Laman

Selasa, 04 Maret 2014

MARTHA CHRISTINA TIAHAHU "WANITA GERILYAWAN INDONESIA "

WANITA GERILYAWAN INDONESIA  

MARTHA CHRISTINA TIAHAHU "WANITA GERILYAWAN INDONESIA "

WANITA GERILYAWAN INDONESIA 
Ribuan, bahkan jutaan pahlawan telah gugur demi kemerdekaan bangsa ini. 
Diantara mereka yang syahid, terdapat beberapa wanita yang ikhlas bergerilya bersama kaum lelaki. Mereka ikut, turun langsung berjuang melawan para penjajah asing yang akan menguasai ibu pertiwi. 

Dari sekian banyak wanita pejuang kemerdekaan Indonesia, ada 4 orang yang masyur di blantika sejarah bangsa ini.
Mereka itu adalah:
1. CUT NYA’ DHIEN.
2. CUT NYA’ MEUTIA.
3. NYI AGENG SERANG.
4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU.

Foto: WANITA GERILYAWAN INDONESIA 

Saderek sadaya,
Tidak terasa, tahun 2014 ini, qt akan mengenyam 69 tahun kemerdekaan negeri tercinta ini. Ribuan, bahkan jutaan pahlawan telah gugur demi kemerdekaan bangsa ini. 
Diantara mereka yang syahid, terdapat beberapa wanita yang ikhlas bergerilya bersama kaum lelaki. Mereka ikut, turun langsung berjuang melawan para penjajah asing yang akan menguasai ibu pertiwi. 

Dari sekian banyak wanita pejuang kemerdekaan Indonesia, ada 4 orang yang masyur di blantika sejarah bangsa ini.
Mereka itu adalah:
1. CUT NYA’ DHIEN.
2. CUT NYA’ MEUTIA.
3. NYI AGENG SERANG.
4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU.

Disaat kini kaum wanita sibuk untuk menunjukkan dedikasinya bagi bangsa tercinta ini. Maka ke-4 wanita ini dahulu justru; masuk-keluar hutan, naik-turun gunung, mengangkat senjata bergerilya dengan ikhlas merelakan nyawanya, demi mewujudkan kiprah wanita merdeka saat ini.

Sebagai wujud terimakasih kepada kaum Wanita Gerilyawan Indonesia, izinkan q menyajikan kisah ke-4 wanita perkasa tersebut.
SELAMAT MEMBACA...
-*-

1. CUT NYA’ DHIEN

“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
-Cut Nya’ Dhien- 
-*-

BIOGRAFI
Cut Nya’ Dhien lahir di Lampadang, Aceh, pada tahun 1848. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.

Dhien terlahir dari keturunan Kesultanan Aceh dari garis ayahnya, Teuku Hoesin Nanta Setia yang bekerja sebagai Hulubalang (Uleebalang) VI Mukim, sedangkan ibunya adalah putri Hulubalang Lampagar.  

Di masa kecilnya, Dhien memperoleh pendidikan agama dari orangtua dan guru-guru agama di Lampadang.
Saat usianya 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, pada tahun 1862 . Mereka dikaruniai seorang putra.

Teuku Cek Ibrahim Lamnga adalah Panglima Perang wilayah Lamnga, Montasik Aceh Besar. Ia adalah putra Teuku Po Amat, Hulubalang Lamnga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar. 

Saat pecah Perang Aceh ke-II pada tahun 1873, Belanda menyerang Lampadang dan wilayah VI Mukim, di bawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten. Hal ini membuat Dhien dan keluarganya bersama rakyat Aceh lainnya, terpaksa mengungsi pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suami dan para lelaki lainnya, maju bertempur melawan penjajah Belanda.   

Sayangnya dalam pertempuran tersebut, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur pada tanggal 29 Juni 1878, di Glee Taroen. Ia dimakamkan di samping Masjid Montasik.
Terbunuhnya suami yang sangat dikasihinya membuat Dhien marah besar, ia bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Pada tahun 1880, Teuku Umar, abang sepupu Dhien, menikahi Dhien sebagai istri yang ke-3. Mereka dikaruniai seorang anak wanita, bernama Cut Gambang.
Pasutri ini kemudian menjadi penyemangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). 

Namun kembali Dhien berduka lagi, saat penyerangan ke Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur tertembak peluru. 
-*-

BERSAMBUNG…
GERILYA SENDIRI
Disaat kini kaum wanita sibuk untuk menunjukkan dedikasinya bagi bangsa tercinta ini. Maka ke-4 wanita ini dahulu justru; masuk-keluar hutan, naik-turun gunung, mengangkat senjata bergerilya dengan ikhlas merelakan nyawanya, demi mewujudkan kiprah wanita merdeka saat ini.


MARTHA CHRISTINA TIAHAHU "WANITA GERILYAWAN INDONESIA "
PERANG PATTIMURA
Pada tahun 1817, pecah Perang Pattimura. Penduduk Maluku di bawah pimpinan Kapitan Ahmad Lussy (Pattimura) mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Awalnya perlawanan berkobar hanya di Saparua, kemudian meluas ke pulau-pulau lain. Salah satu di antaranya ialah Pulau Nusalaut. 

Pulau Nusalaut terletak di sebelah tenggara Pulau Saparua, yang dipisahkan oleh sebuah selat. 
Nusalaut juga disebut Nusahalowano yang berarti ”Pulau Emas”. Dijuluki demikian karena hasil cengkihnya yang terkenal bermutu tinggi dan berjumlah besar hingga dapat mengalirkan ”emas” ke kantong rakyat. 
Namun setelah cengkih dimonopoli Belanda, rakyat Nusalaut pun jatuh melarat dan tertekan hidupnya.

Saat Kapitan Paulus Tiahahu dipercaya sebagai Raja Abubu di Nusalaut, Belanda datang dan mendirikan benteng Beverwijk di Leinatu, Nusalaut.
Kapitan Paulus Tiahahu yang benci kepada penjajah Eropa ini, adalah ayah kandung seorang Srikandi Maluku yang bernama Martha Christina Tiahahu.
Kapitan Paulus Tiahahu juga merupakan teman dekat Kapitan Ahmad Lussy.

Ketika diadakan pertemuan besar di Hutan Saniri pada tanggal 14 Mei 1817, untuk mengangkat ”Sumpah Setia” bersama-sama dengan rakyat, Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha Christina Tiahahu ikut hadir.
Sumpah setia tersebut berbunyi;
  • Tidak akan ada pengkhianatan terhadap perjuangan.
  • Siapa yang menyeleweng, akan dihukum mati di tiang gantungan.
Sumpah Setia tersebut, meninggalkan hikmah yang sangat dalam bagi si gadis belia, Martha Christina Tiahahu.
......................................................................................

MASA KECIL
Martha Christina Tiahahu adalah gadis manis asal Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Ia lahir pada tanggal 4 Januari 1800.

Sejak awal perjuangan melawan Kolonial Belanda, Martha selalu ikut mengambil bagian. Dengan rambutnya yang panjang terurai berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia selalu mendampingi ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, di medan perang, baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. 

Pernah di depan ayahnya dan para pejuang Nusalaut, Martha mengangkat sumpah, 
”Beta tidak akan menggulung rambut beta, sebelum mandi dengan darah Belanda.”
.....................................................................................

PERANG DAN WANITA
Martha tidak hanya berjuang dan mengangkat senjata saja, tetapi ia juga memberi semangat kepada kaum wanita di daerahnya, agar ikut maju berjuang melawan penjajah.

Hal ini terbukti saat pertempuran sengit terjadi pada tanggal 11 Oktober 1817, di Desa Ulath dan Ouw, jasirah Tenggara Pulau Saparua. Ia dan para pejuang wanita Maluku melakukan perlawanan yang luarbiasa.

Alhasil, untuk pertama kalinya Belanda menghadapi prajurit-prajurit wanita yang gagah berani.

Sebagaimana digambarkan oleh Overste Verheul, seorang perwira dan penulis Belanda, dalam catatannya sebagai berikut,
”Dalam suasana pertempuran, bukan saja ia (Martha) telah menolong memikul senjata ayahnya, tetapi ia juga telah ikut serta dengan pemimpin-pemimpin perang mengadakan tarian perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya.”

Kala itu, 60 serdadu Belanda dibawah pimpinan Richemont berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Rakyat. Musuh berhasil menerobos 7 kubu, namun pada waktu mencapai kubu ke-8, Richermont tertembak mati.

Tetapi sayang, pada tanggal 12 Oktober 1817, kemenangan perlawanan rakyat Maluku harus lenyap, kala Vermeulen Kringer memerintahkan “Serangan Umum”. 
Jatuhlah pertahanan terakhir kaum pejuang di Lease. Pasukan Rakyat mundur dan bertahan di hutan. 
Seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
..........................................................................................
Foto: Lanjutan WANITA GERILYAWAN INDONESIA (VI)

4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

PERANG PATTIMURA
Pada tahun 1817, pecah Perang Pattimura. Penduduk Maluku di bawah pimpinan Kapitan Ahmad Lussy (Pattimura) mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Awalnya perlawanan berkobar hanya di Saparua, kemudian meluas ke pulau-pulau lain. Salah satu di antaranya ialah Pulau Nusalaut. 

Pulau Nusalaut terletak di sebelah tenggara Pulau Saparua, yang dipisahkan oleh sebuah selat. 
Nusalaut juga disebut Nusahalowano yang berarti ”Pulau Emas”. Dijuluki demikian karena hasil cengkihnya yang terkenal bermutu tinggi dan berjumlah besar hingga dapat mengalirkan ”emas” ke kantong rakyat. 
Namun setelah cengkih dimonopoli Belanda, rakyat Nusalaut pun jatuh melarat dan tertekan hidupnya.

Saat Kapitan Paulus Tiahahu dipercaya sebagai Raja Abubu di Nusalaut, Belanda datang dan mendirikan benteng Beverwijk di Leinatu, Nusalaut.
Kapitan Paulus Tiahahu yang benci kepada penjajah Eropa ini, adalah ayah kandung seorang Srikandi Maluku yang bernama Martha Christina Tiahahu.
Kapitan Paulus Tiahahu juga merupakan teman dekat Kapitan Ahmad Lussy.

Ketika diadakan pertemuan besar di Hutan Saniri pada tanggal 14 Mei 1817, untuk mengangkat ”Sumpah Setia” bersama-sama dengan rakyat, Kapitan Paulus Tiahahu dan Martha Christina Tiahahu ikut hadir.
Sumpah setia tersebut berbunyi;
a. Tidak akan ada pengkhianatan terhadap perjuangan.
b. Siapa yang menyeleweng, akan dihukum mati di tiang gantungan.

Sumpah Setia tersebut, meninggalkan hikmah yang sangat dalam bagi si gadis belia, Martha Christina Tiahahu.
-*-

MASA KECIL
Martha Christina Tiahahu adalah gadis manis asal Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Ia lahir pada tanggal 4 Januari 1800.

Sejak awal perjuangan melawan Kolonial Belanda, Martha selalu ikut mengambil bagian. Dengan rambutnya yang panjang terurai berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia selalu mendampingi ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, di medan perang, baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. 

Pernah di depan ayahnya dan para pejuang Nusalaut, Martha  mengangkat sumpah, 
”Beta tidak akan menggulung rambut beta, sebelum mandi dengan darah Belanda.”
-*-

PERANG DAN WANITA
Martha tidak hanya berjuang dan mengangkat senjata saja, tetapi ia juga memberi semangat kepada kaum wanita di daerahnya, agar ikut maju berjuang melawan penjajah.
Hal ini terbukti saat pertempuran sengit terjadi pada tanggal 11 Oktober 1817, di Desa Ulath dan Ouw, jasirah Tenggara Pulau Saparua. Ia dan para pejuang wanita Maluku melakukan perlawanan yang luarbiasa.
Alhasil, untuk pertama kalinya Belanda menghadapi prajurit-prajurit wanita yang gagah berani.

Sebagaimana digambarkan oleh Overste Verheul, seorang perwira dan penulis Belanda, dalam catatannya sebagai berikut,
”Dalam suasana pertempuran, bukan saja ia (Martha) telah menolong memikul senjata ayahnya, tetapi ia juga telah ikut serta dengan pemimpin-pemimpin perang mengadakan tarian perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya.”

Kala itu, 60 serdadu Belanda dibawah pimpinan Richemont berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Rakyat. Musuh berhasil menerobos 7 kubu, namun pada waktu mencapai kubu ke-8, Richermont tertembak mati.
 
Tetapi sayang, pada tanggal 12 Oktober 1817, kemenangan perlawanan rakyat Maluku harus lenyap, kala Vermeulen Kringer memerintahkan “Serangan Umum”. 
Jatuhlah pertahanan terakhir kaum pejuang di Lease. Pasukan Rakyat mundur dan bertahan di hutan. 
Seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
-*-

BERSAMBUNG...
TERTANGKAP BELANDA
TERTANGKAP BELANDA
Pada tanggal 16 Oktober 1817, para tokoh pejuang Maluku yang antara lain; Raja Said Perintah, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Christina Tihahu, Hehanussa dari Titawai, Raja Ulat dan Patih Ouw; ditangkap dan ditahan di Kapal Perang Eversten.
Selanjutnya mereka diinterogasi oleh Laksamana Muda Buyskes dan dijatuhi hukuman mati. 

Dari Kapal Perang Eversten, pada tanggal 17 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu yang sudah berusia lanjut, di giring kembali ke Benteng Beverwijjk, di Nusalaut, untuk menjalani hukuman mati. Martha dengan setia selalu mendampinginya.

Selang sebulan kemudian, tanggal 16 Desember 1817, Kapitan Ahmad Lessy (Panglima Perang Rakyat Maluku) dengan 3 orang pembantu utamanya, yaitu; Kapitan Anthone Rhebok, Letnan Philip Latumahina dan Raja Said Perintah, juga menjalani hukum gantung sampai mati.
<<<<<<-*->>>>>

GERILYA SENDIRI
Sepeninggal ayahandanya, Martha diserahkan kepada Sekolahan di Nusalaut untuk mandapat pendidikan dan pengarahan. Namun ia melarikan diri dan bergerilya didalam hutan.

Na'as, dalam suatu penggerebekan di bulan Desember 1817, Martha beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan Kapal Perang Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerja paksa di sebuah perkebunan kopi.

AKHIR HAYAT
Sejak dirinya tertangkap, Martha diam seribu bahasa. Ia tetap tegak walau tambah hari tampak semakin lesu. 

Overste Verheul, dalam catatannya kembali menulis;
”Segala sesuatu yang saya dengar dan saksikan tentangnya (Martha), merupakan bukti jiwa besar dan keberanian seorang pahlawan. 
Kasih terhadap orang tua dan bertahan dalam berkabung karena kehilangan ayahnya”. 

Tidak hanya mogok bicara, Martha juga menolak makan dan minum, apalagi minum obat. Akhirnya pada malam 1 menjelang 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, diatas Kapal Perang Belanda Eversten, Martha menghembuskan nafasnya yang terakhir, 2 hari sebelum usianya genap 18 tahun.

Jasadnya disemayamkan dengan penghormatan militer dan untuk selanjutnya diserahkan kepada pelukan Laut Banda, antara Pulau Bum dan Pulau Tiga.
Laut Banda
<<<<<-*->>>>>
PENGHARGAAN
  1. Sebagai penghargaan dan penghormatan atas jasa dan perjuangannya untuk kemerdekaan, Martha Christina Tiahahu kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, pada tanggal 20 Mei 1969.
  2. Pemerintah Maluku lalu membuat ”Monumen Martha Christina Tiahahu”, untuk mengenang jasa-jasanya, yang terletak di Karang Pajang, Kota Ambon, Maluku (menghadap ke Teluk Ambon).
<<<<--***-->>>>>
Foto: Lanjutan WANITA GERILYAWAN INDONESIA (VII)

4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

TERTANGKAP BELANDA
Pada tanggal 16 Oktober 1817, para tokoh pejuang Maluku yang antara lain; Raja Said Perintah, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Christina Tihahu, Hehanussa dari Titawai, Raja Ulat dan Patih Ouw; ditangkap dan ditahan di Kapal Perang Eversten.
Selanjutnya mereka diinterogasi oleh Laksamana Muda Buyskes dan dijatuhi hukuman mati. 

Dari Kapal Perang Eversten, pada tanggal 17 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu yang sudah berusia lanjut, di giring kembali ke Benteng Beverwijjk, di Nusalaut, untuk menjalani hukuman mati. Martha dengan setia selalu mendampinginya.

Selang sebulan kemudian, tanggal 16 Desember 1817, Kapitan Ahmad Lessy (Panglima Perang Rakyat Maluku) dengan 3 orang pembantu utamanya, yaitu; Kapitan Anthone Rhebok, Letnan Philip Latumahina dan Raja Said Perintah, juga menjalani hukum gantung sampai mati.
-*-

GERILYA SENDIRI
Sepeninggal ayahandanya, Martha diserahkan kepada Sekolahan di Nusalaut untuk mandapat pendidikan dan pengarahan. Namun ia melarikan diri dan bergerilya didalam hutan.

Na'as, dalam suatu penggerebekan di bulan Desember 1817, Martha beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan Kapal Perang Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerja paksa di sebuah perkebunan kopi.
-*-

AKHIR HAYAT
Sejak dirinya tertangkap, Martha diam seribu bahasa. Ia tetap tegak walau tambah hari tampak semakin lesu. 

Overste Verheul, dalam catatannya kembali menulis;
”Segala sesuatu yang saya dengar dan saksikan tentangnya (Martha), merupakan bukti jiwa besar dan keberanian seorang pahlawan. 
Kasih terhadap orang tua dan bertahan dalam berkabung karena kehilangan ayahnya”. 

Tidak hanya mogok bicara, Martha juga menolak makan dan minum, apalagi minum obat. Akhirnya pada malam 1 menjelang 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, diatas Kapal Perang Belanda Eversten, Martha menghembuskan nafasnya yang terakhir, 2 hari sebelum usianya genap 18 tahun.

Jasadnya disemayamkan dengan penghormatan militer dan untuk selanjutnya diserahkan kepada pelukan Laut Banda, antara Pulau Bum dan Pulau Tiga.
-*-

PENGHARGAAN
1. Sebagai penghargaan dan penghormatan atas jasa dan perjuangannya untuk kemerdekaan, Martha Christina Tiahahu kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, pada tanggal 20 Mei 1969.
2. Pemerintah Maluku lalu membuat ”Monumen Martha Christina Tiahahu”, untuk mengenang jasa-jasanya, yang terletak di Karang Pajang, Kota Ambon, Maluku (menghadap ke Teluk Ambon).

--***--

SELESAI

DAFTAR PUSTAKA
1. “Cut Nyak Dien”; Deddi Armand, Pustaka Ananda.
2. “Pahlawan Repulusi Aceh”; Muhazir, 1984. 
3. “Jejak Pahlawan Indonesia”; Y.B Sudarmanto, Grasindo, 1999.
4. “Sedjarah Perdjuangan Pattimura”, M. Sapidja, 1954.
5. “Api Sejarah”, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU