Tapak Jejak dan PERIODESASI "WALI SONGO"
Sunan Pandanaran / Sunan Bayat Murid Sunan Kalijogo
"Tulisan ini mencoba menjelaskan "versi" sejarah & nasab Sunan Bayat & Sunan Pandanaran yang berdasarkan penelitian penulisnya, dianggap lebih mendekati kebenaran & kevalidan"
Oleh : Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini
Dalam Forum diskusi Group Majelis Dakwah Wali Songo
[Data Sejarah Dari catatan Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi tahun 1979]
I. Nama asli Sunan Bayat :
Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
Nama Lain / Gelar-gelar Sunan Bayat adalah:
Beliau Hidup pada masa Kesultanan Demak dan Giri Kedathon (Pad abad ke-16 M, di era Kesultanan Demak tersebut, Jabatan penasehat Sultan dipegang oleh Sunan Giri, Dan Sunan Giri mendirikan Kerajaan di daerah Giri Gresik dengan nama Giri Kedathon dan merupakan Kerajaan bagian dari kesultanan Demak)
Makam beliau terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat" berasal dari kata Jabal Katt artinya Gunung yang tinggi dan jauh ) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.
II. Ayah Sunan Bayat atau Sunan tembayat adalah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Magelang) Walisongo Periodesasi ke-8 (1592- 1650 M)
yang lahir di Pasai, putra Maulana Ishaq. Beliau diangkat dengan arahan Sunan Giri yang merupakan saudara seayahnya untuk Menjadi Bupati Semarang yang pertama, dan bergelar Sunan Pandan arang.
Beliau lantas berkedudukan di Pragota, yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dahulu Pragota berada sangat dekat dengan pantai, karena wilayah Kota Lama Semarang merupakan daratan baru yang terbentuk karena endapan dan proses pengangkatan kerak bumi. Tanah Semarang diberikan kepada Pandan Arang oleh Sultan Demak. Beliau wafat di Kelurahan Mugassari Semarang Selatan.
Jadi Sayyid Abdul Qadir adalah Sunan Pandan arang, jabatannya Bupati Semarang, Gelarnya adalah Maulana Islam, lahir di Pasai, wafat di Semarang.
Gelar-gelar Sayyid Abdul Qadir bin Maulana Ishaq :
III. Ibu Sunan Bayat atau istri Sunan Pandanaran I bernama Syarifah Pasai adik Pati Unus @ Raden Abdul Qadir (Mantu Raden Patah Demak) putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus @ Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam.
IV. Nasab Sunan Bayat &
Sunan Pandanaran I :
Ada berbagai versi yang beredar ttg Nasab Sunan Pandanaran, sebagian besar babad menyatakan bahwa ia adalah putra dari Pati Unus @ Panembahan Sabrang Lor (sultan kedua Kesultanan Demak) yang menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Posisi sultan ketiga Demak kemudian diberikan kepada pamannya. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah saudagar asing, mungkin dari Arab, Persia, atau Turki, yang meminta izin sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Izin diberikan baginya di daerah sebelah barat Demak.
Cerita lain bahkan menyebutkan ia adalah putra dari Brawijaya V, raja Majapahit terakhir, meskipun tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
Berbagai versi di atas tidak dapat dipertanggung jawabkan dan perlu diluruskan.
Versi Pertama muncul karena Ki Ageng Pandan Arang memiliki hubungan dekat dengan Pati Unus. Hubungan Ki Ageng pandan Arang atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran dengan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) menurut Habib Bahruddin adalah hubungan anak angkat dengan ayah angkat.
Pati Unus mengangkat Sunan Pandanaran sebagai anak angkatnya. Karena Syarifah Pasai adalah adik kandung Pati Unus.
Pendapat kedua muncul karena Sunan Pandanaran nampak seperti orang asing karena memang memiki darah Arab, sbgmn akan kita lihat dalam data di bawah; namun kisahnya sbg saudagar tidak tepat, lantas pendapat ketiga merupakan kebiasaan mitos setempat melegitimasikan kekuasaan akan suatu daerah karena dianggap sebagai turunan Penguasa Jawa sebelumnya yakni dari Majapahit, riwayat ini amat lemah karena tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
Riwayat dari catatan habib Bahruddin ba'alawi, tahun 1979, telah menggugurkan hikayat atau babad yang menceritakan bahwa Ki Ageng pandanaran adalah anak kandung Pati Unus dan versi-versi lainnya
Nasab Sunan Pandanaran & Sunan Bayat :
Sunan Bayat @ Sunan Tembayat @ Sunan Pandanaran II /Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
Masjid Masjid Gala, Sunan Bayat
Kompleks Pemakaman Sunan Bayat di Gunung Jabalkat
Mitos pertama : Jumlah anak tangga di komplek makam Sunan Pandanaran Bayat tak pernah sama jumlah hitungannya. Untuk mencapai makam Sunan Pandaran Bayat ini memang harus mendaki jejeran anak tangga yang lumayan tinggi dan menguras stamina. Konon jika anda menghitung anak tangga ini saat anda mendaki hingga ke puncak, jumlahnya tak kan pernah sama dengan hasil hitungan saat menuruninya. Aneh ya ?. bisa jadi karena saking banyaknya anak tangga sampai sampai membuat anda bingung sendiri.
Mitos kedua : Di makam Sunan Pandanaran Bayat terdapat sebuah lubang, para peziarah yang datang kesini rela antri untuk merogohkan tangannya ke dalam lubang tersebut. Kenapa begitu ya ?. Karena konon bilamana anda punya permintaan atau hajat tertentu dan pada saat merogohkan tangan ke dalam lubang ini tangan anda menyentuh sesuatu, maka permintaan atau hajat anda akan dikabulkan Tuhan.
Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit.
Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Wali Songo.
Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas.Sebelum menuju ke Makam , pengunjung melewati Pendopo,yang berada di depan Kelurahan Desa Paseban, di sebelah timur Pendopo, Pengunjung dapat membeli berbagai macam oleh oleh di Pasar Seni.
Kompleks pemakaman Sunan Bayat dibangun pada tahun 1620 M oleh raja besar Mataram, Sultan Agung. Sebelum dijadikan kompleks pemakaman oleh Sultan Agung, makam Sunan Bayat diperkirakan sudah dibangun sejak tahun 1526 M, seperti yang tertera pada Gapura Segara Muncar (1448 Saka) yang terdapat di bawah bukit dan berfungsi sebagai pintu gerbang pertama pemakaman.
Kompleks pemakaman yang pernah dianggap sebagai salah satu kompleks pemakaman termegah di era Kerajaan Mataram ini memiliki bagian-bagian yang menunjukan budaya peralihan dari Hindu ke Islam.
Hal itu dapat dilihat dari keberadaan gapura-gapura Hindu di dalam kompleks pemakaman. Namun yang membuat gapura ini berbeda adalah tidak adanya ornamen binatang seperti yang biasa ada dalam gapura Hindu.
Dan memang masa perjuangan Sunan Bayat dalam menyebarkan agama Islam adalah pada masa transisi kekuasaan dan kebudayaan dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Di bangsal ini pula, pengunjung wajib mendaftarkan diri sebelum masuk ke area pemakaman. Pengunjung kembali harus mengeluarkan “uang donasi” di bangsal ini untuk biaya tiket. Dari bangsal ini pengunjung kemudian mengarah ke kompleks pemakaman sahabat Sunan dan kembali akan menemukan Gapura Panemut yang juga memiliki gaya bangunan Hindu.
Masuk lebih dalam lagi kita akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura terakhir sebelum memasuki makam Sunan. Dari gapura terakhir tadi pengunjung akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang terletak di bawah Regol Sinaga.
Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat.
Siapa sebenarnya Sunan Pandanaran Bayat ?.
Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Songo. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Untuk dapat mencapai lokasi kompleks pemakaman Sunan Bayat yang terletak di Kecamatan Bayat, perjalanan dengan mobil atau motor dapat dipilih. Kurang lebih perjalanan akan memakan waktu kurang dari satu jam dari kota Solo. Jalur terdekat yang dapat diambil adalah jalur Wonosari, Juwiring, Pedan, Cawas/Trucuk kemudian Bayat. Jalur ini lebih cepat ditempuh daripada harus masuk melalui jalur Klaten kota.
Lihat Makam Sunan Pandanaran Bayat di peta yang lebih besar
Lihat Makam Sunan Pandanaran Bayat di peta yang lebih besar
Oleh : Habibullah Ba-Alawi Al-Husaini
Dalam Forum diskusi Group Majelis Dakwah Wali Songo
[Data Sejarah Dari catatan Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi tahun 1979]
Regol sinaga, tempat pasarean sunan pandanaran II / Sunan Bayat |
Data Tentang Sunan Bayat & Sunan Pandanaran :
I. Nama asli Sunan Bayat :
Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
Nama Lain / Gelar-gelar Sunan Bayat adalah:
- Pangeran Mangkubumi,
- Susuhunan Tembayat,
- Sunan Pandanaran (II), [Kata-kata Pandanaran juga berasal dari bahasa Jawa Kawi yaitu Pandanarang = artinya kota Suci]
- Wahyu Widayat
Beliau Hidup pada masa Kesultanan Demak dan Giri Kedathon (Pad abad ke-16 M, di era Kesultanan Demak tersebut, Jabatan penasehat Sultan dipegang oleh Sunan Giri, Dan Sunan Giri mendirikan Kerajaan di daerah Giri Gresik dengan nama Giri Kedathon dan merupakan Kerajaan bagian dari kesultanan Demak)
Makam beliau terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat" berasal dari kata Jabal Katt artinya Gunung yang tinggi dan jauh ) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.
II. Ayah Sunan Bayat atau Sunan tembayat adalah Sayyid Abdul Qadir (Sunan Magelang) Walisongo Periodesasi ke-8 (1592- 1650 M)
yang lahir di Pasai, putra Maulana Ishaq. Beliau diangkat dengan arahan Sunan Giri yang merupakan saudara seayahnya untuk Menjadi Bupati Semarang yang pertama, dan bergelar Sunan Pandan arang.
Beliau lantas berkedudukan di Pragota, yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dahulu Pragota berada sangat dekat dengan pantai, karena wilayah Kota Lama Semarang merupakan daratan baru yang terbentuk karena endapan dan proses pengangkatan kerak bumi. Tanah Semarang diberikan kepada Pandan Arang oleh Sultan Demak. Beliau wafat di Kelurahan Mugassari Semarang Selatan.
Jadi Sayyid Abdul Qadir adalah Sunan Pandan arang, jabatannya Bupati Semarang, Gelarnya adalah Maulana Islam, lahir di Pasai, wafat di Semarang.
Gelar-gelar Sayyid Abdul Qadir bin Maulana Ishaq :
- Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang.
- Sunan Pandanaran 1
- Maulana Islam
- Sunan Semarang
- Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang)
Dewan Walisongo Periodesasi ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari:
- Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang)/Sunan Pandan arang yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599),
- Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen,
- Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto,
- Maulana Yusuf,
- Sayyid Amir Hasan,
- Maulana Hasanuddin,
- Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung,
- Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan
- Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
IV. Nasab Sunan Bayat &
Sunan Pandanaran I :
Ada berbagai versi yang beredar ttg Nasab Sunan Pandanaran, sebagian besar babad menyatakan bahwa ia adalah putra dari Pati Unus @ Panembahan Sabrang Lor (sultan kedua Kesultanan Demak) yang menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Posisi sultan ketiga Demak kemudian diberikan kepada pamannya. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah saudagar asing, mungkin dari Arab, Persia, atau Turki, yang meminta izin sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Izin diberikan baginya di daerah sebelah barat Demak.
Cerita lain bahkan menyebutkan ia adalah putra dari Brawijaya V, raja Majapahit terakhir, meskipun tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
Berbagai versi di atas tidak dapat dipertanggung jawabkan dan perlu diluruskan.
Versi Pertama muncul karena Ki Ageng Pandan Arang memiliki hubungan dekat dengan Pati Unus. Hubungan Ki Ageng pandan Arang atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran dengan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) menurut Habib Bahruddin adalah hubungan anak angkat dengan ayah angkat.
Pati Unus mengangkat Sunan Pandanaran sebagai anak angkatnya. Karena Syarifah Pasai adalah adik kandung Pati Unus.
Pendapat kedua muncul karena Sunan Pandanaran nampak seperti orang asing karena memang memiki darah Arab, sbgmn akan kita lihat dalam data di bawah; namun kisahnya sbg saudagar tidak tepat, lantas pendapat ketiga merupakan kebiasaan mitos setempat melegitimasikan kekuasaan akan suatu daerah karena dianggap sebagai turunan Penguasa Jawa sebelumnya yakni dari Majapahit, riwayat ini amat lemah karena tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
Riwayat dari catatan habib Bahruddin ba'alawi, tahun 1979, telah menggugurkan hikayat atau babad yang menceritakan bahwa Ki Ageng pandanaran adalah anak kandung Pati Unus dan versi-versi lainnya
Nasab Sunan Pandanaran & Sunan Bayat :
- Nabi Muhammad
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra
- Al-Husain
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad Al-Baqir
- Ja’far Shadiq
- Ali Al-Uraidhi
- Muhammad
- Isa
- Ahmad Al-Muhajir
- Ubaidillah
- Alwi
- Muhammad
- Alwi
- Ali Khali’ Qasam
- Muhammad Shahib Mirbath
- Alwi Ammil Faqih
- Abdul Malik Azmatkhan
- Abdillah
- Ahmad Jalaluddin
- Jamaluddin Al-Husain
- Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
- Maulana Ishak
- Maulana Islam @Ki Ageng Pandanaran @Sunan Pandanaran @Sayyid Abdul Qadir @Sunan Semarang
- Sunan Bayat @ Sunan Tembayat @ Sunan Pandanaran II /Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
Sunan Bayat @ Sunan Tembayat @ Sunan Pandanaran II /Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
Dewan Walisongo Periodesasi ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
- Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan / Sunan Tembayat/ Sunan Pandanaran II (tahun 1750 menggantikan Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang)/Sunan Pandan arang I
- Syaikh Shihabuddin Al-Jawi (tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi)
- Sayyid Yusuf Anggawi (Raden Pratanu Madura), Sumenep Madura (Menggantikan mertuanya, yaitu Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir)
- Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, (tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal Cirebon )
- Syaikh Nawawi Al-Bantani. (1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin Sunan Kudus)
- Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir ( tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu Maulana Hasanuddin)
- Sultan Abulmu’ali Ahmad (Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani)
- Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
- Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan (tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih Panembahan Pekaos)
Masjid Masjid Gala, Sunan Bayat
Masjid Gala berdiri di atas bukit berteras dan terdiri dari tiga tingkat. Masjid tersebut terletak di tingkat ketiga yang luasnya 324 m². Bangunan masjid hanya terdiri dari ruang utama, jadi tidak seperti masjid pada umumnya yang memiliki serambi dan pawestren tersendiri. Masjid ini termasuk salah satu masjid yang unik karena menggunakan gaya budaya Indo-Jawa.
Di atas gedung dalam masjid ini adalah salah satu karakteristik dari bangunan keagamaan Hindu-Budha di Jawa. Atap masjid berbentuk tumpang terdiri dari dua tingkat yang meruncing ke atas dan ditutup dengan mustaka pada puncaknya. Untuk menopang konstruksi ini digunakan empat tiang sakaguru (tiang utama) dan dua belas sakarawa (tiang tambahan) yang terbuat dari kayu jati. Sakaguru dilandasi umpak batu dengan profil bingkai padma dan susunan pelipit-pelipit persegi. Ruang mihrab mempunyai atap tersendiri yang terbuat dari batu. Sedangkan mimbar dalam masjid ini merupakan mimbar baru terbuat dari kayu jati yang terletak di sebelah depan bagian utara mihrab. Bedug dalam masjid ini ditempatkan di bagian timur laut ruangan masjid, selain bedug di dalam masjid juga terdapat kentongan bambu yang berbentuk lengkung. Selain itu terdapat pula Padasan yaitu tempayan tempat air wudhu dan biasanya terletak di halaman depan masjid, dalam masjid ini terdapat dua padasan yaitu terbuat dari tanah liat dan pada bagian luarnya dilapisi dengan semen.
Di halaman Masjid Gala terdapat makam-makam diantaranya makam keturunan Ki Ageng Pandanarang, salah satunya makam Pangeran Mendel IV yang terletak di sebelah barat masjid. Dalam masjid ini terdapat bekas umpak sakarawa yang berbentuk bulat dengan lubang persegi di bagian atasnya, seluruhnya terdapat enam buah yang diletakkan di halaman depan masjid.
Sejarah Riwayat Masjid Gala
Riwayat Masjid Gala dapat dihubungkan dengan Sunan Tembayat. Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya Ki Ageng Pandanarang menemukan sebuah masjid kecil dan padasan. Selanjutnya beliau bermukim di Tembayat dan terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat. Sedangkan kisah lain menyebutkan bahwa Sunan Tembayat merasa kurang puas dengan masjid yang didirikan di atas gunung Jabalkat. Kemudian ia menyuruh membangun lagi seuah masjid di bawah dan diberi nama Masjid Gala. Huruf “ga” berarti satu dan huruf “la” berarti tujuh. Jadi “gala” mengandung arti nilai “la” yang bermakna di dalam masjid itu dilakukan shalat 17 rakaat.
Sumber : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1999). Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Gerbang Makam Sunan Pandanaran Bayat, siap siap mendaki tangga yang tinggi
Jejeran anak tangga yang harus didaki dipandang dari atas ke bawah
Mitos kedua : Di makam Sunan Pandanaran Bayat terdapat sebuah lubang, para peziarah yang datang kesini rela antri untuk merogohkan tangannya ke dalam lubang tersebut. Kenapa begitu ya ?. Karena konon bilamana anda punya permintaan atau hajat tertentu dan pada saat merogohkan tangan ke dalam lubang ini tangan anda menyentuh sesuatu, maka permintaan atau hajat anda akan dikabulkan Tuhan.
Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit.
Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Wali Songo.
Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas.Sebelum menuju ke Makam , pengunjung melewati Pendopo,yang berada di depan Kelurahan Desa Paseban, di sebelah timur Pendopo, Pengunjung dapat membeli berbagai macam oleh oleh di Pasar Seni.
Makam dari Sunan Bayat yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang terletak di atas perbukitan Gunung Jabalkat. Lokasi makam yang berada di ketinggian 860 meter dpl ini dapat dicapai dengan terlebih dahulu menaiki 250 anak tangga.
Kompleks pemakaman yang pernah dianggap sebagai salah satu kompleks pemakaman termegah di era Kerajaan Mataram ini memiliki bagian-bagian yang menunjukan budaya peralihan dari Hindu ke Islam.
Hal itu dapat dilihat dari keberadaan gapura-gapura Hindu di dalam kompleks pemakaman. Namun yang membuat gapura ini berbeda adalah tidak adanya ornamen binatang seperti yang biasa ada dalam gapura Hindu.
Dan memang masa perjuangan Sunan Bayat dalam menyebarkan agama Islam adalah pada masa transisi kekuasaan dan kebudayaan dari kerajaan Hindu Buddha Majapahit ke kerajaan Islam Mataram.
Gerbang Bergaya Hindu di komplek makam Sunan Bayat
Sunan Bayat yang dipercaya sebagai seorang Bupati Semarang sebelum dirinya menjadi seorang pemimpin agama adalah tokoh utama dalam kompleks pemakaman Tembayat. Kompleks pemakaman yang berada di Gunung Cokro Kembang (bagian dari perbukitan Gunung Jabalkat) terbagi dalam beberapa bagian penting sebelum peziarah mencapai makam Sunan Bayat yang berada pada bagian paling atas.
Dimulai dari pintu gerbang pertama adalah Gapura Segara Muncar, lalu Gapura Dhuda, dan pintu ketiga yaitu Gapura Pangrantungan. Gapura Pangrantungan berada di “garis finis” dari 250 anak tangga menuju makam. Di kompleks gapura ini terdapat Bangsal Nglebet (untuk tamu wanita) dan Bangsal Jawi (untuk pria) sebagai lokasi beristirahat dan menghela nafas setelah lelah menapaki anak tangga.
Masuk lebih dalam lagi kita akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura terakhir sebelum memasuki makam Sunan. Dari gapura terakhir tadi pengunjung akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang terletak di bawah Regol Sinaga.
Regol sinaga, tempat pasarean sunan pandanaran II / Sunan Bayat
Juru doa ini adalah seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk memintakan izin dan mendoakan peziarah yang datang mengunjungi makam Sunan Bayat. Di kanan dan kiri Regol Sinaga yang berpintu tiga diletakan masing-masing sebuah gentong yang diberi nama Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat.
Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat.
Beberapa peziarah yang datang atau meninggalkan makam Sunan selalu menyempatkan diri untuk meminum air dari dalam gentong atau menyimpan sedikit dalam botol untuk dibawa pulang. Dari Regol Sinaga pengunjung dapat langsung masuk ke dalam bangunan utama yang terdapat di puncak bukit ini.
Di dalam bangunan inilah Sunan Bayat dimakamkan. Makam Sunan Bayat terdapat di tengah bangunan tersembunyi dalam bilik kayu berbentuk persegi mirip seperti Ka’bah di Mekah. Banyak peziarah yang masuk, akan mengantri di samping makam untuk dapat mendekati makam Sunan. Beberapa dari mereka juga terlihat sibuk menyalin teks Jawa yang tertulis pada sebuah batu yang diletakan di samping makam.
Di samping makam Sunan Bayat terdapat dua makam istri Sunan Bayat yaitu Nyi Ageng Kali Wungu dan Nyi Ageng Krakitan. Sementara (bagian dalam) di depan pintu masuk bangunan utama terdapat beberapa makam sahabat-sahabat Sunan Bayat.
Dari dalam makam Sunan Bayat pengunjung kemudian dapat mengunjungi dua makam sahabat Sunan yang berada di bagian luar bangunan utama. Dua makam itu adalah makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan.
Dampu Awang dipercaya sebagai seorang pedagang dari Semarang dan dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Makam Dampu Awang tampak berbeda dengan makam lainnya karena ukuran panjang yang tidak biasa. Ukuran makam Dampu Awang tampak sangat panjang daripada makam-makam lain yang ada didekatnya termasuk milik Ki Pawilangan.
Sebuah tradisi unik sering dilakukan oleh para peziarah saat mengunjungi makam Dampu Awang dan Ki Pawilangan. Tersebar cerita kuno bahwa bagi siapa yang berhasil menyentuh dua batu nisan (masing-masing di bagian ujung) makam Dampu Awang dengan membentangkan tangannya, maka keinginannya akan terkabul. Dan bagi kerabat yang pertama menyentuh orang yang berhasil tadi juga akan mendapatkan sebagian dari berkahnya.
Sedangkan cerita kuno pada makam Ki Pawilangan adalah bagi siapa yang menghitung jumlah batu hias pada makam sebanyak tiga putaran dengan jumlah berbeda dan membesar. Maka dia akan mendapatkan berkah. Sementara jika hasil perhitungan selama tiga kali menghasilkan jumlah menurun maka dia akan mendapatkan kebalikannya.
Kebanyakan pengunjung yang datang ke kompleks pemakaman Sunan Bayat adalah para peziarah yang datang dari Jawa Tengah terutama Semarang. Hal ini bisa jadi karena latar belakang asal-usul Sunan yang datang dari Semarang sebelum menjalani hidup religius di bawah bimbingan Sunan Kalijaga.
Selain makam Sunan Bayat, pengunjung juga dapat mengunjungi Masjid Golo, dengan bedugnya, yang dibangun oleh Sunan Bayat. Ada juga makam Syeh Domba di Gunung Cakaran, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala domba karena merampok istri Sunan. Atau makam Syeh Kewel di Makam Sentana, pengikut setia Sunan, yang diceritakan pernah berkepala Ular karena juga turut merampok istri Sunan.
Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Songo. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Untuk dapat mencapai lokasi kompleks pemakaman Sunan Bayat yang terletak di Kecamatan Bayat, perjalanan dengan mobil atau motor dapat dipilih. Kurang lebih perjalanan akan memakan waktu kurang dari satu jam dari kota Solo. Jalur terdekat yang dapat diambil adalah jalur Wonosari, Juwiring, Pedan, Cawas/Trucuk kemudian Bayat. Jalur ini lebih cepat ditempuh daripada harus masuk melalui jalur Klaten kota.
Lihat Makam Sunan Pandanaran Bayat di peta yang lebih besar
Lihat Makam Sunan Pandanaran Bayat di peta yang lebih besar
////Source ;dari berbagai sumber Net////
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU