datang dari Tibet Timur. Mungkin keributan di Asia Tengah itu menjalar ke Cina Selatan. Dari sini terjadi migrasi ke wilayah Asia Tenggara yang relatif masih kosong, melalui jurang-jurang dan lembah‑lembah sungai di Cina, Birma dan Siam. Tekanan di Cina Selatan agaknya bertalian erat dengan mulai berkembangnya kerajaan Cina yang dengan tegas akan tetapi bertahap menghendaki signifikasi bagi seluruh wilayahnya sampai batas Selatannya yakni garis pegununan Himalaya‑Nanling (Daldjoeni, 1984: 3, 9‑10).

Pada naskah Pustaka Rajayarajya i Bhunri Nusantara parwa I sarga 1, dikemukakan peristiwa sebagai berikut:

  • Perpindahan (panigit) manusia pendatang dari benua Utara: Yawana, Campa, Syangka, dan dari daerah-daerah sebelah tirnur Gaudi (Benggala) menyebar ke Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kutalingga, Gowa, Makassar, dan pulau‑pulau lain di sebelah belahan Timur Nusantara, termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di Nusantara kira‑kira 20.000 tahun sebelum tarikh Saka.
Manusia yaksa kerdil (wamana purusa), sebagai pribumi, berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab itu, mereka diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia purba yang hidup antara 25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka berbaur menjadi satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan Aria dari kaum pendatang baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara kedua belah pihak, telah menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya kepunahan.

Adapun, kaum pendatang baru dari benua Utara tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan senjata dari batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan‑bahan lain dengan hasil yang hampir bagus (meh wagus). Menurut para mahakawi, masa kedatangan orang‑orang dari benua Utara tersebut, dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).
Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka, sampai tahun pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang, kelompok pendatang dari benua Utara, yaitu:

  • 1.      antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 2.      antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 3.      antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 4.      antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 5.      antara 1000 sampal 600 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 6.      antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 7.      antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 8.      antara 200 sampal 100 tahun sebelum tarikh Saka;
  • 9.      antara 100 sampai awal tarikh Saka.
Pada masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama purwwayuga).

Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya
Orang‑orang yang datang berturut‑turut dari berbagai daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di antara keturunannya ada yang saling berperang, lalu mereka yang telah lebih dahulu datang dan telah lama menetap dikalahkan oleh kaum pendatang baru. Akan tetapi, ada juga yang saling mengasihi dan saling membantu karena mereka mempunyai tujuan yang sama.
Semakin lama, penduduk ini semakin meresap dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang menyebabkan kaum pendatang itu sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara) adalah:
1.      pulau‑pulau di bumi Nusantara ini subur tanahnya;
2.      subur tumbuh‑tumbuhannya;
3.      kehidupan penduduknya bahagia;
4.      serbaneka rempah‑rempah ada di sini; dan
5.      menjadikan kehidupan penduduk makmur sejahtera.

Adapun pakaian yang dikenakan pribumi di sini berupa cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka selalu membawa tombak, gada, busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata lainnya. Mereka tinggal di hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang selalu bersembunyi, ada yang memisahkan diri, ada pula yang bersama keluarganya di lereng bukit.

Tiap kelompok yang hidup di salah satu kampung, dipimpin oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung. Rumah Sang Panghulu, selalu dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang pemimpin ini, terhitung besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan beberapa keluarga penduduk tinggal bersama dalam satu rumah di bawah pimpinan seorang kepala rumah tangga yang sudah cukup berumur dan terpandang. Demikian pula halnya dengan Sang Panghulu, ia adalah orang yang sangat berwibawa. Di Jawa Kulwan (Barat) ada beberapa panghulu pribumi semacam itu. Demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pulau‑pulau lain di Nusantara. Keadaan itu terjadi sebelum awal tarikh Saka.

Mereka datang di Nusantara dengan menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke arah Selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu‑perahu itu hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar, sehingga perahunya terlunta‑lunta dan terpisah dari kelompok perahu lainnya.

Adapun yang menyebabkan pengungsian besar (panigit agheng) itu, adalah:
1.      tempat asalnya selalu kekeringan;
2.      terjadi bencana gempa bumi; dan
3.      musim kemarau yang berkepanjangan.
Akibatnya, mereka menderita kekurangan makanan, dan terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan, tumbuhan, tunas, dan daging hasil buruan. Karena itulah, mereka senantiasa ingin mencari tanah yang subur di pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya adalah Nusa Jawa.

Setibanya di sini, mereka menetap dan hidup bersama ibarat satu keluarga. Anak, cucu, dan keluarga, masing‑masing membuat rumah. Rumah mereka itu berderet; ada yang kecil dan ada yang besar dan tinggi. Untuk sementara, makanan sehari‑hari adalah daging hasil berburu di hutan. Lama kelamaan, tempat tinggal mereka itu menjadi kampung (dukuh). Pakaian sehari‑hari terbuat dari kulit kayu.

Adapun kehidupan penduduk lama dan baru itu, hampir sama seperti di negeri asal mereka. Makanan sehari-harinya adalah daging, ikan, buah‑buahan, tunas, daun-daunan, umbi‑umbian, dan rempah‑rempah. Sang Panghulu yang menjadi pemimpinnya, menguasai berbagai ilmu mantera, selalu bertapa, melaksanakan sembah‑hiyang, melepaskan rakyatnya dari ancaman bencana sihir, memberi berkah, memimpin upacara perkawinan dan berdoa, melindungi adat, serta bertindak adil dan bersikap lemah lembut. Singkatnya, Sang Panghulu yaitu Sang Datu, siang malam selalu mengharapkan agar rakyatnya hidup sejahtera, dan kampung tempat tinggal mereka makmur sentosa di bumi ini.

Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam‑macarn, tetapi yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang). Mereka memohon kepada arwah yang dipujanya dengan doa pujaan lengkap, dengan tata upacara dan sembah‑hiyang serta sajen. Tujuannya adalah agar terkabul cita‑citanya. Ada yang ingin terlepas dari kenistaan, bertambah hasil usaha tani atau dagangnya, mengharap unggul dalam perang atau perkelahian, mengharap terlepas dari penderitaan, lalu orang yang susah mengharap kesejahteraan dan banyak harta, ada pula pria yang ingin mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan suami. Ada lagi yang mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan berumur panjang, serta terluput dari bahaya dan macam‑macam harapan lagi.

Serbaneka pemujaan mereka adalah api, gunung, arwah leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah, sungai, matahari, bulan dan bintang. Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak gunung, karena menganggap roh penguasa isi gunung di seluruh dunia. Ada pula yang memuja pohon rimbun.
Ada beberapa keluarga yang memasuki hutan dengan membawa harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka berburu hewan, lalu kulitnya dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya dijadikan bahan makanan. Pakaian kulit itu ada yang diberi lukisan menurut kehendak masing-masing, sedangkan batu‑batuan dan tulang, dijadikan perhiasan untuk anak isterinya dan berbagai macam perkakas.

Akan tetapi, pendatang baru makin lama makin banyak, sehingga orang pribumi terdesak dan hidup terlunta‑lunta memasuki hutan dan pegunungan. Terjadilah pengungsian besar‑besaran, karena kaum pendatang itu senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan, dan kenistaan bagi orang pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi kaum pendatang baru. Kaum pribumi, merasa terhina dan sangat takut, karena siapapun di antara mereka yang berani melawan, akan ditangkap dan dibunuh. Kaum pribumi itu selalu kalah, karena mereka bodoh dan dalam segala hal terbelakang.

Sebaliknya, kaum pendatang baru memiliki berbagai ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan perkakas dari besi, telah mengenal emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu pembuatan busur dan panah (wedastra), dan ilmu memanah (dhanurweda), serta membuat aneka obat‑obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah menanam padi untuk keperluan makan sehari‑hari, mengetahui ilmu perbintangan (panaksastra), membuat pakaian dan perhiasan yang indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat wayang dari kulit diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk keluarga, membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh‑tabuhan untuk mengiringi tari.

Di samping itu, mereka telah menyusun peraturan tentang kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan, musim kemarau, ilmu tentang hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang gunung, tentang ucapan, lalu ilmu tentang rempah‑rempah, hutan dan gunung, ekonomi (swataning janapada) dan sebagainya.

Kaum pendatang dari negeri Yawana dan Syangka, yang termasuk kedalam kelompok manusia purba‑tengahan (janna puruwwamadya), tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa antara tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka, telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna). Mereka telah mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang kelompok ini, menyebar ke pulau‑pulau di Nusantara.

Zaman ini, oleh para mahakawi disebut zaman Besi (wesiyuga), karena mereka telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, serta telah mengenal penggunaan emas dan perak. Mereka merasuk ke desa‑desa yang dikunjunginya, seolah‑olah Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara ini kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghalangi, segera dikalahkan, sehingga bukan saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka pun harus menjadi bawahan yang tunduk kepada yang berkuasa.


  • …/ hana pwa sang panghulu athawa pangamasa mandala pasisir Jawa kulwan / bang kulwan ika prarrucnaran aki tirem athawa sang aki luhunnulya ngaranira waneh //
Terjemahannya:

  • Adapun, panghulu atau penguasa wilayah pesisir Barat Jawa Barat sebelah Barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.


Selanjutnya, dalam naskah tersebut dikemukakan, tentang silsilah (asal-usul) leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya:

  • Adapun Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya.
  • Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri namanya.
  • Nyai Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel namanya.
  • Sang Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah Selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat.
  • Selanjutnya Aki Dungkul, putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah Selatan.
  • Ki Pawang Sawer, putera Datuk Pawang Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah Selatan.
  • Datuk Pawang Marga, putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah Utara.
  • Ki Bagang, putera Datuk Waling namanva, yang berdiam di pulau Hujung Mendini.
  • Datuk Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi sungai.
  • Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiam di wilayah Langkasuka.
  • Sedangkan nenek moyangnya dari negeri Yawana sebelah Barat.

Jika mencermati The Hammond Atlas (terbitan Time, 1980, USA), di wilayah Provinsi Yunnan, terdapat sebuah kota kecil Yu‑wan, yang terletak di tepi sungal Yuan‑Mouw. Yu‑wan dalam bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya‑wa‑na, yang terdapat dalam naskah Pustaka Wangsakerta. Oleh karena itu, kota Yu‑wan, diduga kuat merupakan tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya.

Sedangkan Yunnan sendiri, menurut para ahli, merupakan lembah bagian hulu sungai Yang Tze Kiang, yang mata airnya berasal dari pegunungan Himalaya bagian Timur Laut. Di wilayah ini sering terjadi gempa bumi, yang disebabkan adanya pergeseran lempeng anak benua India, yang bergerak ke arah Utara dan membentur lempeng Asia. Sehingga membentuk pegunungan Himalaya, yang membentang dari arah Barat di wilayah Kashmir, ke Timur hingga ke wilayah perbatasan China, India dan Burma (Myanmar).

Adanya benturan dua lempeng tersebut, menimbulkan gempa tektonik, di sekitar wilayah bagian Utara dan bagian Timur Laut pegunungan Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di wilayah ini, adalah banjir bandang (mendadak) yang sangat besar. Penyebabnya, akibat pencairan es; di puncak Himalaya pada saat musim semi.

Surga di Muka Bumi
Bertambah lama, orang yang datang baru, bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa tujuan. Mengembara di hutan dan gunung‑gunung, bertambah banyaklah yang jadi pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang terus‑menerus. Golongan pribumi senantiasa dihinakan.

Kenyataannya, ada di bawah perintah orang‑orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh. Orang‑orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang. Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik, kristal, dan kendaraan. Selanjutnya membuat berbagai senjata dari besi dengan gelang anak‑panahnya, pengetahuan tentang memanah, juga membuat berbagai obat‑obatan, begitu pula membuat perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan sehari‑hari.

Mereka juga telah mempunyai pengetahuan tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian dan perhiasan yang indah‑indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat rumah besar, yang dihuni suami‑isteri dan kerabat laki‑laki dan wanita, membuat api dengan pemantik (paneker) dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun, perilaku mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana =100.000 depa), tentang makanan yang lezat, pengetahuan tentang hari, berbagai tumbuh‑tumbuhan, (musim) penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang laut, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur kata.

Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan tentang rempah‑rempah, pengetahuan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang belakangan dari negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang serta negeri Bharata (India) sebelah Selatan, sangatlah pandai berbagai pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ, ialah orang‑orang pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang. Pakaian mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia purba‑pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.

Dikatakannya, bahwa orang‑orang pendatang baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia‑purba pertengahan, kira‑kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka. Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala perlengkapan.

Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di bumi Nusantara. 
Demikianlah uraian mahakawi (pujangga besar), pada waktu itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan perak. Mereka lebih pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka kemudian menyerang desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk segera dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang berkuasa.

Begitu pula di antara seratus tahun pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari beberapa negara yang terletak di sebelah Timur negeri Bharata (India). Oleh karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman purba.

Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang dari Barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga orang‑orang pendatang dari kawasan benua Utara, yang leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.

Barang-barang yang dibawa oleh para pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas, perak, permata, mustika, obat‑obatan, bahan‑bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan‑bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah‑rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.

Di antara mereka ada yang terus menetap di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Demikian pula di Sumatera, dan di pulau‑pulau lain di Bumi Nusantara, yang disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan, dan kaum pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.

Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau‑pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi (samyasanya swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini. Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak pinak. Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh‑tumbuhannya. Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian mereka masing‑masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.

Mereka bergabung untuk bergotong royong (samakarya), membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung ahli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi.
Para pendatang dari India itu, ada yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa‑desa. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Juga masih banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka berhasil menemukan cara yang tepat.

Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Singkatnya, mereka itu memuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru dari India Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.

Dengan cara demikian, mereka tidak menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu.

Sementara itu, banyak di antara para pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa‑desa di Pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu telah dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasannya.

Sementara itu, keadaan desa-desa tetap makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya. Demikianlah pula pulau‑pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun 80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak di antara mereka itu, yang membawa anak‑isteri beserta sanak keluarganya, lalu menetap di Pulau Jawa dan pulau‑pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di situ.

Ada yang datang membawa perahu besar, ada yang datang beserta pendeta agama Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini, mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di sana.

Dewawarman
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, oleh Pangeran Wangsakerta, diriwayatkan sebagai berikut:

  • /jwah tambaya ping prathama sa kawarsa riking wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara i bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi// pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya wikriya/ hansing mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya kaparajaya/ ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring nusa‑nusa i bhumi nusantara//a
Terjemahanannya:

  • Kelak, mulai awal pertama tahun Saka di sini telah banyak orang‑orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau‑pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya. Terutama para pendatang, banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah, yang sangat banyak berdatangan di sini, dengan menaiki beberapa puluh buah perahu besar‑kecil. Yang dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka mereka bertujuan yaitu untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan.

Mereka senantiasa datang di sini, dan mereka kembali membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Pulau Api dan Pulau Sumatera sebelah Selatan, terutama Sang Dewawarman sebagai duta dari wangsa Pallawa.

Permulaan pertama tahun Saka, di pulau‑pulau Nusantara, telah banyak golongan warga masyarakat, yang menjadi pribumi tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang berkasih‑kasihan berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil. Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai. Bukankah selalu berdatangan orang lain atau wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala, negeri Gaudi, negeri Cina dan sebagainya.

Ramailah kemudian dukuh‑dukuh di tepi laut. Dengan demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi Nusantara dengan negara lain dari benua Utara sebelah Barat dan Timur. Tetapi, yang banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan pendatang dari negeri Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa Kulwan (Barat).

Para pendatang itu bersahabat dengan penghulu dan warga masyarakat di sini. Adapun penghulu atau penguasa wilayah pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah Barat, namanya terkenal, Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai Dewawarman pertama.

Akhirnya semua anggota pasukan Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan pasukannya, tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi penduduk di situ, lalu beranak pinak.

Beberapa tahun sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (Pallawa) untuk negeri‑negeri lain yang bersahabat, seperti kerajaan‑kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang-barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk menerimanya dengan senang hati. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak.

Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara (salaka= perak).

Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan bagian Barat dan semua pulau di sebelah Barat Nusa Jawa. Laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya. Oleh karena itu, daerah-daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu‑perahu yang berlayar dari Timur ke Barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar upeti kepada Sang Dewawarman. Pelabuhan‑pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan, Nusa Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian Selatan, dijaga oleh pasukan Dewawarman.

Wangsa Dewawarman memerintah Kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura (Kota Perak). Kota besar lainnya lagi, Agrabhintapura ada di wilayah sebelah Selatan. Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta Limansakti, adik Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah penguasa mandala Hujung Kulon.

Penerus Tahta Salakanagara
Dari perkawinannya dengan Pohaci Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak yang tertua, laki‑laki. Kelak, ia menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di Salakanagara, dengan nama nobat Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Ia menjadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90 sampai 117 Saka atau tahun 168 sampai 198 Masehi. Ia menikah dengan puteri keluarga Raja Singala (Sri Langka).

Dari perkawinan ini lahir seorang putera, yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelarPrabhu Singasagara Bimayasawirya. Ia menjadi penguasa Salakanagara dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 ‑ 238 Masehi). Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan bajak laut dari negeri China, yang dapat dihadapinya dan ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan hubungan (pamitran) dengan maharaja China dan raja‑raja India. Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah.

Puteri tertua yang lahir dari perkawinan ini bernama Tirta Lengkara. Puteri sulung ini berjodoh dengan Raja Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun 160 sampai 174 Saka (238 - 252 Masehi). Dari perkawinan ini, lahir puteri sulung bernamaMahisasuramardini Warmandewi.

Bersama suaminya yang bernama Darmasatyajayasebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174‑198 Saka). Ketika Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut) gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani, Mahisasuramardini melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 Masehi).

Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung Dewawarman V atau Sang Mokteng Samudra (yang mendiang di lautan). Prabu Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun, dari tahun 211 sarnpai 230 Saka (289 - 308 Masehi). Dari perkawinannya dengan puteri India, ia mempunyai tiga putera dan tiga puteri.

Putera sulungnya yang kemudian menjadi Dewawarman VII, memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308‑340 Masehi), bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Yang kedua, seorang puteri yang bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri Kerajaan Gaudi (Benggala) di India bagian Timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. Ia menikah dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat, laki-laki bemama Gopala Jayengrana. Ia menjadi seorang menteri Kerajaan Calankayana India. Yang kelima, seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Pallawa di India. Putera bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka Dewawarman Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.

Putera sulung Dewawarman VII bernama Sphatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan. Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat permaisurinya. Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan) yang bernama Atwangga putera Sang Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Maganda, yang pergi mengungsi tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari puteri ini dengan Atwangga, lahirlah Kudungga yang kelak menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
Ketika Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah SenapatiKrodamaruta dari Calankayana, di Rajatapura (ibukota Salakanagara), bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya, bersenjata lengkap. Krodamaruta adalah putera Gopala Jayengrana, yaitu putera Dewawarman VI yang keempat. Yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta, ia menobatkan diri menjadi penguasa Salakanagara.

Ahli waris tahta yang sah, adalah Sphatikarnawa Warmandewi, puteri sulung Dewawarman VII. Ia belum bersuami, karena kelakuan Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia masih cucu Dewawarman VI, keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya. Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa, karena ia tewas tertimpa batu besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi `penguasa' Salakanagara.

Kemudian, Sphatikarnawa Warmandewi, puteri sulung Dewawatman VII, dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara menggantikan ayahnya, pada tahun 262 Saka (340 Masehi). Pada tahun 270 Saka, Sang Rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi, yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia bersuamikan panglima angkatan laut Kerajaan Pallawa. Lengkaradewi beserta suami dan puterinya, datang ke Rajatapura dalam tahun 268 Saka (346 Masehi) sebagai pengungsi, karena negaranya (Pallawa) telah dikuasai oleh MaharajaSamudragupta dari keluarga Maurya.

Setelah pernikahanmya, Rani Sphatikarnawa Warmandewi memerintah bersama‑sama suaminya, sebagai Dewawarman VIII bergelar Prabhu Darmawirya Dewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348‑363 Masehi).

Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, kehidupan penduduk makmur sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu. Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau Ganapati.
Dewawarman VIII mempunyai putera‑puteri beberapa orang. Yang sulung, seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Yang kedua, seorang putera bernama Aswawarman. Ia diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga penguasa Bakulapura, kemudian, ia dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga. Yang ketiga, seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh Maharesi Santanu, Raja Indraprahasta yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya, tinggal di Sumatera dan menurunkan para raja di sana. Di antara keluarganya, kelak adalah sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang lain, tinggal di Yawana dan Semenanjung. Puteranya yang bungsu menjadi putera mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat, ia menggantikarmya menjadi penguasa Salakanagara.

Permaisuri Dewawarman VIII ada dua orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi yang menurunkan raja-raja di Jawa Kulwan dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua, bernama Candralocana, puteri seorang brahmana dari Calankayana di India. Ia menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera, Semenanjung, dan Jawa Tengah.

Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi penguasa Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas, selama 233 tahun (130‑363 Masehi). Dewawarman VIII, dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir, sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.

Catatan Para Ahli
Sesungguhnya, berita tentang pernah adanya sebuah kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh N. J. Krom dalam buku Het Hindoe-Tijdperk (1938:121), sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan Edi S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara I.I (1987: 31), 
antara lain sebagai berikut:

  • Een naukeurig gedateerd Chineesch bericht uit 132 n. C, lidjt weer aan onzekerheid van interpretatie. In dat jaar zond ke koningvan Yet‑two, genaarnd Pien, een gezantschap naar Cina, en kreeg genoemde kmting Tiarrpien een eergeschenk. In den nanm van het land ia Yawadwipa, Java‑eiland, herkencl, ruaaruit zou volgen dot op dit oogenblik het eilaed in kruestie door de Chineezen met em Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar zoo dadelijk zal blijkery inderdacrdzees aannamelijk, dot het in dezen tjid zijn door de Hindoe's gegeven naccm reeds droeg Ueel zwakker stoat de wedergave van den koningsnaarn nit den Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende vorstnaam uit den Archipel zrnl z~n en teams zou veivrijzen, dot het hindoesiseeringsproces reeds een aanvang had gr?namen, hetzij dan dot een Hindoe er zich als leaning had neergezet of een Indonesisch vorst dien Indischen naam had aanvaard.
Untuk lebih dipahami, dikemukakan pula kutipan terjemahannya, antara lain sebagai berikut:
Suatu berita Tionghoa jang tertanggal seksama, dari tahun 132 Sesudah Masehi mendjadi samar pula, oleh karena tidak dapat ditafsirkan dengan pasti. Dalam tahun itu tersebutlah radja Ye‑Tiaojang bernama Pien dan mengirimkan utusan ke Tiongkok dan radja Tiao‑pien tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang mana akan berarti, bahwa diwaktu itu pula telah disebut pada nama Sanskertanja oleh orang Tionghoa. Memang mungkin sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa pulau itu pada waktu itu telah memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu. Djauh lebih lemah tafsiran nama radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja berarti, bahwa nama radja inilah kiranja jang tertua jang kita kenal di Nusantara, tetapi djuga akan menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah dimulai pada waktu itu, baik oleh karena seorang Hindu telah datang menetap dan mendjadikan dirinja radja, maupun seorang radja Nusantara telah mengambil nama Hindu tersebut (Effendi, 1950:11).

Bahwa Ye‑tiao telah mengirimkan duta ke Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam Hou Han‑shu, telah dicatat oleh beberapa orang sarjana. Wolters (1967: 258) menyebut keterangan dari Pelliot (1904: 266 69), yang menyarankan bahwa Ye‑tiao adalah sebuah transkripsi yang permulaan tentang "Jawa" dan kesimpulan dapat ditarik tentang hubungan Cina-Indonesia paling tua pada abad kedua Masehi. Stein (1974: 13642) mengemukakan alasan untuk percaya, di dalam hal ini, Ye‑tiao terletak di perbatasan Barat Daya Cina, tetapi Demieville (1951:336) tidak mempercayainya. Ia menyebut bahwa: "Java' ia also a mainland South East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's incription of 1292 in the contex of Laos". Sedangkan Fujita Toyohachi berpikir Ye‑tiao adalah satu bentuk alternatif dari Ssu‑tiao dalam arti Ceylon. Hal ini katanya tidak mengherankan, jika penguasa Singhala mengirimkan satu perutusan ke Cina pada tahun 132 M., karena perutusan dari India Utara yang tertua dari tahun 89 M. (Atja & Ekadjati,1987:32).

Sartono Kartodirdjo, mengutip tulisan NJ.
Krom dalam Hindoejavaanscht Geschiedenis (1931), antara lain sebagai berikut:

  • Berita lainnya yang juga tidak dapat dipastikan kebenarannya ialah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M. Di dalam berita itu disebutkan, bahwa raja Ye‑tiao yang bernama Pien, meminjamkan meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada maharaja Tiao‑pien. Menurut dugaan Sarjana Perancis G. Ferrand, Ye‑tiao dapat disesuaikan dengan Yawadwipa, sedangkan Tiao‑pien merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman (Kartodirdjo,1977:3637 )


Untuk lebih jelasnya, D.G.E. Hall, Guru Besar Emiritus Sejarah Asia Tenggara Universitas London, mengemukakan hal yang sama, antara lain:
Bahwa laporan orang-orang Cina berikutnya, tahun 132, mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya interpretasi yang agak kurang pasti dari nama‑nama yang disebut mempunyai nilai. Disebut upacara penerimaan oleh Kaisar Han untuk suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang raja Ye-tiao bernama Tiao‑pien. 

Apakah Ye‑tiao merupakan terjemahan kedalam bahasa Cina dari istilah Sanskerta, Javadvipa, pulau Jawa, dan apakah nama raja itu sama dengan Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?
Peta Chryse dan Argyre
Informasi yang nampaknya lebih pasti, datang dari ahli Ilmu Bumi asal Alexander bernamaClaudius Ptolomy, yang menulis pada tahun 165 atau mungkin lebih awal lagi, dan jelas menggunakan sumber-sumber yang lebih tua lagi. Buku VII dari Geographianya, secara detail berisi tentang Asia Tenggara, yang menggambarkan negeri Perak dan negeri Mas dekat kota-kota di Semenanjung Mas, "Chryse Chersonesus". Di antara pulau‑pulau Nusantara disebut "Barousai Lama", dihuni oleh pemakan daging manusia, "Sabadeibai Tiga", juga dihuni oleh pemakan daging manusia, dan pulau Yabadiou atau Sabadiou nama yang berarti negeri Jelai, yang dikatakan sangat subur dan menghasilkan emas banyak dan ibukotanya di ujung sebelah Baratnya, sebuah kota dagang bernarna Argyre atau Kota Perak (Hall, 1958 dalam Soewarsa,1988:1718).

Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas lagi oleh Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Sejarah Nasianal Indonesia II, adalah sebagai berikut:

  • Dalam buku Geographike, kita bertemu kembali dengan nama‑nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas dan perak. Tempat‑tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak, Chryse Chora, negeri emas dan Chryse Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau Enjelai (Kartodirdjo,1977: 6).
Menggunakan sumber yang sama, pendapat Yogaswara yang dikutip oleh Halwany Michrob, mengemukakan antara lain sebagai berikut:

  • Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. Berdasarkan tulisan geograf Starbo (27-14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama Masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung Utara Sumatera, kemudian menyusuri pantai Barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, dalam Michrob 1993: 32).
Bermula dari sebuah berita Cina dari zaman keluarga (dinasti) Han, memberitakan bahwa "raja Ye‑tiao bernama Tiao‑pien, mengirimkan utusannya ke Cina dalam tahun 132 Masehi". Ye‑tiao diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao‑pien diduga sama dengan Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao artinya Dewa, dan Pien artinya Warman.

Sasaran mengarah ke Jawa bagian Barat, karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi Mesir bernama Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang ditulis kira‑kira tahun 150 M. Ia memberitakan, bahwa di dunia Timur terdapat Iabadiou yang subur dan banyak menghasilkan emas. Di ujung Barat Iabadio terletak (kota) Argyre. Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.

Bila kedua berita dari Cina dan Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal tersebut menyangkut sebuah kerajaan di ujung Barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary, pakar arkeologi Islam Universitas Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo (2000: 67), menyatakan bahwa pada abad ketiga, Ptolemeus sudah melakukan transaksi perdagangan di Palembang, dan menyebut kota itu dengan nama Barus, lantaran ia menukar minyak wangi dan keramik Yunani dengan kapur barus, yang merupakan hasil utama kawasan itu.

Kartografer Eropa pada abad ke‑15‑17 mana pun yang hendak mencari tahu sejarah Nusantata mulanya berangkat dari keterangan Claudius Ptolemeus (90‑168 Masehi). Ahli matematika dan astronom dari Alexandria ini adalah orang pertama yang membuat catatan perjalanan ancar-ancar letak Asia.

Hasan Mu'arif Ambary, pernah melakukan penggalian di Palembang, dan nyatanya banyak keramik dari Yunani yang bercorak sama dengan penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut membuktikan bahwa sebelum zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis di Asia. Rute Ptolemeus adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India, Barus, Cina, dan kembali ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda keramik dari masa Dinasti Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan Effendi,1956:10). Tepatnya di pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).

Berdasarkan temuan tersebut di atas, dapat diduga, bahwa Claudius Ptolemeus yang menempatkan Iabadiou dan Argyre dalam kartografnya, tentu dilakukan berdasarkan catatan pemetaan yang cermat.

Bahkan, Sartono Kartodirdjo, menduga Argyre yang dimaksud oleh Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia Hyphegesis, yang berarti perak, adalah "terjemahan" dari Merak, yang memang terletak di sebelah Barat Pulau Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).

Ayatrohaedi dan Edi S. Ekadjati dalam acara bedah naskah Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri Salakanagara Pandeglang), sebagai Dewan Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara memang pernah ada di pesisir Barat Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.


(bagian 2 dari 4)



P#3. Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, 
Tatar Sunda Masa Silam. (bag.3 dari 4) KLIK DISINI

Sumber:
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta.
********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU