Laman

Sabtu, 08 Februari 2014

KISAH PUTRI ONG TIEN (PUTRI LARAS SUMANDING) istri "SUNAN GUNUNG JATI"

Putri Ong Tien di beri nama Laras Sumanding 

"SUNAN GUNUNG JATI"  (Walisongo Periode Kedua)

Tapak Jejak "WALISONGO"  (Walisongo Periode Kedua)
Putri Lie Ong Tien atau Putri Tan Hong Tien Nio (1481-1485)
Sosok Putri Ong Tien benar-benar mewakilli sosok perempuan China yang elegan dan cerdas. Ia juga merupakan kesayangan ayahnya.

Salah satu putri dari China yang sejarahnya cukup dikenal di Tanah air adalah putri Ong Tien,ia merupakan salah satu istri Sunan Gunung jati . 

Sunan Gunung Jati merupakan salah satu dari wali songo,
sebagai cucu dari raja Pajajaran, beliau memimpin Cirebon dengan bijaksana dan berhasil menyebarkan agama islam di beberapa wilayah Jawa Barat. 

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). 

Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Putri Lie Ong Tien atau Putri Tan Hong Tien Nio (1481-1485)
Kisah ini berawal dari perjalanan jauh yang ditempuh Sunan Gunung Jati dari mesir menuju Pulau jawa ,selama perjalanannya ia melakukan dakwah menyebarkan agama islam diwilayah-wilayah yang di singgahinya termasuk di daratan China, ia tinggal beberapa lama di China disana ia dikenal sebagai orang pandai dalam ilmu pengetahuan maupun pengobatan. 

Putri Lie Ong Tien atau Putri Tan Hong Tien Nio (1481-1485) merupakan anak dari kaisar Hong Gie dari masa dinasti ming yang rela menempuh perjalanan ke jawa demi menjadi istri sunan gunung jati. 
Sebagai putri kaisar, Putri Ong Tien mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan oleh kaisar sebagai Anak Langit. 

Meskipun Kaisar menyayangi Putri Ong Tien, tapi tidak setiap saat mereka bisa bertemu dan berbicara dengan santai. Hari-hari Putri Ong Tien dihabiskan dengan mempelajari kaligrafi Cina dan filsafat Cina. Putri Ong Tien adalah putri yang kritis, kala salah satu selir raja tertimpa musibah, ia merasa iba, tapi tak berdaya untuk membebaskan selir itu dari hukuman raja. 

Pada masa itu pula, penyebaran agama Islam sudah sampai ke Cina. Bahkan salah satu daerah di Cina, yaitu kota Xian jadi daerah yang populasi penduduk Islam paling banyak. 

Terbetik kabar bahwa seorang ulama dari Jawa bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa obat-obatan seperti yang selama ini dilakukan oleh para tabib Cina. Beliau hanya meminta orang yang sakit itu melakukan gerakan-gerakan sholat dan Insya Allah, sembuhlah orang itu. “Kesaktian’ ulama itu terdengar sampai ke telinga Kaisar. Tapi, sebagai Kaisar itu tidak percaya begitu saja dengan berita itu. Maka diundanglah ulama itu ke Kerajaan dan diminta untuk membuktikan kebenaran atas kesaktiannya itu.

Namanya makin makin terkenal hingga Kaisar Hong Gie merasa terganggu orang asing lebih pandai dari rakyatnya. 

Maka Dipanggilah Sunan Gunung Jati menghadap untuk diuji kemampuannya, Kaisar lalu merekayasa putrinya seolah-olah hamil dengan meletakan Bokor kuningan di perutnya hingga mirip orang hamil, selanjutnya Sunan Gunung Jati diminta menebak kondisi putrinya saat itu. 

Di depan para pembesar dan prajuritnya, kaisar menyuruh putrinya Ong Tien agak memasukkan sebuah bokor di balik bajunya. Nanti, bila Sunan Gunung Jati datang maka ia akan menyuruh sunan untuk menebak isi perut putrinya.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom kuningan, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. 
Jawaban Sang Sunan adalah Putri Tien Nio sedang mengandung, jelas saja Kaisar mencemoohnya, merasal berhasil membuktikan bahwa Sunan tidak sepandai seperti yang dikatakan orang. 

Selesai dengan urusannya di istana Kaisar, Sunan Gunung Jati pun meneruskan perjalanannya ke Jawa, setelah ia pergi, hal yang mengejutkan terjadi, putri Ong Tien Nio masuk ke kamar dan melepaskan bokor kuningan dari perutnya namun apa yang terjadi??????.....

Tapi, kemudian, seluruh istana geger. Namun, sepeninggalan Sunan Gunung Jati, kaisar sangat terkejut. Bokor yang ada di dalam perut Ong Tien hilang. Anehnya lagi, Ong Tien benar-benar hamil, seperti yang dikatakan oleh sunan. Keanehan itu menyebabkan putri Ong tien jatuh hati pada Sunan. Kepada ayahanda, putri Ong Tien mengungkapkan keinginannya untuk menyusul ke Jawa dan menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi. ( Ia yang sebelumnya tidak hamil kini benar-benar berbadan dua, putrid pun terkejut dan menangis, kejadian tersebut membuat Kaisar sadar akan kemampuan Sunan Gunung Jati. Atas kesadaran dan keinginan putri Ong Tien maka diputuskanlah Putri Ong Tien menyusul sang Sunan ke jawa untuk minta dipersunting olehnya, sang putrid berangkat dikawal 100 awak kapal ke pulau Jawa tepatnya Cirebon. )

Setibanya disana ia tidak langsung dinikahi oleh Sunan Gunung Jati karena dalam islam haram hukummya menikahi wanita hamil, sebelum dinikahi sang putri harus menjalani syarat yaitu ia dan pengawalnya untuk masuk islam ,syarat itupun dipenuhi dan menikahlah mereka Putri Ong Tien Nio merupakan istri kedua Sunan.

Setelah menunggu sekian lama ,lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim sang putri dan diberi nama Pangeran Kuningan tetapi bayi itu tidak pernah dirawat oleh sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien ,bayi tampan itu di adopsi dan dirawat Ki Gede Lurung Agung salah satu murid Sunan, namun belum genap setahun usia putra yang dilahirkan oleh Putri Ong Tien Nio beliau meninggal dunia
Dalam babad Cirebon tidak dijelaskan apa alasan Pangeran Kuningan tidak diasuh oleh ibunya. 

Sunan Gunung Jati menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan, karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan nemanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning serta beliau memberikan amanat bahwa kelak dimana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.

Setelah Pangeran Kuningan dan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan tepatnya pada bulan Muharam tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan dan dibantu oleh Arya Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan.
winnygw@yahoo.com, winnygw@gmail.com

Putri Ong Tien Nio 
di beri nama atau gelar Putri Laras Sumanding
Meskipun mualaaf dan datang dari jauh Putri Ong Tien dapat diterima masyarakat Cirebon,dalam menjalankan ibadahpun ia tidak mengalami kesulitan. Seperti bayinya ,Putri Ong Tien pun tidak berumur panjang, tak lama setelah melahirkan ia jatuh sakit ,Sunan Gunung Jati begitu setia mendampingi dan merawatnya itulah mengapa  Putri Ong Tien di beri nama Laras Sumanding, karena ia selalu disangding oleh Sunan Gunung Jati ,hanya dua tahun ia mendampingi sunan sebelum akhirnya wafat. 
Makam Putri Putri Ong Tien terlihat jelas di kompleks pemakaman Astana Gunung Jati 
Jejak peninggalan Putri Ong Tien terlihat jelas di kompleks pemakaman Astana Gunung Jati ,dahulu putrid Ong tien dating ke Cirebon dengan membawa 3 kapal layar ,kapal-kapal itu tak hanya berisi pengawalnya namun juga keramik-keramik cantik buatan china sebagai buah tangan.Bukti keberadaan Putri Ong Tien dapat dilihat ,Dinding dilantai dasar ditempelipiring-piring keramik cantik aneka warna dan dibeberapa sudut terdapat guci-guci berukir khas china. Digunakannya keramik-keramik ini tidak terlapas dari diskusi dengan Kanjeng Sunan dan Istri-istrinya ,walaupun telah meninggal tak jarang pengunjung yang dating melihat sosok Putri China yang cantik ini.

Putri Ong Tien memang hanya salah satu putri Tiongkok yang pernah bermukim dan menikah di Tanah Jawa. Namun, yang membedakan dari putri-putri China lainnya, dia menorehkan sejarah sebagai perempuan asing yang berhasil masuk ke lingkaran keluarga Kesultanan Cirebon dan ikut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keramat Sunan Gunung Jati. Banyak barang kerajinan China peninggalannya yang menjadi warisan budaya bernilai tinggi.


Keterangan denah makam:
1. Sunan Gunung Jati, 
2. Fatahillah, 
3. Syarifah Muda’im, 
4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 
5. Nyi Mas Tepasari, 
6. Pangeran Cakrabuana, 
7. Nyi Ong Tien, 
8. Dipati Cirebon I, 9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji

PINTU SEMBILAN:
I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX. Pintu Teratai

LAIN-LAIN:

  • Masjid Sunan Gunung Jati (sebelah timur No. 26),
  • Karas/Lunjuk (tempat istirahat keluarga Kraton setelah naik makam Sunan Gunung Jati),
  • Pintu Mergu (tempat ziarah orang-orang Tionghoa, D. Komplek Sultan Raja Sulaiman,
  • tempat Juru Kuncen menerima tamu-tamu umum, F. Pelayonan: tempat jenasah keluarga Kraton disholati,
  • Balemangu Pajajaran: hadiah dari Prabu Siliwangi, H. Pintu masuk para peziarah
  • Paseban Soko: tempat permusyawaratan, J. Gedung Jimat: tempat penyimpanan guci-guci Tiongkok
  • Balemangu Trusmi, L. Balemangu Pos Penjagaan, M. Gapura Timur: pintu masuk pertama peziarah umum,
  • Balemangu Majapahit: hadiah Demak, O. Paseban Besar : pendopo tempat penerimaan tamu-tamu kehormatan

KONTROVERSI
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terangterangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku
Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memangpergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.

Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di
kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.

Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.

Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama.
Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Bukubuku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.

Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulispertengahan abad ke-20.

Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman
sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkimpoian Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.

Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.

BONUS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU