Laman

Minggu, 02 Maret 2014

Kyai Mojo (Kyai Muslim Muhammad Halifah) "Walisongo" Periodesasi ke-10, 1751 – 1897

Tapak Jejak Walisongo 

Kyai Mojo (MUSLIM MUHAMMAD KHOLIFAH) "Walisongo" Periodesasi ke-10, 1751 – 1897

Periodesasi ke-10, 1751 – 1897 terdiri dari:
  1. Pangeran Diponegoro ( menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan)
  2. Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, (menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi)
  3. Kyai Mojo, (Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
  4. Kyai Kasan Besari, (Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
  5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
  6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, (menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir)
  7. Pangeran Sadeli, (Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu’ali Ahmad)
  8. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura (Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri)
  9. Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, (Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan)
Kyai Mojo, (Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
Kyai Mojo (Kyai Muslim Muhammad Halifah)
MUSLIM MUHAMMAD KHOLIFAH
Alias : Kyai Mojo 
Lahir : Mojo, Pajang, Jawa Tengah
Orangtua : Iman Abdul Ngarip
Menggantikan: Sultan Ageng Tirtayasa
Daerah da’wah: Pulau Jawa dan Sulawesi Utara 
Wafat : 1848 M 
Makam : Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara

Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan kemudian menjadi guru agama (ulama) yang sangat berpengaruh daerah Pajang dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.

Masa Kecil

Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang merupakan seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, kedua dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (perdikan / swatantra) Raja Surakarta kepada beliau. Belum diketahui latar belakang keluarga beliau, kecuali menurut suatu sumber (Babcock, 1989) Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibu Kyai Modjo adalah saudara perempuan HB III, dan dengan demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kyai Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai Modjo (R.A Mursilah bersepupu dengan Pangeran Diponegoro).

Meskipun ibunya seorang ningrat kraton, Kyai Modjo dibesarkan di luar kraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan menetap di sana selama beberapa waktu (Ali Munhanif, 2003) Kyai Modjo kemudian memimpin satu pesantren di negeri Modjo .

Pernikahan
Kyai modjo menikah dengan R.A Mangubumi (Babcock, 1989), janda cerai dari Pangeran Mangkubumi - paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman”, meskipun dari garis ayah Kyai modjo adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro (ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah sepupu Pangeran Diponegoro).

Karier
Kyai Mojo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru kepada kyai di Ponorogo. Disinilah Kyai Mojo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal akan kesaktiannya, di samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono VI (PB VI).

Sepeninggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di (pesantren) Modjo di mana banyak putra dan putri dari Kraton Solo belajar di pesantrennya di Modjo. Kelak nama Muslim Mochammad Khalifah menjadi terkenal sebagai Kyai Modjo. Keulamaannya dan ada pertalian darah dengan Kraton Yogyakarta (baca Pangeran Diponegoro) kemungkinan membuat Pangeran Diponegoro memilih Kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.

Dekadensi moral yang terjadi di kraton kemudian berimbas pada kehidupan masyarakat luas semakin menderita, telah menjadi sebab keluarga Iman Abdul Ngarip, khususnya Muhammad Muslim (Kyai Modjo) beserta saudara-saudaranya (Kyai Khasan Mochammad, Kyai Khasan Besari, dan Kyai Baderan) dan masyarakat luas mengangkat senjata menentang Belanda.

Akhir Hayat Kyai Mojo (Kyai Muslim Muhammad Halifah)
Setelah di "penangkapan" oleh Belanda pada 17 Nopember 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano - Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ikut bersama beliau dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat – ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki. Istri beliau menyusul ke Tondano setahun kemudian. 

Kecuali Kyai Modjo, hampir semua pengikutnya menikah dengan wanita Tondano (Tombokan, Walalangi, Tumbelaka, Rumbayan, dan lain-lain) dan dari perkawinan ini lahir beberapa keluarga yang dewasa ini dikenal dengan nama keluarga (marga,fam) antara lain "Pulukadang", "Modjo", "Baderan", "Zess", "Kyai Demak", "Suratinoyo", "Nurhamidin", "Djoyosuroto", "Sutaruno", "Kyai Marjo", dan lain-lain.


Kyai Modjo merupakan pendiri Kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi cikal bakal masuknya Agama Islam di Minahasa. Di Tondano beliau menyalurkan ilmu kesaktiannya (yang dipelajarinya di Ponorogo) kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri dan kemudian menjadi cikal bakal pencak silat. ///Source///

Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa
Kampung Jawa disebut juga Kampung Jawa Tondano, merupakan salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Tempat ini berada di sebelah utara Danau Tondano dan berjarak sekitar 65 km arah selatan dari kota Manado sekitar 90 menit perjalanan menggunakan mobil, atau berjarak 2 km dari kota Tondano. dengan populasi yang semuanya Muslim.

Sejarah berdirinya Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa
Berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830), pada 1828. 

kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa Sulawesi Utara. Kyai Mojo tiba di Tondano pada tahun 1829 hingga meninggal di sana pada tanggal 20 Desember 1848 dalam usia 84 tahun. Kecuali Kyai Mojo, semua pengikutnya (semuanya pria Jawa) menikahi perempuan Minahasa asli Tondano dan keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano. 

Selain Rombongan Kyai Modjo, ada juga Rombongan atau tokoh tokoh lain yang diasingkan ke Tondano oleh Belanda setelah rombongan Kyai Modjo berada di Tondano. diantaranya dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Termasuk Pangeran Perbatasari dari Kerajaan Banjar yang ditangkap Belanda saat berada di Kutai untuk meminta bantuan perang pada tahun 1885..

Penduduk Kampung Jawa Tondano sendiri adalah merupakan Etnis Baru percampuran Suku Jawa, Suku Sumatera ( Palembang, Aceh ), Suku Banjar, Suku Arab dengan Suku Minahasa. Percampuran Etnis ini mempengaruhi Budaya dan Kesenian di Jawa Tondano. ////Source///
Berkas:Makam-kyai-modjo-1 Djoko Sanudin.jpg
Berkas:Makam-kyai-modjo-2 Djoko Sanudin.jpgBerkas:Makam-kyai-modjo-3 Djoko Sanudin.jpg
Makam Kyai Mojo Minahasa
Makam Kyai Mojo terletak di sebuah daerah perbukitan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot Minahasa, Sulawesi Utara, hanya beberapa menit setelah melewati Kampung Jawa Tondano, atau kampung “Jaton”, sebuah perkampungan berpenghuni lebih dari 1800 jiwa yang merupakan keturunan pengikut Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Tondano pada tahun 1929, serta keturunan para pejuang lainnya yang dibuang Belanda ke Kampung Jaton ini.


Kyai Mojo adalah penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa melawan pasukan kolonial Belanda pada 1825 – 1830. Kompleks Makam Kyai Mojo ini jauh lebih baik lokasi dan suasananya ketimbang Kompleks Makam Pangeran Diponegoro yang relatif sempit dan berada di tengah keramaian kota Makassar.
Di puncak bukit inilah kompleks Makam Kyai Mojo berada

Undakan yang menuju ke arah puncak bukit dimana Makam Kyai Mojo berada, dengan papan nama serta penjelasan singkat tentang Makam Kyai Mojo yang mulai terlihat usang, serta papan nama Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa’i yang terlihat masih baru. Undakan ini berjarak sekitar 100 meter dari tepi jalan dimana pintu pagar pertama berada. Beruntung bahwa pintu pagar kedua di undakan ini tidak terkunci.
Papan nama di pintu undakan Makam Kyai Mojo itu menceritakan bahwa rombongan Kyai Mojo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, diantaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbajan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka, dan kemudian beranak pinak di Kampung Jaton di Tondano itu.

Papan itu juga menyebutkan bahwa Kyai Mojo, yang nama aslinya adalah Kyai Muslim Muhammad Halifah, lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849. Kampung Jawa Tondano adalah merupakan komunitas yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, di tengah mayoritas penduduk Tondano yang beragama Kristen, namun mereka hidup berdampingan dengan baik.


Ada sebuah tengara yang dipahat di dinding tembok sebelah kiri pintu gerbang undakan, yang menunjukkan tahun pemugaran kompleks Makam Kyai Mojo yang diresmikan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio pada 1981.
Anak tangga yang ujung atasnya berada di kompleks Makam Kyai Mojo di bukit yang paling bawah. Untuk sampai ke Makam Kyai Mojo, ada beberapa undakan lagi di sebelah kanan yang harus di daki sebelum sampai ke cungkup makam. Anak tangga ini terlihat rapi dan bersih, diteduhi rimbun dedaunan dan dihiasi rerumputan hijau segar.
Cungkup Makam Kyai Mojo dan KH Ahmad Rifa’i, dengan latar depan makam para pengikut dan keluarganya. Kompleks Makam Kyai Mojo ini terasa ‘wingit’
Cungkup dan Makam Kyai Ahmad Rifa’i yang dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh Presiden SBY. Kyai Ahmad Rifa’i yang lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, adalah salah satu dari sekian tokoh yang bukan bagian pengikut Pangeran Diponegoro yang diasingkan di Kampung Jawa Tondano oleh Belanda.


Kyai Rifa’i adalah seorang ulama yang terkenal sangat anti penjajah Belanda, yang secara terbuka diungkapkannya melalui dakwah dan tulisan-tulisannya. Kyai Rifa’i konon mengajarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah Kafir karena menindas rakyat; kaum birokrat tradisional adalah antek Belanda, dan karena itu juga Kafir, dan praktek beragama tidak boleh bercampur dengan kepercayaan nenek moyang, yang dinilainya sesat dan musyrik. Kyai Rifa’i juga menikah dengan wanita Minahasa dan memiliki banyak keturunan, yang diantaranya menjadi juru kunci Makam Kyai Mojo.
Makam Kyai Mojo, satu-satunya makam di dalam kompleks yang memiliki undakan sembilan. Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo, juga terdapat makam beberapa orang pengikutnya.

Cungkup Makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut ”Eyang Menado”, ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate. Dari sana dipindahkan ke Kema, dan tiga bulan kemudian dibawa ke Kampung Jaton.

Selain Kyai Ahmad Rifa’i dan Kyai Hasan Maulani, Kampung Jaton juga menjadi tempat pembuangan para pejuang penentang penguasa kolonial Belanda yang berasal dari Aceh, Banjarmasin, Padang, Palembang, Saparua, dan Sumatera Selatan.
Sebuah makam yang berada di ruang terbuka, dengan tulisan arab yang rapi pada nisannya.

MAKAM KYAI MOJO
Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot Minahasa.
Sekitar 38 km dari Manado, 1 km dari Kampung Jawa Tondano
///Source////

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU