Laman

Minggu, 09 Maret 2014

Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X

Primbon 

Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X

AWAL TERLEPASNYA WAHYU KEPRABON KASUNAN SURAKARTA dari PENGARUH KAJIMAN dan MERUPAKAN RAJA TERLAMA DI PULAU JAWA
COLLECTIE TROPENMUSEUM Studioportret van Pakoe Boewono X
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X (lahir di Surakarta, 29 November 1866 – meninggal di Surakarta, 1 Februari 1939 pada umur 72 tahun) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 – 1939.

Kisah Kelahiran
Nama aslinya adalah Raden Mas Malikul Kusno, putra Pakubuwono IX yang lahir dari Garwo Selir (Pakubuwana IX tidak mempunyai Permaisuri) Raden Ayu Kustiyah (Garwo Selir 1), pada tanggal 29 November 1866. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ronggowarsito.

Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwono IX bertanya apakah anaknya kelak  lahir laki-laki atau perempuan. Ronggowarsito menjawab kelak akan lahir hayu. 
Pakubuwono IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. 
Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.
Selama berbulan-bulan Pakubuwono IX menjalani puasa dan tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. 

Pakubuwono IX dengan bangga menuduh ramalan Ronggowarsito meleset.
Ronggowarsito menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". 

Mendengar jawaban Ronggowarsito ini, Pakubuwono IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwono IX dengan Ronggowarsito sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang dari dulu sengaja mengadu domba keturunan dari Pakubuwono VI dengan keturunan keluarga Yosodipuro.

Masa Pemerintahan
Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwono X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil, di samping itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.

Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya Pakubuwono X tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. 

  • Namun di balik seluruh kekuasaan yang telah dilemahkan penjajah, Paku Buwono X mampu memanfaatkan sedikit kekuatan yang masih dimilikinya. Yakni dengan mendukung berdirinya organisasi nasionalisme Boedi Oetomo dan Syarekat Islam di Solo.
  • Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwana X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. 

  • Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. 
  • Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti Membangun kembali bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
  • Pada tanggal 21 Januari 1932, Pakubuwana X mendapatkan bintang kehormatan Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina dari Belanda berupa Grutkreissi Ordhe Nederlanse Leyo dengan sebutan raja dalam Bahasa Belanda, Zijne Vorstelijke Hoogheid.

Peran Politik
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya.

Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwana X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan di tahun 1893. Pakubuwana X sadar sebagai cucu Pakubuwana VI yang di tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwana X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwana X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwana X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwana X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwana X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwana X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwana X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwana X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwana X. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tetapi Pakubuwana X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwana X tidak mengadakan perjalanan lagi di tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilakan Pakubuwana X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwana X mengadakan perjalanan lagi di tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

Pakubuwono X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. 
Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau Raja Besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. 
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwono XI.
Pada 8 Nopember 2011 yang baru lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Sri Susuhunan Pakubuwono X. 

Anugrah tersebut diterima langsung oleh Dr.BRA. Mooryati Soedibyo sebagai cucu dari Paku Buwono X dan Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat sebagai cicitnya. 

Setidaknya ada lima alasan yang membuat Pakubuwono X pantas dianggap sebagai pahlawan nasional. Antara lain peran aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa, dan berperan dalam integrasi nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU