Khasanah Jawa
SÊRAT WULANG DALÊM INGKANG SINUHUN KANGJÊNG SUSUHUNAN PAKUBUWANA KAPING SAKAWAN
PEREMPUAN DAN AJARAN PERENIALIS DALAM
" SERAT WULANG PUTRI "
Serat Wulang Putri (selanjutnya disingkat SWP) merupakan judul dari sebuah manuskrip yang ditulis oleh Paku Buwono IV dalam aksara dan bahasa Jawa pada 4281 saka atau 1902 M.
Ia menguraikan tentang ajaran moral atau etika yang patut dilakukan oleh wanita khususnya wanita dari kalangan bangsawan. Di lingkungan keraton, pendidikan etika mendapat prioritas utama di samping unsur pendidikan lainnya.
Etika adalah ilmu yang membahas tentang morali tas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas (Bertens, 2002:15). Etika sebagai satu ajaran moralitas yang memberi arah bagaimana sesungguhnya hidup yang religius sesuai dengan tuntunan agama dan norma sosial. Mulia tidaknya hidup seorang wanita tergantung pada moralnya.
Didasarkan alasan itulah PB IV men- gonstruksi ajaran etika sesuai dengan alam pikiran orang Jawa, yaitu menekankan ke- seimbangan, hidup harmoni baik bersama alam maupun sesama manusia. Membaca sama halnya dengan mengisi hati, pikiran dan perasaan pembaca wanita dalam upayanya mencari gambaran hidup yang menyeluruh dalam membentuk frame of reference and since of bilongingness (Kohl- berg, 1984) sebagai wanita Jawa yang uta- ma (baca wanito utomo).
SPW berbasis kosmologi Jawa menekankan pada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Mengingat kebutuhan manusia san- gat kompleks, tidak hanya dipuaskan oleh banyaknya fasilitas kebendaan semata-mata melainkan perlu juga fasilitas batiniah. Untuk memenuhi keduanya, dibutuhkan pendidikan olah rasa, dengan kata lain, mengasah kepekaan guna mencapai keseimbangan dalam hidup. Lebih lebih zaman sekarang, dunia materi membanjiri kehidupan kita, kalau tidak peka dapat menggiring sikap hidup wanita menjadi hedonis. Perilaku wa- nita hedonis punya kecenderungan menga- baikan nilai keagamaan, etika, dan lebih menghamba pada nilai materialisme.
Pada masa mendatang peran wanita semakin berat karena bebannya bukan hanya sebagai ibu, sebagai istri pendamping suami, tuntutan kualitas hidup wanita untuk menjadi diri sendiri agaknya memunculkan persoalan tersendiri. Apalagi, sekarang ini, dengan munculnya gerakan feminisme Ba- rat telah menginspirasi sebagian wanita In- donesia untuk melakukan gerakan dekon- struksi terhadap nilai tradisional yang sela- ma ini dianggap mapan. Gerakannya ber- dampak pada bergesernya nilai kewanitaan secara ekstrem, yaitu mereka beramai-ramai menggugat peran domestik, mengabaikan norma kewanitaan tradisional yang sebe- narnya adiluhung untuk selanjutnya men- gambil nilai-nilai kontemporer yang cende- rung profan. Jika pikiran dan mental demi- kian dibiarkan, lambat laun para wanita Ja- wa khususnya, dan wanita Indonesia umumnya, dimungkinkan akan tercerabut dari norma atau etika kulturalnya yang ber- sumber pada warisan budaya Jawa yang is- tilah sekarang dikenal dengan nama warisan nilai sejarah.
SWP ditulis sekian puluh abad yang lalu, awal mulanya, diperuntukkan bagi wani- ta bangsawan Jawa. Namun, seiring dengan pudarnya kerajaan, dimungkinkan teks ter- sebut dibaca oleh wanita pada umumnya. Perlu dicermati bahwa nilai-nilai ajarannya pun ternyata bersifat universal dan masih relevan (up to date) bagi wanita masa kini. SWP banyak versinya namun tulisan ini sengaja memilih dari sumber PB IV, koleksi perpustakaan Sono Budaya, Yogyakarta No. Kol: SK.20, tulisan tangan, beraksara dan berbahasa Jawa, berbentuk tembang.
TEKS PENDIDIKAN
Tercatat dalam kamus Mardiwarsito (1980) kata wulang berarti mengsebutajar atau mendidik.
Makna SWP merupakan se- buah referensi yang mengupas tentang etika dan moral kewanitaan. Keberadaan teks ter- sebut pada awalnya digunakan sebagai refe- rensi bagi para putri bangsawan yang ber- kepentingan dengan pengembangan ke- pribadian. Ketika seorang wanita mencari tahu soal etika (moral sense), SWP dapat dipakai sebagai acuan karena di dalamnya kaya akan ajaran moral lengkap dengan contoh-contohnya. Caranya, yaitu teks ter- sebut ditembangkan. Nembang mempunyai peranan rangkap, yaitu sebagai moral sense dan sebagai sense of duty, yaitu mendorong manusia agar selalu memilih yang baik dan menjauhi yang jahat (Newman, 1947).
Dalam konteks tersebut, nembang tidak ubahnya semacam perjalanan religi dalam rangka mencari seimbangan hidup menuju kemuliaan hidup. Demikian pula, ketika seorang putri bangsawan nembang teks SWP, sama halnya dengan belajar untuk meraih kemuliaan hidup. Menurut Sedya- wati, (2006:223), seni nembang digolong- kan dalam kesenian kelas atas (bangsawan).
Kesenian tersebut dipandu ke arah me- ngembangkan kaidah-kaidah, baik spiritual, moral maupun estetis. Menanamkan nilai moral terhadap sang putri tidak cukup hanya nasihat, contoh teladan orang tua melainkan juga memerlukan referensi berupa buku-buku yang dapat dibaca setiap saat dan berulang-ulang. Maka dari itu, jika seorang wanita bangsawan menginginkan hidup mulia, dianjurkan untuk belajar nembang.
Belajar nembang merupakan sasaran antara menuju pendidikan yang sebenarnya, yaitu proses belajar mengasah pikiran, mengolah emosi (nafsu) mengolah roso dalam bertatakrama, bersosialisasi dengan lingku- ngan sosial yang semuanya itu secara rinci terdapat dalam SWP.
Adanya teks SWP sebagai bukti perha- tian PB IV terhadap eksistensi wanita di tengah-tengah masyarakat keraton. Pada saat itu, kedudukan dan peran wanita sudah diatur sesuai dengan nilai budaya Jawa yang menempatkan wanita sebagai tiyang wing- king (subordinat) dan kedudukan tersebut tetap mulia berdampingan dengan laki-laki. Pembangunan moral generasi muda tergantung pula pada moral wanita sebagai ibu dan pendidik.
Ibulah yang kali pertama memberi sentuhan pendidikan di samping laki-laki dan ibu pulalah yang dapat menen- tukan anak masuk neraka atau surga. Seba- gaimana hadis Nabi Muhammad saw., seorang ibu diakui lebih besar pengaruhnya daripada sang ayah. Dengan harapan, wanita sebagai pendidik utama bagi putra-putrinya dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali untuk merasa, berpikir dan berbicara. Jadi wanita merupakan pemegang kunci segala bentuk pendidikan terutama pendidikan ahlak generasi penerus.
CORAK PENDIDIKAN
Di kalangan keraton, sistem pendidikan top down lebih ditekankan.
Posisi sebagai orang tua yang memberi nasihat sangat di- tonjolkan. Melalui sarana SWP, sang putri mendidik diri terus-menerus dengan cara belajar nembang. Hanya dengan cara begitu para putri atau wanita bangsawan diharapkan menjadi seorang putri yang bukan hanya pandai secara lahiriah, melainkan juga pandai secara batiniah.
Oleh karena itu, pendidikan diberikan tidak hanya bertumpu pada pendidikan lahir saja juga dilengkapi dengan pendidikan batiniah. Keduanya se- cara bersama-sama mengisi pikiran, relung hati pembacanya dalam upaya membantu manusia menjadi manusia dengan kepriba- dian yang utuh (fully functioning person). Jika hal itu terbangun sejak dini, niscaya, tercipta keseimbangan (balance) dalam diri manusia dan pada akhirnya dapat mencipta- kan kebahagiaan dalam dirinya.
Dalam hal ini, peran orang tua tidaklah kecil dalam memperkenalkan nilai moral terhadap anak. Justru norma-norma dari ke- luargalah yang nantinya menjadi dasar ber- pikir dan bertindak dalam bersosialisasi. Konstruksi pendidikan diproses melalui suatu pranata sosial yang bernama perkawinan.
Diikat oleh satuan unit masyarakat, yakni rumah tangga yang pada perkembangan selanjutnya merupakan satuan lingkun- gan yang paling primer dan fundamental dalam pembentukan kepribadian anak. Dari situlah kali pertama anak-anak menyerap dan mengenal norma sosial, internalisasi pada norma etika.
Walaupun wanita Jawa dituntut untuk sabar, legawa, dan patuh, namun juga dituntut mencitrakan kecerdasan, kewibawaan dan berahlaqulkarimah. Kecerdasan seorang wanita bangsawan salah satunya di- tampakkan pada keahliannya dalam menembang. Dalam belajar nembang, seorang putri dirangsang untuk belajar sendiri, self directing process. Sambil nembang mereka mengkaji nilai etika yang ada di dalamnya. Semua itu dibutuhkan sebagai upaya mem- bentuk pribadi yang sesuai dengan tuntutan nilai keraton yang diharapkan menampilkan kehalusan, kesucian, kecantikan (Mulder,1980;Handayani dkk, 2004).
Kehormatan dan kewibawaan seorang raja dipengaruhi pula oleh perilaku putra-putrinya.
Bagi orang Jawa, hidup bukan sekadar menumpuk material tetapi perlu juga diikuti dengan membenahi moril. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang diberikan bersifat normatif.
CORAK AJARAN
Ajaran yang terkandung dalam SPW
sebagai berikut.
Religius
Pentingnya agama sebagai pedoman hi- dup dijelaskan dengan tegas agar jangan sekali-kali melalaikannya. Agama mampu menjadikan manusia hidup mulia dan terhormat.
Sehubungan dengan itu, dasar- dasar pendidikan agama diberikan sejak dini, termasuk memberikan pemahaman akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Perhatikan kutipan di bawah ini!
Iya manungsa sangagung /// Luwih maning dena kardi ///Solah bawa narendra /// Tan datan sepi pambudi /// Gyannya agampil agama
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
manusia menjadi mulia bilamana punya pekerjaan perilaku sebagai raja tak sepi dari kebaikan Jangan lalaikan agama
Dari fragmen tersebut PB IV mengan- jurkan kepada putra-putrinya agar tidak melalaikan agama.
Sebagai orang Jawa, pandangan hidup hendaknya berbasis agama agar hidupnya menjadi religius. Religiusitas orang Jawa tampak dalam aktivitas kesehariannnya, seperti kegemarannnya menyelenggarakan slametan, istighosah, dan haul yang semuanya itu menunjukkan bahwa hidup dan relasi antar penduduk dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan keagamaan mereka (Geertz, 1960).
Mereka yang sealiran agama mempunyai relasi ekonomis, politis dan kebudayaan dengan kebudayaan mereka. Tidak mengherankan jika setiap tindakan orang jawa mempunyai konsekuensi agamis.
Menurut teks tersebut, anak seorang raja tetap dianjurkan untuk bekerja sebab bekerja menjadikan orang mulia dan terhormat di hadapan sesamanya.
Bekerja merupakan cara dan sarana mengekspresikan kemauan dan kemampuan diri sebagai upaya men- gembangkan diri menjadi diri sendiri agar memperoleh kemuliaan.
Manusia tidak dapat meraih kemuliaan derajat jika tidak berbuat sesuatu untuk dirinya (bekerja).
Sebenarnyalah, bekerja bukan sekadar memberi nafkah seseorang melainkan lebih dari itu.
Bekerja adalah sebuah proses pengaktualisasian diri secara optimal dalam upaya mengangkat derajad kemanu-siannya. Bekerja juga berlaku bagi raja dan keluarganya. Meskipun diberi kelimpahan harta, tetap diajurkan untuk bekerja.
Setiap tingkah polahnya menjadi sorotan rakyatnya. Oleh karena itu, seorang raja harus mampu bekerja secara benar dan jujur agar meraih kemuliaan. Untuk hidup mulia, seorang wanita haruslah pandai menjaga diri, mengatur tata berbusana yang sopan dan dianjurkan untuk belajar syariat. Hal demikian juga terjadi pada Serat Wulangreh (1986) sebagai sumber tuntunan hidup.
Pemahaman agama secara benar dapat menuntun hidup wanita lebih mulia. Termasuk memahami kodrat (eling) sebagai wani- ta yang secara alamiah berbeda dengan laki- laki. Jika wanita bisa menerimanya dengan ikhlas, ketika menjalani peran sosialnya pun akan ikhlas. Meskipun dalam kultur Jawa, kedudukan wanita ditempatkan pada posisi sebagai tiyang wingking ,garwo itu semua harus dipahami sebagai peran yang saling melengkapi di samping laki-laki. Hal itu harus dijalani dengan legawa, sebagaimana tercantum dalam teks berikut ini:
Satuhune sira durung /// Terang lir hyang murbeng Pasti /// Samya sendyaning ngati /// Tata titining cumandhang /// Angadhang takdiring Widi
Adanya teks SWP sebagai bukti perha- tian PB IV terhadap eksistensi wanita di tengah-tengah masyarakat keraton. Pada saat itu, kedudukan dan peran wanita sudah diatur sesuai dengan nilai budaya Jawa yang menempatkan wanita sebagai tiyang wing- king (subordinat) dan kedudukan tersebut tetap mulia berdampingan dengan laki-laki. Pembangunan moral generasi muda tergantung pula pada moral wanita sebagai ibu dan pendidik.
Ibulah yang kali pertama memberi sentuhan pendidikan di samping laki-laki dan ibu pulalah yang dapat menen- tukan anak masuk neraka atau surga. Seba- gaimana hadis Nabi Muhammad saw., seorang ibu diakui lebih besar pengaruhnya daripada sang ayah. Dengan harapan, wanita sebagai pendidik utama bagi putra-putrinya dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali untuk merasa, berpikir dan berbicara. Jadi wanita merupakan pemegang kunci segala bentuk pendidikan terutama pendidikan ahlak generasi penerus.
CORAK PENDIDIKAN
Di kalangan keraton, sistem pendidikan top down lebih ditekankan.
Posisi sebagai orang tua yang memberi nasihat sangat di- tonjolkan. Melalui sarana SWP, sang putri mendidik diri terus-menerus dengan cara belajar nembang. Hanya dengan cara begitu para putri atau wanita bangsawan diharapkan menjadi seorang putri yang bukan hanya pandai secara lahiriah, melainkan juga pandai secara batiniah.
Oleh karena itu, pendidikan diberikan tidak hanya bertumpu pada pendidikan lahir saja juga dilengkapi dengan pendidikan batiniah. Keduanya se- cara bersama-sama mengisi pikiran, relung hati pembacanya dalam upaya membantu manusia menjadi manusia dengan kepriba- dian yang utuh (fully functioning person). Jika hal itu terbangun sejak dini, niscaya, tercipta keseimbangan (balance) dalam diri manusia dan pada akhirnya dapat mencipta- kan kebahagiaan dalam dirinya.
Dalam hal ini, peran orang tua tidaklah kecil dalam memperkenalkan nilai moral terhadap anak. Justru norma-norma dari ke- luargalah yang nantinya menjadi dasar ber- pikir dan bertindak dalam bersosialisasi. Konstruksi pendidikan diproses melalui suatu pranata sosial yang bernama perkawinan.
Diikat oleh satuan unit masyarakat, yakni rumah tangga yang pada perkembangan selanjutnya merupakan satuan lingkun- gan yang paling primer dan fundamental dalam pembentukan kepribadian anak. Dari situlah kali pertama anak-anak menyerap dan mengenal norma sosial, internalisasi pada norma etika.
Walaupun wanita Jawa dituntut untuk sabar, legawa, dan patuh, namun juga dituntut mencitrakan kecerdasan, kewibawaan dan berahlaqulkarimah. Kecerdasan seorang wanita bangsawan salah satunya di- tampakkan pada keahliannya dalam menembang. Dalam belajar nembang, seorang putri dirangsang untuk belajar sendiri, self directing process. Sambil nembang mereka mengkaji nilai etika yang ada di dalamnya. Semua itu dibutuhkan sebagai upaya mem- bentuk pribadi yang sesuai dengan tuntutan nilai keraton yang diharapkan menampilkan kehalusan, kesucian, kecantikan (Mulder,1980;Handayani dkk, 2004).
Kehormatan dan kewibawaan seorang raja dipengaruhi pula oleh perilaku putra-putrinya.
Bagi orang Jawa, hidup bukan sekadar menumpuk material tetapi perlu juga diikuti dengan membenahi moril. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang diberikan bersifat normatif.
CORAK AJARAN
Ajaran yang terkandung dalam SPW
sebagai berikut.
Religius
Pentingnya agama sebagai pedoman hi- dup dijelaskan dengan tegas agar jangan sekali-kali melalaikannya. Agama mampu menjadikan manusia hidup mulia dan terhormat.
Sehubungan dengan itu, dasar- dasar pendidikan agama diberikan sejak dini, termasuk memberikan pemahaman akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Perhatikan kutipan di bawah ini!
Iya manungsa sangagung /// Luwih maning dena kardi ///Solah bawa narendra /// Tan datan sepi pambudi /// Gyannya agampil agama
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
manusia menjadi mulia bilamana punya pekerjaan perilaku sebagai raja tak sepi dari kebaikan Jangan lalaikan agama
Dari fragmen tersebut PB IV mengan- jurkan kepada putra-putrinya agar tidak melalaikan agama.
Sebagai orang Jawa, pandangan hidup hendaknya berbasis agama agar hidupnya menjadi religius. Religiusitas orang Jawa tampak dalam aktivitas kesehariannnya, seperti kegemarannnya menyelenggarakan slametan, istighosah, dan haul yang semuanya itu menunjukkan bahwa hidup dan relasi antar penduduk dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan keagamaan mereka (Geertz, 1960).
Mereka yang sealiran agama mempunyai relasi ekonomis, politis dan kebudayaan dengan kebudayaan mereka. Tidak mengherankan jika setiap tindakan orang jawa mempunyai konsekuensi agamis.
Menurut teks tersebut, anak seorang raja tetap dianjurkan untuk bekerja sebab bekerja menjadikan orang mulia dan terhormat di hadapan sesamanya.
Bekerja merupakan cara dan sarana mengekspresikan kemauan dan kemampuan diri sebagai upaya men- gembangkan diri menjadi diri sendiri agar memperoleh kemuliaan.
Manusia tidak dapat meraih kemuliaan derajat jika tidak berbuat sesuatu untuk dirinya (bekerja).
Sebenarnyalah, bekerja bukan sekadar memberi nafkah seseorang melainkan lebih dari itu.
Bekerja adalah sebuah proses pengaktualisasian diri secara optimal dalam upaya mengangkat derajad kemanu-siannya. Bekerja juga berlaku bagi raja dan keluarganya. Meskipun diberi kelimpahan harta, tetap diajurkan untuk bekerja.
Setiap tingkah polahnya menjadi sorotan rakyatnya. Oleh karena itu, seorang raja harus mampu bekerja secara benar dan jujur agar meraih kemuliaan. Untuk hidup mulia, seorang wanita haruslah pandai menjaga diri, mengatur tata berbusana yang sopan dan dianjurkan untuk belajar syariat. Hal demikian juga terjadi pada Serat Wulangreh (1986) sebagai sumber tuntunan hidup.
Pemahaman agama secara benar dapat menuntun hidup wanita lebih mulia. Termasuk memahami kodrat (eling) sebagai wani- ta yang secara alamiah berbeda dengan laki- laki. Jika wanita bisa menerimanya dengan ikhlas, ketika menjalani peran sosialnya pun akan ikhlas. Meskipun dalam kultur Jawa, kedudukan wanita ditempatkan pada posisi sebagai tiyang wingking ,garwo itu semua harus dipahami sebagai peran yang saling melengkapi di samping laki-laki. Hal itu harus dijalani dengan legawa, sebagaimana tercantum dalam teks berikut ini:
Satuhune sira durung /// Terang lir hyang murbeng Pasti /// Samya sendyaning ngati /// Tata titining cumandhang /// Angadhang takdiring Widi
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
sesungguhnya jika engkau Terang belum paham akan Tuhan hendaknya kalian berusaha bersiap sedia untuk menyambut dan menanti takdir Allah
Dengan memahami isi teks tersebut, paling tidak akan mencerahkan batin sang putri bahwa perbedaan jenis kelamin menunjukkan kekuasaan Tuhan, dan hendaknya diterima sebagai tanda kemahakuasaan Tuhan. Melalui SWP, PBIV menjelaskan aja- ran moral yang kemudian ditembangkan untuk menumbuhkan keyakinan religiositas
dalam benak sang putri supaya terbina dan terciptanya suasana tata tentrem, cinta kasih di samping laki-laki. Walau diakui budaya Jawa memberlakukan sistem nilai patriarkal, itu artinya memberi keleluasaan gerak dan kesempatan bagi laki-laki di bandingan perempuan.
Namun, perbedaan tersebut hendaknya dipahami sebagai rahmatanlilalamin. Perbedaan peran sosial dijadikan se- bagai pembagian peran yang disesuaikan dengan kodrat. Bahkan, perempuan tidak pernah lepas dari kodratnya. Jika hal itu di- yakini benar akan berpengaruh terhadap keseimbangan dan harmoni kehidupan.
Rasa Malu
PB IV mendasari kejiwaan para putri bangsawan untuk memiliki perasaan malu.
Menanamkan rasa malu dalam diri seseorang tidak kalah pentingnya dengan menanamkan nilai-nilai moral lainnya. Malu merupakan dasar kejiwaan yang harus dimiliki oleh manusia pada umumnya dan ditanamkan sejak kanak-kanak untuk melengkapi daya kepekaannnya terhadap situasi sosial (lihat Simuh, 2002) karena hal itu me- nyangkut kesadaran kita akan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang kita.
Perhatikan penggalan teks berikut!
Tinindaken lawan patut /// Pinantes pantes tiniti /// Timbalan isinira /// Nagara Surakarta /// Tan kena gelinukuhan /// Angkuhing ing tyas anglakoni
dalam bahasa indonesianya sebagai berikut :
dilakukan dengan yang layak dan sepantasnya diperhatikan untuk mengetahui negara Surakarta tak boleh menggunjing dan berlaku sombong
Dalam teks tersebut, disinggung mengenai beban wanita sebagai keluarga keraton yang harus tampil anggun, menawan dan berakhlaqulrimah serta menjaga kewibawaan sang raja di mata masyarakat.
Itu semua dapat dilakukan jika seorang putri mempunyai rasa malu (isin). Dapat di bayangkan jika manusia dan terlebih wanita tidak memiliki rasa malu maka sangat mungkin hidupnya menjadi nista, dan merugikan orang lain termasuk kewibawaan sang raja.
Malu merupakan dasar kejiwaan yang harus dimiliki setiap manusia. Mengembangkan rasa malu merupakan unsur penting dalam pengembangan kepribadian wanita khususnya.
Perasaan malu (isin) dapat muncul berkaitan dengan suasana sosial. Menurut Suseno (1999:64), orang Jawa me- rasa isin apabila tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Menurut Lanur (1984), menanamkan rasa malu sama halnya dengan mendidik seseorang untuk memahami siapa-siapa sebenarnya kita, mau menjadi apa dan mau menjadi wanita macam apakah kita seharusnya.
Eling
Konsep eling lahir dari seorang putra Jawa yang berusaha memberi jalan untuk mengenali diri sendiri guna memahami orang lain.
Dalam budaya Jawa, eling me- rupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri, kekuatan pikiran yang diikuti membang- kitkan kekuatan batiniah. Eling menekan- kan penguasaan terhadap diri sendiri dalam merespons sesuatu yang bermakna. Penguasaan diri mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan, orang yang sanggup menguasai dirinya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dalam masyarakat.
Maning sira angadhepi /// Ing rama ibu ta nini /// Tegese sira nucekna /// Iya sariranireki /// Dene dennya nglakoni /// Eneng eninga ing kalbu /// Awas eling supata /// Sirna nepsu ta nini /// Anganak ana sih kalawan amirah
jika kau menghadap ayah ibu, anaku engkau hendaknya menyucikan dirimu dengan cara menjalani keheningan di kalbu hendaknya waspada dan ingat dengan menghilangkan napsu dengan kasih sayang.
Menjadi wanita utama dibutuhkan ke- cerdasan batinah (EQ) di samping kecerda- san intelektual (AQ). Keduanya saling me- lengkapi. Hanya wanita-wanita yang eling yang dapat menempatkan diri. Dengan me- mahami konsep eling diharapkan putri raja mempunyai kepekaan intuitif, ketajaman emosi (to be sensitive to the realit).
Secara konseptual eling dapat disejajar-
kan dengan kesadaran eksistensialisme da- lam filsafat Eksistensialisme atau tao dalam ajaran Taoisme. Eling menekankan pen- guasaan terhadap diri dalam merespons se- suatu yang bermakna. Konsep penguasaan diri mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan dalam arti orang sanggup menguasai dirinya. Oleh karena itu, manu- sia hendaknya selalu berusaha eling untuk menguasai nafsunya demi menciptakan ke- seimbangan batin, sehingga yang tampak dari luar adalah sikap halus, lemah lembut sebagaimana digariskan dengan jelas dalam SWP.
Sabar
Wanita itu ......sabar mring panca kayaning / nganti tinampang sukur lan lila / legaweng tyas wusing budi (terjemahan bebasnya, sabar merupakan suatu kekayaan, bersyukur, rela dan legawa).
Ketiga unsur, yaitu sabar, legawa, dan lila (pasrah) cukup melekat pada sifat wanita.
Sifat-sifat tersebut tak lain merupakan bentuk the personal self atau ego yang selanjutnya akan melahirkan beberapa tingkat kesadaran, seperti, sabar, pasrah, dan legawa (Gerungan, 19:2002).
Sikap sabar harus dilatih dan ditumbuhkan dalam diri dan membutuhkan proses belajar terus menerus. Sifat demikian bukannya sikap pasif, tidak mempunyai inisiatif, menerima apa adanya atau menye- rah, melainkan justru menunjukkan sifat ketelitian, kehati-hatian, memasrahkan diri pada Yang Kuasa bahwa jalan hidup seseo- rang sudah diatur-Nya.
Sabar, legawa, dan lila adalah sebuah permainan emosi dalam usaha mengatasi konflik. Penyabar bukanlah bawaan lahir atau kodrat melainkan harus dipelajari terus menerus sepanjang hayat. Sikap semacam itu harus dilatih ditumbuhkan dalam diri.Pada dasarnya, secara kodrat manusia bukan orang yang sabar sebaliknya cenderung berkonflik.
Untuk mengatasi itu, dibutuhkan ketiga unsur tersebut guna meredamnya. Butir-butir nilai yang dijelaskan di atas tentu perlu dipelajari, diusahakan. Hal itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan haruslah dikondisikan baik secara lahiriah maupun batiniah. Seseorang yang mempunyai sikap sabar akan lebih mudah menciptakan kebahagiaan baik untuk diri- nya sendiri maupun untuk orang lain. Jelas bahwa sabar, legawa dan nrima berfungsi sebagai orientasi tidakan.
RELEVANSINYA DENGAN MODERNISME
Modernisme telah menjauhkan wanita dari akar budayanya, banyak wanita seka- rang ini secara sadar menanggalkan nilai- nilai kultural yang dianggap sebagai peng- hambat kemodernan. Akibatnya, terjadi distorsi nilai moral, ini dapat dilihat dari mere- baknya perselingkuhan, kawin cerai, tindak kriminal yang dilakukan kaum wanita. Ma- ka, perlu kiranya upaya membenahi, mem- bangkitkan, dan menyosialisasi nilai-nilai lokal untuk membangun identitas kewanitaan.
Nilai moral seperti dijelaskan, sebenar- nya tergolong universal. Wanita atau pe- rempuan mana pun jika ingin menjadi wani- ta berbudi pekerti luhur (akhlaqulkarimah) hendaknya menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai di atas dan itu berlaku dari dulu hingga sekarang. Menjadikan wanita reli- gius, eling bersikap sabar; bukanlah sikap bawaan lahir atau bukan tumbuh dalam diri sendiri, melainkan harus dilatih, jangan se- gan untuk belajar sepanjang hidup (long live education.)
Tidak ada salahnya jika wanita masakini menengok kembali nilai-nilai warisan budaya sendiri dan mempelajarinya. Meng- ingat situasi sekarang ini, zaman terus ber- kembang, segala nilai yang adanya sedikit berubah, akibatnya banyak wanita modern yang kehilangan orientasi hidup karena adanya perbedaan khusus fisik dan jiwa perempuan dan laki-laki adalah satu fakta yang tidak dapat ditolak.
Mewujudkan persamaan hak tanpa memedulikan karakteristik tersebut bertentangan dengan hukum penciptaan Tuhan dan menyimpang dari asas keadilan.
KESIMPULAN
Dalam teks tersebut, dipaparkan dengan jelas bahwa seorang wanita ketika menjalani hidup dan kehidupan tidak hanya memiliki kecerdasan akal (AQ), melainkan juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Ketiga unsur nilai tersebut idealnya tidak berjalan sendiri-sendiri, me lainkan menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dalam membentuk kepribadian wanita yang berbudi luhur atau berakhlakulkarimah.
Nilai etika yang terdapat dalam SWP masih cukup relevan diamalkan oleh wanita masa kini dan masa mendatang. Walaupun teks tersebut ditulis sekian puluh abad yang lalu, dibaca pada masa kini dengan cara pandang sekarang masih tetap up to date. Kiranya, teks tersebut patut dikaji ulang, direnungkan kembali mana-mana nilai yang sudah di makan zaman dan mana yang masih relevan dengan masa kini agar wanita Indonesia tidak tercerabut dari nilai budaya adilihungnya.
DAFTAR RUJUKAN
- Bertens.K,. 2002 Etika, Jakarta, Gramedia. Geertz, Clifford. 1960. The Realigion of Java, Free Press of Glencoe, Gerungan, 2002. Psikologi Sosial, Bandung, Penerbit Rafika.
- Harsono, Handi, 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh , Yogyakarta, Pura Pustaka. Handayani, Christina dkk. 2004. Kuasa
- Wanita Jawa. Jogyakarta,LkiS.
- Kohlberg, Lawrence, 1984. The Psychology of Moral Development, San Francis- co,Harper & Row Publisher.
- Lanur, Al. 1984. Rasa Malu Cenderung Berkurang. Basis. XXXVII, Juni 1984
- Mardiwarsito, 1980. Kamus Jawa Kuna- Indonesia, Ende Flores, Nusa Indah.
- Mulder, Niels. 1980. Holy Mother, Mother Dear .Basis, Desember.
- Newman, John Henry. 1947. An Essay in Aid of a Grammar of Assent. London, Longmans.
- Simuh,2002. Sufisme Jawa, Jogyakarta, Bentang Budaya.
- Suseno, Magnis.1999. Etika Jawa, Jakarta,Pustaka Utama.
- Sedyawati,Edi. 2006. Budaya Indonesia, Ja- karta. Raja Grafindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU