Laman

Minggu, 06 April 2014

Jonge, Telaga Abadi di Bukit Kapur "Gunung Kidul"

Wisata Legenda 

Jonge, Telaga Abadi di Bukit Kapur "Gunung Kidul"

Jonge, Telaga Abadi di Bukit Kapur "Gunung Kidul"
Tidak seperti telaga-telaga lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang akan mengering ketika musim kemarau, telaga ini justru tetap memiliki air yang melimpah sepanjang tahun. Telaga Jonge memiliki luas sekitar 3 hektare dengan dikelilingi hutan buatan yang membuat pinggiran telaga ini terlihat teduh dan asri. Telaga Jonge terletak di dusun Kwangen, Pacarejo, Semanu.
 Berjarak sekitar 7 km ke arah timur dari pusat kota Wonosari. Lokasinya berdekatan dengan Gua Kalisuci dan Gua Jomblang yang terletak di desa yang sama. Rute yang harus dilalui sama dengan rute menuju ke Kalisuci. Hanya saja jika Kalisuci di perempatan terakhir belok ke kiri sedangkan Telaga Jonge belok ke kanan. Lokasinya tepat berada di depan SMP N 3 Semanu. Jalan yang dilalui untuk menuju telaga ini pun sudah cukup mudah dan cukup bagus. Di telaga ini terdapat makam Kiai Jonge alias Ki Sidiq Wacono alias Ki Soponyono yang merupakan sesepuh dari Majapahit.

Berkat perjuangan Kiai Jonge, telaga tersebut membawa berkah dan selalu mengayomi warga, termasuk para peziarah yang datang dengan berbagai kepentingan. Terlepas dari itu semua, tradisi ini merupakan kearifan budaya yang masih lestari dan dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Di tempat ini juga tersedia lapak pedagang yang menyediakan makanan ringan dan menu makan siang serta untuk mie ayam, bakso, nasi dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan sebagai tempat khusus karena air dari tempat ini atau telaga ini tidak pernah kering hanya berkurang pada saat musim kemarau, mungkin karena beberapa tempat atau wilayah di sekitar tempat ini yang masih terjaga kelestariannya dicirikan oleh pertumbuhan pohon-pohon besar di sekitar danau ini, sehingga cadangan air tanah tidak pernah habis meskipun musim kemarau tiba. Semua orang yang datang ke sini harus menjaga lisan karena tempat ini adalah tempat yang penuh dengan sakral dan mistis. Di tempat ini juga dugunakan oleh penduduk untuk mandi setiap hari, mencuci, atau lainnya.
Makam Kyai Jonge
Kyai Jonge adalah salah satu tokoh dalam sejarah Gunungkidul. Dia merupakan pepunden dari Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Makam Kiai Jonge berada di kompleks Telaga Jonge yang berada di dusun Kwangen, Pacarejo, Semanu. Berjarak sekitar 7 km ke arah timur dari pusat kota Wonosari. Lokasinya berdekatan dengan Gua Kalisuci dan Gua Jomblang yang terletak di desa yang sama. Tidak seperti telaga-telaga lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang akan mengering ketika musim kemarau, telaga ini justru tetap memiliki air yang melimpah sepanjang tahun. Telaga Jonge memiliki luas sekitar 3 hektar dengan dikelilingi hutan buatan yang membuat pinggiran telaga ini terlihat teduh dan asri.

Kiai Jonge merupakan salah satu penasehat spiritual dari Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Wonokusumo. Beliau adalah tokoh dari Kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan, namun akhirnya masuk Islam. Makamnya terdapat di tengah-tengah Telaga Jonge. Pusara dibangun di sebelah timur telaga dengan bentuk kotak, tidak persegi panjang sebagaimana lazimnya sebuah makam.

Warga harus selalu menjaga kebersihan dan kemanfaatan telaga Jonge, untuk kesejahteraan bersama. Telaga ini sangat bermanfaat bagi warga sekitar, biasanya warga sekitar memanfaatkan telaga ini untuk mencuci dan mandi. Tidak jarang pula muda-mudi datang ke tempat ini karena memang suasana yang teduh dan asri di sekitar telaga. Ada juga beberapa warung dan angkringan dari warga sekitar. Di sekitar telaga ini juga telah dibuatkan beberapa tempat duduk dari batang kayu untuk duduk menikmati keindahan Telaga Jonge.

Telaga ini dibersihkan dan dilestarikan melalui tradisi masyarakat. Bahkan dalam tradisi ini, diikuti oleh beberapa orang dari luar DIY. Mereka secara sengaja mendatangi semacam kuburan atau petilasan Kiai Jonge yang terletak di pinggir telaga Jonge wilayah Dusun Kwangen Desa Pacarejo Kecamatan Semanu. Selain itu masyarakat adat menggelar pentas seni di sekitar telaga. Ratusan orang mengelilingi telaga yang berdiri di atas tanah Sultan Ground seluas satu hektar tersebut.

Kesenian jathilan, wayangan, kethoprak dan beberapa tokoh desa setempat ikut mengiringi kirab tersebut. Kearifan lokal tersebut terus dipelihara oleh warga setempat. Dalam tradisi tersebut, menurutnya merupakan bentuk penghormatan pada sosok Kiai Jonge yang dipercaya sebagai penduduk yang paling awal menempati wilayah sekitar telaga tersebut. Mereka juga mengucap syukur lantaran airnya masih bisa terus digunakan bagi kemakmuran masyarakat.

Juru kunci telaga Jonge, Noto Karjo menjelaskan bahwa empat dusun di sekitar jonge seperti Dusun Kwangen lor, Kwangen Kidul, Jelok, Wilayu secara bergotong royong menjaga kebersihan telaga ini. Ia menunjuk tempat persemayaman Kiai Jonge yang merupakan satu-satunya makam yang berada di bawah pohon beringin yang cukup besar, di pinggir telaga yang airnya sepanjang tahun tidak pernah kering.

Bagi warga setempat, Kiai Jonge bukan hanya dipercaya bersemayam di kuburan itu, tetapi juga menunggu telaga agar tetap lestari dan air tidak kering, sehingga bermanfaat bagi masyarakat yang setiap tahunnnya menjadi korban kekeringan. Termasuk mereka tidak berani untuk merusak alam di sekitar Telaga Jonge.

Pesan selanjutnya, warga di sekitar telaga dilarang untuk saling menikah, larangan ini sangat dipatuhi oleh 5 dusun yang ada di sekitar Telaga Jonge itu sendiri. Tradisi tidak saling menikahkan anak di antara lima dusun diawali adanya perseteruan tentang penguburan jasad Kiai Jonge. Dulu kelima dusun tersebut sempat terbagi dalam dua desa, yaitu Desa Menthel dan Desa Kwangen. Kiai Jonge yang berasal dari Kwangen memperistri seorang gadis warga Desa Menthel. Masing-masing warga dari dua desa tersebut menginginkan agar penguburan jenazah tersebut berlokasi di wilayah desa mereka. Karena tak ada kesepahaman, tiap warga membangun kubur bagi Kiai Jonge baik di Desa Menthel maupun Kwangen.

Hingga kini ada dua kuburan Kiai Jonge, yaitu di tengah ladang penduduk di Dusun Mojosari serta di tengah Telaga Jonge. Awalnya pantangan ini hanya berlaku selama sembilan generasi di lima dusun tersebut, namun hingga saat ini tetap tidak ada warga yang berani melanggarnya.

Sumber: ensiklopedi gunungkidul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU