Khasanah Jawa
Penjaga Gaib : Kaki Nini Cikal Bakal, Mbaurekso atau Pepunden ?
Penjaga Gaib : Kaki Nini Cikal Bakal, Mbaurekso atau Pepunden ?
Terkait dengan kepercayaan masyarakat Jawa yang menyatakan bahwa tempat-tempat tertentu di muka bumi ini pastilah ada yang menjadi penjaganya (gaib).
Tentu saja para penjaga gaib itu akan bertugas sesuai dengan otoritas dan wewenangnya di wilayahnya masing-masing. Dan untuk mereka, masyarakat Jawa memberi sebutan dengan istilah : Kaki Nini Cikal Bakal, Mbaurekso atau Pepunden.
Cikal bakal = adalah orang (sesepuh) yg mula-mula mendirikan desa atau negara; pendiri (arti)
orang yg menurunkan; nenek moyang kita dari genetika (leluhur)
Pemahaman tentang mbaurekso....?
mbaurekso = menunggui, penunggu, menguasai
“Sing Baurekso” (baca: seng mbaurekso), dalam bahasa jawa artinya “yang berkuasa” dan biasanya untuk di pakai sebagai julukan arwah penunggu atau arwah leluhur dan khodam.
(termasuk :Mustika dan Benda Ghoib)
Pemahaman tentang Pepunden....?
pe·pun·den /pepundén/ Jawa mengandung pengertian sebagai beriku :
Tokoh yang istimewa yang menjadikan desa itu mewujud, ter-‘baptis’-kan sebagai tokoh pujaan bagi warga masyarakat yang bersangkutan.
Dari konsep junjungan / pujaan itulah kemudian lahir pemahaman bersama mengenai punden, yakni suatu tokoh yang dijadikan pepundian (pujaan) semi sakral yang oleh generasi sesudahnya dipahami berada dalam ruang istirah tertentu yang disebut makam.
Dari pemahaman demikian, maka sang tokoh (pujaan) , yang berada dalam tempat istirah (makam) itulah pepunden yang diingat dan yang dipuja sebagai protektor bagi warganya. Sebagai protektor maka pepunden tidaklah “mati” tetapi ia ada dalam alam yang berbeda. Oleh karena dipersepsi demikian maka sesungguhnya antara warga masyarakat itu dengan pepundennya, dapat melakukan hubungan-hubungan simbolik.
Pepunden atau Makam
Dalam kesadaran orang Jawa tentang “ruang”, makam atau punden adalah ruang sakral (lawannya: profan) dan keramat. Konsep “keramat” di sini berarti tempat yang dimuliakan dan oleh karena itu di seputar tempat makam itu, orang tidak bisa bertindak seenaknya kalau tidak ingin dirinya terkena afadz (celaka, apes, nasib buruk).
Pepunden sangat dikeramatkan oleh folknya. Ini menjelaskan bahwa makam yang dijadikan pepunden adalah makam dalam pengertian yang sangat khusus yaitu tempat para tokoh yang memiliki kesaktian-kesaktian dalam hidupnya, dan juga memberi nilai kemanfaatan terutama bagi masyarakat yang hidup sejamannya.
Karunia Illahi
Seperti halnya manusia yang merupakan khalifah Allah di muka bumi. Khalifah dalam hal ini memiliki arti makna yang luas. Selain sebagai penjaga, di suatu tempat khalifah juga memiliki otoritas serta kewenangan tertentu. Misal para Raja, Sultan, Ratu. Dan sosok gaib yang membawahi suatu wilayah, tentu saja merupakan karunia Sang Pencipta guna menjaga keseimbangan bumi ciptaan-Nya.
Kita harus sadar antara do’a dan tradisi memiliki ikatan yang erat bahkan seperti dua mata pedang yang tidak bisa di pisahkan. Betapa tidak, tradisi atau tata cara merupakan suatu ‘kendaraan’ untuk sampainya suatu keinginan dalam memohon. Sementara kesakralan dapat di jadikan sebagai kekusyukan kita dalam berdo’a.
Karenanya, tradisi ritual merupakan tradisi sacral yang tidak boleh di tinggalkan. Terlebih pada masyarakat Jawa, karena hal demikian dapat menciptakan suatu keseimbangan baik bagi manusia selaku jagad cilik maupun alam yang merupakan jagad raya atau jagad besar yang kesemuanya itu sudah di titipkan oleh sang maha kuasa kepada manusia dan mahluk lain sebagai penghuni alam ini.
Ini sudah menjadi suatu hal yang jelas, dimana Tuhan sang maha pencipta yang juga maha kuasa telah menitipkan atau memberi kuasa untuk meruat dan merawat segala isi bumi kepada para penghuninya. Manusia salah satu penghuni bumi yang memiliki akal dan budi pekerti, tentu memiliki tradisi atau tata cara dalam meruwat dan merawat alam ini.
kita tidak boleh meninggalkan adat, budaya dan tradisi yang sudah ada sebelum kita lahir. Karena hal tersebut merupakan ‘kitab tak tertulis’ yang patut di jaga dan dilestarikan.
“Ingat, sejarah masa lalu sangat menentukan peristiwa masa kini dan masa datang’. Demikian pula bencana alam yang terjadi, jelas terkait dengan peristiwa masa lalu dan perjanjian-perjanjian sakral yang dilakukan oleh para pendahulu kita.
Seperti halnya perjanjian antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati sebagai ihwal berdirinya Kerajaan Mataram. Pada intinya Kanjeng Ratu Kidul mengiyakan berdirinya kerajaan Mataram Islam Namun harus berkulitkan jawa dalam artian tidak meninggalkan adat dan tradisi yang sudah ada.
Dengan kata lain, Pembauran antara Islam dengan jawa harus berupa proses akulturasi sehingga adat atau tradisi yang sudah ada tidak kehilangan akar oleh peradaban yang baru. Sementara saat ini cenderung kepada peristiwa asimilasi yang berupaya mencabut akar yang sudah ada sebelumnya.
Demikian pula dialog yang terjadi antara Sabdopalon dan Syaikh Subakir yang pada akhirnya tercipta kesepakatan bahwa tanah jawa (sepenuhnya) akan dikembalikan setelah 500 tahun berlalu. Peristiwa dialog antara ‘tokoh’ Majapahit dan tokoh Islam tersebut terjadi di saat transisi Kerajaan Majapahit - Demak.
Seperti telah tersurat dan tersirat di dalam salah satu bagian Serat Jangka Jayabaya tertulis :
pada suatu masa, Pulau Jawa seperti kapal tua yang bocor di tengahnya, kemasukan air.
Sekarang = Periode Akhir Jaman Kalabendu ?
Jika dibaca dengan teliti apa yang tersurat di dalam Kitab Jangka Jayabaya Pranitiwakya, gubahan paling akhir pada masa hidup pujangga Raden Ngabei Ranggawarsita yang berhasil dihimpun oleh Raden Tanoyo, negara ini tengah memasuki periode akhir dari jaman Kala Bendu.
Ciri-ciri Jaman Kalabendu ?
Hal ini tampak dengan jelas dari ciri-ciri Jaman Kalabendu, yaitu : pajak makin tinggi, para kalangan atas politik hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya, banyak orang makin miskin, banyak wanita kehilangan rasa malu, hujan sering turun diluar musim semestinya, banyak bencana alam dan masih banyak lagi.
Alam Sedang Melakukan Penyaringan ?
Kita tengah memasuki akhir dari jaman Kala Bendu. Dan akan mulai memasuki zaman Sultan Herucakra (Ratu tedaking Sultan Herucakra). Dengan caranya sendiri, alam sedang melakukan penyaringan. Hal ini tidak dapat ditolak.
Hasilnya adalah sebagaimana diisyaratkan, "Wong Jawa kari separo, Wong Cina lan Londo tinggal sak jodo".
NB : ini adalah kiasan atau sanepan menurut kami. Sanepan adalah multi tafsir atau memiliki banyak penafsiran. Dari salah satu artikel lain, kami menemukan arti Wong Jawa = kari separo bukan berarti jumlah penduduk Jawa musnah tinggal separuh, tetapi orang Jawa tinggal memiliki separuh bagian sisi manusianya yaitu sisi materi. Sisi materi artinya aspek materi duniawi menjadi menjadi tolok ukur satu-satunya. Sisi separuh yang lain telah hilang. Sisi itu adalah aspek spiritual dan budaya. Sudah banyak yang melupakan spiritual dan budaya dengan berbagai alasan. Semua orang sibuk mengejar aspek materi duniawi belaka.
Wong Jowo kari separo
Banyak tafsir memang dalam mengartikan sandi sastra "wong jowo kari separo"
Manuso kuwi ewuh ayaning pambudi. jejer jowo piadege monco, wiji ninggal wrangkane. modho modho ageman aji kang klarah awiya nepi ing punjere.
jati wisesame datan nate kepanggih, kebondho angen angen sesebatan suci kang adoh mring sangkan parane dhat.
Krisis Moral ?
Saat ini, disadari ataupun tidak, bangsa ini tengah mengalami krisis luar biasa besar. Krisis yang dimaksud adalah krisis moral. Krisis moral ini terlihat dari banyaknya korupsi di seluruh lapisan sosial masyarakat. Hilangnya rasa memegang amanah. Bangsa ini telah melupakan budaya nya. Salah satunya adalah wewarah Sastra Jendra Hayuningrat. Padahal budaya ini dapat membuat Memayu Hayuning Bawana dan ikut menciptakan kedamaian dunia.
Kejujuran Yang Hilang ? Serat Kalatida ?
Selain hilangnya konsep memelihara dan menjaga amanah serta merajalelanya korupsi, masih ada hal lain. Hal itu adalah hilangnya kejujuran pada sebagian masyarakat. Aspek ini jauh hari sebelumnya telah diramalkan juga.
Tertulis dalam Serat Kalatida yang berbunyi : "Sabegja bejane wong kang lali, luwih begja kang eling lan waspodo". Terjemahan bebasnya : seuntung-untungnya orang yang lupa, lebih beruntung yang selalu ingat dan waspada.
Kesimpulan :
Kegagalan manusia dalam menciptakan kehidupan rukun damai karena berebut kebenaran.
Benar dan salah bersifat dualistis, tidak memiliki titik temu. Masalahnya kebenaran selalu disertai atau berimpit dengan keberpihakan. Kebenaran tidak berdiri sendiri. selalu merujuk pada Hukum, syariat, adat dan sebagainya. kebenaran tidak berlaku universal yang dapat diterima oleh orang seluruh dunia.
Demi kebenaran banyak orang meninggalkan budi pekerti luhur yang seharusnua dijunjung tinggi. Demi kebenaran ternyata justru banyak orang memberhalakan kebenaran.
Terkait dengan kepercayaan masyarakat Jawa yang menyatakan bahwa tempat-tempat tertentu di muka bumi ini pastilah ada yang menjadi penjaganya (gaib).
Tentu saja para penjaga gaib itu akan bertugas sesuai dengan otoritas dan wewenangnya di wilayahnya masing-masing. Dan untuk mereka, masyarakat Jawa memberi sebutan dengan istilah : Kaki Nini Cikal Bakal, Mbaurekso atau Pepunden.
Pemahaman tentang Kaki Nini....?
Berasal dari kata “Kaki dan Nini”. Kaki dan Nini dalam bahasa Jawa artinya adalah sebutan untuk orang yang sudah tua.
Kalau dalam dunia pewayangan seorang pendeta sepuh menyebut “kaki prabu” kepada raja yang lebih muda usia, berarti pendeta tersebut menghormati sang raja. Walaupun muda, tetapi dituakan). Orang disebut “Kaki” tidak sekedar sebagai sebutan untuk orang yang jauh lebih tua atau dituakan, tetapi juga dianggap jauh lebih pandai.
- Kaki = Sebutan untuk orang yang jauh lebih tua (lelaki) atau dituakan, tetapi juga dianggap jauh lebih pandai.
- Nini = Sebutan untuk orang yang jauh lebih tua (wanita) atau dituakan, tetapi juga dianggap jauh lebih pandai.
Cikal bakal = adalah orang (sesepuh) yg mula-mula mendirikan desa atau negara; pendiri (arti)
orang yg menurunkan; nenek moyang kita dari genetika (leluhur)
Pemahaman tentang mbaurekso....?
mbaurekso = menunggui, penunggu, menguasai
“Sing Baurekso” (baca: seng mbaurekso), dalam bahasa jawa artinya “yang berkuasa” dan biasanya untuk di pakai sebagai julukan arwah penunggu atau arwah leluhur dan khodam.
(termasuk :Mustika dan Benda Ghoib)
Pemahaman tentang Pepunden....?
pe·pun·den /pepundén/ Jawa mengandung pengertian sebagai beriku :
- Jjunjungan; pujaan;
- Sesuatu yg dihormati sekali
Tokoh yang istimewa yang menjadikan desa itu mewujud, ter-‘baptis’-kan sebagai tokoh pujaan bagi warga masyarakat yang bersangkutan.
Dari konsep junjungan / pujaan itulah kemudian lahir pemahaman bersama mengenai punden, yakni suatu tokoh yang dijadikan pepundian (pujaan) semi sakral yang oleh generasi sesudahnya dipahami berada dalam ruang istirah tertentu yang disebut makam.
Dari pemahaman demikian, maka sang tokoh (pujaan) , yang berada dalam tempat istirah (makam) itulah pepunden yang diingat dan yang dipuja sebagai protektor bagi warganya. Sebagai protektor maka pepunden tidaklah “mati” tetapi ia ada dalam alam yang berbeda. Oleh karena dipersepsi demikian maka sesungguhnya antara warga masyarakat itu dengan pepundennya, dapat melakukan hubungan-hubungan simbolik.
Pepunden atau Makam
Dalam kesadaran orang Jawa tentang “ruang”, makam atau punden adalah ruang sakral (lawannya: profan) dan keramat. Konsep “keramat” di sini berarti tempat yang dimuliakan dan oleh karena itu di seputar tempat makam itu, orang tidak bisa bertindak seenaknya kalau tidak ingin dirinya terkena afadz (celaka, apes, nasib buruk).
Pepunden sangat dikeramatkan oleh folknya. Ini menjelaskan bahwa makam yang dijadikan pepunden adalah makam dalam pengertian yang sangat khusus yaitu tempat para tokoh yang memiliki kesaktian-kesaktian dalam hidupnya, dan juga memberi nilai kemanfaatan terutama bagi masyarakat yang hidup sejamannya.
Karunia Illahi
Seperti halnya manusia yang merupakan khalifah Allah di muka bumi. Khalifah dalam hal ini memiliki arti makna yang luas. Selain sebagai penjaga, di suatu tempat khalifah juga memiliki otoritas serta kewenangan tertentu. Misal para Raja, Sultan, Ratu. Dan sosok gaib yang membawahi suatu wilayah, tentu saja merupakan karunia Sang Pencipta guna menjaga keseimbangan bumi ciptaan-Nya.
Kita harus sadar antara do’a dan tradisi memiliki ikatan yang erat bahkan seperti dua mata pedang yang tidak bisa di pisahkan. Betapa tidak, tradisi atau tata cara merupakan suatu ‘kendaraan’ untuk sampainya suatu keinginan dalam memohon. Sementara kesakralan dapat di jadikan sebagai kekusyukan kita dalam berdo’a.
Karenanya, tradisi ritual merupakan tradisi sacral yang tidak boleh di tinggalkan. Terlebih pada masyarakat Jawa, karena hal demikian dapat menciptakan suatu keseimbangan baik bagi manusia selaku jagad cilik maupun alam yang merupakan jagad raya atau jagad besar yang kesemuanya itu sudah di titipkan oleh sang maha kuasa kepada manusia dan mahluk lain sebagai penghuni alam ini.
Ini sudah menjadi suatu hal yang jelas, dimana Tuhan sang maha pencipta yang juga maha kuasa telah menitipkan atau memberi kuasa untuk meruat dan merawat segala isi bumi kepada para penghuninya. Manusia salah satu penghuni bumi yang memiliki akal dan budi pekerti, tentu memiliki tradisi atau tata cara dalam meruwat dan merawat alam ini.
kita tidak boleh meninggalkan adat, budaya dan tradisi yang sudah ada sebelum kita lahir. Karena hal tersebut merupakan ‘kitab tak tertulis’ yang patut di jaga dan dilestarikan.
“Ingat, sejarah masa lalu sangat menentukan peristiwa masa kini dan masa datang’. Demikian pula bencana alam yang terjadi, jelas terkait dengan peristiwa masa lalu dan perjanjian-perjanjian sakral yang dilakukan oleh para pendahulu kita.
Seperti halnya perjanjian antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati sebagai ihwal berdirinya Kerajaan Mataram. Pada intinya Kanjeng Ratu Kidul mengiyakan berdirinya kerajaan Mataram Islam Namun harus berkulitkan jawa dalam artian tidak meninggalkan adat dan tradisi yang sudah ada.
Dengan kata lain, Pembauran antara Islam dengan jawa harus berupa proses akulturasi sehingga adat atau tradisi yang sudah ada tidak kehilangan akar oleh peradaban yang baru. Sementara saat ini cenderung kepada peristiwa asimilasi yang berupaya mencabut akar yang sudah ada sebelumnya.
Demikian pula dialog yang terjadi antara Sabdopalon dan Syaikh Subakir yang pada akhirnya tercipta kesepakatan bahwa tanah jawa (sepenuhnya) akan dikembalikan setelah 500 tahun berlalu. Peristiwa dialog antara ‘tokoh’ Majapahit dan tokoh Islam tersebut terjadi di saat transisi Kerajaan Majapahit - Demak.
Seperti telah tersurat dan tersirat di dalam salah satu bagian Serat Jangka Jayabaya tertulis :
pada suatu masa, Pulau Jawa seperti kapal tua yang bocor di tengahnya, kemasukan air.
Sekarang = Periode Akhir Jaman Kalabendu ?
Jika dibaca dengan teliti apa yang tersurat di dalam Kitab Jangka Jayabaya Pranitiwakya, gubahan paling akhir pada masa hidup pujangga Raden Ngabei Ranggawarsita yang berhasil dihimpun oleh Raden Tanoyo, negara ini tengah memasuki periode akhir dari jaman Kala Bendu.
Ciri-ciri Jaman Kalabendu ?
Hal ini tampak dengan jelas dari ciri-ciri Jaman Kalabendu, yaitu : pajak makin tinggi, para kalangan atas politik hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya, banyak orang makin miskin, banyak wanita kehilangan rasa malu, hujan sering turun diluar musim semestinya, banyak bencana alam dan masih banyak lagi.
Alam Sedang Melakukan Penyaringan ?
Kita tengah memasuki akhir dari jaman Kala Bendu. Dan akan mulai memasuki zaman Sultan Herucakra (Ratu tedaking Sultan Herucakra). Dengan caranya sendiri, alam sedang melakukan penyaringan. Hal ini tidak dapat ditolak.
Hasilnya adalah sebagaimana diisyaratkan, "Wong Jawa kari separo, Wong Cina lan Londo tinggal sak jodo".
NB : ini adalah kiasan atau sanepan menurut kami. Sanepan adalah multi tafsir atau memiliki banyak penafsiran. Dari salah satu artikel lain, kami menemukan arti Wong Jawa = kari separo bukan berarti jumlah penduduk Jawa musnah tinggal separuh, tetapi orang Jawa tinggal memiliki separuh bagian sisi manusianya yaitu sisi materi. Sisi materi artinya aspek materi duniawi menjadi menjadi tolok ukur satu-satunya. Sisi separuh yang lain telah hilang. Sisi itu adalah aspek spiritual dan budaya. Sudah banyak yang melupakan spiritual dan budaya dengan berbagai alasan. Semua orang sibuk mengejar aspek materi duniawi belaka.
Wong Jowo kari separo
Banyak tafsir memang dalam mengartikan sandi sastra "wong jowo kari separo"
- Secara fisik terlahir di tanah Jawa. mendapat nama Jawa tapi rohaninya bukan Jawa.
- Secara fisik lahir di tanah Jawa. tapi namanya dari Arab, Eropa, Amerika, India, biar kelihatan iman islami, keren/modern. tidak ndeso. Tapi justru kehilangan genuenitas kepribadian asli jawa.
- Secara fisik lahir di tanah jawa.Tapi sudah gak doyan makanan asli Jawa. Makananya Kebab, kebuli, Hamburger, steak, lasagna, pizza.
- Secara fisik lahir di tanah jawa.Tapi ilmu bathinya bukan dari jawa. Ilmunya dari Arab, Cina, India, Tibet, eropa serta amerika.
- Secara fisik lahir di tanah jawa, tapi sama sekali gak bisa ngomong dan berbahasa jawa.
Manuso kuwi ewuh ayaning pambudi. jejer jowo piadege monco, wiji ninggal wrangkane. modho modho ageman aji kang klarah awiya nepi ing punjere.
jati wisesame datan nate kepanggih, kebondho angen angen sesebatan suci kang adoh mring sangkan parane dhat.
Krisis Moral ?
Saat ini, disadari ataupun tidak, bangsa ini tengah mengalami krisis luar biasa besar. Krisis yang dimaksud adalah krisis moral. Krisis moral ini terlihat dari banyaknya korupsi di seluruh lapisan sosial masyarakat. Hilangnya rasa memegang amanah. Bangsa ini telah melupakan budaya nya. Salah satunya adalah wewarah Sastra Jendra Hayuningrat. Padahal budaya ini dapat membuat Memayu Hayuning Bawana dan ikut menciptakan kedamaian dunia.
Kejujuran Yang Hilang ? Serat Kalatida ?
Selain hilangnya konsep memelihara dan menjaga amanah serta merajalelanya korupsi, masih ada hal lain. Hal itu adalah hilangnya kejujuran pada sebagian masyarakat. Aspek ini jauh hari sebelumnya telah diramalkan juga.
Tertulis dalam Serat Kalatida yang berbunyi : "Sabegja bejane wong kang lali, luwih begja kang eling lan waspodo". Terjemahan bebasnya : seuntung-untungnya orang yang lupa, lebih beruntung yang selalu ingat dan waspada.
Kesimpulan :
Kegagalan manusia dalam menciptakan kehidupan rukun damai karena berebut kebenaran.
Benar dan salah bersifat dualistis, tidak memiliki titik temu. Masalahnya kebenaran selalu disertai atau berimpit dengan keberpihakan. Kebenaran tidak berdiri sendiri. selalu merujuk pada Hukum, syariat, adat dan sebagainya. kebenaran tidak berlaku universal yang dapat diterima oleh orang seluruh dunia.
Demi kebenaran banyak orang meninggalkan budi pekerti luhur yang seharusnua dijunjung tinggi. Demi kebenaran ternyata justru banyak orang memberhalakan kebenaran.
Salam Rahayu....Slamet....Slamet....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU