Laman

Jumat, 31 Januari 2014

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT

Majapahit 

PUNAKAWAN, BUDAYA ASLI MAJAPAHIT


Ciri khusus kebudayaan Majapahit ialah adanya pembauran antara unsur-unsur Jawa asli dengan unsur-unsur India. Adanya unsur-unsur Jawa asli itu menyebabkan kebudayaan Majapahit (Jawa Timur) bukan semata-mata tiruan kebudayaan India, meskipun harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan India masih terasa sangat kuat.

Pembauran ini terbukti memberi sekedar kesegaran dalam kehidupan kebudayaan dan menimbulkan aliran baru yang disebut dengan aliran Singasari-Majapahit, karena aliran baru tersebut memang berkembang pada jaman kerajaan Singasari-Majapahit.

Timbulnya kesadaran untuk memasukkan unsur-unsur Jawa asli dalam kebudayaan telah terasa sejak jaman kerajaan Kadiri dalam abad ke duabelas, seperti terbukti dari karya Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh.

Dalam karya sastra ini untuk pertama kalinya ditampilkan unsur Punakawan yaitu hamba, abdi dalam karya sastra yang berdasarkan cerita dari epik Mahabarata. Dalam Mahabarata unsur punakawan ini tidak dikenal sama sekali, oleh karenanya unsur punakawan adalah merupakan unsur Jawa asli.

Punakawan mengabdi kepada tokoh Pandawa yang memegang peranan utama dalam cerita Mahabarata tersebut. Dalam karya sastra Ghatotkacasraya punakawan ini berjumlah tiga orang, yakni : Punta, Prasanta dan Juru-Deh. ; ketiga-tiganya mengabdi kepada Abimanyu, putera Arjuna yang memegang peranan utama dalam cerita. Tidak dapat diketahui secara pasti dari mana Mpu Panuluh memperoleh ilham untuk memasukkan punakawan dalam gubahan karya sastra Ghatotkacasraya yang artinya : bantuan Ghatotkaca. Ada kemungkinan bahwa punakawan ini telah memiliki peranan dalam seni panggung wayang, yang pada waktu itu masih berbentuk seni pertunjukkan lisan, tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang nyata.

Suatu kenyataan ialah, bahwa timbulnya unsur punakawan untuk pertama kalinya dalam kesusastraan adalah berkat karya Mpu Panuluh, namun dalam karya sastra tersebut punakawan masih kaku-beku, hanya merupakan embel-embel belaka, tokoh tanpa peranan alias figuran. Mungkin sekali sebabnya adalah Mpu Panuluh terlalu mengutamakan uraian tentang pemandangan alam dan menekankan peranan tokoh-tokoh penting atau central, sehingga lupa memberikan peranan yang berkesan kepada para punakawan ini.

Nama punakawan Punta, Prasanta dan Juru Deh hanya dikenal dalam kakawin (karya sastra) Ghatotkacasraya, nama punakawan itu dikenal kembali dalam seni panggung wayang gedog tentang cerita panji sebagai Jodeg Santa (kontaminasi dari Juru Deh dan Prasanta).

Dalam jaman Singosari-Majapahit nama punakawan tersebut tidak dikenal, yang muncul pada waktu itu adalah punakawan Semar seperti yang nyata-nyata muncul dalam hiasan/relief Candi Tigowangi (1358 M) dan Candi Sukuh (1439 M), dalam cerita Sudamala.

Karya sastra Sudamala ini menceritakan peranan punakawan Semar secara lebih berkesan bila dibandingkan dengan tokoh Juru Deh, Prasanta dan Punta di atas. Dalam karya sastra Sudamala tersebut jelas sekali peranan Semar sebagai punakawan dan pelawak. Segala gerak-gerik dan ucapannya serba menggelikan. Relief/pahatan yang terdapat pada candi Tigawangi dan candi Sukuh juga menggambarkan hal yang serupa, yaitu ujud Semar yang lucu, serta tandang-tanduknya yang serba menggelikan. Diantaranya Semar memanjat di atas bangkai raksasa Kalanjaya, yang telah mati terbunuh oleh Sudamala.

Jelaslah dalam hal ini bahwa punakawan Semar yang tertua bertarikh pada jaman Majapahit yaitu disekitar tahun 1358 M (Candi Tigawangi), meskipun pada relief di candi tersebut terlihat beberapa punakawan yang lain, namun yang disebutkan dalam karya sastra Sudamala hanya seorang saja, yakni Semar.
 
Tokoh Semar pada relief candi Sukuh

Dalam seni panggung wayang pada jaman Surakarta dan Jogyakarta, jumlah punakawan bertambah menjadi tiga (versi Surakarta) dan menjadi empat (versi Jogyakarta) yaitu : Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka bertindak sebagai pelawak, yang disamping membadut, juga memberikan komentar tentang segala perkara yang timbul dari pikiran Si Dalang. Mereka tetap menjadi punakawan keluarga Pandawa, terutama sebagai punakawan Arjuna.

Semua tokoh punakawan memiliki bentuk tubuh yang agak istimewa, Semar digambarkan sebagai seorang yang tua, berkuncung putih, bermata rembes, berkaki pendek, berpantat besar, bentuknya seperti penyu atau kura-kura. Gareng tangannya ceko, kakinya pincang, matanya juling, hidungnya bulat seperti buah terong. Petruk hidungnya panjang, perutnya bekel, mulutnya selalu tertawa, berperawakan tinggi-kurus dan berkuncir. Bagong orangnya pendek, mulutnya lebar dan matanya sebesar terbang.

Sebagai imbangan diciptakan tokoh Togog dan Bilung, kedua-duanya sebagai pamong tokoh seberang lautan. Togog dan Bilung menjadi lambang kelemahan dan kekalahan, karena tiap tokoh yang diikutinya (dalam cerita) selalu dapat dikalahkan oleh tokoh Pandawa yang diikuti oleh Semar.
 
Togog orangnya pendek, mulutnya lebar, bibirnya menjulur ke muka. Bilung orangnya pendek kecil, warna kulitnya hitam, kepalanya penuh kudis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU