Legenda Dewi Sri
Patung Loroblonyo [Antara Mitos, Legenda dan Makna Philosofis]
Patung Loroblonyo
[Antara Mitos, Legenda dan Makna Philosofis]
Patung Loroblonyo berkaitan mitos Dewi Sri dan Sadono dalam hubungannya dengan ritual kesuburan bagi masyarakat Jawa, keterkaitan mitos Dewi Sri-Sadono dengan expresi visualisasi patung loro blonyo dalam sistem kepercayaan masyarakat Jawa dan untuk mengetahui makna filosofis patung loro blonyo dalam masyarakat Jawa.
Dusun Bubong, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, adalah suatu kawasan desa yang melestarikan budaya topeng dan patung loroblonyo mulai dari produksi, pemasaran dan ritual tradisinya. Disana ada budaya penghormatan bagi Dewi Sri atau sering disebut Mbok Sri sebagai Dewi Kesuburan. Tradisi tersebut bernama ”Rasulan ” sebagai simbol ungkapan rasa syukur setelah penanaman padi masyarakat membuat nasi tumpeng dan dan di kelilingi macam-macam palawija sebagai simbol ”Boyong Mbok Sri” atau disebut meindah Dewi Sri.
BENTUK
Tetap Patung loroblonyo adalah patung sepasang pengantin jawa.
Berujud sepasang pengantin jawa yang menggunakan pakaian adat jawa dengan atribut lengkapnya. Menggunakan beskap untuk pengantin pria, basahan untuk pengantin putri.
Pada awalnya patung loroblonyo berbentuk pengantin jawa dengan posisi duduk. Seiring perkembangan jaman dan perkembangan seni rupa kontemporer, patung loroblonyo mengalami proses perubahan bentuk, ada yang berdiri, dan ada aplikasi lain-lainnya seperti yang tampak pada gambar. Namun dalam perubahan bentuk tersebut patung loroblonyo tetap memperhatikan pakemnya yaitu sepasang pengantin jawa. Dan bentuk pasangan pengantin jawa tersebut adalah pakem dari patung tersebut, mengenai busananya menyesuaikan daerah setempat, yaitu gaya pakaian adat jawa gaya Surakarta ataupun gaya kraton Yogyakarta.
Patung loroblonyo sering disebut memiliki gaya yaitu gaya surakarta dan gaya yogyakarta.
Gaya disini lebih condong ke corak. Yaitu corak busana pengantin yang digunakan.
FUNGSI
Patung loroblonyo pada awalnya digunakan sebagai lambang dari dewi padi dan sebgai lambang kesuburan. Kesuburan disini berarti kesuburan dalam pertanian dan juga kesuburan dalam rumah tangga.
Masyarakat jawa meyakini bahwa patung loroblonyo membawa kesuburan, keharmonisan rumah tangga bagi rumah yang memiliki patung tersebut. Makna simbolik yang terkandung dalam patung sepasang pengantin jawa tersebut sangat dalam bagi suku jawa.
Penempatan patung loroblonyo yaitu di sentong tengah rumah joglo. Dimana patung pengantin perempuan berada di sebelah kiri, dan pengantin laki-laki di sebelah kanan. Namun untuk lambang pengantin yang kedudukan pengantin perempuan lebih tinggi derajatnya, anak raja misalnya peletakkan di balik.
… mBok Sri Sadono, saiki wis teko titi wancine diboyong menyang omahe Pak Tani …
Kalimat itu adalah kalimat pembuka yang diucapkan sambil memutari lahan ketika akan dilakukan pemetikan yang pertama kali pada saat panen padi. Setelah kalimat tersebut diucapkan, lalu di cari pari manten-nya (padi pengantin). Pari manten biasanya tumbuh saling berhadap-hadapan saling menyilang dari empat penjuru mata angin. Pari manten itulah yang diambil dan diboyong ke rumah (lumbung) Pak Tani.
“...masio digolekono, sing jenenge pari manten iku yo mung siji, digolekono liyane yo ora ono… “, kata mBah Joito (70 tahun)
Dan, peristiwa itu terakhir terjadi pada tiga puluh tahunan yang lalu. Namun, pada saat hujan turun di tanah kering, hari Sloso pahing (20 Februari 2001) yang lalu, peristiwa itu terjadi lagi di dusun Plapar II Jatigunung, Tulakan-Pacitan. Itu pun, masih dipimpin oleh para orang tua yang mengalami masa tiga puluh tahun yang lalu, sebelum padi Pelita ditanam petani.
Padi Pelita, cikal bakal padi IR, mulai mendominasi hamparan tanah sawah di Jawa sekitar akhir tahun 1960-an. Ciri produksinya yang tinggi, waktu tanam yang lebih singkat (sekitar 3 bulan), dan “rasanya” yang lebih enak menjadi faktor penarik. Apalagi padi tersebut ditanam ketika penduduk Indonesia saat itu baru mengalami situasi sulit seperti saat ini. Harga pangan naik melambung sekitar 200-300%. Tanaman produk rekayasa genetika itu menjadi tanaman dominan sekaligus harapan bagi petani. Yang dahulu diprioritaskan untuk lahan sawah, akan tetapi juga merambat ke petani lahan kering, maka petani lahan keringpun ikut menerapkan pada lokasinya. Akibatnya, tanah menjadi pecah, sulit dicangkul, ketersediaan air menjadi susut, hama dimana-mana, dan panen gagal. Nasi yang ditanak juga cepat membusuk, paceklik melanda lagi. Sekarang ekosistem sudah “rusak”, cukup lama dan sulit untuk mengembalikan tanah dan lingkungannya seperti yang diberikan Tuhan dahulu, serba baik adanya. Bahkan tanaman padi yang dahulu sebagai primadona, sekarang justru menjadi tanaman bencana. Dia menuntut asupan pupuk yang lebih banyak dan lebih banyak lagi pada masa tanam berikutnya. Sifat tanamannya yang pendek dan rapuh menyebabkan merangnya tidak bisa dimanfaatkan. Sifat produksinya yang tinggi, waktu tanam yang lebih singkat, dan “rasanya” yang lebih enak harus dibayar dengan tanah yang rusak, nasi yang tidak awet, sarana produksi yang selalu bertambah, panen gagal, merang yang hilang, dan cuaca yang tidak menentu. Sungguh petani kehilangan keaneka ragaman hayatinya, kekuatannya, dan kemampuannya karena terlanjur mendewakan tanaman rekayasa genetik sebagai primadonanya.
Petani nglokro, mereka sudah kehilangan hidup dan jati dirinya, anak-anak mulai memandang rendah pekerjaan tani, yang dahulu menjadikan dirinya. Petani tidak mempunyai kemampuan untuk mawas diri lagi. Petani sudah terbiasa dengan kekerasan.
“nek pari inggil niku di bebak, campur dedak mawon pun enak, ning yen pari andhap di bebak yo ora enak yen ora dislepne”, kata mBah Joito sekali lagi
Pertanyaan mulai dikemukakan, “Bisakah hidup petani berubah lagi seperti layaknya orang yang hidup di atas tanah yang gemah ripah loh jinawi?”. Kredit, ketrampilan, pengetahuan teknis cocok tanam diberikan kepada petani, dari pemerintah, LSM, sampai pedagang. Yang berkepentingan sampai yang tidak berkepentingan memberikan semuanya kepada petani. Namun anak petani tetap tidak ingin menjadi petani, ia ingin menjadi dokter yang pekerjaannya di luar wilayah pertanian. Petani dianggap bodoh. Ritual budaya hilang, karena jika tetap dilakukan mereka akan dikatakan membual dan percaya kepada takhayul. Namun apakah televisi yang hadir saat ini bukan sebuah takhayul baru? Jika anak muda di cat rambutnya dengan musik yang berbau seks itu diperdengarkan sambil berjoget apakah bukan sebuah ritual modern? Anak muda sekarang hidup seakan berada dalam sebuah sinetron. Mereka memperlakukan realitas hidupnya dengan takhayul yang diciptakan secara otomatis oleh modernitas hidup. Kenapa petani dipersalahkan?.
Pertanyaan mulai dijawab. Peluang dan potensi mulai dihitung. Keberanian mulai dikemukakan. Dialog mulai dipertajam. Dan, jawaban mulai diperoleh, bahwa padi Jawa meski tidak dislep, masih tetap enak. Jika kena angin besar juga tidak roboh, seperti pari manten. Meskipun saat kena angin besar, pari manten roboh, namun beberapa saat kemudian pari manten akan tegak lagi dan berhadap-hadapan lagi. Agaknya itulah latar belakang kenapa jawaban mulai ditemukan. Jawabnya bukan dari pendamping petani tetapi dari petani sendiri. Petani meski di jatuhkan akan tetap bangun dan berhadap-hadapan lagi, sambil mengumpulkan petani dan saudaranya dari segala penjuru mata angin.
Pak Wajianto, seorang petani di dusun Plapar II dengan istrinya mencari di segala penjuru mata angin, untuk mengumpulkan beruk demi beruk benih padi cempo welut. Mereka berhasil mengumpulkan 30 beruk benih padi cempo welut. Bersama dengan 17 orang petani lain, sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5 kg) padi cempo welut mulai di tanam pada pertengahan Oktober 2000 di atas lahan seluas 900m² milik Pak Lurah. Demikian pula perawatannya, petani dari segala penjuru mata angin bertemu di tanah seluas 900m². Dan pada neptu 12, dimana perhitungan jatuh pada uwoh (buah) adalah hari Sloso pahing, mereka datang lagi bersama istri dan anaknya untuk memetik padi hasil jerih payahnya selama 3,3 bulan. Pak Suwarni, orang tua Pak Waji pulalah yang menyarankan bahwa jika menanam padi Jawa, harus di cukupi persyaratannya, antara lain upacara pemetikan yang disertai dengan doa syukur, memohon keselamatan dan kesehatan atas pangan yang dihasilkan, dan meminta ijin untuk mengambil mBok Sri Sadono bersama Bagus Sadono untuk diboyong dan di simpan ke lumbung pangan mereka. Setelah sore harinya diketahui pari manten-nya, pagi harinya mereka memetik anak-anak Sri Sadono dan Bagus Sadono. Dalam petak tersebut kebetulan terdapat bagian yang diberi Urea (pupuk kimia) sebanyak 10 kg, dan bagian yang seluruhnya diberi Urea dan seluruhnya kompos (pupuk non kimia, pupuk organik). MBok Sri Sadono dan Bagus Sadono hanya ada di tanah yang berkompos. MBok Sri Sadono memilih lokasi yang sehat. Itulah pesan yang diisyaratkan oleh mBok Sri Sadono. Sebagai pengantin, yang sudah mengumpulkan banyak saudara di lahan, mBok Sri Sadono diberi seperangkat alat rias berupa cermin, sisir, bedak, minyak kelapa, dan bunga. Padi sebagai pengejawantahan dari mBok Sri, diharapkan demikian pula, seandainya kurang cantik dipersilakan untuk mempercantik diri, dipersilakan untuk mengharumkan diri seharum kembang telon (pandan wangi, kenongo, dan kanthil). MBok Sri Sadono dan Bagus Sadono disambut seperti pengantin oleh petani, digendong dan diarak menuju rumah petani.
Pugut (alat petik padi, ani-ani) yang sudah 30 tahun pensiun kembali berkarya. Padi panenan tidak lagi dibabat dengan arit. Namun dengan cinta dan seijin mBok Sri Sadono, petani memanen padi untuk makan dan untuk ditanam kembali, mengambil merang untuk dibuat sapu dan sulak, serta menggunakannya untuk memberi kekuatan dan kesehatan keluarga petani. Saudara petani yang belum mulai lagi mengerjakan perayaan ini mulai menyaksikan, bahwa mBok Sri Sadono masih ada, bersama dengan petani. Mereka mulai memesan benih dan membudayakan kompos. Kelompokpun sepakat, bahwa panenan kali ini yang beratnya hampir 450 kg, tidak akan dikonsumsi, akan tetapi akan dibagikan kepada petani untuk ditanam kembali. Pugut, lesung, lumpang, dan alu akan segera berkarya lagi. Suara lesung akan segera kembali mendampingi petani untuk menyanyikan lelagon kehidupan, kemakmuran, dan keberlanjutan petani dalam mencintai tanah dan seisinya. Petani tidak hanya akan menghasilkan padi (tanaman) saja, tetapi juga akan menghasilkan dialog saat menumbuk padi yang menjadikannya lagu, dengan suara lesung sebagai musik pengiring. Merang untuk sapu, merang untuk sulak, jerami untuk pakan ternak, pitutur, dan melestarikan alam beserta isinya. Tentu saja sebagai wujud kecintaannya kepada mBok Sri Sadono, petani tentu akan mencintai kehidupan.
Doa dipanjatkan kepada Gusti ingkang Maha Asih, bahwa ucapan terima kasih yang sudah mulai langka harus diberikan melalui mBok Sri Sadono. Ucapan syukur disertai dengan perhatian untuk mengenyangkan yang lapar adalah suatu panggilan sebagai petani yang menghargai kehidupan. Kasih mBok Sri Sadono yang diberikan kepada petani, akan mulai diteruskan dari petani kepada anak-anaknya. Kekerasan terhadap petani akan berakhir, seperti padi yang dipupuk dengan Urea, akan roboh diterpa angin. Kekerasan akan dilawan dengan cinta, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sebuah peristiwa yang bertolak belakang dengan kekacauan negeri saat ini. Itulah ajaran Jawa yang selalu mengedepankan cinta daripada kekerasan dalam mengatasi masalah.
Petani sekarang bergembira, merasakan jati dirinya sudah kembali. Benih kekuatan mulai muncul. Kegembiraan mulai menjadi penyeimbang kesedihan yang selama 30 tahun melingkupi. Antara kegembiraan dan kesedihan, terdapat mawas diri. Itulah yang dipanjatkan dan diharapkan selanjutnya, bahwa petani selalu mawas diri seperti mBok Sri Sadono yang memilih lokasi yang alami, menghargai bumi (tanah) sebagai Ibu Pertiwi. Ibu sebagai cikal bakal kehidupan. ***
maaf dilanjutkan ke P#2 MITOS & LEGENDA DEWI SRI
Berkah Dewi Sri cikal bakal kehidupan
[Antara Mitos, Legenda dan Makna Philosofis]
Dusun Bubong, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, adalah suatu kawasan desa yang melestarikan budaya topeng dan patung loroblonyo mulai dari produksi, pemasaran dan ritual tradisinya. Disana ada budaya penghormatan bagi Dewi Sri atau sering disebut Mbok Sri sebagai Dewi Kesuburan. Tradisi tersebut bernama ”Rasulan ” sebagai simbol ungkapan rasa syukur setelah penanaman padi masyarakat membuat nasi tumpeng dan dan di kelilingi macam-macam palawija sebagai simbol ”Boyong Mbok Sri” atau disebut meindah Dewi Sri.
BENTUK
Tetap Patung loroblonyo adalah patung sepasang pengantin jawa.
Berujud sepasang pengantin jawa yang menggunakan pakaian adat jawa dengan atribut lengkapnya. Menggunakan beskap untuk pengantin pria, basahan untuk pengantin putri.
Pada awalnya patung loroblonyo berbentuk pengantin jawa dengan posisi duduk. Seiring perkembangan jaman dan perkembangan seni rupa kontemporer, patung loroblonyo mengalami proses perubahan bentuk, ada yang berdiri, dan ada aplikasi lain-lainnya seperti yang tampak pada gambar. Namun dalam perubahan bentuk tersebut patung loroblonyo tetap memperhatikan pakemnya yaitu sepasang pengantin jawa. Dan bentuk pasangan pengantin jawa tersebut adalah pakem dari patung tersebut, mengenai busananya menyesuaikan daerah setempat, yaitu gaya pakaian adat jawa gaya Surakarta ataupun gaya kraton Yogyakarta.
Patung loroblonyo sering disebut memiliki gaya yaitu gaya surakarta dan gaya yogyakarta.
Gaya disini lebih condong ke corak. Yaitu corak busana pengantin yang digunakan.
FUNGSI
Patung loroblonyo pada awalnya digunakan sebagai lambang dari dewi padi dan sebgai lambang kesuburan. Kesuburan disini berarti kesuburan dalam pertanian dan juga kesuburan dalam rumah tangga.
Masyarakat jawa meyakini bahwa patung loroblonyo membawa kesuburan, keharmonisan rumah tangga bagi rumah yang memiliki patung tersebut. Makna simbolik yang terkandung dalam patung sepasang pengantin jawa tersebut sangat dalam bagi suku jawa.
Penempatan patung loroblonyo yaitu di sentong tengah rumah joglo. Dimana patung pengantin perempuan berada di sebelah kiri, dan pengantin laki-laki di sebelah kanan. Namun untuk lambang pengantin yang kedudukan pengantin perempuan lebih tinggi derajatnya, anak raja misalnya peletakkan di balik.
MITOS dan LEGENDAnya
Pari Manten : Berkah Dewi Sri cikal bakal kehidupan
MELAWAN KEKERASAN DENGAN CINTA…
“...masio digolekono, sing jenenge pari manten iku yo mung siji, digolekono liyane yo ora ono… “, kata mBah Joito (70 tahun)
Dan, peristiwa itu terakhir terjadi pada tiga puluh tahunan yang lalu. Namun, pada saat hujan turun di tanah kering, hari Sloso pahing (20 Februari 2001) yang lalu, peristiwa itu terjadi lagi di dusun Plapar II Jatigunung, Tulakan-Pacitan. Itu pun, masih dipimpin oleh para orang tua yang mengalami masa tiga puluh tahun yang lalu, sebelum padi Pelita ditanam petani.
Padi Pelita, cikal bakal padi IR, mulai mendominasi hamparan tanah sawah di Jawa sekitar akhir tahun 1960-an. Ciri produksinya yang tinggi, waktu tanam yang lebih singkat (sekitar 3 bulan), dan “rasanya” yang lebih enak menjadi faktor penarik. Apalagi padi tersebut ditanam ketika penduduk Indonesia saat itu baru mengalami situasi sulit seperti saat ini. Harga pangan naik melambung sekitar 200-300%. Tanaman produk rekayasa genetika itu menjadi tanaman dominan sekaligus harapan bagi petani. Yang dahulu diprioritaskan untuk lahan sawah, akan tetapi juga merambat ke petani lahan kering, maka petani lahan keringpun ikut menerapkan pada lokasinya. Akibatnya, tanah menjadi pecah, sulit dicangkul, ketersediaan air menjadi susut, hama dimana-mana, dan panen gagal. Nasi yang ditanak juga cepat membusuk, paceklik melanda lagi. Sekarang ekosistem sudah “rusak”, cukup lama dan sulit untuk mengembalikan tanah dan lingkungannya seperti yang diberikan Tuhan dahulu, serba baik adanya. Bahkan tanaman padi yang dahulu sebagai primadona, sekarang justru menjadi tanaman bencana. Dia menuntut asupan pupuk yang lebih banyak dan lebih banyak lagi pada masa tanam berikutnya. Sifat tanamannya yang pendek dan rapuh menyebabkan merangnya tidak bisa dimanfaatkan. Sifat produksinya yang tinggi, waktu tanam yang lebih singkat, dan “rasanya” yang lebih enak harus dibayar dengan tanah yang rusak, nasi yang tidak awet, sarana produksi yang selalu bertambah, panen gagal, merang yang hilang, dan cuaca yang tidak menentu. Sungguh petani kehilangan keaneka ragaman hayatinya, kekuatannya, dan kemampuannya karena terlanjur mendewakan tanaman rekayasa genetik sebagai primadonanya.
Petani nglokro, mereka sudah kehilangan hidup dan jati dirinya, anak-anak mulai memandang rendah pekerjaan tani, yang dahulu menjadikan dirinya. Petani tidak mempunyai kemampuan untuk mawas diri lagi. Petani sudah terbiasa dengan kekerasan.
“nek pari inggil niku di bebak, campur dedak mawon pun enak, ning yen pari andhap di bebak yo ora enak yen ora dislepne”, kata mBah Joito sekali lagi
Pertanyaan mulai dikemukakan, “Bisakah hidup petani berubah lagi seperti layaknya orang yang hidup di atas tanah yang gemah ripah loh jinawi?”. Kredit, ketrampilan, pengetahuan teknis cocok tanam diberikan kepada petani, dari pemerintah, LSM, sampai pedagang. Yang berkepentingan sampai yang tidak berkepentingan memberikan semuanya kepada petani. Namun anak petani tetap tidak ingin menjadi petani, ia ingin menjadi dokter yang pekerjaannya di luar wilayah pertanian. Petani dianggap bodoh. Ritual budaya hilang, karena jika tetap dilakukan mereka akan dikatakan membual dan percaya kepada takhayul. Namun apakah televisi yang hadir saat ini bukan sebuah takhayul baru? Jika anak muda di cat rambutnya dengan musik yang berbau seks itu diperdengarkan sambil berjoget apakah bukan sebuah ritual modern? Anak muda sekarang hidup seakan berada dalam sebuah sinetron. Mereka memperlakukan realitas hidupnya dengan takhayul yang diciptakan secara otomatis oleh modernitas hidup. Kenapa petani dipersalahkan?.
Pertanyaan mulai dijawab. Peluang dan potensi mulai dihitung. Keberanian mulai dikemukakan. Dialog mulai dipertajam. Dan, jawaban mulai diperoleh, bahwa padi Jawa meski tidak dislep, masih tetap enak. Jika kena angin besar juga tidak roboh, seperti pari manten. Meskipun saat kena angin besar, pari manten roboh, namun beberapa saat kemudian pari manten akan tegak lagi dan berhadap-hadapan lagi. Agaknya itulah latar belakang kenapa jawaban mulai ditemukan. Jawabnya bukan dari pendamping petani tetapi dari petani sendiri. Petani meski di jatuhkan akan tetap bangun dan berhadap-hadapan lagi, sambil mengumpulkan petani dan saudaranya dari segala penjuru mata angin.
Pak Wajianto, seorang petani di dusun Plapar II dengan istrinya mencari di segala penjuru mata angin, untuk mengumpulkan beruk demi beruk benih padi cempo welut. Mereka berhasil mengumpulkan 30 beruk benih padi cempo welut. Bersama dengan 17 orang petani lain, sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5 kg) padi cempo welut mulai di tanam pada pertengahan Oktober 2000 di atas lahan seluas 900m² milik Pak Lurah. Demikian pula perawatannya, petani dari segala penjuru mata angin bertemu di tanah seluas 900m². Dan pada neptu 12, dimana perhitungan jatuh pada uwoh (buah) adalah hari Sloso pahing, mereka datang lagi bersama istri dan anaknya untuk memetik padi hasil jerih payahnya selama 3,3 bulan. Pak Suwarni, orang tua Pak Waji pulalah yang menyarankan bahwa jika menanam padi Jawa, harus di cukupi persyaratannya, antara lain upacara pemetikan yang disertai dengan doa syukur, memohon keselamatan dan kesehatan atas pangan yang dihasilkan, dan meminta ijin untuk mengambil mBok Sri Sadono bersama Bagus Sadono untuk diboyong dan di simpan ke lumbung pangan mereka. Setelah sore harinya diketahui pari manten-nya, pagi harinya mereka memetik anak-anak Sri Sadono dan Bagus Sadono. Dalam petak tersebut kebetulan terdapat bagian yang diberi Urea (pupuk kimia) sebanyak 10 kg, dan bagian yang seluruhnya diberi Urea dan seluruhnya kompos (pupuk non kimia, pupuk organik). MBok Sri Sadono dan Bagus Sadono hanya ada di tanah yang berkompos. MBok Sri Sadono memilih lokasi yang sehat. Itulah pesan yang diisyaratkan oleh mBok Sri Sadono. Sebagai pengantin, yang sudah mengumpulkan banyak saudara di lahan, mBok Sri Sadono diberi seperangkat alat rias berupa cermin, sisir, bedak, minyak kelapa, dan bunga. Padi sebagai pengejawantahan dari mBok Sri, diharapkan demikian pula, seandainya kurang cantik dipersilakan untuk mempercantik diri, dipersilakan untuk mengharumkan diri seharum kembang telon (pandan wangi, kenongo, dan kanthil). MBok Sri Sadono dan Bagus Sadono disambut seperti pengantin oleh petani, digendong dan diarak menuju rumah petani.
Pugut (alat petik padi, ani-ani) yang sudah 30 tahun pensiun kembali berkarya. Padi panenan tidak lagi dibabat dengan arit. Namun dengan cinta dan seijin mBok Sri Sadono, petani memanen padi untuk makan dan untuk ditanam kembali, mengambil merang untuk dibuat sapu dan sulak, serta menggunakannya untuk memberi kekuatan dan kesehatan keluarga petani. Saudara petani yang belum mulai lagi mengerjakan perayaan ini mulai menyaksikan, bahwa mBok Sri Sadono masih ada, bersama dengan petani. Mereka mulai memesan benih dan membudayakan kompos. Kelompokpun sepakat, bahwa panenan kali ini yang beratnya hampir 450 kg, tidak akan dikonsumsi, akan tetapi akan dibagikan kepada petani untuk ditanam kembali. Pugut, lesung, lumpang, dan alu akan segera berkarya lagi. Suara lesung akan segera kembali mendampingi petani untuk menyanyikan lelagon kehidupan, kemakmuran, dan keberlanjutan petani dalam mencintai tanah dan seisinya. Petani tidak hanya akan menghasilkan padi (tanaman) saja, tetapi juga akan menghasilkan dialog saat menumbuk padi yang menjadikannya lagu, dengan suara lesung sebagai musik pengiring. Merang untuk sapu, merang untuk sulak, jerami untuk pakan ternak, pitutur, dan melestarikan alam beserta isinya. Tentu saja sebagai wujud kecintaannya kepada mBok Sri Sadono, petani tentu akan mencintai kehidupan.
Doa dipanjatkan kepada Gusti ingkang Maha Asih, bahwa ucapan terima kasih yang sudah mulai langka harus diberikan melalui mBok Sri Sadono. Ucapan syukur disertai dengan perhatian untuk mengenyangkan yang lapar adalah suatu panggilan sebagai petani yang menghargai kehidupan. Kasih mBok Sri Sadono yang diberikan kepada petani, akan mulai diteruskan dari petani kepada anak-anaknya. Kekerasan terhadap petani akan berakhir, seperti padi yang dipupuk dengan Urea, akan roboh diterpa angin. Kekerasan akan dilawan dengan cinta, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sebuah peristiwa yang bertolak belakang dengan kekacauan negeri saat ini. Itulah ajaran Jawa yang selalu mengedepankan cinta daripada kekerasan dalam mengatasi masalah.
Petani sekarang bergembira, merasakan jati dirinya sudah kembali. Benih kekuatan mulai muncul. Kegembiraan mulai menjadi penyeimbang kesedihan yang selama 30 tahun melingkupi. Antara kegembiraan dan kesedihan, terdapat mawas diri. Itulah yang dipanjatkan dan diharapkan selanjutnya, bahwa petani selalu mawas diri seperti mBok Sri Sadono yang memilih lokasi yang alami, menghargai bumi (tanah) sebagai Ibu Pertiwi. Ibu sebagai cikal bakal kehidupan. ***
maaf dilanjutkan ke P#2 MITOS & LEGENDA DEWI SRI
Berkah Dewi Sri cikal bakal kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU