Laman

Minggu, 02 Februari 2014

(Syech Maolana Ngali Samsujen) Sang Guru "Ki Hajar Subroto (Gunung Padang) & Prabu Jaya Baya"

Primbon 

(Syech Maolana Ngali Samsujen)

SITUS SETONO GEDONG
SYECH Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alias Mbah Wasil..
(Syech Maolana Ngali Samsujen)  beliau Terserat dan tersurat dan Dikisahkan dalam Serat Joyoboyo Musarar, pada suatu hari Joyoboyo berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen Dari ulama tersebut, Joyoboyo mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat Dari nama guru Joyoboyo di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa 

Lantas Siapakah Beliau dan hubungannya dengan Masjid Aulia Setono Gedong Kediri....?
Masuk ke makam Syekh Wasil Setono GedongLokasi Masjid Setono Gedong dan makam Syekh WasilGerbang masuk, oh ya Infaq parkir 1000 ya..
makam Syekh Wasil
Legenda Tentang Beliau
(Syech Maolana Ngali Samsujen)
Situs Setono Gedong tidak akan terlepas dari legenda Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Mbah Wasil. Ada beberapa teori mengenai latar belakang pendirian Situs Setono Gedong jika ditinjau dari legenda Mbah Wasil.

Versi I
Mbah Wasil dipercaya adalah seorang arab dari Mekah. Alkisah beliau akan dijadikan pemimpin negara setempat, tetapi beliau menolaknya, sebab ia lebih cinta pada Allah SWT.

Kemudian beliau mengasingkan diri atau hijrah ke Indonesia, tepatnya di Desa Setono Gedong. Dalam kisahnya, Mbah Wasil hendak membangun masjid dalam waktu satu malam, tetapi disaat dini hari terdengar suara wanita yang memukul lesung menumbuk padi. Rencana Mbah Wasil pun urung terselesaikan, dan hasilnya hanyalah pondasi yang sampai saat ini masih ada.

Versi II
Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia yang datang ke Kediri untuk membahas kitab Musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. 

Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri

Versi III
Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo

Namun demikian, tidak ada keterangan jelas kapan dan dimana beliau meninggal dunia. Pada batu nisannya hanya bertuliskan kaligrafi kalimat syahadat yang terbingkai dalam gambar matahari pijar. Riwayat asal-usul keluarganya serta waktu pasti kedatangannya di Kediri juga terdapat beberapa versi oleh para ahli. Hal tersebut tak mengurangi nama harum perjuangan mbah Wasil.


Kembali pada kisah Mbah Wasil, ketika beliau hendak membangun masjid dalam waktu satu malam, tetapi disaat dini hari terdengar suara wanita yang memukul lesung menumbuk padi.  Dan rencana Mbah wasil urung terselesaikan. Hasilnya adalah hanya pondasi

yang sampai saat ini masih ada. Kurang lebih tahun 1897 masjid yang belum jadi itu pernah dijadikan tempat ibadah penduduk setempat. Dan pada tahun 1967 oleh takmir, depannya masjid dibangun masjid yang diberi nama Masjid Aulia’ Setono Gedong.  

Konon saat penggalian pondasi masjid Aulia’ ditemukan menara berukir relief  Garuda, dan ternyata gambar tersebut akhirya menjadi lambang negara kita.

Meski hingga  hingga kini latar belakang sejarah mengenai Situs Setono Gedong masih menjadi perdebatan. Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, Situs Setono Gedong adalah saksi perkembangan sejarah di kota Kediri yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang.


Versi Sejarah dan Legenda
SYECH Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alias Mbah Wasil..(Syech Maolana Ngali Samsujen)
Diceriterakan dan dikisahkan sebagai berikut :

Ada ulama dari Turki yg diperintahkan untuk datang ke jawadwipa yg bernama Syech Ali Samsuzein, beliau sempat bermukim di Gunung Wilis (sadepok). Beliau mendirikan Masjid disana. (masih ada peninggalannya).
Lalu Syech Maolana Ngali Samsujen punya pengikut atau murid yaitu Ki Hajar Subroto (Gunung Padang), hingga pada tataran kemakrifatan.

Lalu Syech Maolana Ngali Samsujen melanjutkan dakwah/ si'ar beliau ke sang Prabu Joyoboyo, melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya sang prabu menimba ilmu kemakrifatan.

Jadi Syech Ali Syamsyzein punya dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (Bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan).
Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.

  • Ki Hajar diperintahkan untuk membuka
  • Sang Prabu diperintahkan untuk menutup.

Hingga akhirnya Syech Maolana Ngali Samsujen kembali ke Turki.

Namun tanpa sengaja keduanya bertemu, seperti dituliskan pada syair diatas.
Ki Hajar membuka sesuatu yg seharusnya ditutup dari pandangan sang prabu walaupun itu hanya simbolis (Pasemon).
Sehingga sang prabu menganggap ki Hajar telah melakukan kesalahan fatal dan harus dibunuh.
Namun Menurut Ki Hajar, hal (Kitab) tsb harus dibuka walaupun secara simbolis (Pasemon).

Syech Maolana Ngali Samsujen=>Syech Alisyamsuzein => Syech Wasil => Syech Subakir => Syech Jumadil qubro => Syech Maulana Asmorokondi => Para wali songo, adalah satu garis lurus pola penyebaran Islam dng kearifan, kebijaksanaan.

Memang baru pada era demak islam mulai gencar di sebarkan dng sangat terbuka. Namun pijakan2 Islam sudah ditanamkan oleh pendahulu2 sebelum era Demak.

Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil...???

Syech Maolana Ngali Samsujen / Syekh Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musasar atas undangan dari Raja Jayabaya. 

Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat.
Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.
Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasarpertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin (Syech Maolana Ngali Samsujen) di Kediri pada masa pemerintahan raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. 

  1. Pertama,Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara cultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.
  2. Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut berdasar variabel pendukung.
  3. Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah (Syech Maolana Ngali Samsujen) / Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.
  4. Keempat, ekspedisi Cheng Ho yang datang mengunjungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa (Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan” melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yang disinggahi. Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban) ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan orang Jawa (penduduk asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak kira-kira 50 tahun sebelum masa itu.

Jika pendapat itu benar, lalu siapakah (Syech Maolana Ngali Samsujen) / Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu? Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.


Namun demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih memerlukan kajian secara intensif dan sistematis.

Hubungan dengan 
Sentono Genthong Pacitan 
Ada kemiripan nama antara Setono/Astono/Sentono karena logat dan lidah jawa yng bermakna pekuburan. Gedong sendiri bermakna pembungkus. 

Pada masa Islam menurut tradisi murni ajaran ini , setiap mayit diwajibkan dikafani (digedong/bahasa Jawa red). Sehingga  demikian banyak pekuburan diberi julukan nggedongan di Jawa. atau bahasa lainnya tempat yang ditinggikan (baitul makmur).

Menurut Cerita legenda Pacitan, Sentono Genthong dahulunya adalah tempat berisi tulang belulang (pekuburan kuno) yang dimasukkan ke dalam Gentong. Meski kebenarannya masih dipertanyakan, namun penemuan-penemua gentong dan tulang di lokasi ini sedikit memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang sengaja diletakkan di sana. Yaitu pekuburan kuno pada masa animisme.

Ada pendapat mengatakan bahwa :
Genthong itu katanya tumbalnya Pulau Jawa sedangkan yang numbali saat itu katanya Sultan di Negeri Ngerum. 
Adapun dongeng legendanya sebagai berikut :
Pada zaman dahulu kala, pulau Jawa masih kosong belum ada yang menempati. Tidak satupun manusia di pulau Jawa ini, di sana-sini semua hanya terdapat hutan dan rawa-rawa. 
Pada suatu hari Sultan Ngerum menyuruh kerbat Negara (punggawa kerajaan) atau rakyatnya laki-laki maupun perempuan membabat atau membuka pulau Jawa ini. Perintah Sultan Ngerum tadi ternyata terlaksanan atau dilaksanakan oleh rakyat atau penduduk kerajaan Ngerum dan membuat Gunung-gunug, hutan-hutan dimana-mana dan saat itu pulau Jawa sangat keramat atau angker sekali, menjadi kerajaannya bangsa setan, jin, dan lain-lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia. 

Oleh karena itu, wadyo bolo dari Ngerum tadi mempunyai ilmu untuk menghilangkan atau menyingkirkan bangsa lelembut atau makhluk halus yang ada di situ. Tetapi wadyo bolo dari Ngerum tadi juga banyak yang mati akibat dari makhluk-makhluk halus tersebut. Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan dan menyuruh seorang Pandita untuk menumbali (syarat) pulau Jawa, maksudnya tanah yang sangar dan kayu-kayu yang angker dapat tawa atau dihindari oleh makhluk-makhluk halus.

Selanjutnya Sultan Ngerum memerintahkan Punggawa Kerajaan beserta dengan wadyo bolonya datang ke tanah pulau Jawa melihat hasil babatan-babatan yang sudah pernah dikerjakan dan ternyata pulau Jawa ini dapat ditempati dan didirikan rumah sampai sekarang ini. 

Sebutan Maghribi dan Ngerum/Persia
Maghribi merupakan sebutan dari masyarakat muslim di Jawa pada abad XIV – XV M yang ditujukan kepada para ulama yang datang dari belahan barat seperti dari Aceh, Iran, Arab maupun dari Asia kecil seperti halnya Uzbekistan dan bahkan dari Afrika. Maulana Malik Ibrahim Kasani yang meninggal tahun 1419 di Gresik juga disebut Syekh Maghribi.

thumbnailSyech Maulana Maghribi sendiri memiliki peran terhadap sejarah babad di Pacitan, sebagaimana mubaligh Islam pertama kali yng dikirim oleh R Patah ke tanah Wengker selatan untuk mendidik ilmu tauhid. Beliau memiliki peninggalan di bekas pesantren/perdikan di tanah Duduhan (Mentoro Kec. Pacitan) berupa tongkat yang ditancapkan dan tumbuh menjadi pohon Kecik Sari. 


Pohon ini adalah satu-satunya peninggalan beliau selain ajaran Islam yang mengakar kuat di Pacitan sampai saat ini sebagai pertanda kehadiran para wali di tanah Wengker Kidul. Sekian abad berlalu pohon kecik sari masih hidup dan telah menjadi saksi sejarah.

Tumbal Tanah Jawa
Dengan sebutan kerajaan  NGERUM maka menunjukkan seorang ulama besar dari Persia. 
yang datang ke nusantara ini. Jika benar bahwa hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, maka bisa jadi beliau bersama-sama Syech Maghribi dan Syech Subakir pernah hadir dalam penghayatan tumbal tanah Jawa khususnya di Pacitan.


Batu Kapur dari Pacitan
Didukung dengan fakta adanya bangunan Masjid Setono Gedong pagar keliling yang terbuat dari batu kapur yang merupakan lambang kesucian dalam agama Islam.  

Batu-batu ini banyak terdapat di daerah Pacitan khususnya Setono Genthong. Jika bekas bangunan ini merupakan bangunan candi, mengapa bahan pembuatan pagar keliling bukan batu bata atau batu andhesit yang banyak terdapat di wilayah Kediri sementara batu kapur harus didatangkan dari tempat yang jauh dari Kediri  ......Layak untuk menyendiri dalam hening

Maka jika dikaitkan dengan adanya banyak kesamaan kisah perjalan (MUHIBAH) para wali ini, tentu kita mahfum bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang dahulunya melakukan ekspedisi ke banyak tempat dan daerah di pulau Jawa yang pernah disinggahi, termasuk Pacitan.


......Catatan Tambahan
Mengapa Jawa ditanami Tumbal Gaib lagi oleh Syekh Subakir ?   
Syekh Subakir adalah anggota Walisongo angkatan pertama. Kalo ndak salah sekitar tahun 1300-an Masehi. Beliau juga melakukan penanaman tumbal di beberapa tempat di Tanah Jawa. Beliau adalah ahli tumbal terkenal dari negeri Persia. 

Sejarah gaib pulau jawa tidak bisa lepas dari segel gaib Aji Saka. 
"Tumbal gaib" atau penangkal/peredam hawa angker/sangar dari Tanah Jawa. Dan istilah ini jangan di-campurbaur-kan dengan istilah tumbal pesugihan, karena amat berbeda makna dan tujuannya. Namun selain tumbal yang ditanam oleh Aji saka, juga terdapat tumbal yang ditanam oleh kanjeng Syekh Subakir, sekian ratus tahun lamanya sesudah penumbalan pertama. Syekh Subakir adalah ahli tumbal dari Negeri Persia. Beliau tergolong anggota walisongo angkatan pertama.

Segel Gaib Tanah Jawa ? Tumbal Gaib Aji Saka dan Tumbal Gaib Syekh Subakir
Mengapa dilakukan penanaman tumbal kembali, walaupun dahulu (ratusan tahun sebelumnya), ada juga tumbal Aji Saka? Mungkin saja penyebabnya adalah sebagai berikut :
  1. Tumbal Aji Saka mengalami pelemahan daya gaibnya karena disebabkan berbagai hal. 
  2. Lelembut ganas pada saat itu mungkin mulai merajalela. 
  3. Kondisi gaib Tanah Jawa pada saat itu sedang goncang. 
  4. Tumbal Aji Saka sudah uzur atau kadaluwarsa/expired. 
  5. Sebab-sebab lain yang tidak diketahui.Istilah "Tumbal gaib" atau penangkal/peredam hawa angker/sangar dari Tanah Jawa, 
Isi utama Serat Centini adalah ajaran yang disebut sebagai Jayengresmi atau Syaikh Amongraga yang digambarkan dalam cerita tentang negeri Blambangan yang terserang wabah.
    Dikisahkan negeri Blambangan (sejaman dengan Majapahit) ketika itu diserang wabah besar. Banyak orang yang sakit, pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal. Wabah penyakit tersebut juga menyerbu masuk kedalam istana. Putri raja Blambangan (Dewi Kayiyan) juga terserang wabah dan sakitnya sangat parah. Sang Raja telah mendatangkan sejumlah dukun dan tabib, serta berbagai obat dan jamu telah diberikan, namun sang putrid bemu juga sembuh.

      Sang Raja kemudian memerintahkan patih Bajulsengara untuk mencari obat kemanapun, keseluruh negeri bahkan ke luar negeri. Setelah sang patih mencari obat dari desa kedesa, naik turun gunung, keluar masuk hutan, akhirnya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seprang petapa yang bernama Kyai Kandabaya.

        Sang Patih lalu menghadap sang Petapa dan menyampaikan maksudnya mencari obat bagi kesembuhan putrid Raja Blambangan yang sampai saat ini belum ada yang mampu untuk menyembuhkannya. Rupanya sang Petapa sudah mengerti maksud kedatangan patih Bajulsengara tersebut, dan mengatakan sebaiknya sang patih segera pulang saja, karena sesungguhnya yang dapat menyembuhkan ada dilingkungan keraton Belambangan, yaitu Seh Maulana Iskak (Seh Wali Lanang) yang sedang bertapa didalam gua dibawah gapura keraton.

          Setelah mendengar laporan sang Patih, maka Raja langsung memerintahkan membongkar dan menggali gapura keraton, dan ternyata di dalamnya ada seorang petapa Arab yang masih muda.

            Patih lalu menceritakan kepada petapa muda tersebut mengenai sakitnya putri Blambangan dan permintaan raja agar dapat menyembuhkannya. Ternyata Seh Maulana Iskak dapat menyembuhkan sang putrid, dan kemudian ia dikimpoikan dengan sang putrid oleh raja Blambangan. Setelah mendapat anak Seh Maulana Iskak minta ijin isterinya untuk menggenbara menuntut ilmu. Tidak lama kemudian isterinya meninggal, namun anaknya tidak dirawat oleh kakeknya, raja Blambangan, bahkan dibuangnya kelaut karena dipandang "berhawa panas". Anak yang malang itu ditemukan oleh seorang saudagar yang sedang berlayar ke Gresik.
              Di Gresik anak tersebut dirawat oleh Nyai Tandes dan kemudian di sekolahkan ke pesantren Ampel. Setelah besar anak tersebut bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri yang terkenal itu. Sunan Giri ini membangun padepokan atau kerajaan Sunan Giri yang meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten Gresik.

                Pethikan "Centhini" 
                37 .duk uripe neng dunya puniki sadina dina pan wis sakarat miwah sawengi wengine manggung sakaratipun melek turu sakarat ugi mila ngaran sakarat wong neng dunya iku dene ta ing salaminya urip iku neng dunya tan pegat dening layar segara rahmat 
                39. Ing tepine graitanen ugi dene wus aran iku sagara tanpa tepi supradene kaya na tepinipun ngengkol temen basa puniki kepriye yen kenaa kinira ing kalbu dinuga duga watara saking kira kira mapan datan keni kajaba kang wus wikan 
                40. Ing tepining ingkang jalanidhi. sagara rahmat kang tanpa ombak nanging gumleger alune samun lamun kadulu sawangane resik tur wening mila kang sami layar tan nganggo parau nyana tan na pakewuhnya yen tinrajang telenge keh parang curi mila arang kang prapta 
                42. Mampan arang iya angrawuhi ing warnane ya sagara rahmat tur sadina sawengine wong aneng dunya iku alalangen aneng jaladri jroning sagara rahmat prandene arang wruh saking kalingan ing tingal kalimput ing pancabayaning ngaurip mila arang waspada 
                43. Yen arsa layar maring jaladri sagara rahmat mawia palwa sarta lawan kamudhine pandoman sampun kantun myang layare dipun abecik miwah sanguning marga ywa kirang den agung yen tan mangkono tan prapta ing tepine iya sagara rahmati pan mundhak akangelan 
                44. Baitane pan eninging galih kemudhine pan anteping tekat sucining kalbu layare pandomanipun iku pituduhe guru sayekti sangune ngelmu rasa lakune parau kalawabn murahing Edat yen tumeka aneng tepining jaladri uga sagara rahmat (badhe kalajengaken menawi taksih wonten ingkang ngersaaken..) 

                Kapethik saking "serat centhini latin 1" Yasandalem kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkurat III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) jumeneng ing Surakarta ( 1820 - - 1823 M) kalatinaken miturut aslinipun dening Karkana Kamajaya, Penerbit yayasan Centhini, Yogyakarta, 1991
                Bagaimanakah hubungan budaya Jawa dengan Islam?

                Pertanyaan itulah yang dicoba disahuti oleh sebuah tim peneliti dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak dekade ini dimulai tahun 2011. Hasilnya menunjukkan bahwa antara kebudayaan Jawa dan Islam bisa hidup berdampingan. Daerah pedesaan Jawa, yang dulu menganut tradisi animistis dan dinamistis, ternyata bisa menerima Islam tanpa kehilangan makna kultural Jawa.


                Penelitian yang dilakukan Drs. H. Muzairi, MA, dan lima koleganya itu berjudul "Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa". Ia dipublikasikan dalam jurnal penelitian IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus. Terdiri dari 12 jilid, meliputi 3.216 halaman huruf Jawa dan 3.500 halaman tulisan Latin, sehingga layak disebut sebagai "Ensiklopedi Jawa"...dengan kesimpulan : Islam dan Jawa satu....


                Pesan Moral Kisah Penanaman Tumbal : 
                Hentikan Penarikan Mustika / Pusaka
                Mengapa sering terjadi bencana alam di berbagai tempat ? Menurut kami, selain karena alam sedang melakukan pembersihan / penyaringan / penyeimbangan kembali, mungkin ada penyebab lain nya. Penyebab lainnya adalah : adanya penarikan tumbal-tumbal berupa mustika dan pusaka oleh para orang sakti dan spiritualis di masa sekarang. Padahal, Aji Saka dan Syekh Subakir yang diyakini telah menanam sejumlah tumbal di Tanah Jawa, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan alam, juga untuk menaklukkan mahluk halus yang bersifat jahat. Seyogyanya berbagai macam mustika dan pusaka yang tertanam di perut bumi jaman dulu tak perlu ditarik paksa sekarang. Karena energi yang terkandung dalam aneka mustika dan pusaka terkadang dapat menjadi "paku" keseimbangan alam sekitar. Misal : mengatur keluarnya air di suatu mata air, menjaga bukit agar tidak longsor, menjaga keseimbangan kerak lempeng bumi agar tidak gempa dan sebagainya.

                Referensi :

                • Jurnal Penelitian berjudul “Kitab Kuning dan Suluk Serat Centhini Kajian Tentang Islam dan Budaya Jawa” (Oleh Drs. H. Muzairi, MA) IAIN Yogyakarta edisi Mei-Agustus 2009. Nababan, 1986, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia
                • http://agungpambudi72-sejarahdanperistiwa.blogspot.com/

                Tidak ada komentar:

                Posting Komentar

                SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
                JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
                Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
                (Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
                dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
                AKU CINTA NUSANTARAKU