Laman

Sabtu, 22 Februari 2014

Sunan Mojoagung SAYYID SULAIMAN BASYAIBAN "WALISONGO" Periodesasi ke-7 (1546- 1591 M)

Tapak Jejak Walisongo Periodesasi ke-7 (1546- 1591 M) 

Sunan Mojoagung SAYYID SULAIMAN BASYAIBAN "WALISONGO" Periodesasi ke-7 (1546- 1591 M)

Tapak Jejak Walisongo 
Periodesasi ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari:
  1. Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599),
  2. Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak,
  3. Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana,
  4. Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan,
  5. Sayyid Amir Hasan, yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus
  6. Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati,
  7. Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan,
  8. Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan
  9. Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan,

SAYYID SULAIMAN BASYAIBAN
Alias : Sunan Mojoagung 
Buyut dari : Sayyid Abubakar Basyaiban 
Menggantikan : Sayyid Yusuf Anggawi (Sunan Lamongan)
Daerah da’wah: Jawa Tengah dan Jawa Timur
Wafat : 1649 M
Makam : Batek, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur 

SAYYID SULAIMAN BASYAIBAN (Sunan Mojoagung)
Sayyid Sulaiman : Sosok Pembabat Yang Tak Kenal Lelah

Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman.

Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Sayyid Sulaiman, pemuda yang disebut di awal tulisan ini. Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah.

Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah Sayyid keturunan Rasulullah SAW, bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga Habib keturunan Sayyid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti. Sayyid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayyid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayyid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).

Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayyid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.

Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayyid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah SAW. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Dari pasangan dua keturunan Rasulullah SAW ini, lahir tiga orang putra: Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro, Segoropuro Pasuruan), dan Sayyid Abdul Karim.

Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon.

Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayyid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayyid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.

Dari Pekalongan Sayyid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayyid. Maka diundanglah Sayyid ke keraton.

Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayyid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayyid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.

“Sulaiman, panjenengan tiyang sakti. Le’ bener-bener sakti, kulo nyuwun tulung gawe’no tanggapan sing ora umum, ora tau ditanggap wong,” pinta Raja Mataram kepada Sayyid dengan nada menghina.

Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayyid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayyid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayyid demikian lama, namun Sayyid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayyid Sulaiman.

Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayyid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayyid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram.

Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.

Nyantri di Ampel

Setelah meninggalkan Solo, Sayyid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri (berguru agama) kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Kabar keberadaan Sayyid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayyid Abdurrahim, adik kandung Sayyid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.

Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu.

Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya, “Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?” Sayid Sulaiman dan Sayyid Abdurrahim mengacungkan tangan, Lalu, Sunan Ampel berkata, “Mulai saiki, santriku ojok nyeluk Sulaiman, ojok nyeluk Abdurrahim tok, tapi nyelu’o Mas Sulaiman den Mas Abdurrahim! (Mulai sekarang santriku jangan memanggil Sulaiman dan Abdurrahim saja, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!)”. Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh Sidogiri.

Riwayat belajarnya Sayyid Sulaiman ini masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayyid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayyid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel.

Kemungkinan besar, Sayyid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau.

Keramat di Pasuruan

Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.

Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayyid Sulaiman dan Sayyid Abdurrahim, “Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh. Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.

Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayyid Sulaiman dan Sayyid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayyid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.

Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayyid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah SWT, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayyid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayyid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.

Setelah ‘mondok di Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.

Berita tentang kesaktian Sayyid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayyid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.

Diadakanlah sayembara : Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.

Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayyid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah SWT, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.

Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayyid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayyid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.

Tak lama kemudian, Sayyid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman.

Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayyid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.

Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayyid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.

Kembali ke Cirebon

Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.

Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning.

Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, Belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayyid Sulaiman sendiri.

Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu.

Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.

Pergi ke Keraton Mataram

Kabar kekeramatan Mbah Sayyid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayyid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayyid bermaksud memenuhi panggilan ini.

Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayyid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayyid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.

Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Le, awakmu lali nggak mangan jangan kacang iki, ayo panganen situk edang! (Nak, kamu lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo makan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.

“Oh, enggih Mbah (Oh, iya Mbah),” jawab mereka serempak.

Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak. “Kalau muridnya seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.

Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayyid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.

Wafatnya Sayyid Sulaiman

Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayyid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.

Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru.

Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayyid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.

Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Batek Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayyid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah SWT. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.

Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayyid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayyid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.

Turunkan Pewaris Perjuangannya

Hasil jerih payah Mbah Sayyid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum Muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbain Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhona Cholil Bangkalan.

Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayyid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran Sepanjang Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayyid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan.

Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayyid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.

Melalui jalur Sayyid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya.

Sampai kini, makam Sayyid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayiyd Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo.

Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim di Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.

Sayyid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayyid Sulaiman. Mereka adalah Sayyid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan), Sayyid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan), Sayyid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya), Sayyid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya), Sayyid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura), dan Sayyid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).

Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayyid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri. Sedangkan keturunan Mbah Sayyid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayyid Sulaiman. Sayyid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon.

Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayyid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayyid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.

Pembabat Sidogiri

Konon, Mbah Sayyid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayyid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.

Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712.

Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayyid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan di muka, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayyid Sulaiman keburu meninggal. Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 255 tahun pada tahun 2000 adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.

Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayyid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri. Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayyid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayyid Sulaiman.

Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istikamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.

Diketahui kemudian, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayyid Abdullah adalah putra Sayyid Sulaiman, bukan cucu Sayyid Sulaiman dari Sayyid Ali Akbar.

Dalam Buku Saku Santri Pondok Pesantren Sidogiri, tahun lahirnya Pondok Pesantren Sidogiri ada dua versi: 1718 dan 1745.




Menelisik Makam Mbah Sayyid Sulaiman

Makam Sayyid Sulaiman sering kali dikunjungi para peziarah dengan berbagai kepentingan, salah satunya ingin segera mendapatkan jodoh. Puncak kunjungan terjadi pada malam Jumat Legi.

Makam Sayyid Sulaiman di Dusun Rejo Slamet, Desa Mancilan, Kecamatan Mojoagung, Jombang semakin ramai dipadati pengunjung. Mereka tidak hanya dari wilayah sekitar seperti Kediri, Blitar, Madiun, Trenggalek, Pasuruan hingga Banyuwangi, juga dari luar Jawa Timur seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahkan Sulawesi dan daerah-daerah lain.

Apa yang membuat mereka tertarik? Masing-masing pengunjung punya keyakinan berbeda ketika berziarah ke makam tersebut. Ada yang mengaku pingin mendapat berkah sehingga cepat mendapat jodoh, pingin sukses usahanya, terlepas dari semua masalah yang dihadapi, dan masih banyak alasan lainnya.

Kompleks makam yang luasnya sekitar dua hektare itu sebenarnya terletak persis di perbatasan antara Dusun Rejo Slamet dan Desa Betek. Tetapi karena sudah kadung kesohor makam tersebut terletak di Desa Betek, para pengunjung pun hingga saat ini menyebut makam Sayyid Sulaiman tersebut di Desa Betek. Padahal, makam tersebut ada di Dusun Rejo Slamet, tepatnya Desa Mancilan. Bahkan, ada cerita sebelum makam Sayyid ini dikenal banyak orang, Dusun Rejo Slamet bernama Dusun Kuburan (Makam).

“Ceritanya Dusun Rejo Slamet dulu adalah Dusun Kuburan (makam) sehingga ketika orang mau ke Rejo Slamet pasti mengatakan mau ke kuburan atau ke makam, mungkin orang-orang dulu merasa nama itu tidak enak lalu diganti dengan nama Rejo Slamet, tetapi memang sejak dulu banyak orang yang berziarah ke makam itu,” kata Tajul Arifin, tokoh masyarakat desa setempat.

Silsilah

Siapa sebenarnya Mbah Sayyid Sulaiman? Silsilahnya, ia adalah keturunan Rasulullah urutan ke-26. Dia wafat pada 17 Rabiulawal 1193 H atau 24 Maret 1780 M pada hari Jumat legi. Ibunya seorang putri Sultan Cirebon, dia juga pernah menjabat qadli di Kanigoro Pasuruan.

Menurut keterangan, sewaktu Sayyid ziarah ke makam Raden Alief yang terletak di desa tersebut, Sayyid Sulaiman hingga wafat dan dimakamkan di tempat itu pula. Karena itu, tulisan silsilah yang terpampang di ruang juru kunci tersebut menyebutkan, bagaimana tata krama berziarah terlebih dahulu lalu raden atau Mbah Alief baru kemudian ke Makam Sayyid Sulaiman yang jaraknya tidak jauh dari makam Mbah Alief.

Kompleks makam yang dilengkapi mushalla berukuran agak besar tersebut semakin menambah kerasan para peziarah, tak jarang para peziarah bermalam di situ.

Meski hari-hari biasa ada juga yang bermukim barang satu sampai tiga hari. Mushala tersebut juga menjadi jujukan para musafir yang melakukan perjalanan, beberapa saat mereka beristirahat dan berziarah setelah itu merekapun berangkat lagi.

Puncak kegiatan bersama yakni pada Jumat Legi, peziarah diajak melakukan istighatsah dan tahlil bersama. Ternyata ini juga menjadi daya tarik tersendiri, terbukti beberapa rombongan dari luar Jawa Timur, baik itu dari Sulawesi, Sumatera, Jakarta dan lain-lain juga datang pada Jumat legi, sehingga ribuan masa tumplek blek melakukan istighatsah dan tahlil bersama.

“Puncaknya memang pada Jumat Lagi, ribuan para peziarah datang kemari. Seringkali yang datang dari luar jawa memang orang-orang dari transmigran, tetapi aslinya memang dari sekitar Jombang, bersama rombongan dengan mengendari bus mereka datang kemari,” kata Yasin.

2 komentar:

  1. Maaf, saya mau tanya, nama saya nur ikhsan jamaludin ibn nur hartono ibn nur rokhim ibn dalihun syihab ibn hasyim anggawi ibn nur jabat ibn abdurokhim.
    Dari garis keturunan saya banyak habaib yang mengatakan kalau saya keturunan bani abdul wahab.
    Tolong saya dikasih pencerahan, karena hati saya selalu menolak kalau saya mau percaya dengan habaib" yang saya temui.
    Mohon diberi pencerahan kalau njenengan tau nasab bani abdul wahab atau punya naqib basyaiban.
    Saya mohon diberitahu melalui email ikhsan290611@gmail.com

    BalasHapus
  2. Sayyid Sulaiman Mojo Agung Mbah Betek yang hidup era abad 18 masehi(1700-1799 masehi) itu beda dengan Sunan Mojoagung yg hidup era abad 16 (1500-1599 masehi) dikubur di cirebon

    BalasHapus

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU