Wisata Masjid
Masjid Cipto Mulyo, Pengging : Untuk Menciptakan Kemuliaan Dunia Akhirat
Masjid Cipto Mulyo, Pengging:
Untuk Menciptakan Kemuliaan Dunia Akhirat
Masjid Cipto Mulyo terletak di Jalan Raya Pengging, Desa Dukuh, Kelurahan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Masjid Cipto Mulyo Pengging, Bukti Kejayaan Islam di Keraton Surakarta
BERIBADAH di suatu tempat yang memiliki nilai sejarah adalah suatu kenikmatan tersendiri. Demikian juga ketika beribadah di Masjid Cipto Mulyo, Anda akan merasakan suasana yang berbeda dibandingkan beribadah di masjid-masjid biasa. Selain itu, suasananya yang sejuk karena berada di tengah-tengah lokasi sumber mata air menjadikan masjid ini nyaman untuk tempat beribadah. (Umbul Pengging)
Masjid Cipto Mulyo adalah salah satu masjid bersejarah di Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya berada di Kawasan Wisata Pengging. Dulu, kawasan ini merupakan tempat pemandian keluarga Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono X. Di tempat ini, keluarga raja sering menghabiskan waktu untuk bersantai. Oleh karena itu, Pakubuwono X merasa perlu membangun tempat jujugan (peristirahatan) sekaligus tempat beribadah sesuai siraman (mandi).
Pada Selasa, 24 Jumadil Akhir 1838 Hijriah atau tepatnya tahun 1905 Masehi, Sri Paduka Pakubuwono X mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Cipto Mulyo, yang berarti menciptakan kemuliaan di dunia dan akhirat. Nama masjid ini cukup unik karena menggunakan bahasa Jawa yang berbeda dari kebanyakan masjid yang memakai bahasa Arab.
Selain namanya yang unik, bangunan Masjid Cipto Mulyo juga menampilkan desain Jawa kuno yaitu berbentuk limasan dan menyerupai pendopo. Masjid ini memiliki 5 pintu utama yang semuanya terletak di bagian depan bangunan masjid. Di atas setiap pintu diberi ukiran-ukiran yang disisipkan tulisan “P.B. X” sebagai tanda bahwa masjid itu dibangun pada masa pemerintahannya. Tulisan seperti ini juga terlihat jelas pada bagian atas gerbang serambi yang berada di depan masjid.
Bedhug Masjid Cipto Mulyo, Pengging
Pada bagian atas gerbang serambi tersebut juga terdapat tulisan aksara Jawa Kuno yang bertuliskan “Adegipun Masjid Cipto Mulyo, Selasa Pon, Kaping 24 Jumadil Akhir 1838 Hijrah”.
Selain itu, juga terdapat sebuah beduk berukuran besar yang diletakkan di sisi kanan serambi masjid. Sementara di tengah-tengah serambi terdapat sebuah tanda arah mata angin yang berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat. Jarum penunjuk arah kiblat ini sengaja dipasang oleh Departemen Agama Wilayah Jawa Tengah karena posisi bangunan masjid ini memang miring sekitar 24° ke utara arah kiblat. Oleh karena itu, shaf di dalam masjid ini harus dibuat miring mengikuti arah kiblat. Kesalahan posisi bangunan masjid ini kiemungkinan terjadi karena arsitek pembangunan masjid adalah orang Belanda.
Masjid Cipto Mulyo sudah beberapa kali direvonasi, namun hanya bagian atap dan lantainya saja diganti. Sementara bagian dalam masjid, termasuk pilar dan tiangnya yang terbuat dari kayu jati tidak diganti karena masih kuat. Demikian pula dengan posisi arah bangunan masjid yang miring tetap dipertahankan atas instruksi dari pihak Keraton Surakarta. Hingga saat ini, masjid bersejarah ini masih berdiri kokoh di Kawasan Wisata Pengging.
Kilasan Sejarah :
Setelah sempat tenggelam namanya, Pengging mulai dikenal kembali pada awal abad ke-18. Ketika itu, ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura. Sedangkan di Pengging pada abad itu, telah berdiri Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Kalifah Syarif dari Bagelen. Beliau mempunyai murid bernama Zainal Abidin. Berkat ketekunannya dalam beribadat, kesabarannya, serta kepandaian yang dimiliki Zainal Abidin, Kyai Syarif sangat tertarik terhadap terhadap kepribadiannya tersebut, dan akhirnya dinikahkan dengan puterinya yang bernama Siti Maryam.
Pada suatu ketika pemerintah Kraton Kartasura menerima pengaduan soal perdata, semua hakim kraton tidak dapat memberi keputusan. Terpaksa kraton mengadakan sayembara untuk mendapatkan hakim yang dapat menyelesaikan atau memberi keputusan soal perdata yang ada. Dari sekian banyak peserta yang mengikuti salah seorang adalah Zainal Abidin, dan ternyata dapat menyelesaikannya dengan baik. Sebagai hadiahnya, Zainal Abidin dijadikan pegawai Kraton Kartasura.
Lama kelamaan latar belakang Zainal Abidin diketahui oleh pihak kraton, bahwa sesungguhnya Kyai Zainal Abidin adalah Bupati Pekalongan bernama Tumenggung Padmonegoro yang telah lama hilang dalam peperangan. Oleh karena itu, Kyai Zainal Abidin diangkat menjadi Bupati Jaksa di Kartasura bernama Tumenggung Padmonegoro, yang berdarah keturunan Sultan Hadiwijaya, dan juga keturunan Susuhunan Amangkurat di Mataram yang dimakamkan di Tegal Arum.
Setelah meninggal, Tumenggung Padmonegoro dimakamkan di Desa Gedong, berdekatan dengan makam Kyai Kebokenongo (Ki Ageng Pengging). Almarhum Tumenggung Padmonegoro memiliki dua putera: Raden Ngabei Yosodipuro I dan Raden Ngabei Yosodipuro II. Pada saat wafat, Raden Ngabei Yosodipuro I dan II dimakamkan di Dukuh Ngaliyan, Desa Bendan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali. Tepatnya dibelakang Masjid Ciptomulyo. Menurut cerita, masjid ini dibangun oleh Tumenggung Padmonegoro.
Semula masjid yang dibangun Tumenggung Padmonegoro, kala itu masih bernama Kyai Zainal Abidin, oleh masyarakat sekitar sering disebut sebagai Masjid Karangduwet. Namun semenjak direnovasi oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) IX, dan selesai pada tahun 1908, masjid itu lalu dinamai sebagai Masjid Ciptomulyo.
Pada waktu peresmian dari pemugaran masjid tersebut, PB IX berkenan menghadiri dan mengikuti sholat Jumat tujuh kali berturut-turut.
Saparan Apem Keong Mas Pengging,
Saparan Pengging
Saparan Apem Keong Mas Pengging, Saparan Pengging, sebaran Apem Kukus Keong Mas Pengging, atau nama apa pun itu menyangkut Apem Kukus Keong Mas adalah upacara adat di wilayah Pemerintahan Kabupaten Boyolali.
Lebih tepatnya, upacara tradisional Saparan Pengging (dilaksanakan di bulan Sapar (penanggalan Jawa)) berupa sebaran Apem Keong Mas ini dilaksanakan di Objek Wisata (OW) Pengging, Banyudono, Boyolali. Kegiatan yang selalu ramai dipadati pengunjung ini biasa di gelar di pelataran Masjid Cipto Mulyo setelah sebelumnya diarak dari lingkungan Makam Astana luhur R. Ng. Yosodipuro dan kantor Kecamatan Banyudono.
Pelaksanaan Apem Keong Mas Saparan Pengging biasa melibatkan ribuan warga dan juga ribuan apem berbentuk bulat dan kerucut dengan bungkus janur. Prosesi Saparan Apem Keong Mas diawali pada hari sebelum dilaksanakannya sebaran.
Apem kukus yang akan disebarkan sebelumnya didoakan di Masjid Cipto Mulyo sebelum nantinya dibawa ke Makam R. Ng. Yosodipuro. Dari makam, ribuan apem yang disusun dalam dua gunungan apem akan diusung menuju kantor Kecamatan Banyudono kemudian berlanjut menuju pelataran Masjid Cipto Mulyo.
Waktu pelaksanaan adalah Jum’at di tengah bulan Sapar. Tepatnya, sebaran apem kukus dilaksanakan setelah sholat Jum’at. Mereka yang biasa ikut terlibat dalam kegiatan ini adalah pejabat setempat atau Pemerintah Kabupaten Boyolali, Trah R. Ng. Yosodipura Karathon Surakarta, pasukan dari Keraton Surakarta, Takmir Masjid Cipto Mulyo, dan lainnya.
Upacara tradisional yang merupakan perwujudan syukur masyarakat ini diceritakan telah berlangsung sejak era R. Ng. Yosodipura (Yosodipura I), pujangga besar Keraton Surakarta, di era kepemimpinan Pakubuwono IV.
Ada beberapa versi cerita berkembang tentang makna dan latar belakang diadakanya upacara tradisional ini. Salah satunya adalah tentang kisah para petani yang mengatasi hama keong mas dengan apem. Dan sejak saat itu, mereka bersyukur dengan membuat apem keong mas sebagai wujud rasa syukur terbebas dari hama itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU