WANITA GERILYAWAN INDONESIA
CUT NYA’ DHIEN "WANITA GERILYAWAN INDONESIA "
WANITA GERILYAWAN INDONESIA
Ribuan, bahkan jutaan pahlawan telah gugur demi kemerdekaan bangsa ini.
Diantara mereka yang syahid, terdapat beberapa wanita yang ikhlas bergerilya bersama kaum lelaki. Mereka ikut, turun langsung berjuang melawan para penjajah asing yang akan menguasai ibu pertiwi.
Dari sekian banyak wanita pejuang kemerdekaan Indonesia, ada 4 orang yang masyur di blantika sejarah bangsa ini.
Mereka itu adalah:
1. CUT NYA’ DHIEN.
2. CUT NYA’ MEUTIA.
3. NYI AGENG SERANG.
4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU.
Disaat kini kaum wanita sibuk untuk menunjukkan dedikasinya bagi bangsa tercinta ini. Maka ke-4 wanita ini dahulu justru; masuk-keluar hutan, naik-turun gunung, mengangkat senjata bergerilya dengan ikhlas merelakan nyawanya, demi mewujudkan kiprah wanita merdeka saat ini.
1. CUT NYA’ DHIEN
BIOGRAFI
Cut Nya’ Dhien lahir di Lampadang, Aceh, pada tahun 1848. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Dhien terlahir dari keturunan Kesultanan Aceh dari garis ayahnya, Teuku Hoesin Nanta Setia yang bekerja sebagai Hulubalang (Uleebalang) VI Mukim, sedangkan ibunya adalah putri Hulubalang Lampagar.
Di masa kecilnya, Dhien memperoleh pendidikan agama dari orangtua dan guru-guru agama di Lampadang.
Saat usianya 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, pada tahun 1862 . Mereka dikaruniai seorang putra.
Teuku Cek Ibrahim Lamnga adalah Panglima Perang wilayah Lamnga, Montasik Aceh Besar. Ia adalah putra Teuku Po Amat, Hulubalang Lamnga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar.
Saat pecah Perang Aceh ke-II pada tahun 1873, Belanda menyerang Lampadang dan wilayah VI Mukim, di bawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten. Hal ini membuat Dhien dan keluarganya bersama rakyat Aceh lainnya, terpaksa mengungsi pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suami dan para lelaki lainnya, maju bertempur melawan penjajah Belanda.
Sayangnya dalam pertempuran tersebut, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur pada tanggal 29 Juni 1878, di Glee Taroen. Ia dimakamkan di samping Masjid Montasik.
Terbunuhnya suami yang sangat dikasihinya membuat Dhien marah besar, ia bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Pada tahun 1880, Teuku Umar, abang sepupu Dhien, menikahi Dhien sebagai istri yang ke-3. Mereka dikaruniai seorang anak wanita, bernama Cut Gambang.
Pasutri ini kemudian menjadi penyemangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Namun kembali Dhien berduka lagi, saat penyerangan ke Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur tertembak peluru.
..........................................................
Ribuan, bahkan jutaan pahlawan telah gugur demi kemerdekaan bangsa ini.
Diantara mereka yang syahid, terdapat beberapa wanita yang ikhlas bergerilya bersama kaum lelaki. Mereka ikut, turun langsung berjuang melawan para penjajah asing yang akan menguasai ibu pertiwi.
Dari sekian banyak wanita pejuang kemerdekaan Indonesia, ada 4 orang yang masyur di blantika sejarah bangsa ini.
Mereka itu adalah:
1. CUT NYA’ DHIEN.
2. CUT NYA’ MEUTIA.
3. NYI AGENG SERANG.
4. MARTHA CHRISTINA TIAHAHU.
Disaat kini kaum wanita sibuk untuk menunjukkan dedikasinya bagi bangsa tercinta ini. Maka ke-4 wanita ini dahulu justru; masuk-keluar hutan, naik-turun gunung, mengangkat senjata bergerilya dengan ikhlas merelakan nyawanya, demi mewujudkan kiprah wanita merdeka saat ini.
1. CUT NYA’ DHIEN
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
-Cut Nya’ Dhien-
.............................................................................
BIOGRAFI
Cut Nya’ Dhien lahir di Lampadang, Aceh, pada tahun 1848. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Dhien terlahir dari keturunan Kesultanan Aceh dari garis ayahnya, Teuku Hoesin Nanta Setia yang bekerja sebagai Hulubalang (Uleebalang) VI Mukim, sedangkan ibunya adalah putri Hulubalang Lampagar.
Di masa kecilnya, Dhien memperoleh pendidikan agama dari orangtua dan guru-guru agama di Lampadang.
Saat usianya 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, pada tahun 1862 . Mereka dikaruniai seorang putra.
Teuku Cek Ibrahim Lamnga adalah Panglima Perang wilayah Lamnga, Montasik Aceh Besar. Ia adalah putra Teuku Po Amat, Hulubalang Lamnga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar.
Saat pecah Perang Aceh ke-II pada tahun 1873, Belanda menyerang Lampadang dan wilayah VI Mukim, di bawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten. Hal ini membuat Dhien dan keluarganya bersama rakyat Aceh lainnya, terpaksa mengungsi pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suami dan para lelaki lainnya, maju bertempur melawan penjajah Belanda.
Sayangnya dalam pertempuran tersebut, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, gugur pada tanggal 29 Juni 1878, di Glee Taroen. Ia dimakamkan di samping Masjid Montasik.
Terbunuhnya suami yang sangat dikasihinya membuat Dhien marah besar, ia bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Pada tahun 1880, Teuku Umar, abang sepupu Dhien, menikahi Dhien sebagai istri yang ke-3. Mereka dikaruniai seorang anak wanita, bernama Cut Gambang.
Pasutri ini kemudian menjadi penyemangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Namun kembali Dhien berduka lagi, saat penyerangan ke Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur tertembak peluru.
..........................................................
GERILYA SENDIRI
”Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadah kita dirusak!! (Masjid Baiturrahman di bakar Belanda) Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
-Cut Nya’ Dhien-
<<<<<<<-*->>>>>>>
Kini kemarahan Dhien sudah tidak terbendung lagi, dengan pasukan kecilnya, ia bergerilya sendiri di pedalaman Meulaboh, hingga tahun 1901.
Melihat usia Dhien yang mulai sepuh, mata yang rabun dan penyakit encok yang cukup parah, salah satu anak buahnya, Pang Laot, terpaksa meminta pertolongan kepada Belanda.
Namun Dhien, justru mengamuk menghunuskan rencongnya kepada Belanda yang akhirnya dapat membekuk wanita perkasa ini di Beutong Le Sageu. Sedangkan putrinya, Cut Gambang, berhasil kabur ke hutan dan meneruskan perjuangan Dhien.
Belanda kemudian menggiring Dhien ke Banda Aceh. Di sana, ia dirawat dan berangsur penyakitnya pun sembuh.
Walau ia berada dalam perawatan Belanda, Dhien tetap menjadi obor semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia tetap menjalin hubungan dengan para gerilyawan Aceh.
Akibatnya, Belanda terpaksa mengasingkan Dhien ke Sumedang.
..................................................................................................
AKHIR HAYAT
Bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya, Dhien di asingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Berkat pemahaman ilmu agama Dhien yang cukup mumpuni, membuat Bupati Sumedang, Surya Atmaja menaruh hormat pada wanita luarbiasa ini.
Dhien kemudian dipanggil “Ibu Perbu” oleh mereka yang mengenalnya di Sumedang.
Pada tanggal 6 November 1908, ketika pergerakan nasional Indonesia baru dimulai, Cut Nya’ Dhien wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.
Pada tanggal 2 Mei 1964, atas semua jasa besarnya dalam perjuangan melawan Belanda, Presiden RI I, Ir. Soekarno, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia untuk Cut Nya’ Dhien, lewat SK Presiden RI No. 106, tahun 1964.
Perjalanan hidup Dhien yang didominasi perjuangan bergerilya dan cinta, membawanya pada akhir yang sendiri, sunyi dan papa. Namun satu yang tetap ada melekat erat didalam dirinya adalah SETIA HINGGA MATI, kepada tanah airnya, Aceh dan Nusantara.
Perjuangan Cut Nya’ Dhien yang pantang menyerah tersebut, membuat MH. Szekely-Lulofs, seorang sejarawan Belanda, mengukir kisah heroik wanita yang digelari ”Ratu Aceh” ini, dalam bukunya “Tjoet Nya Din: Riwajat Hidup Seorang Puteri Atjeh”. Buku ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh A. Muis.
..................................................................................
MAKAM CUT NYA’ DHIEN
Hingga tahun 1959, tidak ada yang mengetahui secara pasti di mana makam Cut Nya’ Dhien berada. Baru setelah Pemda Aceh dengan sengaja melakukan penelusuran, makamnya pun ditemukan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.
Makam Dhien pertama kali dipugar dan ditandatangani langsung oleh Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, pada tanggal 7 Desember 1987.
Pada batu nisannya, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Di belakang makam terdapat mushala, sementara di sebelah kiri makam terdapat pemakaman keluarga ulama H. Sanusi.
<<<<<<<<--***-->>>>>>>>>
Cut Nyak Dien wafat tanggal 6 Nopember 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan, tidak jauh dari Alun-Alun Sumedang. Tempat ini merupakan salah satu tempat bersejarah di Kota Sumedang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU