Laman

Sabtu, 01 Maret 2014

Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura) "WALISONGO" Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M

Tapak Jejak Walisongo 

Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura) "WALISONGO" Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M

Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
  1. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang)
  2. Syaikh Shihabuddin Al-Jawi (tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
  3. Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
  4. Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
  5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
  6. Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin)
  7. Sultan Abulmu’ali Ahmad (Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
  8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
  9. Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
SAYYID YUSUF ANGGAWI (Raden Pratanu Madura)
Alias : Raden Pratanu dan Panembahan Lemah Dhuwur Arosbaya 
Lahir : Madura, Jawa Timur
Orangtua : Kyai Pragalbo
Menggantikan: Sultan Hadiwijoyo (Mertuanya) 
Daerah da’wah: Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura
Wafat : 1596 M
Makam : Kebon Agung, Arosbaya, Bangkalan, Madura, Jawa Timur
MASUKNYA AGAMA ISLAM DI MADURA
Datangnya Agama Islam di Pulau Jawa bertepatan masih jayanya Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Raja Hayamwuruk Rajasanegara atau Brawijaya ke-IV dengan patihnya yang bernama Gajah Mada. Saat itu raja merupakan juga pemimpin, karena itu sejalan dengan kemasyhuran Hayamwuruk dan Gajah Mada yang beragama Budha, agama Budha pun menjadi kuat perkembangannya dalam masyarakat. Saat seperti itu Agama Islam bagi  Rakyat masih merupakan agama pendatang baru yang dibawa para pedagang dari Gujarat di India dan pedagang Cina yang datang melalui Campa. Agama Islam masuk Madura.

Dalam fakta yang ada dalam historiografi masuknya Agama Islam ke Madura sangat sulit ditemukan namun data dari sumber tradisi lisan yang hampir selalu digali melalui wawancara. Dengan demikian sentesis dilakukan dengan mengusut dan menarik hubungan intrinsik atas fakta berdasarkan teori kecocokan.

Di antaranya yang memerintah di Madura (Pamadekan, Sampang) yaitu yang bernama Bondan Kejawan atau Lembu Petteng. Walaupun disebut-sebut bahwa Lembu Petteng beragama Islam, namun putera-puteranya tak seorangpun yang menganut Agama Islam, putera-putera Lembu Petteng tersebuut cenderung mentaati keinginan ibunya yang masih beragama Budha. Karena itulah kemudian Lembu Petteng meninggalkan posnya di Madekan pergi ke Ampel untuk mengabdi kepada Sunan Ampel.
Dari Lembu Petteng inilah keturunannya menyebar kedaerah Madura Barat yang kemudian dikenal sebagai Raden Pratanu raja di Arosbaya dan Ronggosukowati raja Pamekasan. Beberapa data dari sumber tradisi lisan dan tulis tentang masuknya Agama Islam ke Madura dapat disebutkan antara lain:
Disebutkan bahwa keponakan Lembu Petteng yang bernama Aryo Menaksunoyo, putera dari Ki Aryo Damar membuka daerah baru yang saat ini kita kenali bernama Proppo. Di kemudian hari dua keluarga bersaudara seayah tersebut (Lembu Petteng dan Aryo Damar) bersatu dalam pernikahan dari keturunan mereka. Ki Aryo Pojok  keturunan  ke-4 dari Aryo Damar di Madura menikah dengan Nyi Ageng Budho puteri Aryo Pratikel atau cicit dari Lembu Petteng. Dari pernikahan ini lahir seorang putera yang kemudian menjadi demang di Plakaran (Daerah barat laut dari Pamadekan), karena itu beliau disebut Ki Demang Plakaran. Ki Demang Plakaran ini mempunyai putera diantaranya ada yang bernama Aryo Pragolbo yang disebut juga Pangeran Plakaran dan diantara putera Pragolbo ada yang bernama Raden Pratanu dan Raden Pramono. Raden Pratanu kemudian menjadi raja di Arosbaya  dan Raden Pramono kemudian menikah dengan Nyi Banu Ratu Pamelingan puteri dari Ki Aryo Mengo. Dari perkawinan ini lahirlah seorang laki-laki yang diberi nama Pangeran Nugeroho yang kemudian menjadi raja Pamelingan. Beliau mempunyai beberapa orang putera dan puteri salah seorang puteranya diangkat menjadi adipati di Pamadekan. 

Puteranya yang lain bernama Raden Aryo Seno oleh kakandanya, adipati Pamadekan diangkat menjadi rangga, karenanya Raden Arya Sena lalu dikenal bernama Pangeran Rangga yang kemudian menjadi raja di Pamelingan dan  bergelar Ronggosukowati.

Dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Islam Pertama di Jawa, HJ.De Graaf & TH.Pegeaud menulis antara lain tentang Madura sebagai berikut :
“ Adanya hubungan dengan jatuhnya kerajaan kafir Majapahit lalu menjadi lebih masuk akal, apabila cerita tutur Madura Barat tentang masuk Islamnya raja Islam pertama benar. Karena mimpi putera mahkota, seorang patih Madura bernama Empu Bagna diutus ke Jawa Tengah untuk mengetahui seluk-beluk keadaan di sana. Ia menyerah kepada Sunan Kudus untuk diislamkan dan sekembalinya di Madura Barat ia dapat menggerakkan hati tuannya sang putera mahkota, untuk berbuat demikian pula ”
Di buku lain, buku R. Zainal Fatah, tulisan yang berkaitan dengan masuknya Agama Islam ke Madura, beliau menulis sebagai berikut :
“ … yaitu Kiyai Pratanu, beliau sangat dicintai oleh ayah-bundanya. Beliau diperkenankan  mendirikan sebuah rumah di tanah ayah-bundanya dengan didiami sendiri. Pada suatu malam beliau bermimpi mendapat tamu seorang asing yang mengaku dirinya bernama Sayyid Magrabi menyuruh kepada beliau supaya beliau memeluk Agama baharu yaitu Islam sedang guru yang dapat memberi pelajaran itu agama ialah Sunan Kudus “
Raden Zainal Fatah dalam bukunya sebagai berikut :   
“ Di jaman Kudho Panule diceritakan bahwa di suatu daerah di dekat desa Sumursongo (Parsanga) di Sumenep ada datang seorang penganjur agama Islam kepada rakyat di Sumenep. Apabila seorang murid (santri) telah dapat dianggap melakukan rukun Agama Islam, maka ia lalu diberi mandi air dengan dicampuri rupa-rupa bunga yang harum baunya. Melakukan secara mandi demikian oleh orang Madura di namai  êdhudhus artinya diberi adus artinya diberi mandi. Dari sebab itu maka itu tempat disebut orang Desa Padhusan. yang sekarang menjadi nama kampung di desa Pamoloan, Kota Sumenep, Guru yang memberi pelajaran agama itu lalu disebut juga Sunan Padhusan, ia asal turunan Arab, akan tetapi telah memakai nama Jawa yaitu Raden Bandara Diwiryopodho. Ia punya ayah bernama Usman Haji anak dari Raja Pandita alias Sunan Lembayung Fadal yaitu anak dari Makdum Ibrahim Hasmoro yang disebut orang Maulana Jamadul Akbar‘ Ini orang beristri seorang putri Cina yaitu saudara muda puteri Cempa permisuri raja Majapahit yang penghabisan”.

Dalam cerita tutur yang lain, Diwiryopodo, bernama Pangeran Katandur, ada juga yang menyebut Pangeran Satandur. Katandur sendiri bermakna ahli pertanian, memang kedatangan Pangeran Katandur  tersebut sebagai orang yang mengerti ilmu pertanian ingin membantu rakyat Sumenep dalam bercocok tanam. Saat itu Sumenep mengalami kemarau panjang sawah tidak menghasilkan padi, karena sawah tidak berair lagi. Namun Pangeran Katandur mengajari para petani bertanam tanaman pangan dari jenis bukan padi seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Selain itu Pangeran Katandur memikul tugas dari kakeknya untuk menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat Sumenep. Sebenarnyalah Pangeran Katandur itu cucu dari Sunan Kudus nama aslinya adalah Sayyid Ahmad Baidowi yang meninggal di Sumenep yang di nisannya tertulis angka tahun Saka 1248 S atau 1412 M.
Di daerah kecamatan Proppo juga ada legende yang hidup dalam masyarakat, yaitu legende Buju’ (Buyut) Kasambhi. Buju’ Kasambhi ini nama aslinya adalah Kiai Abdulmanan beliau seorang mubaligh Agama Islam yang datang dari Giri, Gresik ke Madura, masih satu marga dengan Syeh Sayid Yusuf yang kuburannya dikeramatkan orang di Pulau Puteran, yang letaknya berhadapan dengan Pelabuhan Kalianget di Kabupaten Sumenep yaitu marga Al-Anggawi. Mula-mula beliau berdakwah di daerah Sampang di (desa?) Salarom (daerah kecamatan Omben), kemudian pindah ke Bira di pesisir utara Sampang (Ketapang) di situ Sang Mubaligh menikah dengan orang setempat dan berputera seorang yang kemudian oleh masyarakat setempat  putera tersebut dikenal sebagai Buju’ Birâ. Dari Bira Kiai Abdulmanan pindah lagi ke Kampung Kobasan di desa Pangbhâtok kecamatan Proppo kabupaten Pamekasan.

Bila kita teliti kisah atau legende-legende tersebut di atas, sesungguhnya merupakan kisah masuknya serta pengembangan Agama Islam di Madura. Sebenarnya sangat banyak tempat pengembangan tersebut di seluruh Madura hal tersebut kini bisa terlihat banyaknya pesantren di seluruh Madura yang penulis tidak menyebutkan di sini nama-nama dan jumlah pesantren tersebut. Namun yang jelas menurut hasil penelitian DR. H. Moh. Kosim, M.Ag dari STAIN Pamekasan di Pamekasan tahun 1515 sudah ada pesantren yaitu Pesantren Sombher Anyar Tlanakan yang dipimpin oleh Kiai Syuber dan beliau juga mengajar keluarga Kraton Pamelingan karena itu beliau disebut Kèyaè Rato. Pesantren Somber Anyar hingga saat ini masih berjaya. Dengan demikian diperkirakan pada perempat abad terakhir ke-16 Islam sudah tersebar di Madura, hal ini untuk mendirikan sebuah pesantren di suatu tempat yang semula masyarakatnya penganut Budha tentu memerlukan waktu yang cukup lama, lebih dari itu dalam catatan Madura daerah Pamekasan penduduknya paling akhir memeluk  Agama Islam dibandingkan dengan daerah lainnya di Madura. Katakanlah berdasar dari berbagai kutipan tersebut di atas ditambah dengan adanya legenda yang merakyat tentang  Kiai Abdulmanan dari Giri, maka kita bisa memahami bahwa Islam masuk Madura pada jaman Sunan Kudus dan jaman Sunan Giri, sekaligus bisa kita menganggap bahwa sejak jaman walisanga Islam sudah masuk ke Madura.
Pada tahun 1530 Panembahan Banurogo wafat dan Raden Aryo Sena alias Pangeran Rangga menggantikannya. Pelantikan Pangeran Ronggo dilaksananakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 937 H atau pada tanggal 3 Nopember 1530. Beliau dilantik oleh Ulama spiritual kerajaan bernama Kiai Tasyrib. Setelah pelantikan beliau bergelar Panembahan Ronggosukowati. Dengan demikian sebutan Rangga masih beliau pakai lebih dari itu masyarakat  di Pamadekan masih menyebut beliau Pangeran Rangga. 
Pada jaman Ronggosukowati pusat kerajaan yaitu kraton dipindah ke bagian  barat kraton Pamelingan, beliau membuat kraton baru yang diberi nama Kraton Mandhilaras, Mandhilaras bermakna kedamaian dan kemulyaan. Sedangkan kerajaan Pamelingan dengan nama Pamekasan. Lokasi kraton Mandhilaras saat ini ialah di lokasi Kantor Bakorwil Madura yang diapit oleh jalan Slamet Riadi di selatan, jalan Agussalim di bagian Timur dan di utara jalan Pongkoran. Sedangkan di sisi barat adalah perkampungan, yaitu Kampung Pongkoran dan Kampung Gheddhungan. Sedangkan Jalan Mandhilaras sendiri sebenarnya hanya  merupakan cabang dari Jalan Pongkoran Pada saat pemerintahan Ronggosukowati, pemerintahannya dinilai sudah memenuhi syarat sebagai sebuah pemerintahan dari sebuah Negara. Kerajaan Pamekasan telah tersusun dari berbagai kebutuhan bagi kepentingan sebuah pemerintahan seperti adanya asrama tentara / prajurit yang masa sebelumnya prajurit dikumpulkan hanya bilamana ada perang. Pasar juga di adakan untuk mendukung perekonomian rakyatnya walaupun saat itu masih lebih banyak dilakukan system barter. Selain pasar, penjara yang lebih manusiawi (dibangun di atas permukaan tanah yang sebelumnya di bawah tanah) dibangun, saat ini lokasinya di komplek Perpustakaan Umum Kota Pamekasan. Tempat beribadah juga dibangun sesuai dengan Agama yang dianut Raja Ronggosukowati yaitu Islam, maka beliau membangun sebuah mesjid yang dinamakan Masèghit Rato, yang terletak di tepi sungai tidak jauh dari kraton Mandilaras. Tempat dekat sungai sangat tepat karena masjid harus dibangun dekat air yang kepentingannya diperlukan terus-menerus karena sebelum sholat diharuskahn berwudlu / bersuci. Masèghit Rato (Masjid Raja) diperkirakan sama bahan pembuatannya dengan masjid Sunan Giri yang mula-mula yaitu terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Masjid-masjid seperti itu terus di bangun di daerah kekuasaannya yang saat ini Masèghit Rato telah menjadi Masjid Agung Asy-Syuhada’  setelah pembangunan masjid dilakukan dengan tipe bangunan besar, masjid dari kayu beratap rumbia tersebut lalu disebutnya langgar / langghâr hingga saat ini sangat banyak di Madura di tempat yang berbeda di Madura sering disebut kobhung.
Sejarah Desa Makam Agung dan Kisah Misteri Pisang Agung
Makam Agung adalah nama salah satu desa di kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Madura. Dinamakan Desa Makam Agung karena di desa ini Panembahan Pangeran Pragalba dan Raden Adipati Pratanu beserta keluarganya disemayamkan. Makam yang masih kerap dikunjungi para peziarah ini dinamakan Makam Agung.

Pangeran Pragalba merupakan anak kelima Kiai Demung yang menjadi pendiri sekaligus penguasa pertama di Kerajaan Hindu-Plakaran, Arosbaya, yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Bangkalan. Kerajaan plakaran diwariskan Kiai Demung kepada Pangeran Pragalba yang kemudian memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Plakaran sepeninggalnya. Pangeran Pragalba mengangkat dan menobatkan dirinya menjadi Pangeran Plakaran dari Arosbaya.

Untuk memasuki kompleks Makam Agung haruslah melewati dua pintu gerbang berbahan batu cadas kuning dari sebuah bukit di Desa Buduran, Arosbaya, Bangkalan, Madura. Bentuk gerbangnya sangat sederhana, tanpa ukiran. Namun pada gerbang kedua, yaitu gerbang untuk menuju makam Pangeran Pragalba, Raden Pratanu, dan Raden Koro ukiran di pintu gerbang sangat kental sekali napas Hindunya. Meski saat meninggal dan dimakamkannya Pragalba dalam keadaan sudah Islam, namun arsitektur kompleks pemakamannya tetap bersitektur Hindu. Pintu gerbang menuju kompleks pemakaman di Makam Agung, sangat artistic dan indah. Terkesan sekali ornament-ornamen peninggalan Jawa Hindu pra-Islam.
Makam Agung terkesan sangat kuno dan angker karena kurang disentuh renovasi, juga terkesan kurang terawat. Namun sisa kemegahan dan kekokohan kompleks Makam Agung masih tampak, meski beberapa bagian pagar dan makam sudah rusak dimakan lumut dan usia. Batu cadas kuning sudah berubah warna hijau kehitaman. Pohon tanjung yang berada di makam Raden Pratanu, meski masih berdaun dan berbunga, batang pohonnya tampak keropos, menandakan tuanya usia pohon dengan bau bunga yang khas tersebut.
Makam yang dimengerti paling tua adalah makam paling Timur yakni makam Kyai Pragalbo (alias Pangeran Plakaran, meninggal tahun 1450 Saka. atau 1531M), dikelilingi 6 buah makam dengan beberapa stupa di pojok dindingnya.
Di tengah ditempati makam Raden Koro (Pangeran Tengah, memerintah tahun 1592-1621 M). Beliau adalah putra Kyai Pratanu, ayah dari Pangeran Cakraningrat I. Pada makam ini tidak lagi di dapati ukiran atau sejenisnya. Lantainyapun masih berkalang tanah. Dan di ujung Barat dimakamkan Kyai Pratanu (Pangeran Lemah Duwur, yang memerintah  tahun 1592-1621 M). Makam ini memang menempati tanah yang ditinggikan dengan 22 buah makam. Di sini masih terdapat pilar yang berbentuk miniatur candi, lengkap bagian kaki, tubuh dan atap candi sebagaimana candi .  (Dra. H. Umiati, NS. Dkk, Makam Islam Di Jawa Timur, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop. Jawa Timur, 2003: hal. 58).

Mengamati tahun meninggalnya Kyai Pragalbo 1450 saka atau tahun 1531 M; maka dapat dipastikan bahwa komplek “Makam Agung” ini bersangkut paut dengan sejarah kerajaan Majapahit di Pulau Jawa yang bertahun 1478 M pada masa akhir pemerintahan Bhre Kerthabumi alias Prabu Brawijaya V yang dalam Serat Kanda ditandai dengan candra sengkala berbunyi “Sirna ilang kertaning bhumi.” 
Dilingkari pagar batu andesit sebagaimana umumnya situs dari Jaman Majapahit dan candi bentar kecil sebagai pintu masuk menuju makam KyaiPragalbo, menyiratkan adanya pengaruh budaya Hindu. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sejarahnya, bahwa Pangeran Pragalbo memang semasa hidupnya beragama Hindu. Namun menjelang wafatnya beliau masih sempat menganut agama Islam sekalipun keyakinan itu cuma dijawab dengan  mengangguk. Peristiwa ini ditandai dengan candra sengkala Sirno Pendowo Kertaning atau 1450M.
 
Pada jirat makam Pangeran Pragalbo didapat pula kesan ukiran cina, sulur-suluran bunga Seruni, sebagaimana banyak terlihat di ukiran Jepara. Karena diketahui bahwa Kerajaan Majapahit sudah berhubungan dagang dan bersilang budaya dengan negeri Cina, bahkan jauh sebelumnya. Hal demikian terbawa hingga masa selanjutnya.
 
Menurut sejarawan Ong Hok Ham alm; di Sumenep, tahun 1790 Pangeran Notokoesoemo I mendatangkan tukang-tukang Cina untuk mendirikan keraton dan masjid Sumenep.  Lebih jauh, beliau juga menerapkan politik asimilasi guna memberi perlindungan pada orang-orang Cina yang kemudian beraga Islam dan berganti nama bumi putera.  (DR. Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Komunitas Bambu, Depok, 2005, hal. 28).
 
Dari kajian tersebut, sangat wajar bila pada komplek “Makam Agung” dapat dirasakan sebagai hasil asimilasi dari budaya Hindu, Cina dan Islam.

Atmosfir di kompleks pemakaman raja-raja Madura Barat tersebut memang berbeda. Pohon-pohon tua dan rindang membuat kesan kompleks Makam Agung menjadi angker. Nuansa mistik dan sakral sangat terasa. Pada hari-hari tertentu, sejumlah orang, baik dari Madura maupun dari Jawa, tampak menyepi disana. Tak mengherankan jika masih banyak masyarakat sekitar dan masyarakat di Madura melakukan ziarah di makam pendiri kerajaan Islam pertama di Madura Barat tersebut. Beberapa hal yang terjadi di Makam Agung masih dipercaya membawa pertanda akan adanya kejadian luar biasa.

Salah satu pertanda yang paling dipercaya oleh masyarakat sekitar Makam Agung adalah munculnya pohon pisang secara misterius, yang mereka sebut dengan geddang agung (pisang agung). Oleh masyarakat Madura, pohon pisang tersebut dikenal dengan geddang bigih (pisang biji), yaitu pisang yang buahnya berbiji. Jika buahnya masih muda, oleh masyarakat Madura digunakan untuk campuran bumbu rujak. Namun, pohon dan buah pisang agung tak seperti pohon biasa.

Menurut Sujak, juru kunci di kompleks Makam Agung dan sudah beberapa kali melihat pemunculan pisang agung tersebut, batang pohon pisang agung jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pohon pisang biasa. Pelapah daunnya bisa sebedar lengan orang biasa, dengan lembar daun yang sangat lebar.

Buahnya sangat besar. Demikian pula dengan bijinya. Selain menjadi pertanda zaman, jika pohon pisang tersebut muncul, maka masyarakat sekitar akan terus melakukan doa dan tirakat di Makam Agung. Mereka mengharap pemunculan pisang agung yang tiba-tiba itu tidak membawa petaka.

Selain itu, masyarakat akan menunggu matangnya buah pisang agung. Jika matang, masyarakat akan berebut untuk mendapatkan buah pisang tersebut. Mereka percaya, buah pisang agung jika diuntai menjadi tasbih akan membawa kemustajaban dalam doa dan dzikir.

Tetapi, dalam sejarah pemunculannya, pisang agung hanya berbuah satu kali. Dalam pemunculannya yang lain tidak berbuah. Sujak mencatat, pisang agung muncul hingga berbuah menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 dan ketika Presiden Soeharto akan lengser pada 1998 silam.

Pada saat pemberontakan PKI, Gerakan 30 September 1965, pisang agung juga tiba-tiba muncul dari tanah. Lalu tahun 1966, ketika menjelang jatuhnya Presiden Soekarno, pisang agung juga nongol secara ajaib. Pada saat reformasi tahun 1998, pisang agung muncul lagi. Kemudian ketika pemilihan presiden tahun 2004, pisang agung juga muncul. Tapi pisang agung hanya muncul sesaat, lalu kemudian hilang.

Sujak menceritakan, pisang agung muncul di tempat yang tidak tetap. Setiap pemunculannya selalu sudah dalam keadaan setinggi paha orang dewasa. Tiba-tiba muncul begitu saja. Letak mata angin munculnya pisang agung juga dijadikan tanda dimana akan  terjadi sebuah kejadian luar biasa.

Jika pisang agung muncul, tumbuh, hingga berbuah berarti sebuah kejadian luar biasa terjadi di tanah air. Tetapi, jika pisang agung muncul, tetapi kemudian hilang begitu saja, kejadian tersebut tidak begitu luar biasa.

Anehnya, setiap pemunculan pisang agung selalu dibarengi dengan pemunculan sosok Pangeran Pragalba dalam mimpi Sujak. Diceritaka, Pangeran Pragalba adalah sosok dengan postur tinggi besar. Rambutnya yang panjang dan beruban diurai, ataupun digelung ke belakang. Wajahnya tampan, hidungnya macung, sorot matanya tajam Tidak berkumis. Jenggotnya tidak terlalu panjang, yang juga dipenuhi uban. Pangeran Pragalba selalu mengenakan pakaian yang terbuat dari kain putih yang dibalutkan ke tubuhnya hingga dada, dan sisa kainnya diselempangkan begitu saja di bahunya, mirip cara berpakaian Pangeran Diponegoro dan para Pendeta agama Hindu.

Sementara sosok raden Pratanu, seperti diceritakan Sujak, memiliki postur tinggi besar. Rambutnya panjang, namun disanggul rapi dan ditangkup blangkon Jawa. Wajahnya klemis. Ada kumis tipis dibawah hidungnya. Setiap muncul dalam mimpi Sujak, Raden Pratanu selalu mengenakan pakaian ala beskap Jawa berwarna hitam, dengan kain sarung batik bernuansa hitam.

Jika dua sosok pendiri Kerajaan Islam di Madura Barat tersebut muncul dalam mimpi sang juru kunci, hampir bisa dipastikan pisang agung akan muncul. Juga hampir bisa dipastikan akan ada kejadian luar biasa atau perubahan di bumi Madura atau di bumi Nusantara.

Pisang agung tidak pernah mati, kecuali dia berbuah dan pohonnya ditebang. Pisang agung muncul tiba-tiba dan seketika menghilang tanpa jejak. “Tahu-tahu hilang, seolah-olah di tempat munculnya pisang agung tidak pernah tumbuh sebuah pohon. Pisang itu hilang begitu saja tanpa diketahui,” tutur Sujak.

Makam Agung adalah nama salah satu desa di kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Madura. Untuk memasuki kompleks Makam Agung haruslah melewati dua pintu gerbang berbahan batu cadas kuning dari sebuah bukit di Desa Buduran, Arosbaya, Bangkalan, Madura. Makam Agung terkesan sangat kuno dan angker karena kurang disentuh renovasi, juga terkesan kurang terawat. Namun sisa kemegahan dan kekokohan kompleks Makam Agung masih tampak, meski beberapa bagian pagar dan makam sudah rusak dimakan lumut dan usia. Beberapa hal yang terjadi di Makam Agung masih dipercaya membawa pertanda akan adanya kejadian luar biasa. Salah satu pertanda yang paling dipercaya oleh masyarakat sekitar Makam Agung adalah munculnya pohon pisang secara misterius, yang mereka sebut dengan geddang agung (pisang agung). Menurut Sujak, juru kunci kompleks Makam Agung dan sudah beberapa kali melihat pemunculan pisang agung tersebut. Tetapi, dalam sejarah pemunculannya, pisang agung hanya berbuah satu kali. Sujak menceritakan, pisang agung muncul di tempat yang tidak tetap. Pisang agung tidak pernah mati, kecuali dia berbuah dan pohonnya ditebang.

1 komentar:

  1. Assalaamu 'alaikum wa rohmatulloohi wa barokaatuh.
    Mengenai sejarah dan silsilah nasab Mbah Sayyid Sarwan bin Sayyid Mujib Purbalingga, Jawa Tengah yang lahir kurang lebih tahun 1900an, sebagai seorang dzurriyat Nabi Muhammad S'AW dalam membela tanah air dari penjajah Belanda di wilayah Jawa Tengah, khususnya Purbalingga, Banjarnegara, Purwokerto, dan sekitarnya, ada ga yag dapat membantu kami terkait data dan info menge ia hal tsb. Jika ada, mohon di-share ke WA kami sebagai cucu beliau : 0812 8979 6907.

    BalasHapus

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU