Waliyulloh
Mbah Mangli "KH Hasan Asy’ari" Ulama Karismatik dari Magelang
Tapak Jejak Mbh MANGLI - Magelang
Mbah Mangli Ulama Karismatik dari Magelang
Pondok Pesantren Mangli merupakan salah satu lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban.
Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli, bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatra.
Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal, jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75), warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan, meski sudah meninggal sejak 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makamnya yang berada di dalam kompleks pesantren.
Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid.
Secara khusus, Mbah Mangli mendidik para santrinya di sebuah pesantren sederhana di lereng Gunung Andong. Tempat pesantren itulah yang kemudian dikenal sebagai desa Mangli yang terletak di perbatasan Kecamatan Grabag dan Ngablak, kurang lebih 25 kilometer arah timur laut Kota Magelang. Mbah Mangli merupakan salah satu penganut tarekat Nahsyabandiyyah.
Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan dari para rampok dan begal. Ia justru mendoakan mereka agar memperoleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan, dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Selain mendidik umat lewat pesantren, Mbah Mangli juga aktif melakukan dakwah dan syiar agama Islam ke berbagai wilayah. Di Desa Mejing, wilayah Kecamatan Candimulyo, bahkan Mbah Mangli secara khusus menggelar pengajian rutin bertempat di sebuah langgar atau surau yang dikenal sebagai langgar Linggan. Berbagai kalangan umat Islam datang berbondong-bondong untuk mendengarkan nasihat dan petuah kiai karismatik tersebut dengan penuh kekhidmatan.
Pengajian pada masa lalu memang hampir tanpa sentuhan teknologi canggih seperti zaman sekarang. Jangankan peralatan perekam maupun dokumentasi foto, sekadar pengeras suara pun masih jarang dijumpai. Meskipun, tanpa pengeras suara, seluruh jamaah pengajian yang hadir, baik di sebuah masjid maupun di lapangan terbuka, selalu dapat mendengar tausiah Mbah Mangli dengan jelas dan terang. Meskipun jumlah jamaah ratusan, bahkan ribuan orang, dari berbagai posisi yang dekat hingga terjauh dapat mendengar suara Mbah Mangli.
Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/
Mbah Mangli
Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah.
Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.
KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.
Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau.
Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan: "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri"
Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.
Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah: "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti"
Langgar Linggan
Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman.
Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang.
Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin (80), penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian.
Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli.
Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli.
Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo.
Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli.
Mendoakan
Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap.
Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.
Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.
Pesantren Sederhana di Lereng Gunung
Pengajian Sunyi di Pesantren Mangli
Pengajian memiliki akar kata “ngaji” ataupun “aji”. Aji bermakna sesuatu yang memiliki nilai tidak terkira. Sesuatu yang aji bahkan sangat tinggi, mulia, dan tak bisa dihargai nilainya dengan materi berapapun jumlahnya. Oleh karena itu kata aji juga sering di-dasanama-kan dengan nata, narindra, narpati, prabu, ratu, yang berarti raja. Sampeyan mungkin pernah mendengar kisah Aji Saka, sang raja cikal bakal pulau Jawa? Atau mungkin Sang Aji Konda dari keraton Karangsedana dalam kisah Babad Tanah Leluhur?
Dalam pergaulan yang lebih umum, kata aji juga bergeser dan mengalami sedikit pendangkalan makna sehingga memiliki arti nilai. Misalkan kita pernah mendengar ungkapan “dhuwit sewu saiki wis ora ana ajine”. Uang seribu saat ini sudah tidak berharga lagi. Hal ini merujuk kepada penurunan nilai mata uang akibat adanya laju inflasi yang semakin tinggi.
Adapun kata “ngaji” merupakan bentuk kata kerja yang menyatakan proses untuk menjadi aji, alias menjadi sesuatu yang mulia. Dalam makna yang lebih khsusus lagi, ngaji dimaknai prosesi pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Jika kata dasar ngaji mendapatkan imbuhan pe-an, maka terbentuklah kata benda abstrak “pengajian” yang memiliki arti kurang lebih sama dengan kata ngaji. Secara lebih mudah pengajian dapat diartikan sebuah forum pertemuan untuk menjadi mulia, apakah dengan melakukan ritual tertentu ataupun saling berbagi dan bertujar ilmu, thalabul ‘ilmi.
Pengajian sangat erat dengan tradisi ummat muslim untuk mencari ilmu. Sebagaimana kita ketahui bersama, thalabul ‘ilmi faridzatun ‘alal muslimin wal muslimat. Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada hadist yang menegaskan bahwa thalabul ‘ilmi faridzatun ilal lahdi minal mahdi, mencari ilmu hukumnya wajib semenjak di lahir hingga maut menjemput.
Pengajian saat kini banyak digelar di berbagai mushola, masjid, hingga pondok pesantren. Bahkan tak jarang di kantor-kantor maupun di kelompok masyarakat, seperti RT atau RW, juga terbentuk majelis taklim yang juga sering mengadakan pengajian. Pengajian ada yang bersifat tentative, digelar pada saat peringatan hari besar tertentu, semisal Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Syawalan, bahkan Tahun Baru Islam. Ada juga pengajian yang digelar secara rutin, semisal pengajian mingguan ataupun selapanan. Pengajian selapanan merupakan pengajian yang diadakan setiap 35 hari sekali. Pengajian Jum’at Kliwonan, Ahad Pahingan, Sabtu Ponan, merupakan beberapa contoh pengajian selapanan.
Adalah Pondok Pesantren Mbah Mangli di lereng gunung Andong selalu menyelenggarakan pengajian rutin setiap Ahad Pagi. Pengajian yang diasuh oleh Gus Munir, menantu dari Almarhum Mbah Kiai Mangli tersebut, biasa dimulai sekitar pukul 10.00 pagi hingga waktu Dzuhur tiba. Mbah Kiai Mangli merupakan kiai khos yang sangat disegani oleh kalangan ulama salafiyyah di seluruh penjuru Nusantara. Kesholehan Kiai Mangli menjadikan pondok pesantrennya banyak dikunjungi jamaah pengajian yang membludak hingga pelataran masjid yang luas.
Hal yang paling unik dari pengajian di Pesantren Mangli adalah ketiadaan penggunaan peralatan elektronik modern, seperti pengeras suara. Namun bila Mbah Kiai Mangli sudah medhar sabdo, semua jamaah khusuk mendengarkan dengan gamblang dan jelas, wela-wela cetho ing karno. Maksudnya, meskipun dalam kumpulan jamaah yang banyak itu tidak dipergunakan pengeras suara, namun semua jamaah, bahkan yang jauh sekalipun dapat mendengarkan uraian mu’idzah khasanah dari Mbah Mangli selayaknya apabila seorang kiai berpidato dengan pengeras suara. Inilah yang dikenang orang sebagai salah satu karomah yang di miliki sang kiai.
Setelah Mbah Kiai Mangli tilar donya beberapa tahun silam, pengajian rutin di Pesantren Mangli masih tetap berlangsung hingga kini. Setiap Ahad Pagi banyak jamaah setempat maupun yang datang dari jauh berkumpul di mesjid Pesantren Mangli. Tidak sedikit rombongan peziarah dari daerah lain, seperti Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Semarang, Jojga, bahkan luara Jawa mengkhususkan datang di hari Ahad pagi. Mereka kebanyakan datang dengan menggunakan minibus yang diparkir memenuhi jalanan dari gapura masuk desa hingga pelataran mesjid. Suasana di Ahad Pagi itu senantiasa menjadikan desa Mangli lebih semarak dan ramai.
Hal pertama kali yang sering dilakukan oleh rombongan jamaah yang datang adalah nyekar atau ziarah ke makam Mbah Kiai Mangli. Area pemakaman keluarga besar Mangli terletak sebelah kiri kompleks pesantren tepat di sisi timur jalan. Untuk menuju ke sana, pengunjung harus memasuki gapura rumah Mbah Mangli yang merupakan bagian terdepan bangunan pondok. Menyusuri koridor pendek, pengunjung selanjutnya berbelok kiri melintasi jembatan beratap di atas jalanan desa. Tepat di sisi jalan inilah Mbah Kiai Mangli disare-kan.
Dalam sebuah pondok tertutup, makam Mbah Mangli berada di dalam ruangan yang membatasi dengan peziarah. Ruangan di samping makam yang cukup luas dipergunakan oleh para peziarah untuk berdzikir, tahlil, nderes Qur’an dan berdoa. Meskipun peziarah seringkali berjubel, namun mereka satu sama lain saling tertib sehingga ketenangan dan suasana khusuk tetap terjaga.
Setelah cukup memanjatkan doa di depan makam Mbah Kiai Mangli, para peziarah selanjutnya menuju mesjid pondok untuk mengikuti pengajian jamaah. Sebagaimana tradisi Mbah Mangli yang berpidato tanpa mempergunakan pengeras suara, putra menantu Mbah Kiaipun kini juga tetap mempertahankan kebiasaan tersebut. Namun beberapa kali saya sempat mengikuti pengajian tersebut, saya selalu tidak kebagian tempat di dalam masjid. Walhasil, saya tidak dapat mendengar apapun yang diwedhar oleh pembicara. Kami di teras masjid dan di sisi luar yang lain hanya mendengarkan kesunyian tanpa suara. Mungkin inilah pengajian untuk mengasah kepekaan dan ketajaman hati kami untuk mengenali, dan dapat mendengarkan suara kesunyian. Dengan secara ikhlas belajar mendengarkan swaraning asepi tersebut, mungkin kami sedang diajarkan untuk mengasah hati nurani yang terdalam. Dan dalam kesunyian itulah kami bisa merasakan ketentraman dan kedamaian hati yang sejati.
Kesunyian itupun akan pecah tatkala di dalam mesjid mulai dilantunkan sholawatan atas Kanjeng Nabi Muhammad. Semua jamaah kemudian berdiri dan secara bersama-sama turut bersholawat. Seorang santri penghulu berjalan keluar dari ruang dalam tepat di tengah jalur yang dipagari jamaah sambil membawa anglo kecil yang mengalirkan bau harum aroma yang sempat membuat batin kecil kami merinding. Inilah prosesi pertanda pengajian telah usai.
Sebagai penutup rangkaian pengajian sunyi, selanjutnya dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Jamaahpun mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat Dzuhur, pengajianpun bubar. Begitu keluar dari mesjid, pada saat itulah pasar murah mulai digelar. Suasana yang semula sunyi senyap berudah menjadi “gumrengenging” orang yang saling tawar menawar dan bertransaksi. Komoditas barang yang dijajakan penduduk setempat kebanyakan berupa sayur mayur maupun hasil bumi yang mereka petik dari sawah ladang di sekitar desa Mangli. Jika ingin belanja kol, sawi, wortel, cabe, tomat, kentang, juga tahu – tempe, termasuk beberapa jajanan kuliner tradisional, sampeyan tidak salah jika ikut ambyur di pasar dadakan ini. Inilah gambaran pembauran ummat yang penuh dengan rasa persaudaraan yang tulus nan suci. /// Source///
Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli
SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir.
Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut.
Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli.
Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing (Candi Mulyo), dan lainnya.
Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat.
Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi.
Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone (hp) dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah.
”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen (orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu),” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah.
Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga.
Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat.
”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok.
”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi (70) salah satu sesepuh Dusun Mangli.
PESONA HUTAN MANGLI
Mbah Mangli Ulama Karismatik dari Magelang
Pondok Pesantren Mangli merupakan salah satu lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban.
Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal, jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75), warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan, meski sudah meninggal sejak 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makamnya yang berada di dalam kompleks pesantren.
Gunung Andong Magelang
Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi pesantren ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. berada di Kecamatan Ngablak,kabupaten Magelang.Secara khusus, Mbah Mangli mendidik para santrinya di sebuah pesantren sederhana di lereng Gunung Andong. Tempat pesantren itulah yang kemudian dikenal sebagai desa Mangli yang terletak di perbatasan Kecamatan Grabag dan Ngablak, kurang lebih 25 kilometer arah timur laut Kota Magelang. Mbah Mangli merupakan salah satu penganut tarekat Nahsyabandiyyah.
Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan dari para rampok dan begal. Ia justru mendoakan mereka agar memperoleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan, dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Selain mendidik umat lewat pesantren, Mbah Mangli juga aktif melakukan dakwah dan syiar agama Islam ke berbagai wilayah. Di Desa Mejing, wilayah Kecamatan Candimulyo, bahkan Mbah Mangli secara khusus menggelar pengajian rutin bertempat di sebuah langgar atau surau yang dikenal sebagai langgar Linggan. Berbagai kalangan umat Islam datang berbondong-bondong untuk mendengarkan nasihat dan petuah kiai karismatik tersebut dengan penuh kekhidmatan.
Pengajian pada masa lalu memang hampir tanpa sentuhan teknologi canggih seperti zaman sekarang. Jangankan peralatan perekam maupun dokumentasi foto, sekadar pengeras suara pun masih jarang dijumpai. Meskipun, tanpa pengeras suara, seluruh jamaah pengajian yang hadir, baik di sebuah masjid maupun di lapangan terbuka, selalu dapat mendengar tausiah Mbah Mangli dengan jelas dan terang. Meskipun jumlah jamaah ratusan, bahkan ribuan orang, dari berbagai posisi yang dekat hingga terjauh dapat mendengar suara Mbah Mangli.
Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/
Mbah Mangli
Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah.
Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.
KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.
Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau.
Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan: "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri"
Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.
Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah: "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti"
Langgar Linggan
Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman.
Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang.
Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin (80), penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian.
Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli.
Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli.
Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo.
Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli.
Mendoakan
Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap.
Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.
Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.
Pesantren Sederhana di Lereng Gunung
Pengajian Sunyi di Pesantren Mangli
Pengajian memiliki akar kata “ngaji” ataupun “aji”. Aji bermakna sesuatu yang memiliki nilai tidak terkira. Sesuatu yang aji bahkan sangat tinggi, mulia, dan tak bisa dihargai nilainya dengan materi berapapun jumlahnya. Oleh karena itu kata aji juga sering di-dasanama-kan dengan nata, narindra, narpati, prabu, ratu, yang berarti raja. Sampeyan mungkin pernah mendengar kisah Aji Saka, sang raja cikal bakal pulau Jawa? Atau mungkin Sang Aji Konda dari keraton Karangsedana dalam kisah Babad Tanah Leluhur?
Adapun kata “ngaji” merupakan bentuk kata kerja yang menyatakan proses untuk menjadi aji, alias menjadi sesuatu yang mulia. Dalam makna yang lebih khsusus lagi, ngaji dimaknai prosesi pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Jika kata dasar ngaji mendapatkan imbuhan pe-an, maka terbentuklah kata benda abstrak “pengajian” yang memiliki arti kurang lebih sama dengan kata ngaji. Secara lebih mudah pengajian dapat diartikan sebuah forum pertemuan untuk menjadi mulia, apakah dengan melakukan ritual tertentu ataupun saling berbagi dan bertujar ilmu, thalabul ‘ilmi.
Pengajian sangat erat dengan tradisi ummat muslim untuk mencari ilmu. Sebagaimana kita ketahui bersama, thalabul ‘ilmi faridzatun ‘alal muslimin wal muslimat. Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada hadist yang menegaskan bahwa thalabul ‘ilmi faridzatun ilal lahdi minal mahdi, mencari ilmu hukumnya wajib semenjak di lahir hingga maut menjemput.
Pengajian saat kini banyak digelar di berbagai mushola, masjid, hingga pondok pesantren. Bahkan tak jarang di kantor-kantor maupun di kelompok masyarakat, seperti RT atau RW, juga terbentuk majelis taklim yang juga sering mengadakan pengajian. Pengajian ada yang bersifat tentative, digelar pada saat peringatan hari besar tertentu, semisal Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Syawalan, bahkan Tahun Baru Islam. Ada juga pengajian yang digelar secara rutin, semisal pengajian mingguan ataupun selapanan. Pengajian selapanan merupakan pengajian yang diadakan setiap 35 hari sekali. Pengajian Jum’at Kliwonan, Ahad Pahingan, Sabtu Ponan, merupakan beberapa contoh pengajian selapanan.
Adalah Pondok Pesantren Mbah Mangli di lereng gunung Andong selalu menyelenggarakan pengajian rutin setiap Ahad Pagi. Pengajian yang diasuh oleh Gus Munir, menantu dari Almarhum Mbah Kiai Mangli tersebut, biasa dimulai sekitar pukul 10.00 pagi hingga waktu Dzuhur tiba. Mbah Kiai Mangli merupakan kiai khos yang sangat disegani oleh kalangan ulama salafiyyah di seluruh penjuru Nusantara. Kesholehan Kiai Mangli menjadikan pondok pesantrennya banyak dikunjungi jamaah pengajian yang membludak hingga pelataran masjid yang luas.
Setelah Mbah Kiai Mangli tilar donya beberapa tahun silam, pengajian rutin di Pesantren Mangli masih tetap berlangsung hingga kini. Setiap Ahad Pagi banyak jamaah setempat maupun yang datang dari jauh berkumpul di mesjid Pesantren Mangli. Tidak sedikit rombongan peziarah dari daerah lain, seperti Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Semarang, Jojga, bahkan luara Jawa mengkhususkan datang di hari Ahad pagi. Mereka kebanyakan datang dengan menggunakan minibus yang diparkir memenuhi jalanan dari gapura masuk desa hingga pelataran mesjid. Suasana di Ahad Pagi itu senantiasa menjadikan desa Mangli lebih semarak dan ramai.
Hal pertama kali yang sering dilakukan oleh rombongan jamaah yang datang adalah nyekar atau ziarah ke makam Mbah Kiai Mangli. Area pemakaman keluarga besar Mangli terletak sebelah kiri kompleks pesantren tepat di sisi timur jalan. Untuk menuju ke sana, pengunjung harus memasuki gapura rumah Mbah Mangli yang merupakan bagian terdepan bangunan pondok. Menyusuri koridor pendek, pengunjung selanjutnya berbelok kiri melintasi jembatan beratap di atas jalanan desa. Tepat di sisi jalan inilah Mbah Kiai Mangli disare-kan.
Dalam sebuah pondok tertutup, makam Mbah Mangli berada di dalam ruangan yang membatasi dengan peziarah. Ruangan di samping makam yang cukup luas dipergunakan oleh para peziarah untuk berdzikir, tahlil, nderes Qur’an dan berdoa. Meskipun peziarah seringkali berjubel, namun mereka satu sama lain saling tertib sehingga ketenangan dan suasana khusuk tetap terjaga.
Setelah cukup memanjatkan doa di depan makam Mbah Kiai Mangli, para peziarah selanjutnya menuju mesjid pondok untuk mengikuti pengajian jamaah. Sebagaimana tradisi Mbah Mangli yang berpidato tanpa mempergunakan pengeras suara, putra menantu Mbah Kiaipun kini juga tetap mempertahankan kebiasaan tersebut. Namun beberapa kali saya sempat mengikuti pengajian tersebut, saya selalu tidak kebagian tempat di dalam masjid. Walhasil, saya tidak dapat mendengar apapun yang diwedhar oleh pembicara. Kami di teras masjid dan di sisi luar yang lain hanya mendengarkan kesunyian tanpa suara. Mungkin inilah pengajian untuk mengasah kepekaan dan ketajaman hati kami untuk mengenali, dan dapat mendengarkan suara kesunyian. Dengan secara ikhlas belajar mendengarkan swaraning asepi tersebut, mungkin kami sedang diajarkan untuk mengasah hati nurani yang terdalam. Dan dalam kesunyian itulah kami bisa merasakan ketentraman dan kedamaian hati yang sejati.
Kesunyian itupun akan pecah tatkala di dalam mesjid mulai dilantunkan sholawatan atas Kanjeng Nabi Muhammad. Semua jamaah kemudian berdiri dan secara bersama-sama turut bersholawat. Seorang santri penghulu berjalan keluar dari ruang dalam tepat di tengah jalur yang dipagari jamaah sambil membawa anglo kecil yang mengalirkan bau harum aroma yang sempat membuat batin kecil kami merinding. Inilah prosesi pertanda pengajian telah usai.
Sebagai penutup rangkaian pengajian sunyi, selanjutnya dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Jamaahpun mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat Dzuhur, pengajianpun bubar. Begitu keluar dari mesjid, pada saat itulah pasar murah mulai digelar. Suasana yang semula sunyi senyap berudah menjadi “gumrengenging” orang yang saling tawar menawar dan bertransaksi. Komoditas barang yang dijajakan penduduk setempat kebanyakan berupa sayur mayur maupun hasil bumi yang mereka petik dari sawah ladang di sekitar desa Mangli. Jika ingin belanja kol, sawi, wortel, cabe, tomat, kentang, juga tahu – tempe, termasuk beberapa jajanan kuliner tradisional, sampeyan tidak salah jika ikut ambyur di pasar dadakan ini. Inilah gambaran pembauran ummat yang penuh dengan rasa persaudaraan yang tulus nan suci. /// Source///
Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli
SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir.
Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut.
Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli.
Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing (Candi Mulyo), dan lainnya.
Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat.
Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi.
Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone (hp) dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah.
”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen (orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu),” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah.
Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga.
Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat.
”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok.
”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi (70) salah satu sesepuh Dusun Mangli.
PESONA HUTAN MANGLI
DASAR WONG STRESSSSS.....
BalasHapusArtikel Biografi Waliyullah,anda kotori dg iklan syaithon,
Na'udzubillahi min dzalik.....
Wong gendeng gila dunia
BalasHapus