Laman

Selasa, 21 Januari 2014

Makam Syech Siti Jenar (KONTROVERSI)



Makam Syech Siti Jenar (KONTROVERSI)

Setelah Majapahit runtuh, rajanya melarikan diri ke arah barat laut (gunung Lawu) melalui alas ketonggo  dan ...........

PALENGGAHAN AGUNG SRIGATI

Lokasi Palenggahan Agung Srigati ini di wilayah Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa-Timur. Konon, tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh tentara-tentara Demak dibawah pimpinan R.Patah dan Wali-Sanga ( Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ).  Dikatakan, ditempat itulah Sang Prabu kemudian melepas semua tanda-tanda Kebesaran-Kerajaan, yaitu jubah Beliau, Mahkota , dan semua benda-benda Pusaka; konon, kesemuanya kemudian “raib”, “moksa”.  
Didalam rumah-rumahan Palenggahan Agung ini, terdapat berbagai benda-benda yang secara simbolik melambangkan tanda-tanda kebesaran kerajaan Majapahit. Baik berupa mahkota Raja, tombak-tombak pusaka, gong, dan lain-lainnya.
Setelah Prabu Brawijaya Pungkas Dan lalu Sang Prabu melanjutkan perjalanan menuju Gunung Lawu dan menjadi pertapa dengan nama Eyang Lawu / Kyai Lawu. 

MENGULAS SEDIKIT LEGENDA Eyang Lawu / Kyai Lawu.
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M) pada masa pemerintahan Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas).
Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Raden Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong.

Raden Fatah setelah dewasa agama islam berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Raden Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi (Demak).

Melihat kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dalam semedinya didapatkannya wangsit yang menyatakan bahwa sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan Demak. (Awal ISLAM Merebak di Tanah Jawa)

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu.

Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini.

  1. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. singkat cerita dan merupakan keyakinan dan kepercayaan yang dibunuh dan dieksekusi oleh wali songo sebenarnya adalah DIPA Menggala abdi kinasihnya Prabu Brawijaya V 
  2. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.

Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling  dan meninggalkan Sang Prabu di sini.

Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Misteri Gunung Lawu 

Gunung Lawu menyimpan misteri pada masing-masing dari tiga puncak utamanya dan menjadi tempat yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa.
  1. Harga Dalem diyakini sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, 
  2. Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan 
  3. Harga Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.
Konon gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa dan berhubungan erat dengan tradisi dan budaya Praja Mangkunegaran.
Setiap orang yang hendak pergi ke puncaknya harus memahami berbagai larangan tidak tertulis untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.

Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani

Kembali ke Benang Merah

Selama menjadi Eyang Sunan Lawu (Kyai Lawu) Beliau sering turun ke desa Jenar (wil. kab.Sragen) sehingga secara tidak sengaja orang menyebutnya Syeh Siti Jenar. 
Karena ketahuan pihak Demak, ia pindah ke kampung Lemahbang (Ds.Keongan, kec.Nogosari, kab.Boyolali) itulah kenapa di wilayah Boyolali dan sekitarnya dikenal dengan sebutan tanah abang atau tanah lor, dia dikenal dg nama Syeh Lemahbang. Syeh Lemahbang bertemu Ki Ageng Pengging, dengan dibantu pengikutnya mereka berencana mengembalikan tahta Majapahit.

Pihak Demak mencium rencana tersebut sehingga menangkap Syeh Siti Jenar. Dalam perjalanan dari Pengging ke Demak melewati jalur sungai Jenes, di sebuah cekungan sungai di tengah hutan Wanakerta,

Syeh Siti Jenar dihukum mati dan dikuburkan di sana. Tempat tersebut sekarang masuk wilayah desa Ngabeyan kec.Kartasura kab.Sukoharjo prop.Jawa Tengah. 

Makam Syech Siti Jenar

Disinilah Mulai muncul sebagai FOLKLOR atau cerita dari mulut ke mulut tentang keberadaan makam Syech Siti Jenar
Berdasarkan Agama dan Kepercayaan :
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar. 
VERSI BABAD DEMAK
Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.

Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak.

Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.

Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.

Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.

Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali

Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat 
Makam Beliau diantara Soko Tatal Masjid Demak
lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Makam atau Petilan beliau di Mantingan Jepara
MAKAM KANJENG SYEKH SITI JENAR - SEMANDING - TUBAN
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Yang dapat kami simpulkan dari babad Demak :
Para Pengikut yang ikut MOKSA bersamaan dengan Beliau ==>
  1. Ki Bisono, 
  2. Ki Donoboyo, 
  3. Ki Chantulo,  
  4. Ki Pringgoboyo dan diikuti oleh 
  5. Kiai Lonthang dari Semarang, 
  6. Ki Kebo Kenanga, dan 
  7. Ki Ageng Tingkir.  
Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti Jenar adalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang diajarkan Alquran.

Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu melakukan penghormatan kepada leluhur dan melestarikan nilai kebenaran yang diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar dapat diterima oleh seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran bagi alam semesta. 

Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih kepada keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu yang mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah pandangan masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha dan Ramayana untuk membantu penyebaran agama Islam dengan melakukan sisipan sisipan ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi nilai yang terkandung yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada jaman keemasan Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini. Terbukti bahwa dairah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan eksistensi budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab sebagai hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.

Kesimpulan : 
Memang Cerita diatas adalah sebatas cerita dari Agama dan kepercayaan.....
kesemuanya akan berpulang dan ada batas pertama yang akanmuncul yaitu ucapan abdi kinasih beliau ki sabdo palon pada waktu moksa di Hargo dumiling " akan muncul agama baru yaitu agama budhi "
bersamaan munculnya RATU ADIL di muka bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU