Karya Sastra Kuno
Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito
Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito
Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.
Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau "pujangga terakhir". Sebab setelah itu tidak ada "pujangga kerajaan" lagi.
Syair Kalatidha bisa dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua adalah bait 7 dan bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12.
Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut “zaman edan”
R.Ng. Ronggowarsito
Sinom
1. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda
Keadaan negara saat ini, sudah semakin tak karuan. Sistem tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang bisa diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah leluhur. Para cerdik cendekia pun juga terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya kian mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun mereka semua itu tidak bisa menciptakan kebaikan di masyarakat. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan tujuannya.
3.Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka
Saat itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan yang cukup menggiurkan sehingga sang Pujangga terlalu gembira dan tidak waspada.
4.Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Persoalannya kemudian adalah karena kabar angin yang tidak menentu. Kabarnya akan ditempatkan sebagai orang yang didepan, tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Sebenarnya kalau direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemimpin? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.
5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna
Didalam buku Panitisastra sebenarnya sudah ada peringatan. Dalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin, akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik menggubah karya-karya jaman dahulu kala.
6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan
Menggubah kisah lama dapat berguna untuk kaca benggala, untuk membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Banyak sekali contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, yang akhirnya akhirnya membuat hati bisa "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Melawan garis takdir itu sebenarnya juga hanya karena terpana oleh banyaknya keelokan yg menghanyutkan
7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada
Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti trend jaman, juga tidak bisa mendapat apapun. Akhirnya malah menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun orang yang lupa diri itu bahagia, namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa eling dan waspada.
8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani. Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Semua itu sebenarnya hanya karna gejolak hati. Betul bukan ? Memang benar jika ada yang berkata demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang mau dicari. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan dari Tuhan.
9.Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar
Lain lagi bagi mereka yang sudah kuat, akan mendapatkan rakhmat Tuhan. Bagaimanapun keadaannya, nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun meski demikian mereka masih juga perlu berikhtiar.
10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma
Jalani saja sekedarnya. Hanya sekedar untuk menghibur hati. Asal tak menimbulkan persoalan tak masalah. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ber-ikhtiar, hanya harus diingat: harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan itu, juga harus awas dan waspada, agar selalu mendapat berkah dari Tuhan.
11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani. Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Engkau yang mampu menolong kami.
12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, mampu menjalankan “mati didalam hidup.” Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga kami
Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini.
Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau "pujangga terakhir". Sebab setelah itu tidak ada "pujangga kerajaan" lagi.
- Bagian pertama adalah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip.
- Bagian kedua isinya adalah ketekadan dan sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya adalah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.
Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut “zaman edan”
R.Ng. Ronggowarsito
Sinom
1. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda
Keadaan negara saat ini, sudah semakin tak karuan. Sistem tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang bisa diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah leluhur. Para cerdik cendekia pun juga terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya kian mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun mereka semua itu tidak bisa menciptakan kebaikan di masyarakat. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan tujuannya.
3.Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka
Saat itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan yang cukup menggiurkan sehingga sang Pujangga terlalu gembira dan tidak waspada.
4.Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Persoalannya kemudian adalah karena kabar angin yang tidak menentu. Kabarnya akan ditempatkan sebagai orang yang didepan, tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Sebenarnya kalau direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemimpin? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.
5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna
Didalam buku Panitisastra sebenarnya sudah ada peringatan. Dalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin, akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik menggubah karya-karya jaman dahulu kala.
6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir Puluh-Puluh anglakoni kaelokan
Menggubah kisah lama dapat berguna untuk kaca benggala, untuk membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul. Banyak sekali contoh dalam kisah-kisah lama, mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, yang akhirnya akhirnya membuat hati bisa "nrima" dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Melawan garis takdir itu sebenarnya juga hanya karena terpana oleh banyaknya keelokan yg menghanyutkan
7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada
Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti trend jaman, juga tidak bisa mendapat apapun. Akhirnya malah menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun orang yang lupa diri itu bahagia, namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa eling dan waspada.
8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani. Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Semua itu sebenarnya hanya karna gejolak hati. Betul bukan ? Memang benar jika ada yang berkata demikian. Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua, apa pula yang mau dicari. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan dari Tuhan.
9.Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar
Lain lagi bagi mereka yang sudah kuat, akan mendapatkan rakhmat Tuhan. Bagaimanapun keadaannya, nasibnya selalu baik. Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah. Namun meski demikian mereka masih juga perlu berikhtiar.
10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma
Jalani saja sekedarnya. Hanya sekedar untuk menghibur hati. Asal tak menimbulkan persoalan tak masalah. Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ber-ikhtiar, hanya harus diingat: harus memilih jalan yang baik. Bersamaan dengan itu, juga harus awas dan waspada, agar selalu mendapat berkah dari Tuhan.
11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani. Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih, mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini. Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana. Hanya Engkau yang mampu menolong kami.
12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa, mampu menjalankan “mati didalam hidup.” Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan. Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga kami
ijin bertanya, di serat ranggawarsita yang manakah sebenarnya 7 tipologi kepemimpinan nusantara itu dibahas, antara lain terkait Satria Pinandhito Sinisihan Wahyu, nuwun
BalasHapus