Laman

Selasa, 21 Januari 2014

Mengenal Serat Centhini #1



Mengenal Serat Centhini

Mengenal dan Memahami Serat Centhini
Berkas:Centhini50.jpg
Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari :

  • 722 pupuh,
  • 30.837 tembang (bait),
  • 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm. 
Tembang yang dipergunakan adalah:

Serat Centhini secara keseluruhan terdiri dari :
* 722 pupuh,
* 30.837 tembang (bait),
* 3.467 halaman pada 12 jilid buku ukuran 15cm X 21cm.
Tembang yang dipergunakan adalah:
NoSekar / TembangPupuhTembang
01Asmaradana643.717
02Balabak16676
03Dhandhanggula (Sarkara)735.207
04Dudukwuluh (Megatruh)521.929
05Durma17483
06Gambuh55975
07Girisa30897
08Jurudemung421.168
09Kinanthi653.505
10Lonthang9470
11Maskumambang421.704
12Mijil462.563
13Pangkur401.469
14Pucung582.388
15Salisir12522
16Sinom642.675
17Wirangrong371.089
Jumlah :72230.837

Serat Centhini mungkin karya sastra terpanjang yang pernah ditulis oleh umat manusia diseluruh dunia.
Secara keseluruhan, tidak ada kata lain bahwa memang Serat Centhini adalah suatu karya sastra Jawa yang luarbiasa, baik dari segi tatabahasa tembang Jawa yang indah maupun dari segi isinya yang terdiri dari rangkuman Budaya Jawa yang hidup pada abad ke-18, ilmu agama Islam maupun pengetahuan spirituil khas Jawa lainnya.


Bisa merupakan sumber bahasan dari berbagai disiplin ilmu yang tidak akan ada habisnya.
Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga , merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Penggubahan
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.
Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
  1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
  2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
  3. Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.
Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Ringkasan isi
Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai “dunia dalam” masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik” seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.
Kepustakaan
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.
Gubahan kontemporer
Penulisan kembali Serat Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Ia menerjemahkan syair demi syair dan menuliskannya kembali dalam bahasa Prancis. Elisabeth menyusunnya kembali dalam prosa yang puitis untuk mempertahankan sifat tutur suluk yang aslinya berjudul Serat Tambangraras. Hasil tafsirnya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi empat episode:Empat Puluh Malam dan Satunya HujanMinggatnya CebolangIa yang Memikul Raganya, dan Nafsu yang Terakhir .
Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang).
Referensi
  • Sumahatmaka, R.M.A, Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras), PN Balai Pustaka, Cetakan pertama, 1981.
  • Yatim, Dr. Badri, MA, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. 12, 2001
  • D. Inandiak, Elisabeth, Les chants de l’île à dormir debout, Le Rélié, 2002
Pranala:
sumber : http://seratcenthini/

Serat Centhini dibuka pada Jilid-1, Pupuh 1, 
Tembang 1 (Sinom): 
Sri narpadmaja sudigbya, 
talatahing tanah Jawi, 
Surakarta Adiningrat, 
agnya ring kang wadu carik, 
Sutrasna kang kinanthi, 
mangun reh cariteng dangu, 
sanggyaning kawruh Jawa, 
ingimpun tinrap kakawin, 
mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa.

Artinya: 
Sang putra mahkota, 
berwilayah tanah Jawa, 
Surakarta Adiningrat, 
memerintahkan jurutulis, 
Sutrasna yang dipercaya, 
mengumpulkan cerita lama, 
keseluruhan pengetahuan Jawa, 
digubah dalam bentuk tembang, 
agar mengenakkan dan menyenangkan yang mendengar. 

Sedangkan penutupannya pada Jilid-12, 
Pupuh 708, 
Tembang ke 672 (Dandanggula): 
Kadarpaning panggalih sang aji, 
kang jinumput wijanganing kata, 
tinaliti saturute, 
tetelane tinutur, 
titi tatas tataning gati, 
sakwehnung kang tinata, 
wus samya ingimpun, 
ala ayuning pakaryan, 
kawruh miwah ngelmuning kang lair bathin, 
winedhar mring para muda.

Artinya: 
Didorong oleh keinginan Sang Raja, 
yang diambil makna kata-katanya, 
diteliti urutannya, 
nasehat yang disampaikan, 
teliti tuntas teratur maksud tujuannya, 
semua sudah diceritakan, 
semua sudah dikumpulkan, 
baik buruknya perbuatan, 
pengetahuan maupun ilmu lahir bathin, 
diuraikan buat para kawula muda. 

Pupuh 722, Tembang ke 55 (Asmaradana)
Titi tamat ingkang tulis, 
telas ingkang cinarita, 
Seh Mongraga lalakone, 
kongsi amadeg narendra, 
kendhang tekeng pralaya, 
kran Sunan Tegalarum, 
pisah sumarenira.

Artinya: 
Sudah tamat tulisannya, 
selesai ceritanya, 
riwayat Seh Amongraga, 
sampai menjadi raja, 
terusir meninggalnya, 
diberi nama Sunan Tegalarum, 
terpisah makamnya.

Dari tembang pembukaan dan penutup, maksud dan tujuan penulisan Serat Centhini adalah untuk melestarikan Budaya atau Pengetahuan Jawa agar bisa jadi pelajaran buat generasi muda. Tapi sungguh disayangkan generasi muda saat ini tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra adiluhung ini, justru para peneliti asing yang tertarik mempelajari Serat Centhini.

Serat Centhini juga mengandung hal-hal yang kontroversi dibandingkan nilai-nilai Budaya Jawa (Indonesia) yang berlaku saat ini, yaitu:

1. Kandungan cerita tentang seksualitas: 
Walaupun Serat Centhini bercerita tentang perjalanan para santri, dalam mengungkap masalah seksualitas (bisa dikatakan beraliran “naturalis”) secara detil dan blak-blakan. 
Termasuk perilaku seks yang menyimpang yang memang hidup dalam masyarakat pada saat itu maupun ilmu yang berkaitan dengan seksualitas.

2. Persaingan antara 
Budaya Kraton dan Budaya Pesantren: 
Setelah Sunan Giri dijatuhkan oleh Sultan Agung, budaya kraton dan budaya pesantren mengalami perkembangan yang terpisah. 
Ulama Islam saat itu ada yang bersikap akomodatif terhadap kerajaan dengan menjadi ulama dikalangan kraton. 
Ada juga yang mengambil sikap independen atau tidak mau tunduk dengan aturan kerajaan dengan mengembangkan budaya pesantren yang tertutup pada kalangan mereka sendiri tapi tidak menunjukkan perlawanan terhadap kerajaan. 
Serat Centini adalah cerita tentang para santri dari sudut pandang kerajaan (kraton). Seh Amongraga dan istri, setelah susah payah menimba ilmu agama Islam dan mencapai kesempurnaannya, pada akhir cerita tertarik untuk menjadi raja. 
Seolah-olah ingin mengatakan bahwa kekuasaan sebagai raja lebih bernilai dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu agama. 
Kalau cerita ini hanya karangan maka makna sebenarnya dari penulisan Serat Centhin adalah ingin menegaskan dominasi kerajaan terhadap para ulama agama Islam. 
Akhirnya para ulamapun pada titik kesempurnaan agama masih tertarik pada kekuasaan untuk menjadi raja.

3. Penekanan pada ilmu tasauf: 
Penekanan ajaran agama Islam di Serat Centhini adalah limu tasauf yaitu suatu sikap berserah diri secara total kepada kehendak Allah SWT melalui tahapan pendalaman ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat. Ini adalah ajaran agama Islam di Jawa berdasarkan warisan ajaran walisanga. 
Pengetahuan spriritual Jawa seperti Sastra Jendra Hadiningrat, sudah ada sejak sebelum kedatangan agama Islam. Ilmu tasauf dalam agama Islam menemukan kemiripan dengan pengetahuan sprituil Jawa yang sudah ada, oleh karena itu keduanya bertemu dalam sinkretisasi agama Islam di Jawa.
Hal ini adalah kontroversi dengan apa yang umumnya diajarkan oleh ulama agama Islam di Indonesia saat ini yang sangat fokus pada ajaran syariat (bisa terhenti pada rutinitas ceremonial) yang malahan berakibat merosotnya nilai-nilai moral masyarakat pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU