Tapak Jejak Walisongo
KYAI AGENG KASAN BESARI "Walisongo" Periodesasi ke-10, 1751 – 1897
Periodesasi ke-10, 1751 – 1897 terdiri dari:
- Pangeran Diponegoro ( menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan)
- Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, (menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi)
- Kyai Mojo, (Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura)
- Kyai Kasan Besari, (Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
- Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
- Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, (menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir)
- Pangeran Sadeli, (Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu’ali Ahmad)
- Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura (Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri)
- Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, (Menggantikan kakeknya, yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan)
KYAI AGENG KASAN BESARI, (Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani)
KYAI AGENG KASAN BESARI
Alias : Kyai Ageng Muhammad Besari
Lahir : Jawa Timur
Orangtua : Kyai Ilyas bin Kyai Muhammad Hasan Besari Tegalsari
Menggantikan: Syekh Shihabuddin Al-Jawi
Daerah da’wah: Pulau Jawa
Makam : Masjid Tegal Sari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur
Penelusuran Kyai Ageng Mohammad (Muhammad) Besari membawa kami bertemu dengan ahli waris dari Kyai Besari yaitu Eyang Sri Koeswati, Jakarta yang dengan kehangatan kekeluargaan bersedia menerangkan kepada kami bagaimana rupa dari mbah canggah dan cerita mengenai Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari. Satu hal yang di wanti - wanti (diingatkan) oleh Eyang Sri Koeswati adalah mengenai perbedaan antara :
Apabila kita mencari di dunia maya ini informasi terlihat serupa tetapi tidak sama karena adanya kesamaan nama Besari tetapi perbedaan tempat.
Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari dimakamkan di Ngalames, Madiun, Jawa Timur dan
Kyai Anom Besari / Kyai Kasan Besari / Kyai Hasan Besari / Kyai Ageng Imam Besari dari Tegal Sari, Ponorogo. Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari yang memiliki wajah seperti foto di bawah ini adalah Kyai Besari asal Nglames, Madiun yang memiliki ayah Kyai Burhan. Berikut gambar diri beliau, yang diambil oleh seorang administratur Pabrik Gula, dekat Nglames, Madiun :
Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari asal Nglames, Madiun memiliki nama asli Kyai Ngalimuntoha. Nama Mohamad (Muhammad) Besari adalah pemberian guru beliau. Besari adalah versi jawa dari gelar Ba'syar berasal dari asal kata bahasa Persia (Iran).
Kyai Besari adalah seseorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, salah satunya yaitu hafal al-Quran dan ilmu Tasawuf. Salah satu cerita kehebatan Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari adalah beliau tidak memiliki sawah tetapi lumbung beliau selalu penuh karena pemberian masyarakat sekitar yang mendatangi beliau untuk meminta didoakan kepada Allah perihal kesembuhan dan kesuburan tanah pertanian mereka.
Cungkup dimana Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari dan istri dimakamkan
Alias : Kyai Ageng Muhammad Besari
Lahir : Jawa Timur
Orangtua : Kyai Ilyas bin Kyai Muhammad Hasan Besari Tegalsari
Menggantikan: Syekh Shihabuddin Al-Jawi
Daerah da’wah: Pulau Jawa
Makam : Masjid Tegal Sari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur
Ziarah Waliyuallah, Kyai Ngalimuntoha Muhammad (Mohammad) Besari
Sejarah Madiun dan Pangeran Timur atau Panembahan Purboyo
Gerbang Areal Pemkaman Tua, Kuncen,
lang Masjid Kyai Ageng Muhammad Besari
The nameplate of Kyai Ageng Muhammad Besari's Mosque
Mesjid Kyai Ageng Muhammad (Mohammad) Besari tampak depan
Masjid Kyai Ageng Muhammad Besari di Nglames, Madiun, Jawa Timur adalah peninggalan Kyai Ageng Muhammad Besari yang masih kokoh berdiri sampai saat ini. Masjid Kyai Ageng Muhammad Besari terletak di samping makam Kyai Ageng Muhammad Besari.
Mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari terletak di Jalan Raya Nglames, Madiun, Jawa Timur. Di jalan raya yang menghubungkan antara Kota Caruban dan Kota Madiun, Mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari berdiri tegak dengan arsitektur yang tidak berubah sejak Kyai Ageng Muhammad Besari hidup.
Mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari bagian dalam
dan Mimbar di mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari
Bagian dalam mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari terdapat empat tiang. Mesjid inipun didirikan tidak dengan menggunakan paku melainkan dengan teknologi pasak. Di bagian dalam tembok mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari terdapat lukisan berisi ayat - ayat ajaran beliau. Isi dari ayat tersebut sebagian besar adalah ayat - ayat tasawuf (untuk mensucikan diri).
Mimbar mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari memiliki gaya yang mirip dengan mesjid - mesjid tua di Jawa. Mesjid Agung Demak salah satunya, yang memiliki mimbar dengan gaya yang sama dengan mimbar mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari.
Mesjid Kyai Ageng Muhammad (Mohammad) Besari bagian luar
Bagian luar mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari adalah bagian yang terbuka untuk umum. Kebanyakan dari para pengunjung yang sholat tidak dalam waktu sholat berjamaah, akan sholat di bagian luar karena bagian dalam mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari sebagian besar waktu dalam keadaan terkunci.
Banyak orang yang datang ke mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari untuk sholat disana. Ketika bulan Ramadhan tiba banyak yang datang ke mesjid untuk beriktikaf dan sholat tarawih. Aura kebesaran dan kebijakan Kyai Ageng Muhammad Besari masih dapat dirasakan hingga saat ini ketika kita berada di mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari.
Kentongan dan Bedug di mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari
Tidak hanya keasrian tetapi keaslian tetap terjaga di mesjid Kyai Ageng Muhammad Besari ini. Sehingga kita dapat merasakan pasti kedamaian yang di ajarkan Kyai Ageng Muhammad Besari dalam setiap dakwahnya melalu mesjid yang didirikannya.
Makam Kyai Muhammad (Mohammad) Besari, Nglames, Madiun
Petunjuk makam Kyai Muhammad (Mohammad) Besari di pintu masuk makam
- Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari dengan
- Kyai Anom Besari / Kyai Kasan Besari / Kyai Hasan Besari / Kyai Ageng Imam Besari.
Nisan Kyai Muhammad (Mohammad) Besari dan istri
Apabila kita mencari di dunia maya ini informasi terlihat serupa tetapi tidak sama karena adanya kesamaan nama Besari tetapi perbedaan tempat.
Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari dimakamkan di Ngalames, Madiun, Jawa Timur dan
Kyai Anom Besari / Kyai Kasan Besari / Kyai Hasan Besari / Kyai Ageng Imam Besari dari Tegal Sari, Ponorogo. Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari yang memiliki wajah seperti foto di bawah ini adalah Kyai Besari asal Nglames, Madiun yang memiliki ayah Kyai Burhan. Berikut gambar diri beliau, yang diambil oleh seorang administratur Pabrik Gula, dekat Nglames, Madiun :
Kyai Ageng Ngaimuntoha Muhammad (Mohammad) Besari
Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari asal Nglames, Madiun memiliki nama asli Kyai Ngalimuntoha. Nama Mohamad (Muhammad) Besari adalah pemberian guru beliau. Besari adalah versi jawa dari gelar Ba'syar berasal dari asal kata bahasa Persia (Iran).
Kyai Besari adalah seseorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, salah satunya yaitu hafal al-Quran dan ilmu Tasawuf. Salah satu cerita kehebatan Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari adalah beliau tidak memiliki sawah tetapi lumbung beliau selalu penuh karena pemberian masyarakat sekitar yang mendatangi beliau untuk meminta didoakan kepada Allah perihal kesembuhan dan kesuburan tanah pertanian mereka.
Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari lahir tahun 1754 dan wafat tahun 1904. Dimakamkan di pemakaman keluarga yang dikelola oleh ahli waris beliau di Jalan raya Nglames, Madiun, Jawa Timur. Jarak perjalan dari pusat kota adalah 30 menit. Ambil arah menuju Magetan (apabila melewati Pabrik Gula, lurus saja), makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari berada di kanan jalan dengan plang makam sebagai petunjuk jalan makam.
Nisan dari Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari
Letak makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari berada di belakang makam umum dan terletak di samping Mesjid. Makam yang terjaga keasrian dan ketenangannya serta berada di cungkup yang nyaman, membuat kusyuk doa - doa yang kita panjatkan.
Di areal makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari terdapat keturunan beliau. Menurut Eyang Sri Koeswati Soegiarso, ahli waris makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari makam tersebut dipindahkan dari makam beliau ke Nglames, Jawa Timur dikarenakan tanah makam yang lama dijadikan tanggul bengawan Madiun.
Penanda pemndahan makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari
Makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari yang didirikan diatas tanah hak milik Ir, Soegiarso Padmopranoto oleh kantor Agraria Kabupaten Madiun untuk difungsikan sebagai makam pengganti dengan seijin Bupati Madiun.
Makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari di Nglames, Madiun merupakan makam keluarga yang dijaga oleh seorang juru kunci yang rumahnya berada tidak jauh dari makam. Makam Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari selalu dalam keadaan terkunci, apabila peziarah hendak berziarah dapat menghubungi juru kunci yaitu Ibu Gunadi di nomor +62 3517822140.
Makam keturunan Kyai Ageng Mohamad (Muhammad) Besari
CERITRA TENTANG SEKELUMIT
TANAH PERDIKAN DI DAERAH MADIUN dan PONOROGO
Yang Masih Terkait dengan Kyai Ageng Mohammad Besari
Tanah Perdikan Banjarsari
Tahun 1762. Berawal dari kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi peperangan melawan Prabu Joko , seorang adipati Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung) Sultan Hamengku Buwono.
Namun ia melawan, dan bagi sebuah kerajaan besar seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima. Pangeran Ronggo, seorang Bupati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui seorang cerdik pandai dan bijak bestari, beliau adalah Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo.
Kepada Kiai Muhammad Besari, Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan peperangan.
Kiai Muhammad Besari menyanggupi. Karena usia beliau sudah tua beliau memanggil santri muda sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah panji-panji Mataram. Jogjakarta
Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya. Kyai Muhammad Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi, sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat.
Kyai Muhammad Bin Umar memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang (Singosari).
Perang diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Kyai Muhammad Bin Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.
Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.
Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu. Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit Singosari yaitu prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.
Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira dan terkesan.
Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa.
Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom ( perdikan ) ,
tanpa dibebani pajak.
Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai Muhammad Besari. Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa itu Desa Banjasari.
Dari sinilah beliau mulai meretas keberadaan desa perdikan Banjarsari yang kelak oleh anak keturunan Kyai Muhammad Bin Umar yakni Kiai Ali Imron memecah desa itu menjadi dua bagian Banjarsari Wetan seluas 500 hektare dan Banjasari Kulon 700 hektare.
Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Sejak tahun 1963 pemerintah menghapuskan daerah perdikan (otonom). Kepala pemerintahan desa pada jaman perdikan dinamakan Kyai. Kyai terakhir dari Banjarsasi Wetan adalah Kyai R. Istiadji bin Kyai Ismangil, sedang Banjarsari Kulon Kyai R.Djojodipoero.
Di perdikan tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.
Tanah Perdikan Giripurno
Tanah perdikan Giripurno ditetapkan oleh Sultan Hamengkubuwono II Karena di Gunung Bancak Giripurno terdapat makam anak seorang raja, maka Giripurno dijadikan Perdikan. Kyai Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola daerah Perdikan itu.
Kyai Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari, meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, Beliau di Giripurno mendirikan pondok pesantren.
Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana dan banyak didatangi orang karena kearifannya. Salah seorang yang meguru (berguru) kepada beliau adalah
- Kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga isteri Ronggo Prawirodijo III.
- Tidak menutup kemungkinan Ronggo Prawirodijo III adalah murid beliau juga.
Selain Kanjeng gusti Ratu Maduretno (garwo padmi) beliau masih mempunyai isteri lain yang berasal dari Madiun (garwo paminggir).
- Alibasah Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir tersebut.
Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, maka beliau memilih dimakamkan di Gunung Bancak, Giripurno.
Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan sekaligus senopati perang Hamengku Buwono II, Ketika Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I) memisahkan diri dari Surakarta dan Membangun Jogjakarta. Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III yang berjasa mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati Madiun, membawahi bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.
Ronggo Prawiridirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta “pating dlemok”, ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan perang gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para “blandong”, yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.
Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo II yang merupakan antek Belanda.
Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo III ditangkap hidup atau mati, maka patih Danurejo II menyusun siasat untuk menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.
Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura.
Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik ”Devide et impera”
Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Jogjakarta dengan upacara kebesaran di makamkan di Banyu Sumurup komplek makam Imogiri. GKR Maduretno, isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Jogjakarta dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya.
Ini berarti beliau memutuskan hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II, bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna memenuhi permintaan Belanda, Danurejo juga telah mencuri stempel Kraton Jogjakarta untuk mengeluarkan perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai “patih sedo kedaton”.
Tanah Perdikan Sewulan
Situs Perdikan Sewulan adalah cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang masih tersisa hingga sekarang. Meski sudah berumur hampir tiga abad, arsitektur kuno yang terpajang masih kokoh berdiri. Gapura besar berwarna putih berdiri kokoh. Ornamen kaligrafi menghiasi setiap bagian dari gapura itu.
Di bagian paling atas tertulis Masjid Agung Sewulan. Dan di kanan kirinya diberi corak bunga berjajar.
Situs Sewulan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Madiun. Apalagi, tempat ini merupakan salah satu cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang tersisa. Pembangunannya pada tahun 1714 oleh Kiai Ageng Basyariyah. Beliau dulu adalah seorang Kiai pimpinan Pesantren dan juga sebagai penyebar Agama Islam di wilayah tersebut.
Sejak berdirinya masjid bentuk bangunan masih dipertahankan. Seperti tembok yang tebalnya mencapai satu meter dan kolam tempat wudu yang terletak persis di depan masjid sama sekali belum tersentuh. ”Ini masjid tertua yang berada di Madiun, usianya hampir tiga abad,” tegas pria paro baya itu.
Kolam yang berukuran 4 x 5 meter itu sendiri sekarang jarang digunakan. Maklum masyarakat biasanya lebih memilih berwudu di tempat yang sudah disediakan. Tapi sebagian warga pendatang masih percaya bahwa air dalam kolam itu bisa mempercepat balita untuk bisa berjalan. Biasanya setelah mandi di kolam itu, beberapa bulan selanjutnya bisa berjalan
Banyaknya ukiran kaligrafi disetiap sudut membuat nuansa Islam semakin kental. Apalagi mimbar (tempat untuk kutbah) yang ada sekarang juga merupakan warisan sejak berdirinya masjid tersebut. Meskipun demikian mimbar itu masih terlihat cukup elegan.
Tak hanya itu, masjid Sewulan juga menjadi kenangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika masih kecil. Gus Dur merupakan salah satu keturunan kedelapan Kiai Ageng Basyariyah. Jadi di Sewulan inilah, tempat bermain tokoh yang pernah menjadi Presiden RI itu, sebelum akhirnya hijrah ke Jombang. Selain Gus Dur, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai keturunan Kiai Ageng Basyariyah.
Tanah Perdikan Tegalsari, Ponorogo
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), Bantengan, dan lainnya
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. sebagai contoh adalah Susuhunan Paku Buwono II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Sunan Kuning, seorang Pangeran keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Sehingga banyak kyai yang tumbuh dan berkembang dari keturunan ini diantaranya :
Menurut Mbah Sujak, sesepuh Desa Tegalsari yang juga juru kunci Kompleks Makam Kyai Ageng Muhammad Besari di Kompleks Masjid Tegalsari mengakui hampir tiap hari dikunjungi ratusan orang untuk Ngalap Berkah atau mencari hidayah. Apalagi dalam bulan suci Ramadhan maupun menjelang pelaksanaan Ujian Nasional, puluhan ribuan pelajar melakukan dzikir dan doa bersama serta sholat hajad.
Beberapa keunikan Masjid Jami Kyai Muhammad Besari menurut Mbah Sujak, antara lain adalah Kubah masjid yang terbuat dari tanah liat (sejenis gerabah) yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang. Kubah ini menurut cerita pada jaman Belanda pernah di tembak berkali-kali namun tidak rusak sedikitpun.
“Soko guru berjumlah empat buah yang masing-masing mempunyai kekuatan tersendiri apabila ada orang yang berdoa di dekat tiang tersebut dan didukung oleh tiang-tiang penyangga Masjid lainnya,” tutur Mbah Sujak.
Selain itu payung kebesaran yang konon bisa dipergunakan sebagai penangkal atau tolak balak mana kala ada kerusuhan di desa Tegalsari. “Ada juga peninggalan Batu Tangga peninggalan Kerajaan Majapahit berukuran 1 x 0,6 meter dan Ruang Pertemuan Dalem Njero yang merupakan tempat peristirahatan Kyai Ageng Muhammad Besari yang berada di seberang jalan masjid,” tambahnya.
Dalem Njero ini saat ini dimanfaatkan oleh Yayasan Tegalsari sebagai tempat untuk pertemuan rutin kegiatan yayasan. “Dalem Njero juga diyakini sebagai tempat bermunajat yang paling ampuh,” ulasnya.
Alumni pondok Tegalsari ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, bahkan pujangga keraton.
Misalnya,
Sebuah riwayat menyebutkan, keberadaan pondok itu mengelilingi sebuah masjid yang didirikan Kyai Ageng Besari pada tahun 1760.
Menurut Afif Azhari, Ketua Yayasan Kyai Ageng Besari, rehab pertama menyalahi Bistek sehingga hampir mengubah wajah asli bangunan masjid di atas lahan seluas satu hektar itu. Dengan penambahan serambi dan bangunan di sisi kiri-kanan masjid. “Namun, rehab terakhir berusaha dikembalikan lagi seperti aslinya,” ujar Afif Azhari.
Secara arsitektural, masjid ini memiliki langgam Jawa kuno. Terdiri dari tiga bangunan yang saling berhimpit, berorientasi barat-rimur, bangunan masjid beratap tajug tumpang riga terletak paling barat. Di dalam interior terdapat empat buah saka guru, 12 sakarawa, dan 24 saka pinggir penyangga atap tajug yang dipasang dengan sistem ceblokan.
Struktur atap tajug diekspose, sehingga dapat diketahui bahwa brunjungnya merupakan jenis atap tajug peniung atau payung agung, karena usuknya disusun secara sorot. Selain itu, juga juga terdapat mimbar kayu berukir, yang sebetulnya merupakan replika dari mimbar asli yang telah rusak.
Mihrabnya merupakan sebuah ceruk yang dibingkai kayu ukiran dengan bentuk dan stilirasi dari kalarnakara.
Di sebelah rimur masjid terdapat pendopo beratap limasan. Di sebelah timur pendopo terdapat bangunan tambahan beratap kubah metal dengan proporsi sangat pendek. Bangunan tambahan ini termasuk bangunan yang dibuat atas dana bantuan dari Soeharto. Bangunan kuno lainnya yang masih terjaga adalah rumah Kyai Ageng Besari, yang berada di depan masjid. Rumah itu dikenali sebagai rumah adat satu-satunya yang masih ada. Karena itulah, pemerintah setempat menetapkan kawasan ini sebagai obyek wisata religi.
Keunikan masjid ini bisa ditemui pada pilar-pilar kayu jati yang keseluruhannya berjumlah 36 buah, atau tembok setebal 0,5 meter. Sirap, usuk, selukat dan lain-lain, sebelum direhab pada 1978 masih asli. Ketika rehab pada 1998 pun, tidak mampu mengembalikan keaslian bangunan. Lebih parah lagi, pada masjid putri, di sebelah kanan masjid utama, semua bagian telah berubah dan nyaris tak ada bedanya dengan bangunan pada umumnya. Tempat tinggal Ronggowarsito semasa jadi santri juga sudah tak jelas keasliannya.
Di sisi barat masjid terdapat makam keluarga besar Kyai Ageng Besari. Pada saat bulan puasa, terutama sepuluh hari terakhir, kawasan ini kebanjiran pengunjung. Tak cukup hanya di lingkungan masjid, bahkan meluber sampai kawasan desa. Pada 1990-an, pemerintah bersama tokoh-tokoh agama setempat berkeinginan membesarkan pesantren itu dengan nama pesantren Ulumul Quran. Namun, kata Afif Azhari, keinginan itu hingga kini belum berhasil diwujudkan. Yang masih berjalan hingga kini adalah pesantren dengan sistem modern, yaitu Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah Ronggowarsito.
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari . Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa.
Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu.
Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari . Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari . Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda.
Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya.
Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari).
Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom.
Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon.
Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. (Sejarah berdirinya pondok Gontor)
Masyarakat Ponorogo sangat menghormati keberadaan masjid Jami' Tegalsari. Mereka percaya bila masjid tersebut didirikan oleh kiai yang amat sakti, Ki Ageng Besari dan Kiai Kasan Besari. Kabarnya, tiang masjid yang terbuat dari kayu jati itu didirikan oleh Kiai Kasan Besari dengan menamparkan tangannya. Sampai kini rasa hormat masyarakat terhadap masjid ini masih terlihat dengan jelas.
Sepintas Masjid Jami' hampir mirip dengan Masjid Agung Demak. Letak pintu dan jendelanya nyaris sama. Bahkan atap masjid sama-sama terbuat dari kayu jati. Begitu pula dengan tiang masjid yang terbuat dari kayu jati tanpa paku. Perbedaan yang tampak adalah kubah masjid. Kubah Masjid Jami' terbuat dari gentong kecil, sedangkan kubah Masjid Agung lancip dan menjulang ke atas.
Menurut Kiai Samsudin Mustofa, pengasuh pondok pesantren Ki Ageng Mohammad Besari Tegalsari, Ponorogo pembangunan masjid ini diwarnai dengan sedikit masalah. Konon, tiang yang terbuat dari kayu jati tidak dapat berdiri tegak. Dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Kasan Besari, kayu itupun ditampar. Aneh, tiba-tiba kayu itu berdiri yang akhirnya menjadi tiang utama Masjid Jami'.
Rupanya masalah tak kunjung usai. Salah satu tiang masjid yang berada di pojok tidak dapat ditancapkan ke tiang yang lain. Pasalnya, tiang itu kurang tajam ujungnya. Lagi-lagi dengan kesaktian yang dimiliki, Kiai kasan Besari mengurut kayu itu hingga ujung tiang menjadi lancip. Alhasil, tiang itupun dapat ditancapkan lagi ke tiang utama tanpa memakai paku.
Begitu pembangunan Masjid Jami' selesai banyak para santri yang berdatangan ke masjid tersebut. Akhirnya, masjid tersebut menjadi pusat keagamaan masyarakat Islam di daerah Ponorogo. Apalagi masyarakat percaya bila di masjid ini pula, pada bulan Ramadhan, sering datang malam lailatul kadar, malam yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam
Terletak di desa Tegalsari Kecamatan Jetis. Masjid ini merupakan peninggalan Kyai Ageng Hasan Besari, seorang ulama besar yang hidup sekitar tahun 1742 pada jaman pemerintahan Sunan Pakubuwono II.
Masjid Tegalsari diperkirakan dibangun sekitar abad XVII oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Pada awalnya ukuran masjid itu masih relatif kecil. Bangunan masjid diperluas lagi oleh cucu Kyai Ageng Hasan Besari, yaitu Kyai Kasan Besari agar menampung jumlah jamaah yang lebih banyak. Kyai inilah yang berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo sampai lereng Gunung Lawu.
Masjid dengan arsitektur jawa ini memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo (3+6=9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut yang mengambarkan Keagungan Allah Swt. Serta didalam masjid ini pula tersimpan kitab yang berumur 400 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito.
Komplek Masjid Tegalsari terdiri dari tiga bagian yaitu:
* Dalem Gede / kerajaan kecil yang dulunya merupakan pusat pemerintahan
* Sebuah Masjid
* Komplek makam Kyai Ageng Mohamad Besar
Masjid Tegalsari PONOROGO
WISATA RELIGI "MASJID TEGAL SARI JETIS PONOROGO"
GEBANG TINATAR - TEGALSARI PONOROGO POTRET PESANTREN PERTAMA DI INDONESIA
Masjid ini dipercaya sebagai masjid cikal bakal penyebaran Agama Islam di Bumi Reyog. Masjid yang pernah dikunjungi mantan Presiden RI HM. Soeharto dan KH. Abdurahman Wachid terletak di RT. 01, RW. 01, Dukuh Gendol, Desa Tegalsari Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Tepatnya, terletak 10 km arah tenggara dari pusat kota (Searah dengan jalur Pondok Pesantren Walisongo, Desa Ngabar, Kecamatan Siman dan Al-Mawadah, Desa Coper, Kecamatan Jetis).
Tampak Depan yang Sudah direnovasi
Bangunan Masjid yang Masih ASLI
Bancik / batu pijakan Masjid Jami Tegalsari, Jetis, Ponorogo yang dulunya adalah sebuah bagian dari benda peninggalan sejarah peradaban kuno.
Ini bukan tidak mempunyai maksud tertentu tentang arti letak dan posisinya atas batu pijakan istimewa ini. Batu pijakan di depan masjid ini bukan sebuah ’batu kosong’ seperti pada umumnya batu-batu dari alam pada umumnya tetapi ’batu’ istimewa ini – biasanya – diambil dari sebuah tempat angker, punden, atau bagian dari sebuah artifak atau situs atau candi atau bahkan sebuah arca utuh yg ditanam di depan masjid sebagai perlambang ’agomo’ telah mengalahkan ’tradisi sesat’ pada jaman atau saat itu pada medio tahun 70-80an.
Dalam bahasa setempat batu itu disebut “ watu bancik” atau tempat “ancik-ancik” atau tempat menongkrong atau batu pijakan.
“Sesembahmu aku jadikan cuma sebagai pijakan bagi setiap orang yg akan masuk masjid”.
Mungkin begitu kira-kira pesannya. Karena pada saat itu juga hingga kini masih banyaknya ‘laku’ warga desa setempat mendatangi punden atau artifak kuno atau tempat angker lainnya dengan maksud yang tidak sinkron dengan ajaran suci. Maka para agamawan memilih jalur terjal ini meski jalur itu merusak arti sebuah potret kehidupan masa lalu atas sebuah peradaban Jawa (khususnya).
Bertranspormasinya sebuah benda dari “barang wingit” menjadi “barang sepolo” atau barang kecil tak bermakna ini berlangsung di desa-desa di seluruh wilayah Wengker (nama kuno untuk kota Ponorogo atau suatu wilayah yang terletak di antara dua gunung yaitu pada sisi barat gunung Wilis dan sisi timur gunung Lawu. Wengker adalah tempat yang angker dan wingit, Wengker dari kata Wono Angker atau hutan angker.
Sepertihalnya nasib lambang Mojopahit suryo sumunar (lambang burung Garudanya kraton Mojopahit) yang di boyong dari kraton Majapahit dan sekarang ditempel di dinding masjid Demak. Artinya bahwa Demak telah mengalahkan Majapahit.
Transformasi tidak berhenti pada batu candi, arca atau lainnya tetapi juga termasuk pohon-pohon besar khususnya ditempat mata air yang , lagi-lagi, di sebut tempat angker yang ditakuti warga desa di mana pohon-pohon besar itu ditebang dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan sebuah masjid. Sampai di sini tidak masalah seandainya saja yang berani menebang itu ya berani untuk menanam. Tetapi apa ya mungkin, kalau aktifitas menebang itu adalah lambang kemenangan apakah mereka akan memberikan kembali kemenangannya itu pada pihak yang dikalahkan. Tidak mungkin bukan? Jadi mereka tidak akan menanam sebuah pohon angker untuk warga desa bukan lagi? Maka akibatnya, sumber air itu menjadi mati. Hilanglah sudah satu anugerah alam dari sang Pencipta.
Masjid Tegalsari merupakan bagian dari cagar budaya, satu diantara sekian banyak obyek wisata andalan di Kabupaten Ponorogo, dipercaya merupakan peninggalan Kyai Ageng Muhammad Besari seorang ulama’ sakti dan berbudi luhur yang konon merupakan keturunan ke sebelas Nabi Muhammad SAW.
Sehingga banyak kyai yang tumbuh dan berkembang dari keturunan ini diantaranya :
- Kyai Zainal putra kesembilan dari Kyai Muhammad Besari yang menjadi Raja Selangor Malaysia,
- Kyai Moh. Muhji menjadi Raja penerus dari Ayahandanya dan Nyai Ngaisah Dinobatkan sebagai Sultan Johor Malaysia.
Menurut Mbah Sujak, sesepuh Desa Tegalsari yang juga juru kunci Kompleks Makam Kyai Ageng Muhammad Besari di Kompleks Masjid Tegalsari mengakui hampir tiap hari dikunjungi ratusan orang untuk Ngalap Berkah atau mencari hidayah. Apalagi dalam bulan suci Ramadhan maupun menjelang pelaksanaan Ujian Nasional, puluhan ribuan pelajar melakukan dzikir dan doa bersama serta sholat hajad.
Beberapa keunikan Masjid Jami Kyai Muhammad Besari menurut Mbah Sujak, antara lain adalah Kubah masjid yang terbuat dari tanah liat (sejenis gerabah) yang masih terjaga keasliannya hingga sekarang. Kubah ini menurut cerita pada jaman Belanda pernah di tembak berkali-kali namun tidak rusak sedikitpun.
“Soko guru berjumlah empat buah yang masing-masing mempunyai kekuatan tersendiri apabila ada orang yang berdoa di dekat tiang tersebut dan didukung oleh tiang-tiang penyangga Masjid lainnya,” tutur Mbah Sujak.
Selain itu payung kebesaran yang konon bisa dipergunakan sebagai penangkal atau tolak balak mana kala ada kerusuhan di desa Tegalsari. “Ada juga peninggalan Batu Tangga peninggalan Kerajaan Majapahit berukuran 1 x 0,6 meter dan Ruang Pertemuan Dalem Njero yang merupakan tempat peristirahatan Kyai Ageng Muhammad Besari yang berada di seberang jalan masjid,” tambahnya.
Dalem Njero ini saat ini dimanfaatkan oleh Yayasan Tegalsari sebagai tempat untuk pertemuan rutin kegiatan yayasan. “Dalem Njero juga diyakini sebagai tempat bermunajat yang paling ampuh,” ulasnya.
Alumni pondok Tegalsari ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, bahkan pujangga keraton.
Misalnya,
- Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura;
- Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan
- Tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Sebuah riwayat menyebutkan, keberadaan pondok itu mengelilingi sebuah masjid yang didirikan Kyai Ageng Besari pada tahun 1760.
Menurut Afif Azhari, Ketua Yayasan Kyai Ageng Besari, rehab pertama menyalahi Bistek sehingga hampir mengubah wajah asli bangunan masjid di atas lahan seluas satu hektar itu. Dengan penambahan serambi dan bangunan di sisi kiri-kanan masjid. “Namun, rehab terakhir berusaha dikembalikan lagi seperti aslinya,” ujar Afif Azhari.
Struktur atap tajug diekspose, sehingga dapat diketahui bahwa brunjungnya merupakan jenis atap tajug peniung atau payung agung, karena usuknya disusun secara sorot. Selain itu, juga juga terdapat mimbar kayu berukir, yang sebetulnya merupakan replika dari mimbar asli yang telah rusak.
Mihrabnya merupakan sebuah ceruk yang dibingkai kayu ukiran dengan bentuk dan stilirasi dari kalarnakara.
Di sebelah rimur masjid terdapat pendopo beratap limasan. Di sebelah timur pendopo terdapat bangunan tambahan beratap kubah metal dengan proporsi sangat pendek. Bangunan tambahan ini termasuk bangunan yang dibuat atas dana bantuan dari Soeharto. Bangunan kuno lainnya yang masih terjaga adalah rumah Kyai Ageng Besari, yang berada di depan masjid. Rumah itu dikenali sebagai rumah adat satu-satunya yang masih ada. Karena itulah, pemerintah setempat menetapkan kawasan ini sebagai obyek wisata religi.
Keunikan masjid ini bisa ditemui pada pilar-pilar kayu jati yang keseluruhannya berjumlah 36 buah, atau tembok setebal 0,5 meter. Sirap, usuk, selukat dan lain-lain, sebelum direhab pada 1978 masih asli. Ketika rehab pada 1998 pun, tidak mampu mengembalikan keaslian bangunan. Lebih parah lagi, pada masjid putri, di sebelah kanan masjid utama, semua bagian telah berubah dan nyaris tak ada bedanya dengan bangunan pada umumnya. Tempat tinggal Ronggowarsito semasa jadi santri juga sudah tak jelas keasliannya.
Di sisi barat masjid terdapat makam keluarga besar Kyai Ageng Besari. Pada saat bulan puasa, terutama sepuluh hari terakhir, kawasan ini kebanjiran pengunjung. Tak cukup hanya di lingkungan masjid, bahkan meluber sampai kawasan desa. Pada 1990-an, pemerintah bersama tokoh-tokoh agama setempat berkeinginan membesarkan pesantren itu dengan nama pesantren Ulumul Quran. Namun, kata Afif Azhari, keinginan itu hingga kini belum berhasil diwujudkan. Yang masih berjalan hingga kini adalah pesantren dengan sistem modern, yaitu Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah Ronggowarsito.
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari . Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa.
Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu.
Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari . Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari . Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda.
Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya.
Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari).
Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom.
Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon.
Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. (Sejarah berdirinya pondok Gontor)
Masyarakat Ponorogo sangat menghormati keberadaan masjid Jami' Tegalsari. Mereka percaya bila masjid tersebut didirikan oleh kiai yang amat sakti, Ki Ageng Besari dan Kiai Kasan Besari. Kabarnya, tiang masjid yang terbuat dari kayu jati itu didirikan oleh Kiai Kasan Besari dengan menamparkan tangannya. Sampai kini rasa hormat masyarakat terhadap masjid ini masih terlihat dengan jelas.
Sepintas Masjid Jami' hampir mirip dengan Masjid Agung Demak. Letak pintu dan jendelanya nyaris sama. Bahkan atap masjid sama-sama terbuat dari kayu jati. Begitu pula dengan tiang masjid yang terbuat dari kayu jati tanpa paku. Perbedaan yang tampak adalah kubah masjid. Kubah Masjid Jami' terbuat dari gentong kecil, sedangkan kubah Masjid Agung lancip dan menjulang ke atas.
Menurut Kiai Samsudin Mustofa, pengasuh pondok pesantren Ki Ageng Mohammad Besari Tegalsari, Ponorogo pembangunan masjid ini diwarnai dengan sedikit masalah. Konon, tiang yang terbuat dari kayu jati tidak dapat berdiri tegak. Dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Kasan Besari, kayu itupun ditampar. Aneh, tiba-tiba kayu itu berdiri yang akhirnya menjadi tiang utama Masjid Jami'.
Rupanya masalah tak kunjung usai. Salah satu tiang masjid yang berada di pojok tidak dapat ditancapkan ke tiang yang lain. Pasalnya, tiang itu kurang tajam ujungnya. Lagi-lagi dengan kesaktian yang dimiliki, Kiai kasan Besari mengurut kayu itu hingga ujung tiang menjadi lancip. Alhasil, tiang itupun dapat ditancapkan lagi ke tiang utama tanpa memakai paku.
Begitu pembangunan Masjid Jami' selesai banyak para santri yang berdatangan ke masjid tersebut. Akhirnya, masjid tersebut menjadi pusat keagamaan masyarakat Islam di daerah Ponorogo. Apalagi masyarakat percaya bila di masjid ini pula, pada bulan Ramadhan, sering datang malam lailatul kadar, malam yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam
Terletak di desa Tegalsari Kecamatan Jetis. Masjid ini merupakan peninggalan Kyai Ageng Hasan Besari, seorang ulama besar yang hidup sekitar tahun 1742 pada jaman pemerintahan Sunan Pakubuwono II.
Masjid Tegalsari diperkirakan dibangun sekitar abad XVII oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Pada awalnya ukuran masjid itu masih relatif kecil. Bangunan masjid diperluas lagi oleh cucu Kyai Ageng Hasan Besari, yaitu Kyai Kasan Besari agar menampung jumlah jamaah yang lebih banyak. Kyai inilah yang berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo sampai lereng Gunung Lawu.
Masjid dengan arsitektur jawa ini memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo (3+6=9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut yang mengambarkan Keagungan Allah Swt. Serta didalam masjid ini pula tersimpan kitab yang berumur 400 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito.
Bagian depan Masjid Jami Kyai Muhammad Besari Desa Tegalsari
* Dalem Gede / kerajaan kecil yang dulunya merupakan pusat pemerintahan
* Sebuah Masjid
* Komplek makam Kyai Ageng Mohamad Besar
Seorang Pujangga Jawa yang masyhur Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan, tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto, Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, adalah deretan Alumni Pondok Tegalsari. Bukti kemashuran sejarah Pondok ini masih bisa kita rasakan saat kita mengunjungi Masjid Besar Tegalsari.
Nyai Baelawi /Baedlowi dimakamkan di Bukit Bancak. sedangkan Kyai Badlawi/Baedlowi sendiri dimakamkan di makam Dusun Kedondong Kecamatan Kebonsari. letak makam Kyai Baedlowi ada di dalam Cungkup Gedhe/ Cungkup Besar, dan ada lagi ada makam Kyai Jayengsari di dalam Cungkup Cilik/Kecil. makam tersebut dibelakang Masjid Nurul Huda Dusun Kedondong Kec. Kebonsari. didalam masjid ada Bedug yang besar, diameter bedug kira2 1 meter lebih. masjid tersebut tepat didepan rumah saya. secara sejarah saya kurang begitu tau.. mohon informasinya terkait hal tersebut.. Terima kasih.
BalasHapusAlkhamdulillah dengan membaca risalah Tegalsari,kini aku dapat pengetahuan akan silsilah .Subkhannallah, semoga para Kyai dan penerusnya selalu di berkahi Dunia Akhirat.Aamiin
BalasHapusAssalaamu 'alaikum wr. wb.
BalasHapusPerkenalkan, nama saya Eko Marwanto bin Sardiwan bin Kastadja bin Sarwan bin ...(saya tidak tahu lagi). Sedangkan dari jalur nenek atau ibu dari ayah saya : Eko Marwanto bin n Sardiwan bin Samini bin Nawiarsa Djakawitana/Djakafitana bin Nada Besari dst.
Apakah Nada Besari di atas sama dengan Kyai Nedo Besari Tegalsari Ponorogo?
Mohon pencerahan silsilah nasab keluarga saya dari eyang Nada Besari atau Nadja Besari atau Naja Besari?
Demikian disampaikan. Atas pencerahan Bapak, kami ucapkan terima kasih.
Eko Marwanto, S.H.I., M.H. bin Sardiwan bin Kastadja bin Sarwan bin Fulan ...
Trah Kyai Nada Besari di Setu, Kab. Bekasi
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Assalaamu 'alaikum. Mohon maaf, Bpk Muliadi, bukankah memasang Togel adalah judi atau Mmaisi, sama seperti mengundi nasib?
HapusMirip seperti iklan bisa menggandakan uang, sukses usaha, dll.
HapusPertanyaan logika :
Jika mengaku bisa melipatgandakan uang, tebak jitu nomor, cepat kaya, dll, MENGAPA masih capek-capek kerja cari uang dengan cara pasang iklan dan berharap dapat banyak pasien orang-orang hilang akal yg tergiur ingin cepat kaya secara instan ??
Ya mending diam-diam saja, lipat gandakan saja uangnya sendiri, ngapain beritahu ke orang lain...
Assalamualaikum.. kok aku masih bingung ya makam beliau itu di nglames apa di tegalsari mohon pencerahan nya trimakasih.
BalasHapusIya, tadi diawal dijelaskan makam kyai ageng muhammad besari Ada di nglames tapi di tegalsari juga ada. Tolong penjelasannya. Thanks
BalasHapusIyo, iki literatur mbulet mubang mubeng dibaleni gak urut. Kon iku nulis sejarah sing cetho mergo dianut sing moco. Diedit maneh kuwi min admin.
BalasHapusBy the way matur suwun informasinya
Kiyai Ageng Mohamad Besar yang makam di Nglames memiliki nama Ngalimuntoha jadi berbeda dengan yang di Tegalsari
BalasHapus