SEMBILAN PINTU NAGA (KERIS EYANG RAGA RUNTHING)
Keris Eyang Raga Runthing itu mungkin memang benar-benar ada (atau bahkan menjadi pusaka suatu kerajaan). Namun kisah di balik itu, bisa jadi hanyalah merupakan simbol (legitimasi) atas keberadaan dewan Wali Sanga.
Mungkin ada kaitan silsilah antara para anggota dewan Wali Sanga dengan sosok Aji Saka.
=====================================================
Aji Saka dan Naga Baru Klinthing
Legenda yang dikenal di (hampir seluruh) masyarakat Jawa, berawal dari peradaban yang dibentuk oleh Watugunung (Prabu Gilingwesi). Prabu Parikenan (pewaris Kerajaan Madang Kamulan), dalam Legenda Jawa, adalah garis awal keluarga Pandawa (Pandu) versi Jawa.
Menurut versi yang jarang dituturkan, senjata dari lidah naga itu menjadi sebuah keris. Keris itu diberi nama Eyang Raga Runthing atau Naga Runthing. Konon, Runthing adalah kependekan dari nama Baru Klinthing. Namun, ada pula yang mengartikan Runthing sebagai "banyak pikiran".
Keris ini berluk (lekuk) sembilan. Sebagai simbol dari "Sembilan Pintu Naga" atau "Hawa Sanga" atau sembilan lubang pada tubuh manusia. Dan angka sembilan pun menjadi simbol jumlah anggota dewan Wali Sanga.
Mungkin ada kaitan silsilah antara para anggota dewan Wali Sanga dengan sosok Aji Saka.
=====================================================
Aji Saka dan Naga Baru Klinthing
Di setiap peninggalan peradaban kuno, pastilah mengenal Cerita Rakyat, Legenda atau Dongeng mengenai laut yang berpindah, danau/telaga/rawa yang terbentuk, atau banjir besar. Menurut tiga agama besar (Yahudi, Nasrani dan Islam) terdapat kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh (Noah).
Namun sayang, nama Sadewa (kembaran Nakula) menjadi tokoh jahat yang membunuh Prabu Parikenan, untuk merebut kekuasaan Madang Kamulan. Sadewa, naik tahta bergelar Prabu Cingkaradewa atau Prabu Dewata Cengkar.
Kisah ini pun berawal rawa yang berpindah-pindah di tanah Jawa.
Legenda yang dikenal di tanah Jawa konon berasal dari karya-karya sastra sejak jaman Airlangga (Erlangga). Puncak kejayaan kesusastraan, adalah pada masa Sri Jayabaya.
Dalam Legenda Jawa, Jayabaya adalah titisan Wisnu, keturunan Pandawa dari garis keturunan Arjuna, Abimanyu, Parikesit, yang nantinya ke Airlangga.
Karya-karya sastra ini, terus mengalami perkembangan hingga masa kekuasaan Giri Kedaton (peralihan dari Hindu ke Islam).
Munculnya nama Aji Saka, konon tertulis dalam Serat Jayabaya Musarar. Suatu hari, Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama itu, Jayabaya mendapat gambaran keadaan Pulau Jawa sejak zaman Aji Saka sampai datangnya hari kiamat.
Melihat nama ulama Maolana Ngali Samsujen dan nama Serat Jayabaya Musarar (Asrar), sangatlah bernuansa Islam. Bisa dipastikan, serat ini adalah gubahan pada masa Giri Kedaton.
Cerita turun-temurun berdasarkan tutur (tutur tular atau gethok tinular), senantiasa dipengaruhi oleh kondisi subyektif dari para penutur.
Bersamaan dengan munculnya tokoh Aji Saka, muncul pula sosok seekor Naga (atau ular raksasa) bernama Baru Klithing. Baru Klinthing, dalam versi manapun, menuntut diakui sebagai anak Aji Saka. Awal hadirnya Baru Klinthing, berbeda-beda versi ceritanya.
Menurut beberapa penggalan kisah, Baru Klinthing disuruh melingkari sebuah gunung. Harus sempurna melingkar hingga kepala menyentuh ekor (atau tepung gelang).
Dalam satu versi, dikatakan ini adalah syarat agar bisa diakui sebagai anak oleh Aji Saka. Dalam versi lain, adalah syarat agar bisa berubah menjadi wujud manusia sempurna. Namun, nama gunung tempatnya melingkar pun berbeda-beda pada tiap versi cerita.
Dalam penggalan kisah lain, Baru Klinthing menjelma menjadi bocah yang doyan makan bernama Jaka Linglung. Namun dalam versi lain, Baru Klinthing menjadi bocah bajang (bocah kerdil), yang berkeliling meminta makan pada setiap penduduk desa.
Di beberapa penggalan kisah lain, Baru Klinthing (dalam wujud bocah bajang, Jaka Linglung, atau manusia buruk rupa lainnya) mendapat makan dari seorang wanita (beda versi, beda usia).
Sementara para penduduk desa lain tidak mau memberinya makan. Maka wanita itu diberi tahu akan ada banjir, dan disuruh menyiapkan lesung sebagai perahu dan centong nasi sebagai dayungnya.
Kepada para penduduk desa lain, Baru Klinthing memberi sayembara "cabut lidi". Lidi yang ditancapkan ke tanah oleh Baru Klinthing, tak seorang pun yang mampu mencabutnya.
Baru Klinthing sendirilah yang akhirnya mencabut lidi tersebut. Ajaibnya, ketika lidi itu tercabut, muncul air dari lobang bekas tancapan lidi tersebut. Makin lama, air itu makin deras keluar, dan menjadi air bah.
yang menjadi legenda Rawa pening Ambarawa-Semarang
Mengacu pada awal kisah sastra Jayabaya, kejadian tersebut berada di Sumber Baru Klinthing (mata air Baru Klinthing) sekitar kerajaan Kediri. Menurut gubahan dari Giri Kedaton, kejadian itu menjadi Legenda Rawa Pening. Sementara menurut gubahan masa Sultan Agung Mataram, kejadian itu berada di sekitar Pengging.
Plot atau alur cerita antara "tepung gelang" dan "cabut lidi" ini pun, berbeda urutan pada tiap versi.
Melanjutkan plot "tepung gelang", akhirnya naga Baru Klinthing didatangi oleh seseorang. Banyak versi menyebutkan bahwa orang itu adalah Aji Saka sendiri atau utusan Aji Saka. Orang tersebut menyarankan sang naga untuk menjulurkan lidah menyentuh ekornya, agar sempurna membentuk tepung gelang.
Akhirnya lidah naga Baru Klinthing terjulur hingga menyentuh ekornya, dan sempurna membentuk tepung gelang. Saat itu juga, orang tersebut dengan segera memotong lidah naga Baru Klingthing.
Dalam satu versi, naga Baru Klinthing meraung keras dan menggelepar hingga tewas. Sementara potongan lidahnya meloncat jauh tinggi melayang ke langit.
Versi lain, menyebutkan lidah naga Baru Klinthing berubah menjadi senjata. Sementara tubuhnya menjadi manusia, atau ada tubuh manusia keluar dari tubuh naga (karena sempurna menunaikan syarat agar bisa menjadi manusia sempurna), namun meninggal sebagai manusia saat itu juga. Versi lain, menyebutkan tubuhnya lenyap.
Dipercaya, keris ini akan menyerap kembali tubuh naganya jika terbenam dalam air, dan sosok naga ini akan memangsa siapapun yang berada di dekatnya, termasuk si pemegang keris tersebut.
Apakah kisah naga Baru Klinthing ini, nyata terjadi? Atau menjadi simbol atas sesuatu? Hanya penulis awal yang tahu persis akan hal ini. Karya sastra memang kadang lugas namun kadang sarat dengan simbol dan kode-kode.
Keris Eyang Raga Runthing itu mungkin memang benar-benar ada (atau bahkan menjadi pusaka suatu kerajaan). Namun kisah di balik itu, bisa jadi hanyalah merupakan simbol (legitimasi) atas keberadaan dewan Wali Sanga. Mungkin ada kaitan silsilah antara para anggota dewan Wali Sanga dengan sosok Aji Saka.
///sumber///
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU