Laman

Rabu, 26 Februari 2014

Sinuhun Pakubuwana I(Pertama)/Pangeran Puger adalah ayah kandung dari R.M.T.H Haroeng Binang

SINGOSAREN

Sinuhun Pakubuwana I(Pertama)/Pangeran Puger adalah ayah kandung dari R.M.T.H Haroeng Binang

RADEN BUNDANKAJAWAN / BONDAN KEJAWEN 
dari perkawinan Prabu BRAWIJAYA V dengan Puteri Wandhan Kuning gelar : Garwa ampil

R.T. Aroeng Binang I

HUBUNGAN Silsilah PAKUBOEWONO I dengan R.T.Aroeng Binang I 
Susuhunan Paku Buwono I Didalam babad trah Aroeng Binang disebut bahwa :
Jenjang urutan dari Prabu Brawijaya V.
Prabu Brawijaya V di Majapait, menurunkan putera Raja adalah :
  1. Raden Bundan Kajawan, peputra :
  2. Raden Getas Pendawa, peputra :
  3. Kiyai Ageng Selo, peputra :
  4. Kiyai Ageng Anis, peputra :
  5. Kiyai Ageng Pemanahan, peputra :
  6. Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga. menikah dengan Kanjeng Ratu Mas, menurunkan putera : 
  7. Paduka Sinuhun Prabu HANYAKRAWATI di Mataram. menurunkan putera :
  8. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, di Mataram. Menikah dengan Prameswari Kedua, adalah putri dari Panembahan Radin. (Kanjeng Ratu Wetan) menurunkan putera : 
  9. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I(pertama) atau Pangeran Puger (Kartasura) menikah dengan .........(Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana I)............menurunkan 
  10. Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa
PAMBRONTAKAN RADEN TRUNAJAYA
Semasa keuasaan pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung di Kerajaan Mataram, terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Trunajaya.
Dalam peristiwa ini Paduka Sinuhun terdesak namun dapat meloloskan diri dari Karaton, dan mengungsi sampai di Tegal. Setelah beberapa waktu lamanya di Tegal, memerintahkan kepada putranya Pangeran Puger, agar menyirnakan Raden Trunajaya.
Kehendak Sinuhun dapat terwujut dengan terbunuhnya Raden Trunojoyo di Ardi Ngantang Jawa Timur. 

Setelah Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung wafat dimakamkan di Tegal Arum, sebuah desa dekat dengan kota Tegal. Sedangkan keadaan Karaton Mataram rusak, kemudian Gusti Pangeran Puger mendirikan bangunan keraton di Kartasura, yang kemudian diberikan kepada kakak Hamangkurat Mas (Amral). 

KRATON PINDAH DATENG KARTASURA.
Yang dinobatkan Raja pertama kali adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Mas (Amral).
Kemudian Raja kedua adalah, Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet . 
Selanjutnya Paduka Sinuhun Paku Buwana I (Puger). Terhitung masih saudara muda dengan Hamangkurat Mas.

PADUKA SINUHUN
KANJENG SUSUHUNAN PRABU HAMANGKURAT MAS (AMRAL)
Dinobatkan Raja di Karaton Kartasura
Menurunkan putra putri adalah :
1. Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Kencet.
2. Pangeran Lembah.
3. Pangeran Teposono.
4. Raden Mas Garandi, Sunan Kuning, dilarkan dari isteri selir keturunan Cina.
5. Gusti Raden Ayu Dandun Matengsari. 
Paduka Sinuhun tidak menurunakan Raja. Wafat dimakamkan di  Astana Pajimatan Imogiri.

ASALSILAHIPUN PADUKA SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN HAMANGKURAT JAWA, HING KARTASURA
Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu.
Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1719. Wafat pada tahun 1727.
Menikah dengan Kanjeng Ratu Kencana, putrinipun Ki Tumenggung Tirtakusuma.
  • a. Kanjeng Sultan Demak Bintara III, menurunkan putra : 
  • b. Kanjeng Panembahan Mas, di Madiun, menurunkan putra : 
  • c. Gusti Kanjeng Ratu Retnodumilah, menikah dengan Paduka Sinuhun Panembahan Senapati di Ngalaga, menurunkan putra : 
d. Panembahan Juminah Hing Madiun, menurunkan putra : 
e. Pangeran Adipati Balitar, menurunkan putra : 
f.  Ki Tumenggung Balitar, menurunkan putra : 
g. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana I, di  Kartasura menurunkan putra : 
h. Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa di Kartasura.

Putra Putri dalem :
  1. Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro, di Kartasura.
  2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes.
  3. Gusti Raden Ayu Wiradigda.
  4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi.
  5. Gusti Pangeran Hario Pamot.
  6. Gusti Pangeran Hario Diponegoro.
  7. Gusti Pangeran Hario Danupaya.
  8. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II
  9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro.
10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, garwa Pangeran Hindranata.
11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, dewasa sedho.
12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, sedho Kali Abu.
13. Gusti Raden Mas Subronto, wafat dalam usia dewasa.
14. Gusti Pangeran Hario Buminoto.
15. Gusti Pangeran Hario Mangkubumi, Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I.
16. Sultan Dandunmatengsari, melakukan pemberontakan dan tidak berhasil.
17. Gusti Raden Ayu Megatsari.
18. Gusti Raden Ayu Purubaya.
19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat. di Sampang
20. Gusti pangeran Hario Cokronegoro. 
21. Gusti Pangeran Hario Silarong.
22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono.
23. Gusti Raden Ayu Suryawinata. di Demak.
24. Gusti Pangeran Hario Panular.
25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo.
26. Gusti Raden Mas Jaka, wafat usia muda
27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro.
28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto.
29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I.
  • Urutan putera pertama (1) Kanjeng Pangeran Hario Mangkunegoro Kartasura, menurukan putra : Raden Mas Sahit, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegara I Surakarta.
  • Urutan putera kedelapan (8), Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buawan II.
  • Urutan putera keduabelas(12) Gusti Pangeran Hario Hadiwijaya, wafat Kali Abu, menurunkan putra : Pangeran Kusumodiningrat, menurunkan putra :
  • Pangeran Hadiwijaya, mantudalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) Mangkunegoro II, angsal B.R.AJ. Sakeli, peputra :
  • Pangeran Hadiwajaya, menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Adalah putra dari Paduka Sinuhun Paku Buwana VIII. 
  • Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana IX, peputra : Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. X.
  • Urutan putera kelimabelas (15) Gusti Pangeran Hario Mangkubumi,  Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana No.1, di Yogyakarta.
ASALSILAHIPUN HINGKANG SINUHUN KANJENG SUSUHUNAN
PAKU BUWANA II, HING KARTASURA
Garis Pancer dari Trah/Keturunan Ibu.
Dinobatkan menjadi Raja pada tahun 1727. Wafat pada tahun 1749.
Pindah dan mendiami Keraton Surakarta, hari Rebo Paing,  Februari Th. 1745
Menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Mas.

a. Kalifah Husen, putranipun Syeh Madi, kamantu Hario Baribin hing Madura, peputra :
b. Sunan Nguduipg Wall Prajurit agul-agul nlgari Demak,peputra: 
c. Panembahan Kali hing Poncowati Demak, asma Panembahan Kudus,. peputra : ...
d. Pangeran Demang, peputra : 
e. Pangeran Rajungan, peputra : 
f. Pangeran Kudus, peputra : ^
g. Adipati Sumodipuro hing Pati, peputra :
h. Raden Adipati Tirtokusumo, peputra :
i. Gusti Kanjeng Ratu Kencana, Prameswari dalem Hingkang Sinuhun Hamangkurat Jawa hing Kartasura, peputra : 
j. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II. 

Putra putri dalem :
  1. Gusti Kanjeng Ratu Timur, garwanipun Pangeran Pakuningrat.,
  2. Gusti Pangeran Hario Priyombodo, dewasa sedho.
  3. Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. III.
  4. Gusti Raden Ayu Puspokusumo.
  5. Gusti Raden Ayu Puspodiningrat.
  6. Gusti Raden Ayu Kaliwungu.
  7. Gusti Raden Ayu Mangkupraja hing Demak.
  8. Gusti Raden Ayu Pringgodiningrat.
  9. Gusti Pangeran Hario Puruboyo.
10. Gusti Pangern Hario Balitar.
11. Gusti Pangern Hario Danupaya.
12. Gusti Raden Ayu Jungut.

(bhs jawa)
Pada waktu Pemerintahan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II, terjadi pembrontakan Cina, yang dipimpin Sunan Kuning (Raden Mas Garandi) adalah putradalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Mas, dari isteri selir/garwa ampil keturunan Cina.

Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II, melarikan diri mengungsi sampi di Ponorogo. Dan stelah Sunan Kuning dapat taklukan, Paduka Sinuhun kemudian memerintahakan meneliti keadaan Kraton, karena bangunan banguna di Kartosura kondisinya sudah hancur.

Banyak tempat / Bangunan yang diberi tiang penyanggah, dengan maksud agar bangunan tersebut (pagar, tembok rumah, pendapa tidak mengalami keruntuhan. Kemudian mememrintahkan punggawa Karaton Kartosuro yaitu Ki Tumenggung Harung Binang I memeriksa keadaan Kraton.

Dalam riwayat pemilihan lokasi Karaton baru adalah di Dusun Sala, sebelah timur Kartasura untuk dilaksanakan Pembangunan baru Kedaton/Karaton. Setelah jadi bangunan Kararton Sala, Paduka Sinuhun melaksanakan boyongnan pindah dengan arak-arakan secara besar besaran, Paduka Sinuhun naik Kreta Kencana Kiyai Garuda.

Rebo Paing Februari tahun 1745. Ki Tumenggung Harung Binang I, diwisuda menjadi Bupati Kebumen, nama gelar Adipati Honggowongso. Pindah ke Surakarta tahun 1745. 

Putra dalem Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Hamangkurat Jawa, Gusti Pangeran Mangkubumi nama saat usia muda Bandoro Raden Mas Sujono. Putra dari isteri selir / garwa ampeyan bernama Mas Ayu Tejawati. Setelah Raka(kakak) Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.II wafat, terjadi pemberontakan (mbalelo) Gusti Pangeran Mangkubumi.

Dalam kisah terjadi hukuman pemenggalan kepala terhadap Pahlawan Surakarta adalah Ki Ngabehi Djoyokartiko Delu Penewu Keparak Gedong Tengen.

PERJANJIAN GIYANTI WONTEN TAHUN 1735.
Dalam pemerintahan Paduka Nata hing Surakarta Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana III.
Kanjeng Pangeran Mangkubumi dinobatkan di Karaton Yogyakarta, dengan nama gelar Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana I,  Ngayogyakarta Hadiningrat.
............................................................................................
dari Silsilah diatas Hubungan Antara RMTH Haroeng Binang (Djoko Sangrib) adalah Anak Kandung dari Sinuhun Pakubuwana I(Pertama)/Pangeran Puger Semasa di Kebumen
(di Surakarta RMTH Haroeng Binang adalah Pangeran Singosari)

R.M.T.H Haroeng Binang atau dengan nama lain Djoko Sangrib atau Kenthol Surowidjoyo atau yang dikenal dengan RT. Honggowongso adalah putera Pangeran poeger, dari garwa ampeyan Selir Ingkang Sinuhun Paku Buwono I Kartosuro. 

Djoko Sangrib adalah putera Paku Buwono I sebelum jumeneng. 
Tetapi masih sebagai Pangeran Poeger atau setidak-tidaknya masa dimana beliau masih menyatakan diri sebagai Sunan Ngalogo Jenar yang berkeraton di desa Purwaganda sebelah selatan desa Jenar – Kebumen. 

Ada baiknya kami tulis disini silsilah raja-raja Mataram secara urut sampai dengan Paku Buwono I  ialah sebagai berikut : 

Jenjang urutan dari Prabu Brawijaya V.
Prabu Brawijaya V di Majapait, menurunkan putera Raja adalah :
  1. Raden Bundan Kajawan, peputra :
  2. Raden Getas Pendawa, peputra :
  3. Kiyai Ageng Selo, peputra :
  4. Kiyai Ageng Anis, peputra :
  5. Kiyai Ageng Pemanahan, peputra :
  6. Hingkang Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga. menikah dengan Kanjeng Ratu Mas, menurunkan putera : 
  7. Paduka Sinuhun Prabu HANYAKRAWATI di Mataram. (Sedo Krapyak) menurunkan putera :
  8. Paduka Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma menurunkan
  9. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, di Mataram. Menikah dengan Prameswari Kedua, adalah putri dari Panembahan Radin. (Kanjeng Ratu Wetan) menurunkan putera : 
  10. Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I(pertama) atau Pangeran Puger (Kartasura) menikah dengan .........(Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwana I)............menurunkan 
  11. Paduka Sinuhun Hamangkurat Jawa
Kerajaan Mataram dengan ibukota Plered yang semula aman dan tenteram, pada tahun 1677 diserbu oleh Trunodjoyo, putra Demang Melaja dari Madura, dengan pasukan yang amat kuat.  Sehingga keraton Plered dapat direbut dan diduduki. 

Dapat dibayangkan bahwa keraton yang menjadi ajang pertempuran menjadi rusak berat. Raja Mataram yang berkuasa waktu itu adalah Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, dan terpaksa melarikan diri dari keraton meninggalkan Plered kearah Barat (Banyumas) diantar oleh keluarga dan kedua puteranya, ialah Pangeran Adipati Anom (pewaris tahta) dan adiknya ialah Pangeran Poeger. 

Tujuan pelarian ke Barat, meskipun merupakan suatu perjalanan yang berart dan mengerikan dengan perasaan cemas karena sewaktu-waktu dapat disusul oleh laskar Trunojoyo.  Sesampainya di desa Jenar (Kebumen), rombongan baru dapat beristirahat dan Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, berkata kepada puteranya Pangeran Poeger agar tetap tinggal di Jenar untuk membentuk pasukan yang kuat dan mengadakan konsolidasi guna mempertahankan, apabila sewaktu-waktu pasukan Trunojoyo menyusul. 

Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung, sendiri diantar oleh putera mahkota Pangeran Adipati Anom meneruskan perjalanan ke Banyumas. Sesampainya di Banyumas, Sinuhun Pakubuwana I(Pertama)/Pangeran Puger sakit yang semakin lama semakin parah hingga wafat di Ajibarang dan dimakamkan di Tegalarum. 

Setelah raja wafat, maka Pangeran Adipati Anom yang semula berniat akan pergi ke Mekah tidak jadi dan menggantikan ayahandanya sebagai raja Mataram, jejuluk Sinuhun Mangkurat II Amral. 
Penobatan Sinuhun Mangkurat II Amral dilakukan di Banyumas. 

Pangeran Poeger yang berada di Jenar mendengar kalau ayahandanya wafat dan mengira kalau kakaknya (Pangeran Adipati Anom) sudah pergi ke Mekah, maka Pangeran poeger menobatkan diri sebagai Sunan Ngalogo di Jenar Kebumen. 

Tentu dari pihak kerajaan Mataram dan pihak kompeni tidak mau mengakui Pangeran Poeger sebagai Sunan, karena sudah ada rajanya yaitu Sunan Mangkurat II Amral. Pasukan Trunojoyo benar-benar menyerbu Jenar. Perang besar terjadi di desa Jogoboyo. 

Sunan Ngalogo sudah mempunyai pasukan yang kuat ditambah orang-orang Bagelen (Kebumen). Perang dapat dimenangkan oleh Pangeran Poeger dab pasukan Trunojoyo dikejar sampai wilayah Kediri. Pangeran Poeger (Sunan Ngalogo) dapat merebut kembali keraton Plered, meskipun dalam keadaan rusak berat. 

Sunan Mangkurat II Amral yang berada di banyumas waktu mendengar pasukan Trunodjoyo sudah lari sampai kediri, mengirimkan pasukannya juga untuk memburu dan menumpas yang akhirnya dapat membunuh Trunodjoyo di gunung Ngantang Malang. 

Setelah dapat menumpas Trunodjoyo dab pasukannya, maka Sinuhun Mangkurat II pulang ke jawa Tengah dan membangun keraton baru di Kartosuro (1677). 

Dengan demikian dalam satu kerajaan Mataram ada 2 rajanya (raja kembar), ialah : 
1. Amangkurat II Amral di Kartosuro dan 
2. Sunan Ngalogo(Pangeran Poeger) di Plered. 

Kedua raja tersebut berebut kekuasaan dan pecah perang hebat antara kakak beradik. Namun akhirnya Sunan Ngalogo (Pangeran Poeger) sadar, bahwa yang dimusuhi adalah kakak kandung sendiri dan menyerahlah dia kepada kakandanya Sunan Amangkurat II Amral. Oleh Mangkurat II, Pangeran Poeger beserta semua pengikutnya diperbolehkan “nderek” di keraton Kartosura dan kembali memakai nama Pangeran Poeger (nderek 1660 – 1703).  

Peristiwa menyerahnya Sunan Ngalogo kepada kakaknya Mangkurat II dijadikan tembang Dandang-Gulo “Semut Ireng, Anak-Anak Sapi” dan “Ono Wong Ngoyak Macan”. 
........................................................................................................................
Kisah Pangeran Poeger di Banyumas 
(Desa Jenar)
Pangeran Boemidirdjo
Pangeran Boemidirdjo adalah putra dari Paduka Sinuhun Prabu HANYAKRAWATI di Mataram/Panembahan Sedokrapjak (Sultan Mataram Tahun 1601-1613), merupakan saudara sekandung (adik) dari Paduka Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat Agung/Sultan Agung (memerintah Tahun 1613-1645). Sultan Agung kemudian digantikan oleh putranya yaitu Sultan Amangkurat I.

Semasa pemerintahan Sunan Amangkurat I inilah di keraton banyak terjadi kericuhan kericuhan. Berkali kali Pangeran Boemidirdjo sebagai paman memberi nasihat dan saran kepada Sunan Amangkurat I untuk mengatasi kericuhan tersebut, namun nasihat tidak dihiraukannya.

Karena merasa khawatir nanti terlibat sendiri dalam kericuhan, tersebut, Pangeran Boemidirdjo akhirnya meninggalkan keraton dan melakukan perjalanan ke arah barat. Mula mula Pangeran Boemidirdjo bertempat tinggal di Panjen dekat Kebumen sekarang, kemudian ke Lerep dan selanjutnya ke Karang (daerah Kutowinangun).

Selama masa itu, Sunan Amangkurat I mengirim utusan untuk mencari Pangeran Boemidirdjo dan mempersilakannya kembali lagi ke Kerajaan Mataram. Tetapi Pangeran Boemidirdjo tetap tidak bersedia kembali ke keraton bahkan utusan dari Mataram tersebut malah kemudian menjadi pengikut Pangeran Boemidirdjo. Setelah meninggal dunia, Pangeran Boemidirdjo dimakamkan di desa Lundong (dekat Pasarean Kebejen sekarang)

Catatan :
Dengan datangnya Pangeran Boemidirdjo, (yang kemudian akan menurunkan keluarga Aroeng Binang) di Bagelen, Mulailah sejarah leluhur Aroeng Binang terkait dengan daerah bagelen atau Kebumen. Pangeran Boemidirdjo sendiri berasal dari Kerajaan Mataram di Kartasura.

Sebagai salah satu akibat dari kegoncangan internal dalam keraton Mataram. Pada suatu ketika Trunojoyo menyerang Mataram hingga Sunan Amangkurat I terdesak dan terpaksa meninggalkan keraton dan melakukan perjalanan ke arah barat. Yang mengikuti perjalanan Sunan Amangkurat I adalah antara lain Pangeran Adi Pati Anom dan Pangeran Peoger. 

Dalam perjalanan, Sunan Amangkurat I diserang penyakit, kemudian wafat di suatu tempat di dekat desa Adjibarang sekarang. (Kab. Banyumas) Kemudian dimakamkan di Tegalarum. Sunan Amangkurat I kemudian juga terkenal dengan nama Sunan Sedo Tegalaroem. Setelah Sunan Amangkurat I wafat, Pangeran Poeger menuju kembali ke Mataram untuk menghadapi Trunojoyo. Alkisah dalam perjalanan kembali ke Mataram Pangeran Poeger singgah di kediaman Kyai Wergonoyo. 

Dikala itu, salah satu puteri Kyai Wergonoyo diambil oleh Pangeran Poeger sebagai istri. 
Dari perkawinan ini lah kemudian mendapat keturunan seorang putera yang diberi nama Djoko Sangkrip.

Tidak lama setelah itu, Pangeran Poeger meneruskan perjalanan kembali ke Mataram Pangeran Poeger ini lah yang kemudian menjadi Pakoe Boewono I. Sejak kecil Djoko Sankrip diambil sebagai
anak oleh Kyai dan Nyai Honggojodo (paman dan bibinya). 

Catatan :
Menurut versi lain,, Kyai Honggodjoedo adalah ayah kandung dari Djoko Sangkrip dan bukan ayah angkatnya.

Djoko Sangkrip (Aroeng Binang I) 
Masa Muda.

Sejak kecil, Djoko Sangkrip mempunyai semacam penyakit korengan di seluruh badan sehingga kemudian-mungkin karena merasa dijauhi oleh sanak saudaranya, mungkin agar tidak membuat malu sanak saudaranya Djoko Sangkrip sewaktu menginjak dewasa meninggalkan rumah, berkelana ke arah barat. Selama lebih kurang 13 tahun, Djoko Sangkrip mengembara sambil belajar mengaji dan semedi (bertapa). 
Dalam masa tersebut, Djoko Sangkrip mengalami beberapa peristiwa diantaranya adalah :
  1. Menjumpai sebuah beji (semacam kolam). di suatu tempat yakni bernama Kebejen (sekarang) dimana setelah merendamkan diri, penyakit kulitnya menjadi sembuh.
  2. Sewaktu belajar mengaji, di tempat Kyai Moch Yoesoep, Djoko Sangkrip berganti nama menjadi  Soerowidjojo
  3. Sewaktu bersemedi, di gua Karang Bolong (Kebumen), memperoleh sebuah cemeti (cambuk) secara tiba tiba tanpa tahu asal usulnya dan sudah ada di tangannya
  4. Ditengah hutan Maros ditemui oleh semacam bangsa Jin (makhluk halus) bernama
  5. Koembang Ali Ali. Djin Koembang Ali Ali memberikan sebuah tombak dan berpesan apabila sewaktu waktu memerlukan bantuan Soerowidjojo (Djoko Sangkrip) supaya menegakkan tombaknya di tanah, nanti Djin Koembang Ali Ali akan muncul dengan wujud seekor kera putih.
  6. Sewaktu bertapa di Beji Somagede (dikhaki bukit Bulupitoe), Soerowidjojo didatangi oleh makhluk berbadan halus bernama Nyai Boeloepitoe yang kemudian menjadi istrinya. Oleh Nyai Boeloepitoe, Soerowidjojo dianjurkan untuk kembali kepada Sunan Mataram di kertasura untuk mengabdi yang pada waktu itu dijabat oleh Pakoe Boewono II.
Catatan :
Dalam dunia mistik, Nyai Boeloepitoe ataupun bernama Nawangsasi digambarkan sebagai saudara sekandung dari Nyai Roro Kidul dan Nawangwulan (yang bersemayam di Gunung Lawu).

Setelah 13 tahun meninggalkan rumah, Soerowidjojo (Djoko Sangkrip) bertemu kembali dengan ayah angkatnya Kyai Honggojoedo. Saat itu Kyai Honggojoedo sedang mengungsi meninggalkan Kutowinangun, akibat adanya huru hara yang dipimpin oleh Demang Pekacangan.


Demang Pekacangan berhasil dikalahkan oleh Soerowidjojo, sehingga Kyai Honggojoedo dapat diboyong kembali ke Kutowinangun. Soerowidjojo kemudian menggantikan ayahnya sebagai Demang Kutowinangun.

Menghadap Sunan Mataram (Pakoe Boewono II)
Teringat pesan Nyai Boeloepitoe, Soerowidjojo mencari jalan bagaimana dapat menghadap Sunan di kertasura. Alkisah, Soerowidjojo menahan pajak dari beberapa desa dan tidak menyerahkannya
kepada petugas pemungut pajak dari Keraton Mataram. Mendengar laporan peristiwa ini Sri Sunan memerintahkan agar Soerowidjojo dihadapkan ke keraton untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Setiba di keraton, Soerowidjojo menjelaskan bahwa perbuatannya atas penahanan pajak hanya merupakan dalih untuk dapat menghadap Sri Sunan. Kebetulan sekali pada saat yang bersamaan, seorang utusan dari R.T. Joedonegoro, bupati Banyumas juga menghadap Sri Sunan. Utusan tersebut memohon bantuan Sri Sunan karena daerah Banyumas sedang dilanda kekacauan yang dipimpin oleh dua orang bersaudara berasal dari Madiun. Sri Sunan kemudian memerintahkan Soerowidjojo untuk mengamankan daerah Banyumas dengan janji apabila berhasil akan diberi pengampunan atas kesalahannya menahan pajak.

Berangkatlah Soerowidjojo disertai beberapa prajurit (pengikut) dari Kutowinangun. Di desa Sedayu, Soerowidjojo bertemu dengan R.T. Joedonegoro, kemudian keduannya segera menuju Banyumas yang sedang mengalami kekacauan. Berkat bantuan senjata senapan Narocobolo pemberian dari Nyai Boeloepitoe dan berkat bantuan Djin Koembang Ali Ali, Soerowidjojo berhasil memukul mundur dan mengalahkan pihak musuh dan berhasil menewaskan pimpinan mereka.

Atas jasa jasa tersebut, Soerowidjojo diampuni kesalahannya dan ditetapkan oleh Sri Sunan sebagai Panewu di Kartasura dan diberi nama Ngabei HONGGOWONGSO

Semasa pemerintahan Pakoeboewono II, orang orang Cina membuat huru hara dan menyerang keraton (1743-1745), Pakoeboewono II terpaksa mengungsi hingga Ponorogo. Akhirnya pemberontakan Cina dapat dipadamkan oleh Honggowongso dan Pakoeboewono II dapat kembali lagi ke keraton di
Kartasura. 
Namun ternyata keraton telah dihancurkan oleh para pemberontak Cina. Atas saran Honggowongso, letak keraton supaya dipindahkan dari Kertasura ke suatu tempat di tepi Bengawan Solo, meskipun kerabat semula menyarankan tempat keraton baru di Sonosewu, namun akhirnya saran dari Honggowongso lah yang disetujui.

Dan dibangunlah keraton baru pada tahun 1745, yang hingga sekarang masih dapat kita
lihat di kota Surakarta (Solo). Tidak lama setelah kejadian ini, Honggowongso diangkat menjadi Bupati-Wedono di Bagelen. 
Rebo Paing Februari tahun 1745. Ki Tumenggung Arung Binang I, diwisuda menjadi Bupati Kebumen, nama gelar Adipati Honggowongso. Pindah ke Surakarta tahun 1745. 

Masa Pergolakan
Pergolakan demi pergolakan di daerah Mataram sering terjadi. Sanak saudara, pangeran pangeran saling berhadapan pertentangan dan permusuhan itu kemudian terkenal dengan nama Perang Pemalihan Tanah Djawi (1747-1755). 
Tokoh tokoh yang ambil bagian dalam pergolakan tersebut antara lain adalah : 
  1. Pangeran Boeminoto, 
  2. Pangeran Soeryokoesoemo, 
  3. Pangeran Poerbojo, 
  4. Pangeran Mangkoenegoro, 
  5. Pangeran Hamengkoeboemi (yang kemudian menjadi Sunan Kabanaran) dan sejumlah pangeran lainnya.
Pada tahun 1749, Pakoeboewono II wafat, dan kemudian digantikan oleh puteranya yang memakai sebutan Pakoeboewono III. Sementara itu pergolakan dan pertentangan semakin memuncak. Ditengah masa itu Sri Sunan menganugerahkan nama kepada Honggowongso dengan nama AROENG BINANG.

Perang antar para pangeran tersebut di atas berakhir dengan dibaginya daerah Mataram menjadi dua bagian, yaitu : 

  1. Sunan Pakoeboewono III yang bertahta di Surakarta dan 
  2. Sunan Kabanaran yang bertahta di Yogyakarta yang kemudian memakai nama Sri Sultan Hamengkoeboewono I. 
Ini terjadi pada tahun 1754. Kemudian menyusulah Pangeran Mangkoenegoro yang mem peroleh kedudukannya tersendiri. Pangeran Mangkoenegoro ini juga terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo.

Masa Akhir
Menurut para ahli sejarah, Aroeng Binang beliau dikenal sebagai seseorang yang bijaksana teguh imannya, serta mahir dalam medan pertempuran.

Setelah sekian lama melakukan tugas dengan penuh ketekunan, keberanian dan penuh rasa
tanggung jawab, sehingga sering mendapatkan pujian dari Sri Sunan, pada suatu ketika
Aroeng Binang I dinilai telah melakukan suatu kesalahan dalam menjalankan roda peme-
rintahan di daerahnya. Aroeng Binang I diberhentikan dari jabatannya sebagai bupati dan diasingkan ke daerah Lodoyo (Maospati). 

Setelah beberapa lama tinggal dipengasingan, Aroeng Binang I diberi maaf oleh Sri Sunan, kemudian ditempatkan di keraton Surakarta dan diberi kedudukan di bawah Pepatih Dalem, yang turut dilibatkan dalam hal hal yang menyangkut pemerintahan.
(Temengung) Honggowonso dengan gelar AROENG BINANG sesuai yang dianugerahkan beliau mendapat tanah kemerdekaan di Surakarta di desa kamulyan (Sekarang singosaren Kemlayan - Solo)

Dalam usia yang cukup lanjut, Aroeng Binang wafat dan sesuai dengan permintaan sebelumnya, beliau dimakamkan di Kebejen, Kebumen.
Arungbinang bupati kebumen, dan Putri bungsunya
Makam Aroeng Binang I
Pesarean Aroeng Binang di Kebejen 
Kraton Suci di Puncak Pegunungan Bulupitu
Bulupitu, tempat ini merupakan suatu pegunungan di kabupaten kebumen, jawa tengah. 
Petilasan Dewi Ayu Nawangwulan berada di Bulupitu, Kutowinangun (Jawa Tengah).
Jalan menuju Bulu Pitu


Legenda Ceritera Rakyat
Cerita Jaka Sangkrib

Cerita Jaka Sangkrib menceritakan bagaimana lika-liku perjalanan hidup seorang anak Demang Kutawinangun yang bernama Jaka Sangkrib. Latar cerita ini adalah Banyumas dan Kerajaan Mataram.
Dengan mencermati cerita Jaka Sangkrib, ternyata bisa ditemukan ada beberapa aspek sosial yang di dalamnya. Aspek tersebut antara lain ketidakharmonisan antara raja dengan rakyatnya. 
Alkisah, setelah Sultan Agung wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mataram digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I. Ternyata gaya kepemimpinan Sunan Amangkurat I sangat bertolak belakang dengan ayahandanya. Sultan Agung dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana dan sangat perhatian kepada nasib rakyatnya. Akan tetapi tidak demikian adanya dengan puteranya. Sunan Amangkurat I memerintah dengan kurang bijaksana, keras, dan kurang memperhatikan nasib rakyatnya, bahkan tidak jarak raja bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya. Amangkurat I juga dikenal sebagai raja yang pro atau mendukung dengan VOC.

Selain hal tersebut, intrik-intrik perebutan wanita juga mewarnai cerita kehidupan di dalam kerjaan. Intrik ini terjadi antara Amangkurat I dan puteranya Pangeran Anom yang saling memperebutkan Roro Oyi. Selain konflik perebutan perempuan, intrik lain yang terjadi adalah pembunuhan terhadap Pangeran Alit, adik kandungnya sendiri, karena ia menentang hubungan kakaknya dengan VOC. Ia bahkan bersumpah siapa saja yang menentang kebijakannya akan dibunuh dan dibinasakan.

Oleh karena sifatnya yang demikian itu, mengakibatkan ia tidak disukai oleh rakyat serta sebagian punggawa-punggawa keraton, termasuk dari pamannya sendiri. Masyarakat Mataram kurang simpatik terhadapnya. Hal ini berdampak pada ada banyak warga dan punggawa yang mbalela dan pergi meninggalkan Mataram. Dalam cerita tersebut diceritakan Pangeran Bumidirja—yaitu paman Amangkurat I—pergi meninggalkan kerajaan karena ia telah memperingatkan berkali-kali perihal sikap dan tindakannya itu, tetapi tidak pernah dihiraukan. Akhirnya Pangeran Bumidirja pergi meninggalkan Mataram. 
Dari sanalah cerita Jaka Sangkrib lahir.
Setelah Sultan Agung wafat, tahta kerajaan Mataram digantikan oleh puteranya yang bernama Sunan Amangkurat I. Raja Baru itu ternyata kurang bijaksana dalam menjalankan tampuk pemerintahan. Pamannya, Pangeran Bumidirja seringkali memperingkatkan agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Namun nasihat itu sama sekali tidak dihiraukannya.

Pada suatu hari, Pangeran Bumidirja memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Ia mengembara sampai ke daerah Bagelen dan akhirnya menetap di daerah Panjer. 
Di daerah baru itu Pangeran Bumidirja hidup sebagai petani. Agar tidak mudah dikenali ia mengganti namanya menjadi Kyai Bumi.
Kyai Bumi menetap di daerah tersebut hingga akhir hayatnya. Makamnya dikenal dengan Makam Pangeran Bumidirja. Adapun Udakara dan Surakarti dimakamkan berbeda tempat akan tetapi masih dalam satu wilayah yang kini masuk dalam wilayah desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun.

Keturunan Kyai Bumi
Kyai Bumi memiliki empat orang anak yakni Kyai Gusti, Kyai Bagus, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Setelah wafatnya Kyai Bumi, yang menggantikan sebagai sesepuh di daerah tersebut adalah Kyai Bekel. Kemudian diteruskan oleh putra Kyai Bekel yang bernama Kyai Ragil. Sepeninggal Kyai Ragil, sesepuh digantikan oleh anaknya  yang bernama Hanggayuda yang kemudian menjadi Demang Kutowinangun.
Makam Cungkup Petilasan Kyai Bumi/Pangeran Bumidirja
desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun kabupaten Kebumen
..............................
Selain aspek-aspek sosiologis di atas, aspek lain yang diceritakan dalam cerita Jaka Sangkrib adalah kisah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Banyumas, yaitu antara anggota masyarakat dengan Jaka Sangkrib. Bukan hanya itu, tetapi juga saudara-saudara dan orang tua Jaka Sangkrib dengan Jaka Sangkrib. 
.............................
Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa Jaka Sangkrib sejak kecil telah menderita penyakit gudig yang teramat parah. Oleh karena penyakitnya itu, akhirnya sekujur tubuh Jaka Sangkrib terlihat sangat menjijikan serta menimbulkan bau amis. Dengan kondisi ini, akhirnya seluruh warga masyarakat Kademangan Kutawinangun menjauhinya. Tidak ada yang mau bergaul dengannya. Jangankan bergaul, mendekat saja tidak mau. Semua memandang jijik kepada Jaka Sangkrib. Demikianlah, Jaka Sangkrib menjadi terkucilkan.

Itulah peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Banyumas kala itu. Oleh karena penyakit yang diderita oleh salah satu anggota masyarakat, justru menjadikan dirinya dikucilkan dari pergaulan. 

Selain anggota masyarakat sekitar, dalam cerita tersebut juga dikisahkan bahwa keluarganya atau saudara-saudaranya juga ikut mengucilkan Jaka Sangkrib. Bahkan orang tuanya sendiri sikapnya menjadi berubah kepadanya. Orang tuanya kurang memperhatikan Jaka Sangkrib.
......................….
Masa kecil Jaka Sangkrib berlalu dengan tidak menyenangkan. Sekujur badannya dipenuhi gudig yang sangat menjijikan. Oleh karena itu kemudian ia dijuluki Jaka Gudig. Bau amis yang keluar dari tubuhnya membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan. Tidak seorang pun yang mau mendekati. Begitu juga saudara-saudaranya memandang jijik kepadanya. Orang tuanya pun kurang memperhatikannya. Hal itu membuat Jaka Gudig merasa sedih dan hampir putus asa.
…........................
Penyakit yang dialami Jaka Sangkrib yang tak kunjung sembuh, apalagi ditambah dengan sikap saudara-saudaranya, sikap orang tuanya, sampai dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadapnya yang terus memandang jijik dan mengucilkannya tentu menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Hal itulah yang membuat dirinya sedih dan hampir putus asa.

Cerita ini memberikan gambaran kepada kita bahwa permasalahan sosial, seperti budaya mencibir, mencemooh, sampai dengan mengucilkan orang-orang yang tidak mereka sukai—karena adanya sebab tertentu—juga telah terjadi pada masyarakat Banyumas pada saat itu. 

Legenda (cerita rakyat) Jaka Sangkrib memberikan gambaran kepada kita bahwa aspek-aspek sosial kemasyarakatan semacam ini telah terjadi sejak masa silam.
Nilai Budaya dalam Cerita Jaka Sangkrib
a) Tidak Pendendam
Pada legenda Jaka Sangkrib diceritakan bahwa oleh karena sikap dan perlakuan saudara, orang tua dan para tetangganya sempat akan membuat dirinya putus asa. Penyakit gudig yang tak kunjung sembuh dan berdampak pada dikucilkannya dirinya dari pergaulan membuat dirinya sedih dan bahkan hampir putus asa. Namun demikian, tak sedikitpun tergambar rasa dendam dalam diri Jaka Sangkrib dicertakan di sana. Hal yang ia lakukan adalah pergi meninggalkan keluarga dan kampung halamannya dengan tujuan menghidari cemoohan dan perlakuan tidak enak yang terus bertubi-tubi menimpanya. Ia pergi dengan tujuan menghindari orang-orang yang tidak suka dan jijik pada keadaanya saat itu.
Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan cerita berikut.

….
Sekujur badannya dipenuhi gudig yang sangat menjijikan. Oleh karena itu kemudian ia dijuluki Jaka Gudig. Bau amis yang keluar dari tubuhnya membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan. Tidak seorang pun yang mau mendekati. Begitu juga saudara-saudaranya memandang jijik kepadanya. Orang tuanya pun kurang memperhatikannya. Hal itu membuat Jaka Gudig merasa sedih dan hampir putus asa.

Pada suatu malam sunyi senyap membulatkan tekadnya, ia akan pergi entah kemana, meninggalkan rumah dan kampung halamannya. Ia merasa sudah tidak ada gunanya lagi berada di rumahnya. Tidak ada seorang pun yang mengetahu saat kepergiannya. Ia masuk ke hutan lebat, menuruni tebing yang curam dan mendaki lereng yang penuh semak berduri. Ia sengaja tidak membawa bekal apapun dari rumah. ”Biarlah aku mati kelaparan atau dimangsa oleh binatang buas.” begitu lah pikirnya.
….

Pada penggalan cerita di atas, meskipun Jaka Sangkrib memutuskan pergi oleh karena keputus-asaannya, tidak terlihat adanya sikap yang menggambarkan dendam baik kepada saudaranya atapun kepada masyarakat di sekitarnya yang telah mencemooh, mencibir, dan mengucilkannya. Hal ini tentu memberikan gambaran kepada kita bahwa Jaka Sangkrib memiliki hati yang mulia dan tidak pendendam.

b) Kemauan untuk Berguru dan Bertapa
Berguru dan bertapa adalah salah satu cara untuk mencari pengalaman, pengetahuan, dan membentuk kuatan jiwa atau batin. Dengan berguru kita dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang tentunya dapat memperkaya wawasan. Dengan semakin kaya wawasan, maka akan bisa mempengaruhi kematangan jiwa. Sedangkan bertapa, oleh orang-orang dulu—nenek moyang kita—digunakan sebagai sarana atau cara untuk meditasi, dan menjalani lakon-lakon demi memperoleh sesuatu yang ia inginkan. Dengan bertapa ia akan mendapatkanpengalaman spiritual tersendiri.

Kegiatan berguru dan bertapa juga telah dilakukan oleh masyarakat Banyumas, seperti yang terdapat dalam legenda Jaka Sangkrib. Dalam cerita Jaka Sangkrib diceritakan bahwa Jaka Sangkrib melakukan bertapa sampai dengan berkali-kali. Tapa yang dilakukan pertama adalah yang dilakukan di bawah pohon Benda, di sebuah hutan lebat yang ia lewati. Dalam tapa ini Jaka Sangkrib sampai berpuluh-puluh hari. Di sana diceritakan pada hari yang ke-30, ia dibangunkan oleh seorang wanita. Berikut penggalan ceritanya.

….
Surawijaya memasuki hutan lain yang berlum pernah dijamahnya. Ia di sana berhari-hari lamanya. Pada suatu hari, ia berhenti di bawah sebuah pohon. Pohon benda ndamanya. Surawijaya kemudian bertapa di bawahnya. Pada hari yang ke tiga puluh lima, ia dibangunkan oleh seseorang yang mengaku dirinya bernama Nalagati. ….

Dari cuplikan kisah tersebut terlihat betapa ia bertapa sampai berhari-hari. Bahkan yang membangunkan tapanya bukanlah dari dalam dirinya, tetapi orang lain—dalam kisahnya disebutkan seorang wanita bernama Nalagati yang bermaksud untuk meminta bantuan Jaka Sangkrib untuk mengobati keluarganya.
Tapa yang dilakukan oleh Jaka Sangkrib tidak hanya sekali itu. Setelah selesai dengan tapa yang pertama kemudia ia melanjutkan perjalanan dan melakukan tapa kembali di tempat yang berbeda-beda sampai beberapa kali. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan cerita berikut.
….
Kemudian Surawaijaya melanjutkan pengembaraannya. Ia makukan tapa lagi di tempat yang berbeda-beda. Tempat-tempat yang telah di datangi Surawijaya untuk bertapa adalah sebuah gua di daerah Menganti, Hutan Maos, Gunung Brencong, dan bukit Bulupitu didaerah Kutawinangun.
….
Bertapa ia gunakan sebagai sarana untuk mencari pengalaman-pengalaman batin, mengolah batin atau jiwa, ataupun sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq atau Tuhan. Dengan bertapa kepekaan dan kematangan batin menjadi lebih terbentuk.. Orang dapat menyadari hakikat dirinya sebagai seorang makhluk, sosial dan individual.

Selain melakukan tapa, di dalam cerita tersebut juga dikisahkan kalau Jaka Sangkrib (waktu itu mengganti namanya dengan Surawijaya untuk menyamar) juga mencari pengalaman dengan berguru kepada seorang kyai. Diceritakan bahwa ia berguru pada seorang kyai pimpinan sebuah pondok pesantren yang ada di desa Bojongsari Kebumen, Kyai Amad Yusuf namanya. Dari berguru kepada Kyai Amad Yusuf inilah kemudian Jaka Sangkrib mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman, serta ilmu olah kanuragan.
….
Surawijaya selain melakukan tapa juga mencari pengalaman di pondok pesantren. Ia berguru pada Kyai Amad Yusuf dari desa Bojongsari Kebumen.
….
Dengan bekal keilmuan, pengetahuan, dan pengalamannya itulah akhirnya Jaka Sangkrib disuruh oleh Kyai Amad Yusuf untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit di kerajaan Mataram.

c) Sikap Sopan dan Baik Hati
Jaka Sangkrib diakui sebagai orang baik dan sopan. Salah satu kisah yang menggambarkan hal ini dalam cerita tersebut adalah dari sikap Kyai Amad Yusuf—guru Jaka Sangkrib (pada saat itu Jaka Sangkrib masih menyamar dengan mengganti nama menjadi Surawijaya)—yang sangat menyayangi Jaka Sangkrib dikarenakan sikap Jaka Sangkrib yang sopan, baik, dan sayang pada teman-temannya serta sangat hormat kepada gurunya.
Hal tersebut bisa diketahui dari kutipan berikut.
….
Surawijaya selain melakukan tapa juga mencari pengalaman di pondok pesantren. Ia berguru pada Kyai Amad Yusuf dari desa Bojongsari Kebumen. Kyai tersebut terkenal sebagai seorang yang pandi dan arif. Surawaijaya diterima sebagai murid di pondok pesantren tersebut. Bahkan ia amat disayangi oleh Kyai Amad Yusuf. Kecuali karena kecerdasannya yang melebihi murid-murid lainnya, juga karena kesopanannya.
….
Selain pada kisah tersebut tersebut, kebaikan hati Jaka Sangkrib juga dibuktikan dengan kesediaannya menggugurkan atau menghentikan tapanya dan bersedia mengabulkan permohonan Nalagati (wanita yang membangunkannya dari bertapa) yaitu untuk menolong keluarganya yang sedang tertipa musibah, terkena penyakit lumpuh.

…. Surawijaya kemudian bertapa di bawahnya. Pada hari yang ke tiga puluh lima, ia dibangunkan oleh seseorang yang mengaku dirinya bernama Nalagati. Nalagati memohon kesediaan Surawijaya untuk mengobati keluarganya yang menderita lumpuh…. Ternyata benar, Surawijaya dapat menjadi perantara sembuhnya penyakit lumpuh yang diderita oleh keluarga Nalagati.
….
Dari penggalan kisah tersebut, tersirat bahwa Surawijaya (alias Jaka Sangkrib) bersedia membantu menolong keluarga Nalagati yang menderita kelumpuhan, sampai akhirnya keluarga Nalagati dapat disembuhkan dengan perantara Jaka Sangkrib.

d) Keberanian Menumpas Pemberontakan
Jaka Sangkrib dikenal sebagai sosok yang pemberani. Keberaniannya dapat dilihat salah satunya adalah pada saat Kademangan Kutawinangun mendapat gempuran dari Kademangan Pekacangan. Pada saat itu, Demang Hanggayuda—yaitu Demang Kutawinangun—kewalahan menghadapi serangan musuh. Akhirnya Demang Hanggayuda melarikan diri untuk menyelamatkan diri. Pada saat kondisi semakin genting, Surawijaya (Jaka Sangkrib sendiri) muncul dan dengan gagah berani menerjang dan menerobos prajurit-prajurit dari Kademangan Pekacangan. Prajurit-prajurit tersebut tumbang satu persatu, hingga akhirnya Surawijaya telah berhadapan dengan Demang Pragirawati, yaitu Demang Pekacangan. Selanjutnya terjadi pertarungan sengit antara keduanya. Tanpa ada rasa gentar sedikitpun, Surawijaya terus menyerang Pragirawati. Akhir dari pertarungan itu adalah Pragirawati melarikan diri karena merasa terdesak dan tak kuat menandingi kekuatan Surawijaya. Berikut kutipan ceritanya.

….
Demang Hanggayuda dari Kutawinangun merasa tidak kuasa menahan gempuran dari Kademangan Pekacangan. Demang Hanggayuda terpaksa menyingkir ke lembah Ngabehan untuk menyelamatkan diri. Demi mengetahui peristiwa tersebut, Surawijaya bergegas datang ke Kutawinangun. Ia dengan gagah berani menerjang prajurit-prajurit andalan dari Kademangan Pekacangan. Akhirnya ia berhadapan langsung dengan Demang Prawiragati. Keduanya lalu terlibat dalam pertarungan sengit, masing-masing mengeluarkan jurus-jurus mematikan yang dimiliki. Namun, akhirnya Surawijaya berhasil mengalahkan lawanya. Demang Prawiragati terpaksa melarikan diri dari arena pertempuran.
….

Bukti keberanian lain yang dimiliki oleh Surawijaya (Jaka Sangkrib) adalah pada saat ia menghadapi pasukannya Supena dan Suratma yang berusaha memberontak Banyumas. Dengan kemampuan olah kanuragan yang dimiliki dan tekad keberanian yang ada ia tak gentar menghadapi lawan. Akhirnya ia pun berhasil menumpas pemberontak, dan mengakhiri kemelut yang tengah terjadi di bumi Banyumas. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

…. Dengan mantap ia berangkat ke Banyumas. Akhirnya ia berhasil meringkus Supena dan Suratma. Jaka Sangkrib kemudian diampuni kesalahannya, dibebaskan dari hukuman, dan diangkat menjadi pegawai kerajaan dengan pangkat Mantri Gladag.
….

e) Sikap Menghormati Leluhur
Jaka Sangkrib selain sosok yang baik hati, sopan, dan pemberani, ia juga dikenal sebagai orang yang sangat menghargai leluhurnya.

…. Jaka Sangkrib kemudian diampuni kesalahannya, dibebaskan dari hukuman, dan diangkat menjadi pegawai kerajaan dengan pangkat Mantri Gladag. Ia kemudian bergelar Kyai Hanggawangsa. Meskipun telah menjadi pegawai kerajaan, ia tidak mau menetap di Surakarta, tetapi memilih tinggal di Kutawinangun sebagai tempat kelahirannya.
Jaka Sangkrib atau yang juga dikenal sebagai Tumenggung Arungbinang I adalah orang yang dikenal sangat menghormati leluhurnya. 

Dari penggalan cerita tersebut dapat diketahui bahwa Jaka Sangkrib—yang kemudian bergelar Kyai Hanggawangsa setelah pengangkatannya sebagai Mantri Gladag di Kerajaan Mataram—tidak mau menetap di wilayah Kerajaan Mataram, yaitu di wilayah Surakarta. Akan tetapi ia memilih untuk tinggal di Kutawinangun sebagai tanah kelahirannya. Atas sifatnya itu ia kemudian dijuluki Kyai Bumi. Begitulah akhirnya wilayah tinggalnya diberi nama Kebumian. Dari sanalah kemudian menjadi Kebumen.

Konon dulunya bulupitu bukan merupakan suatu pegunungan, masih berbentuk dataran dan hutan. Namun ada seorang ayah yang membuang anaknya yang bernama joko sangkrib, joko sangkrib hanya dibekali sebuah blangkon milik ayahnya dan satu buah tongkat untuk membantu berjalan. 

Untuk anda yang suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dan ingin mengunjungi kraton suci bulupitu tersebut bisa datang langsung ke kota kebumen. Mayoritas orang kebumen sudah tahu tentang adanya kraton tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU