primbon


Web Site Hit Counters

Sejak:17 Agustus 2013
DAFTAR SAHABAT YG MASUK The truth seeker
Tidak harus menjadi yang pertama,yang penting itu menjadi orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati.


Disclaimer:Artikel,gambar ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain,
dan Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber lain tersebut.Jika kami salah dalam menentukan sumber yang pertama,
mohon beritahu kami
e-mail primbondonit@gmail.com HOTLINE atau SMS 0271 9530328

GAMBAR-GAMBAR dibawah ini BUKAN HANYA IKLAN tapi merupakan LINK SUMBER




Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban modern,westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya,dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu.Manakala mendengar istilah mistik,akan timbul konotasi negatif.Walau bermakna sama,namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan,terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.Itulah piciknya manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.Selama puluhan tahun,kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama kaum modernism,westernisme dan agamisme.Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit,irasional,dan primitive.Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum modern sebagai paham yang kuno,Pandangan itu salah besar.Tentu saja penilaian itu mengabaikan kaidah ilmiah.Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri,kepentingan rezim,dan kepentingan egoisme(keakuan).Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan,diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan,dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah yang sesungguhnya.Apalagi dalam roda perputaran zaman sekarang,di mana orang salah akan berlagak selalu benar.Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.Emas dianggap Loyang.Besi dikira emas.Yang asli dianggap palsu,yang palsu dibilang asli.Semua serba salah kaprah,dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.Untuk itulah Warisjati merangkum beragam artikel dari beberapa sumber tentang pengetahuan Budaya dan tradisi di Nusantara yang merupakan warisan para leluhur yang sarat akan makna dan berbagai artikel lainnya yang saling melengkapi.Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana dan mengambil pelajaran serta pengetahuan dari budaya masa lalu sebagai warisan leluhur di Nusantara ini.

ORANG YANG DENGAN MUDAHNYA MENGATAKAN SESAT KEPADA SESEORANG
ADALAH ORANG YANG TIDAK atau BELUM PAHAM AKAN DIRINYA SENDIRI



Rabu, 03 September 2014

Sosok Pangeran Wangsakerta ~Sejarahwan Kontroversi~ (Itulah Fakta SEJARAH)


Sosok Pangeran Wangsakerta ~Sejarahwan Kontroversi~ (Itulah Fakta SEJARAH)

Biar sejarah yang bicara …….
SEJARAH MEMANG PAHIT di RASAKAN oleh sebagian Golongan dan Kepentingan....
Tetapi itulah FAKTA SEJARAH NUSANTARA .. PENUH KONFLIK, KONSPIRASI dan POLITIK di masa itu.....
PANGERAN WANGSAKERTA alias : Abdulkamil Muhammad Nasaruddin alias : Panembahan Agong Gus­ti Carbon alias : Panembahan Tohpati alias : Pangeran Arya Carbon
Dalam beberapa hari aku berupaya sekuat tenaga sampai akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan naskah yang kami susun dapat disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah seandainya terdapat kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.
Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang Tunggal Yang Maha Kuasa: semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari perbuatan dosa dan malapetaka. Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya perbuatan khianat yang akan merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah kesejahteraan kepada kami peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai bahan pengetahuan bagi masa yang akan datang dan masa kini (natgata wartanana), terutama sebagai pengetahuan tentang raja‑raja beserta kerajaannya, agamanya, tanahnya dan masyarakatnya dalam kehidupan di bumi Nusantara ini.
Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak segala kisah, dan kami sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya karena hal itu telah merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai kebenarannya serta senantiasa akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan segala lapisan sejak saat ini sampai masa yang akan datang. ~Pangeran Wangsakerta dalam Pendahuluan “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa IV sarga 1″~
  • Pangeran Wangsakerta dari Cirebon mungkin merupakan orang Indonesia yang pertama kali berusaha menyusun sejarah bangsanya selengkap mung­kin. Untuk keperluan penyusunan “buku induk” sejarah itu, ia melaku­kan hal-hal positif yang bahkan menurut penilaian orang Indonesia se­karang masih terlalu “ilmiah” sehingga diragukan. (Ayotrohaedi 1981)
  • Sejak awal tahun 1980-an Ayatrohaedi, Saleh Danasasmita, dan Yoseph Iskandar melalui media massa mengumumkan tentang penemuan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta beserta isinya. Sambutan masyarakat terhadap informasi tersebut dapat dibagi dua, yang satu sama lain kontradiktif. Di satu pihak, mereka menyambut baik dan sangat mengharapkan sumbangan naskah-naskah itu terhadap kelengkapan sejarah Sunda dan Sejarah Indonesia pada umumnya. Di pihak lain sambutan mereka bernada negatif dengan menyatakan bahwa naskah tersebut palsu dan isinya tak dapat dipercaya sebagai gambaran sejarah. Kontroversi itu menggegerkan berbagai kalangan.

Siapa Pangeran Wangsakerta ?

  • Saleh Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11 Maret 1986.
  • Menurut Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum. Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
  • Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
  • Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam pertengahan kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.

Pangeran Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya dari Cirebon. Girilaya yang meninggal tahun 1662 adalah cucu Sunan Gunung Jati dan ber­kuasa di Cirebon menggantikan kakeknya karena ayahnya sendiri sudah meninggal ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa. 


Girilaya menikah dengan seorang putri Mataram, dan perkawinan itu menghasilkan tiga anak lelaki. 

  1. Anak sulung bernama Pangeran Martawijaya yang kemudian menjadi Sultan Sepuh I dan menurunkan para penguasa kesepuhan, 
  2. Anak kedua bernama Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dan menjadi leluhur para sultan Kanoman, sedangkan 
  3. Anak ketiga Pangeran Wangsakerta, tidak memperoleh warisan daerah. Ia kemudian menjadi “tangan kanan” abangnya, Sultan Sepuh I (Kosch 1979; 85; PS Sulendraningrat 1974; 66).

Hubungan baik dengan Mataram berkat perkawinan Girilaya dengan putri Mataram itu rupanya tidak berjalan mulus. Sultan Mataram tidak urung mencurigai Panembahan Girilaya sehingga akhirnya berhasil menawan Girilaya dan kedua anaknya di Mataram. Girilaya diuntang ke Mataram, disertai Martawijaya dan Kartawijaya, tetapi sesampai disana tidak diper­bolehkan kembali ke Cirebon. Karena Wangsakerta tidak ikut ke Mataram, ia pun tidak ditawan (Edi S Ekajati 1984…).

Setelah Panembahan Girilaya meninggal di Mataram, kedua anaknya kem­bali ke Cirebon, dan dengan persetujuan Sultan Banten, Cirebon dipecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Walaupun Wangsakerta juga menpero­leh daerah, ia tidak diangkat sebagai sultan.

Pangeran Wangsakerta rupanya seorang “kutu buku”. Petunjuk kearah itu kita peroleh dari jilid terakhir karya utamanya yang bernama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara ‘Kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara’. 

Jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka itu menyebut­kan tidak kurang dari 1.700 judul naskah atau karangan yang pada masa itu terdapat di perpustakaan kerajaan Cirebon, terutama Kasepuhan, me­ngingat Wangsakerta menjadi pembantu utama Sultan Sepuh I (Ayatrohaedi 1983.. ).

Usahanya menyusun buku induk itu pun nampaknya didasari oleh kegemar­annya membaca itu. Disamping itu, ada alasan lain yang secara resmi dikemukakannya dalam Purwaka ‘Kata pengantar’ tiap jilid karyanya itu. Menurut kata-katanya sendiri, karya itu dikerjakan karena :


  • “ …… di­nawuhan de ning ayayahku yata pangeran rasmi kawan namasidam panembahan adiningratkusuma athawa panembahan girilaya ngaranya waneh ri kala sang rama ta tan angemasi. Mangkang juga ngwang dinawuhan anyerat iti pustaka de ning sultan banten yata pangeran adulpatha abdulpatah lawan pramanaran abhiseka sultan ageng tirtayasa. Kumwa juga susuhunan mataram yata pangeran arya prabhu adi mataram i kang ngaran ira susuhunan amangkurat mahyun i mangkana, kumwa jugakweh manih sang pinakadi i bhumi swarnadwipa mwang jawadwipanung mahgyung ing mangkana”.

Jadi, menurut Wangsakerta, sekurang-kurangnya ada tiga orang penguasa di Jawa yang menugasinya menyusun naskah itu, yaitu :

  1. Panembahan Girilaya (Cirebon),
  2. Sultan ageung Tirtayasa (Banten),
  3. dan Sultan Amangkurat II (Mataram).

Disamping itu para penguasa daerah lain yang lebih kecil di Jawa dan Sumatra pun menunjang usaha tersebut.

Ketiga penguasa Jawa itu berkuasa sekitar paro-akhir abad ke-17. Me­ngingat keterangan Wangsakerta sendiri yang menyebutkan bahwa kedua abangnya masing-masing menjadi Sultan Sepuh dan Sultan Anom, dapat dipastikan bahwa tugas yang diterima sebelum ayahnya meninggal (1662) itu, baru dilaksanakannya pada masa pemerintahan abangnya.

  • Berdasarkan kolo­fon yang tercantum pada akhir setiap jilid memang dapat diketahui bahwa seluruh naskah itu disusun selama 21 tahun (1670-91 Masehi) (Ayatroha­edi 1983 …).

Pangeran Wangsakerta (PANGERAN TANPA WILAYAH) ternyata mempunyai nama lain, 
  1. Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Car­bon. 
  2. Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gus­ti Carbon dan Panembahan Tohpati
  3. Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsa­kerta lebih dikenal sebagai Pangeran Arya Carbon yang menyusun naskah Purwaka Caruban Nagari (1720).
PANITIA WANGSAKERTA ; TUGAS NYA
Untuk melaksanakan tugas dari ketiga sultan itu, Pangeran Wangsakerta meminta bantuan tujuh orang pemuka dan ahli di Cirebon. Mereka itulah yang pada hakekatnya bertindak sebagai “Panitia Wangsakerta” dengan tugas yang cukup berat itu. Para anggota itu ialah :
- Ki Raksanagara,
- Ki Ang­gadiraksa,
- Ki Purbanagara,
- Ki Singhanagara,
- Ki Anggadiprana,
- Ki Angga­raksa,
- dan Ki Neyapati.

Kesejarahan tokoh-tokoh itu seharusnya tidak usah diragukan, mengingat enam orang diantara mereka tercatat namanya dalam Dagregister (Atja 1984)
Pangeran Wangsakerta bertindak selaku penanggungjawab, pengambil kepu­tusan terakhir, dan penyusun tunggal naskah akhir naskah setelah “bahan baku”nya tersedia. Bahan baku itu diperoleh dengan berbagai macam ca­ra, antara lain :

  • dengan pengumpulan sumber di lapangan,
  • wawancara dengan para ahli,
  • kajian kepustakaan, dan seminar atau lokakarya khusus.
  • Ki Raksanagara bertugas sebagai penulis naskah dan mengurus keperluan para ahli yang dikumpulkan di Cirebon. Sebagai penulis ia mempunyai wakil, yaitu Ki Anggadiraksa yang juga bertindak sebagai bendahara proyek itu.
  • Ki Purbanagara bertugas untuk mengambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara, sekaligus memilih mana yang meme­nuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.
  • Ki Sanghana­gara bertugas sebagai kepala rumah tangga keraton dan menempatkan para duta selama mereka berada di Cirebon, ia mempunyai anak buah sebanyak 70 orang.
  • Ki Anggadiprana bertugas sebagai duta keliling ke berbagai negara, mengundang mereka untuk mengikuti pertemuan di Cirebon, dan ju­ga menjadi juru bahasa dalam pertemuan.
  • Ki Anggaraksa, bertugas mengurus jamuan dan hidangan,
  • sedangkan Ki Nayapati bertanggungjawab atas pemon­dokan, pengangkutan, dan keamanan.

Tugas utama Panitia Wangsakerta ialah menyusun “buku induk” sejarah Nusantara. 
Untuk maksud tersebut, panitia menempuh tahap-tahap pengum­pulan bahan, penyaringan sumber, penyusunan naskah. Jadi, sama halnya dengan kegiatan yang pasti dilakukan oleh para sejarawan modern seka­rang ini.

Tahap pengumpulan sumber mencakup kegiatan-kegiatan pengumpulan sumber di lapangan, wawancara dengan para ahli, kajian kepustakaan, dan penyelenggaraan seminar atau lokakarya sejarah. Pengumpulan sumber di la­pangan terutama dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang tugasnya memang me­ngambil dan mencari semua naskah yang terdapat di berbagai negara. Ki Purbanagara jugalah yang rupanya diberi tugas untuk mengundang para ahli untuk turut berperan dalam seminar atau lokakarya yang diselenggarakan di Cirebon.

Kajian kepustakaan menjadi tugas Pangeran Wangsakerta, se­suai dengan pengakuannya sendiri :

  • “…. karana mami wus akweh mangajya sarwasastra katha ning rajya-rajya i bhumi nusantara ….” “…. karena saya sudah banyak mempelajari segala macam kitab kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara …. ”.

Wawancara dengan para ahli dilakukan terutama bersamaan waktunya de­ngan penyelenggaraan lokakarya. Kegiatan itu dipusatkan di paseban keraton Kasepuhan, Cirebon. Pesertanya berasal dari seluruh Nusantara, terdiri dari :
- para mahakawi,
- para duta yang ada di Cirebon,
- mantri pa­tih,
- senapati,
- ulama (dang accaryagama),
- ahli kemasyarakatan (widya­janapada),
- ahli ilmu agama (widyagama),
- dan ahli ilmu politik (widyanagara).

Tercatat tidak kurang dari 70 daerah yang mengirimkan utusan ke loka­karya tersebut, disamping “hana juga pirang amatyanung tan taka” ada juga (banyak) ahli yang tidak datang. Mereka berkumpul di Cirebon, selain untuk bersawala dalam lokakarya, juga menulis bermacam monografi mengenai daerahnya masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa di per­pustakaan keraton Kasepuhan pada akhir abad ke-17 itu, terdapat tidak kurang dari 1.700 buah naskah yang sempat tercatat oleh Pangeran Wang­sakerta dalam jilid terakhir karyanya.

Diantara naskah itu, ada yang isinya tentang bahasa, penduduk, para pahlawan, para raja dan penguasa yang memerintah di daerah masing-masing.

Tahap penyaringan rupanya menjadi tugas khusus panitia, terutama ketu­anya, Pangeran Wangsakerta. Penyaringan pertama juga dilakukan oleh Ki Purbanagara, yang dalam kegiatan mencari dan mengumpulkan naskah di berbagai negara, sekaligus juga sudah memilih naskah yang memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai sumber penulisan.

Tetapi jelas, pe­nyaringan itu terutama dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta sendiri, apalagi jika terjadi sawala yang panas dan berkepanjangan diantara para peserta lokakarya. Jika suasana panas itu memuncak, Pangeran Wang­sakerta menutuskan untuk mengambil alih masalah dan menentukan pilihan terakhir, karena bukankah dengan pengetahuannya yang luas mengenai se­gala macam kitab itu ia “angasoraken sira kabeh” “mengalahkan mereka semua”?

Pilihan terakhir itu biasanya merupakan lampah tengah! “jalan tengah”, dengan senantiasa mengingatkan para peserta akan tujuan uta­ma pertemuan mereka, yaitu menyusun “buku induk” sejarah. Namun Pa­ngeran Wangsakerta tetap mengakui adanya kemungkinan kesalahan menyu­sun, dan karenanya ia meminta maaf jika sampai terjadi hal semacam itu, “yadyapin mangkana waraksamakena yan hanekang salah atau kaluputan ing panusun iti pustaka”.

Tahap penyusunan akhir menjadi tugas Pangeran Wangsakerta sendiri, dibantu oleh para anggota panitia, terutama Ki Raksanagara dan Ki Anggadiraksa sebagai penulis dan wakil penulis naskah. Nampaknya penyusunan itu memang merupakan tugas yang sangat sukar, antara lain sebagai akibat munculnya berbagai beda pendapat di antara para peser­ta lokakarya yang cenderung menyalahkan orang lain dan menganggap dirinya paling baik.


Rupanya kegiatan penyaringan itulah yang ber­langsung lama. Akibatnya, penyusunan naskahnya pun menjadi berkepan­jangan juga. Seluruh naskah yang terdiri dari 25 jilid itu baru sele­sai digarap dalam waktu 21 tahun. Dengan catatan bahwa ada masa-teng­gang selama 12 tahun antara penyusunan jilid terakhir parwa keempat (jilid 20) dengan seluruh parwa, kelima (jilid 21-5). Masa tenggang itu dipergunakan oleh Pangeran Wangsakerta untuk menyusun sejumlah naskah lain yang diantaranya bersumber kepada naskah utama itu juga.

Naskah Wangsakerta
Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka) Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991), telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.

Nama Pangeran Wangsakerta mulal menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.

Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda, Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga, setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.

Naskah Purwaka Caruban Nagari, memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara  Kretabhumi karya Pangeran Wangsa kerta.

Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon) bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan dibumbui supranatural.

Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada, tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.

Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut, naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar Jawa.

Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain:

Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 2), dikumpulkan antara tahun 1967‑1969 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (69 lembar) dari seorang pedagang, dan di Serang (Banten) sebanyak 33 lembar. Pada tahun 1977 naskah ini dijilid dan sudah lengkap. (Pemberi keterangan Siradjudin, tanggal 5‑2‑1978);

Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 3). Sebagian naskah ditemukan pada tahun 1949 di Palembang dan sebagian lainnya di Banten, dari seorang dukun keliling penjual jamu. Beberapa naskah yang ditemukan di Palembang pada tahun 1964, sebagian terendam lumpur, akibat banjir Sungai Musi. Baru tahun 1979, naskah ini terkumpul lengkap, setelah digabungkan dengan naskah yang ditemukan di Banten;

Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III, Sarga 5), dari Banten tanggal 4 September 1983;
Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep), sebagian dari Palembang (Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan sebagian lagi dari Jambi (Hassan). Dikumpulkan tahun 1926‑1931 dan dijilid tahun 1978;

Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta, dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid bervariasi antara 100 sampal 250 halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris tiap halaman. Berdasarkan laporan pengujian secara kimiawi di laboratorium Arsip Nasional (1988), kertas daluang yang digunakan dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah berusia lebih dari 100 tahun. Penelitian usia naskah‑naskah tersebut, kini sedang dilakukan di sebuah laboratorium di Jepang. Walaupun demikian, naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah dapat dikategorikan ke dalam Naskah Kuno. Naskah‑naskah tersebut ditulis dengan tinta japaron, menggunakan aksara dan bahasa Kawi Jawa Kuno, gaya Cirebon.

Ayatrohaedi menjelaskan dalam tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka Wangsakerta, terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Purwaka
Uraian kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
Kolofon
Bagian purwaka, secara terperinci memberikan keterangan yang berkaitan dengan; nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dan cara kerja yang lebih jauh menguraikan tentang hal‑hal yang berkaitan dengan; pembentukan panitia, pencarian sumber dan bahan, pengundangan nara sumber, penyelenggaraan sawala dan penugasan sangga, dan penyelesaian masalah yang muncul dalam sawala. Bagian inilah yang bersangkut paut dengan pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.

Bagian kedua, merupakan uraian yang lebih banyak menyita bagian terbesar dalam tiap jilid, karena berisi keterangan kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang bersangkutan. Sedangkan kolofon berisi keterangan mengenai akhir penulisan jilid tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530‑557).

Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah yang ditampilkan oleh Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang disebutnya Purwayuga, yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk manusia hewan (satwaprurusa). Secara runtut berlangsung, kira-kira sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai peristiwa perjanjian antara Cirebon dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia menyebutkan tokot-tokoh yang dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung Sembung yang oleh umum disebut makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah nisan, tertulis Sultan Sepuh I yang wafat tahun 1697.

Dari naskah‑naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun urutan pemerintahan raja‑raja, lengkap dengan tahun pemerintahamrya di beberapa daerah yaitu: Perelak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin dun Nusa Bali. Kita pun dapat menemukan kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dun Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar.

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya sejak masa pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh para penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti Maimun, yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu misteri sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam beberapa hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal. Sedangkan beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak bertentangan dengan prasasti yang ada.

Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya, hanya tampak bila ia melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan peran dengan ungkapan yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata “meriam” sebagal peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu Cirebon berperang dengan Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun 1528.


Dalam ambahan sumber, Pangeran Wangsakerta pun sering tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam hal yang demikian, ia berusaha mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah), dengan cara mengkompromikannya. Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan semua keterangan menurut versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang menjadi sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU

KEBERLANGSUNGAN

Sedekah(Bisa Menunda Kematian)
KLCK aja ICON dibawah untuk Baca berita
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...