Walisongo
Tapak Jejak "SUNAN DRAJAT" (Walisongo Periode Ketiga)
Tapak Jejak "SUNAN DRAJAT" (Walisongo Periode Ketiga)
////Sumber ////
Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur, Kabupaten Lamongan
Tradisi lisan menuturkan bahwa Sunan Drajat ingin menemui R.Nur Rahmat. Sunan Drajat pergi berkunjung ke Kampung Patunon tempat tinggal Nur Rahmat yang kemudian menjadi sebuah desa perdikan cukup maju dan makmur dengan nama Desa Sendang Duwur. n -eritakan bahwa Sunan Drajat mula-mula menyatakan ingin minum 2en dan makan buah siwalan. Sunan Drajat meminta izin R.Nur Rahmat untuk mengambilnya. Dengan khidmat R.Nur Setelah Sunan Drajat merasa kunjungannya sudah cukup, lalu minta diri untuk kembali ke Drajat. R.Nur Rahmat mengiringkan perjalanan beliau. Di tengah jalan, Sunan Drajat mengajak istirahat. Tatkala diketahui ada tanaman wilus, atau ubi hutan, beliau menyuruh kepada pembantunya menggali wilus itu dan membakarnya untuk dimakan. Wilus berhasil digali dan ternyata besar, lalu disuruh membelah menjadi dua, separoh untuk dibakar dan separoh dibawa pulang. R. Nur Rahmat memohon izin agar tidak terlalu repot dan lama, wilus tersebut diminta lalu dimasukkan kembali ke lubang asalnya, kemudian dicabut kembali. Ternyata wilus itu separoh matang dan yang separoh masih mentah. Sunan Drajat terkejut sampai nafasnya turun naik (Jawa = menggeh-menggeh). Dari kata menggeh-menggeh itu lalu hutan atau tanah tersebut oleh Sunan Drajat disebut Sumenggeh yang kemudian berubah menjadi Sumenggah.
Rahmat mempersilakan. Sunan Drajat menghampiri sebuah pohon siwalan /ang besar kemudian batangnya di tepuk tiga kali. Legen (air nira) dan seluruh buah siwalan tersebut jatuh tidak ada yang tersisa. R. Nur Rahmat mengatakan bahwa cara seperti itu akan membawa kerugian pada anak cucu, karena mereka tidak memperoleh bagian apa-apa nantinya. R. Nur Rahmat kemudian mengusap pohon yang besar tiga. kali dan dengan izin Allah pohon itu dapat merunduk tepat di hadapan Sunan Drajat. R.Nur Rahmat mempersilakan mengambil mana yang diinginkan legen atau siwalannya, setelah itu pohon itu kembali tegak.
Setelah menyaksikan dan yakin akan ketinggian ilmu R.Nur Rahmat,18 Sunan Drajat memberinya gelar Sunan dan nama tempat tinggalnya diberi nama Sendang dan dihubungkan dengan Drajat, sehingga R. Nur Rahmat secara Ungkap bergelar Sunan Sendang Drajat.Ada anggapan sementara orang, bahwa cerita tentang kesaktian~R.Nur Rahmat tersebut dapat merendahkan martabat Sunan Drajat dan di lain pihak mengunggulkan Sunan Sendang; padahal pengakuan umum menyatakan bahwa yang masuk dalam jajaran walisanga adalah Sunan Drajat. Anggapan itu bukannya tidak beralasan, sebab ada penutur cerita yang menggunakan kalimat yang bernada mengecilkan ‘ilmu’ (Jawa = ngelmu) bahkan martabat Sunan Drajat. Seperti misalnya cerita yang ditulis oleh R.A.Nataningrat, Wedana Paciran (1930) dalam Het Heiligdom van Sendang Doewoer :
“Sampun lami-lami kocapa kangjeng Sunan Drajat saben-saben bakda waktu Jumaah ngendika klayan ketip modin semu ngegungaken kang salira saben-saben waktu pengendikane : Wus ora nana pengocape kaya ingsun, ora ketip modin, Sunan Ratu Giripura lawan Sunan Ngampeldenta Surabaya, iku ora ana madani maring ingsun digjayane utawa kemandenaningsun. Sampune lami-lami ketip modin sami matur klayan kangjeng Sunan Drajat mergi saking kakene manahe, aturipun ketip modin : Gusti, sampun sampeyan makaten, kilen ngriki wonten tiyang maksih lare dedekah bagor siwalan, maksih sami ngamaruna, sami dipun-bogor sedaya. Kangjeng Sunan lajeng duka sajroning galih. . . . Jeng Sunan lajeng nginum legen kalayan dahar ental, kinarpat lipur rengune galih, lawan semu kalangkung sanget dukane kang galih.”
Terjemahan kutipan tersebut lebih kurang :
Sudah berkali-kali, Sunan Drajat yang merasa dirinya besar, setiap habis salat Jum’at, berkata kepada ketib dan modin : “Sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi saya dalam hal kedigjayaan atau kehebatan, ya ketib modin, Sunan Giri maupun Sunan Ampeldenta Surabaya.” Sudah sering ketib modin menyampaikan pendapat kepada Sunan Drajat karena kekakuan hatinya itu, Paduka, janganlah tuan berkata begitu, di sebelah barat sini ada orang muda bertempat tinggal untuk mengambil nira (legen) dari pohon siwalan. Masih muda tetapi sudah diambil niranya, semuanya tanpa kecuali. Sunan Drajat merasa marah dalam hati . . . Sunan Drajat mencoba menghibur perasaan yang tidak senang sehingga perasaan marahnya yang amat sangat itu tidak kelihatan).
Cerita tersebut di atas memang bernada merendahkan Sunan Drajat. Dikatakan Sunan Drajat merasa diri paling pandai, paling hebat, paling sakti, siapapun tidak ada yang menandingi sekalipun Sunan Giri atau Sunan Ampel. Sunan Drajat terlalu kaku hatinya dan merasa marah ketika diberi tahu bahwa di sebelah barat Desa Drajat ada seorang anak muda yang bertempat tinggal di suatu dukuh yang banyak pohon siwalan. Ketika beliau gagal mengambil legen dan buah siwalan (ental) lalu diambilkan oleh R.Nur Rahmat dengan cara yang mengagumkan Sunan Drajat dengan terpaksa minum legen dan makan (daging) siwalan tersebut dengan maksud menghibur (meredam) rasa marah.
Sikap perangai dan kata-kata seperti yang dituturkan oleh R.A.Nata tersebut di atas, tentu sulit dipercaya pernah keluar dari hati dan lisan Sunan Drajat, Kutipan tersebut antara lain. menggambarkan bahwa Sunan Drajat berperangai rendah, jiwa dan nafsunya belum mengendap (Jawa = Menep), suka dan mudah marah, seperti digambarkan, “Kangjeng Sunan lajeng duko sajroning galih • • • ” dan “lawan semu kalangkung sanget dukane kang galih • • • “
Sunan Drajat tidak akan berani memandang rendah (Jawa = nyampahi) Sunan Giri yang lebih tua apalagi Sunan Ampel ayah dan sekaligus gurunya. Sunan Drajat kiranya bukan orang yang dikenal durhaka kepada orang tuanya dan kakak seperguruannya. Beliau termasuk orang yang diangkat derajatnya terpilih menjadi Wali (jinunjung derajate dadi Wali), yaitu setelah melalui proses “tapa” dengan menahan diri dari tidur dan makan selama tiga bulan. Dengan demikian, Sunan Drajat jiwa dan nafsunya telah “meneb” yakni telah mengendap dan jernih, jadi bukan “orang sembarangan” (Jawa = wong pidak pedarakan). Boleh jadi gambaran sikap, perangai dan kata-kata tersebut di atas adalah imajinasi atau rekaan dan anggapan Nataningrat belaka.
Anggapan seperti tersebut di atas, memang bisa saja terjadi sebagai akibat sikap terlalu fanatik terhadap tokoh yang dihormati atau tokoh ikutan yang diyakini kebenaran pendapat dan kehebatan ilmunya. Anggapan seperti itu mendorong sikap kultus individu dan menganggap siapapun yang lain serba salah atau rendah. Hal seperti itu juga terjadi di kalangan pengikut Imam Mazhab, seperti sikap dan anggapan al-Karkhi karena terlalu kagum dan fanatik terhadap Imam ikutannya, ia tidak hanya memandang rendah kepada pendapat para Imam Mazhab yang lain, malah sampai keluar batas dengan mengatakan : kullu ayatin aw hadisin yukhdlifu ma ‘alaihi ashabutia fahuwa “ntawwahm aw mansukhun.” (Setiap ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan pendapat imam kami, maka harus ditakwilkan atau dimansukh).
Kalau cerita-cerita tentang Sunan Drajat dalam hubungannya dengan Nur Rahmat itu benar terjadi, maka cerita tersebut di atas sebenarnya dapat dipahami secara wajar dan benar. Sunan Drajat dan Sunan Sendang sekalipun berbeda usia, tetapi setidaknya, menurut nuansa cerita itu keduanya hidup dalam satu masa. Keduanya mengambil tempat di pantai utara Lamongan yang waktu itu menjadi wilayah Sidayulawas) dan tidak berjauhan satu dengan yang lain. Ini mengandung makna bahwa wilayah itu strategis dalam kaitannya dengan dakwah Islam. Wilayah Jawa Timur menurut penilaian Suryanegara menjadi pusat kekuasaan politik yaitu Kerajaan Kediri dan Majapahit; itu sebabnya wali penyebar Islam sampai lima orang. Artinya wilayah ini memerlukan tenaga yang banyak dan mumpuni atau berkualitas. Wali penyebar Islam di pantai utara Jawa Timur antara Surabaya – Tuban (berjarak kurang dari 100 Km) adalah Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri, Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
Dengan memahami legenda dalam konteks sejarah seperti itu maka Sunan Drajat memandang penting kehadiran R.Nur Rahmat atau Sunan Sendang yang memiliki kesaktian dan semangat juang menegakkan agama Islam di tengah- tengah masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan lamanya. Tanda bahwa kepercayaan lama demikian kuat tergambar secara jelas pada situs makam dan masjid Sendang Duwur yang sampai sekarang masih utuh.
Kekuatan dakwah waktu itu tidak hanya mengandalkan kefasihan bacaan Qur’an dan Hadis serta pengetahuan fikih dan tauhid, melainkan sangat mungkin harus dilambari dengan kelebihan dalam hal kesaktian. Faktor keberhasilan dakwah seringkah bukan saja terletak pada toleransi dan akomodasi kepercayaan dan praktek-praktek pra-Islam, melainkan juga pada kemampuan tokoh sufi untuk menampilkan diri sebagai orang suci yang memiliki kesaktian supernatural.25 Bahkan dakwah dapat dilakukan melalui hal-hal yang luar biasa dan aneh-aneh seperti kelebihan Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Sunan Giri dan Sunan Bonang diceritakan dapat berjalan di atas air, Sunan Gunung Jati dapat menyembuhkan orang perempuan yang sakit kusta.
Legenda yang paling terkenal di Jawa Tengah ialah kemampuan Sunan Kalijaga dapat mengubah tanah menjadi emas sehingga Bupati Semarang (Pandanarang) tunduk dan memeluk agama Islam. Juga diceritakan bahwa Sunan Bonang ditantang berdialog tentang agama oleh seorang pendeta Hindu tetapi buku-bukunya tenggelam di laut tatkala perahunya pecah diterpa ombak besar. Sunan Bonang dengan tersenyum ramah kemudian mengangkat ujung tongkatnya dari dalam pasir. Tiba-tiba dari lubang itu memancar air dan buku-buku milik pendeta tersebut terikut keluar dari pancaran air tersebut. Serta merta pendeta tersebut beijongkok seraya menyembah dan menyatakan Luk Islam.2“
Seperti diceritakan dalam Babad Tanah Jawi terbitan Meinsma yang dikutip dan dielaborasi oleh Berg, Sunan Giri memiliki kesaktian sebagai anifestasi kekuatan gaib tidak saja ketika masih hidup, bahkan sesudah ^enjnggalpun kesaktian itu tetap ada dan tetap luar biasa. Kesaktian itu dimanifestasikan dengan sembuhnya dua penjaga makam yang pincang karena memperoleh pengaruh (bahasa Jawa = sawab) dan munculnya kumbang- kurnbang dari makam Sunan menyerang dan mengejar tentara Majapahit yang menjarah-rayah Giri.27 Cerita kesaktian seperti tersebut di atas~ memang memerlukan interpretasi dan mitologisasi, tetapi juga tetap ada makna yang tersirat, yaitu bahwa dakwah pada waktu itu memerlukan kekuatan batin dan kelebihan spiritual serta kemampuan ulah kanoragan (olah kesaktian) untuk membela diri.
Memahami hubungan Sunan Drajat dengan R.Nur Rahmat seperti itu, akan terhindar dari pemahaman cerita dengan prasangka tentang kedua tokoh penyebar. Islam di wilayah pantai utara Lamongan tersebut. Bahwa Sunan Drajat benar-benar mengagumi dan berkenan (Jawa = kepranan) terhadap tokoh R.Nur Rahmat. Dalam cerita itu dituturkan bahwa Sunan Drajat menetapkan dan menabalkan R. Nur Rahmat dengan gelar Sunan Sendang Drajat. Bila Sunan Drajat tidak bermaksud menyelidiki dan menguji pasti beliau tersinggung karena merasa dilecehkan dan penabalan Sunan untuk R. Nur Rahmat sehingga bergelar Sunan Sendang Drajat tidak mungkin dilakukan.
Selain itu masih harus dipertanyakan, apakah Sunan Drajat dan R. Nur Rahmat memang benar-benar satu generasi? Sebuah Naskah tua yang berisi daftar para Bupati Sidayu dan Gresik, menceritakan :
“Sasedane Sunan Sendang kagentosan ingkang putra Pangeran Dhuwur (2) Pangeran Dhuwur anggarwa Raden Ayu Cuwa, putrane Pangeran Wanatirta ing Drajat, kang patutan Raden Ayu Burati. “28 (Setelah Sunan Sendang wafat, beliau digantikan oleh puteranya bernama Pangeran Dhuwur yang kawin dengan Raden Ayu Cuwa puteri Pangeran Wanatirta dari Drajat hasil perkawinannya dengan Raden Ayu Burati).
Dari cerita tersebut di atas diperoleh petunjuk bahwa antara Sunan Drajat dengari Sunan Sendang ternyata tidak satu generasi. Raden Ayu Cuwa adalah keturunan Sunan Drajat keempat (generasi canggah), sedang Pangeran Dhuwur adalah putera Sunan Sendang (generasi anak). Dengan demikian Sunan Sendang sebaya (Jawa = pantaran) dengan Pangeran Subrongto yang bergelar Pangeran Wonotirto keturunan Sunan Drajat ketiga (generasi buyut).
Sekalipun antara Sunan Drajat dan Sunan Sendang tidak semasa, tetapi cerita-cerita tersebut di atas tetap mempunyai makna, yaitu bahwa keberadaan Sunan Drajat dan Sunan Sendang sebagai tokoh atau pemimpin masyarakat muslim di pesisir Lamongan tidak bisa diingkari karena ada bukti berupa makam dan diyakini adanya oleh masyarakat dari generasi ke generasi melalui legenda tersebut di atas.
Sejarah Sunan Drajat Dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara, BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH HKABUPATEN LAMONGAN TAHUN 2012, hlm. 85-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU