Tapak Jejak "WALISONGO"
Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan "Walisongo: Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M"
Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
- Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang)
- Syaikh Shihabuddin Al-Jawi (tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
- Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
- Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
- Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
- Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin)
- Sultan Abulmu’ali Ahmad (Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
- Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
- Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN
Lahir : Jawa Barat
Orangtua : Sembah Lebe Warta Kusumah
Menggantikan: Syekh Abdul Qodir (Sunan Magelang)
Daerah da’wah: Jawa Barat dan Jawa Tengah
Wafat : 1730 M
Makam : Pamijahan, Bantarkalong, Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat
Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran).
Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Silsilah Keturunan Syeikh Abdul Muhyi
Dari ayah:
Ratu Galuh- Ratu Puhun - Kuda Lanjar- Mudik Cikawung Ading - Entol Penengah - Sembah Lebe Warto Kusumah - Syeikh Haji Abdul Muhyi
Dari Ibu:
Rasulullah saw - Sayyidina Ali karroma Allahu wajhahu dan Fatimati Azzahro’ - Syaidina Husein - Ali Zaenal Abidin - Muhammad Al Baqir- Ja'far Ashodiq - Ali AI'Aridhi - Muhammad - Isa Albasyari - Ahmad Al Muhajir - Ubaidillah - 'Uluwi - Ali Kholi'i Qosim - Muhammmad Shohibul Murobath -‘Uluwi - Abdul Malik - Abdullah Khona - Imam Ahmad Syah - Jamaludin Akbar - Asmar Kandi Gisik Karjo Tuban - Ishak Makdhum - Muhammad Ainul Yaqin - Sunan Giri Laya - Wira Candera - Kentol Sumbirana - Rd. Ajeng Tanganziah - Waliyullah Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Apa itu pamijahan?
Bagaimana kisah kelahiran Syekh Haji Abdul Muhyi?
Bagaimana asal-usul Gua Pamijahan?
Apa fungsi Gua Pamijahan?
Pengertian Pamijahan
Pamjihan adalah nama sebuah kampung yang letaknya dipinggir kali sehingga dimana kali itu kadang-kadang bisa membawa bencana, seperti yang pernah dialami ada beberapa punggung/rumahhanyut diwaktu banjir. Maka karena itulah sekarang bangunan-bangunan menjadi permanen terutama yang berada dipinggir kali, hal ini dengan secara terpaksa penduduk meninggalkan citra atau salah satu adat ke pamijahan.
Pamijahan termasuk ibu kota Desa di Wilayah Kecamatan Bantarkalong kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Sebelum Kangjeng Syekh datang ke Pamijahan sudah ada kampung yaitu Daerah Bojong Wilayah Sukapura terletak disebelah timur laut dari kampung Pamijahan sekarang, yang kini terkenal dengan nama Kampung Bengkok. Disana terdapat makam Dalem Sacaparana yaitu, mertuanya Kangjeng Syekh Haji Abdul Muhyi.
Adapun kata pamijahan adalah nama baru, dimasa sebelum dan masa hidupnya nama tersebut belum ada dikenal, pada masa Kangjeng Syekh Pamijahan itu bernama “SAFAR WADI”, kata nama Safar Wadi ini yang diambil dari kata bahasa arab “safar” artinya jalan, “wadi” lembah (jurang) jadi Safarwadi adalah jalan yang berada diatas jurang/lembah. Hal ini sesuai dengan letaknya ada di antara dua bukit di pinggir kali. Dan mungkin juga Safar Wadi yang diberikan oleh Waliyulloh itu sebagai peringatan kepada generasi mendatang supaya hidup di bumi Pamijahan dan khususnya di Dunia pada umumnya selalu hati-hati laksana berjalan diatas jurang yang senantiasa bisa membawa bahaya atau celaka.
Adapun sekarang nama Safar Wadi ini terkenal dengan nama Pamijahan antara lain karena setelah Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyulloh wafat, banyak orang-orang berdatangan berduyun-duyun dari tiap-tiap pelosok pulau Jawa pada khususnya umumnya wilayah kepulauan Indonesia untuk menziarahi makam Waliyulloh tersebut, laksana ikan akan bertelur (mijah dalam bahasa sunda). Maka karena itulah nama Safar Wadi menjadi nama Pamijahan sebab mempunyai arti seperti atau titik persamaan dengan tempat ikan akan bertelur (Pamijahan) bukan berarti Pemujaan. Karena itu saya sangkal apabila mereka yang datang menganggap/mengartikan Pamijahan itu sebagai tempat memuja atau mendewa-dewakan kuburan orang yang telah mati.
Biografi Syeikh Haji Abdul Muhyi
Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/ Kuala untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Ketika sampai di Baitullah, Syeikh Abdul Rauf mendapat ilham kalau diantara santrinya akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.
Suatu saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur Rauf) sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke Kuala/ Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan “Ayu Bakta” putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.
Wasiat Syekh Abdul Muhyi
kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut menjemputnya
"Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu,....hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri...."
Goa Safarwadi, Pamijahan
Abdul Muhyi melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi dan Lebaksiuh. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia bermukim di dalam goa, yang sekarang dikenal sebagai Goa Safarwadi, dengan maksud untuk mendalami ilmu agama dan mendidik para santrinya.
dikisahkan
Perjalan Mencari Goa Pamijahan
Disamping untuk membina penduduk, beliau juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau sesuai isyarat tentang keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini beliau bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.
Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, beliau melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, beliau tidak putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.
Bila senja tiba, beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama “ Gunung Mujarod' yang berarti gunung untuk menenangkan hati.
Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa.
Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.
Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw.
Berikut silsilahnya:
Rasululah Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.
Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi". Di sini beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.
Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam.
Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu beliau melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."
Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Beliau menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.
Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AIQur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin Sultan G. Jatijuga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan- Garut.
Fungsi Gua Pamijahan
Bila ditinjau dari segi alamiah, gua itu mungkin juga banyak didapatkan di beberapa tempat, namun gua di Pamijahan sangat berlainan dengan gua-gua ditempat lain, sehingga gua Pamijahan terus dikerumuni orang dari tiap-tiap pelosok.
Gua Pamijahan terletak di dalam gunung, luas dan besar bentuk di dalamnya indah dihiasi batu-batuan yang berkilauan menyambut sinar lampu yang dibawa di tangan para petunjuk jalan yang berjalan di ketengahan air yang jernih keluar dari sela-sela batu licin, hingga membuat terpesona orang yang masuk kedalamnya. Alangkah indahnya dan agungnya ciptaan Tuhan, makin kokoh dan kuat gua itu.
Kemudian kita tinjau secara ilmiah gua tersebut mempunyai beberapa fungsi sosial kehidupan dari masa ke masa antara lain:
- Fungsi Gua di Masa Syekh H. Abdul Qodir Jaelani Sampai Masa Syekh H. Abdul Muhyi Waliyulloh
- Gua sebagai alamiah langsung ciptaan Tuhan dengan sababiah Karomatnya Waliyulloh
- Gua sebagai tempat beribadat para Wali-wali, sebagai bukti terdapat “Masjid dan Menara” didalamnya.
- Gua Pamijahan sebagai tempat pertemuan-pertemuan para wali buktinya adanya jalan yang menghubungkan ke Mekah, ke Surabaya, ke Cirebon dan ke Banten.
- Gua Pamijahan sebagai tempat mendidik kader yang akan disebarkan dalam mengembangkan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air, sebagai bukti terdapat di dalamnya tempat “pendidikan” (pesantren).
- Gua sebagai tempat Tajrid Taqorub menyirnakan dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bermacam-macam peribadatan para wali yang ditempuhnya. Sebagai bukti adanya “Pengtapaan” didalamnya.
- Fungsi Gua di Masa Setelah Syekh H. Abdul Muhyi Sampai Sekarang
- Gua Pamijahan salah satu ciptaan yang betapa hebatnya serta indah dan kokohnya.
- Gua sebagai tempat mengenang kembali kepada pada Solihin yang telah mendapatkan karunia Allah berkat perjuangannya yang suci lagi tulus di dalam mengembangkan dan menyebarkan agama Islam.
- Gua sebagai salah satu untuk mendekatkan diri satu kepada Tuhan.
- Gua sebagai salah satu tempat mencari keberkahan/menambah kebaikan (Ziadatul Khoer), dimana terdapat didalamnya “air jam-jam, air kahuripan, air kejayaan” yang sudah biasa dipakai semenjak Syekh H. Abdul Muhyi bersama para pengikutnya sampai sekarang ini. Perlu diketahui, air jam-jam bukanlah air jam-jam yang berada di Mekah sebagai peninggalan Nabi Ismail, namun mereka mengharapkan dengan barokah keramatnya para wali sehingga air ini membawa barokah sebagaimana air jam-jam yang berada di Mekah maka dari masa kangjeng Syekh air tersebut dinamai “air jam-jam”, begitu halnya dengan air kahuripan dan air kejayaan. Kini setiap orang yang datang ke gua masing-masing, menggunakannya dengan cara yang ada yang memercikannya ke dalam mata, ada juga yang diambil untuk diminum atau bermandi dalam kejayaan.
- Gua sebagai sosial ekonomi, dalm arti karena dengan gua itulah penduduk mendapatkan salah satu rezeki dari Allah.
KAMPUNG BEBAS ROKOK. Seorang pejalan kaki melintasi plang larangan merokok di Kampung Pamijahan, Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu. Warga Kampung Pamijahan yang ditempati sekitar 2500 jiwa masih mempertahankan adat larangan merokok sebagai aturan yang sudah diperintahkan oleh leluhurnya Waliyullah Syekh Abdul Muhyi sejak ratusan tahun lalu, apabila melanggar khawatir menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.
Dilarang Merokok
Pada suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati.
Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa.
Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya.
Karena itu sampai saat ini di daerah Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.
Pada suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya, kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu. Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri."
Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya.
Alhamdulillah,, ini benar2 informasi yg bermanfaat, terima kasih
BalasHapusmantab mengikuti ,dan belajar,,
BalasHapusmantab mengikuti ,dan belajar,,
BalasHapusshech haji muhyidin sering disebut dalam kitab yang tidak ada judulnya...apakah beliu berguru padashech hamzah???
BalasHapusayah syeh abdul muhyi salah satu pangeran di keraton lombok, beliau berfam Almahdaly
BalasHapus