Sejarah dan Seluk Beluk Batik Nusantara P#2
Sejarah Batik kembali ke : Sejarah dan Seluk Beluk Batik Nusantara P#1 Sejarah Batik
Motif Batik
Batik Tiga Negeri masterpiece batik
Motif Batik
Batik Tiga Negeri masterpiece batik
Kerumitan membuat sepotong batik tulis ternyata masih belum cukup jika kita tahu sejarah motif Batik Ttiga Negeri. Motif Batik Tiga Negeri merupakan gabungan batik khas Lasem, Pekalongan dan Solo, pada jaman kolonial wilayah memiliki otonomi sendiri dan disebut negeri. Mungkin kalau hanya perpaduan motifnya yang khas masing-masing daerah masih wajar dan biasa, tetapi yang membuat batik ini memiliki nilai seni tinggi adalah prosesnya.
Konon menurut para pembatik, air disetiap daerah memiliki pengaruh besar terhadap pewarnaan, dan ini masuk akal karena kandungan mineral air tanah berbeda menurut letak geografisnya. Maka dibuatlah batik ini di masing-masing daerah.
Pertama, kain batik ini dibuat di Lasem dengan warna merah yang khas, seperti merah darah, setelah itu kain batik tersebut dibawa ke Pekalongan dan dibatik dengan warna biru, dan terakhir kain diwarna coklat sogan yang khas di kota Solo.
Mengingat sarana transportasi pada zaman itu tidak sebaik sekarang, maka kain Batik Tiga Negeri ini dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece batik.
Batik Jawa Hokokai, 1942-1945
Batik Jawa Hokokai yang mulai dibuat pada tahun 1942 selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, tentu saja termasuk batik kuno jika kita pelajari dari tata bahasa. Namun, dalam menggolongkan jenis-jenis batik, maka dibuatlah sebuah perbedaan tentang batik Jawa kuno dan batik Jawa Hokokai.
Batik Jawa Hokokai, 1942-1945 |
Batik Jawa kuno ditetapkan sebagai batik dengan motif-motif asli Indonesia (Keraton) yang bukan saja dibuat pada jaman dahulu melainkan merupakan batik yang khusus digunakan oleh kalangan tertentu. Sebut saja salah satu motif batik tertua, kawung. Selain itu ada juga Sidomukti, Limaran, Parang, Gringsing, dan lain-lain.
Batik Buketan asal Pekalongan
dengan desain pengaruh Eropa
Pola Batik Buketan
Pada saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang yang menggemari pola-pola buketan ( Belanda ), para pengusaha Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh budaya Eropa ( Belanda ) setelah tahun 1910. Langkah para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca situasi pasar itu, memang cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Caroline Josephine Van Franquemont dan Catherina Carolina Van Oosterom, berada dalam puncak pemasarannya.
Batik Buketan asal Pekalongan dengan desain pengaruh Eropa |
Pola buketan tersebut pertama kali diproduksi oleh Cristina Van Zuylen yaitu salah satu seorang pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan.
Pada tahun 1880, Cristina Van Zuylen telah mengubah tradisi yang semula sebagai karya anonym ( tanpa diketahui identitas pembuatnya ) dan bersifat missal, menjadi karya individual. Identitas nama Cristina van Zuylen dituliskan disudut bagian dalam kain bentuk tanda tangan yang berbunyi “T. van Zuylen” ( kependekan dari Tina Van Zuylen ) pada setiap karyanya. Batik buketan yang terkenal adalah karya Zuylen bersaudara yaitu Cristina Van Zuylen dan Lies van Zuylen. Batik tersebut sangat laku sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana diuraikan dimuka.
Para pengusaha tersebut antara lain Lock Tjan dari Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedungwuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format “pagi-sore”. Selain itu, dikampung Kwijan ( Tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan Tan-Kwi-Jan ) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari golongan Tionghoa yang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-Bing-Liat.
Bangkitnya para pengusaha kelas menengah Tionghoa di Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai seni yang tinggi bahkan bisa disejajrkan dengan pelukis di Eropa ( Belanda ), terutama batik yang memiliki pola dan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami perubahan karena batik hanya dianggap sebagai kerajinan atau dagangan saja.
Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya saja karena dipandang sebagai milik pasar. Hal itulah yang membedakan kedua golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industri batik. adanya persaingan antara pengusaha batik Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.
Batik Lasem
Batik Lasem, Akulturasi Tionghoa dan Jawa
Lasem adalah sebuah kecamatan yang terletak di pantai bagian utara Pulau Jawa, lebih tepatnya sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang. Kota ini, terkenal dengan sebutan Little Tiongkok. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan tua yang berada di kecamatan ini. Detail-detail pada bangunan-bangunan ini didominasi oleh detail China. Selain terkenal dengan nama Little Tiongkok, Lasem ini juga identik dengan batiknya.
Batik Lasem ini dikenal karena keunikan dari motif dan coraknya.
Pada batik Lasem ini, terdapat akulturasi antara Jawa dan China. Menurut sejarah, awal masuknya batik ke Lasem ini adalah dari seorang anak buah kapal Laksamana Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un dengan isteri yang bernama Ibu Na Li Ni yang masuk di Lasem pada tahun 1400-an. Beliau menetap di Jolotundo, Bi Nang Un ini adalah ahli bertukang terutama dalam membuat kerajinan dari tembaga dan ukiran. Sedangkan ibu Na Li Ni, menularkan seni penulisan di kain menjadi seni tulis batik. Dahulunya seni lukis batik ini sudah ada di Jawa, jauh sebelum kedatangan kedua tokoh ini, namun karena sifatnya yang tidak komersil maka batik belum terlalu dikenal.
Batik di Lasem ini mulai besar setelah kedatangan saudagar minuman keras dari Tiongkok pada tahun 1600-an, Pengusaha dari Tiongkok ini adalah seorang ahli gambar dan ahli kaligrafi, dialah yang memberikan gambar-gambar motif China pada batik Lasem.
Batik Lasem merupakan batik pesisir. Hal ini dikarenakan secara geografis letaknya yang berada di pesisir. Pada zaman dahulu, kota yang berada di pesisir utara Pulau Jawa adalah kota-kota pelabuhan yang besar. Di kota-kota pelabuhan ini, akulturasi antara masyarakat pribumi dan para pedagang yang berasal dari negara-negara asing dengan mudahnya terjadi. Karena pedagang dari China yang mendominasi Lasem maka pengaruh budaya China bisa kita temui di Batik Lasem ini.
Hal ini bisa dilihat dari motif-motif yang ada pada Batik Lasem tersebut, motif bambu, bunga seruni, bunga teratai, kelelawar (Bien Fu), Naga dan Burung Pheonix (Burung Hong) adalah beberapa motif batik yang ada.
Seperti batik yang berasal dari Solo, Yogyakarta, Banyumas, dan Wonogiri, motif batik ini bersifat geometris. Pada zaman Belanda, Lasem merupakan salah satu dari lima besar daerah penghasil batik termasuk Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan Banyumas. Bahkan pada zaman dahulu, batik dari Lasem ini merambah beberapa daerah di Indonesia, seperti Manado, Sumatera bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, Brunei dan Suriname. Kepopuleran batik Lasem di Suriname ini di bawa oleh orang-orang dari Pulau Jawa yang dibawa oleh Belanda.
Selain pencampuran motif dari China, di Lasem ini terdapat motif khas lainnya yaitu motif Latoan dan Batu Pecah/Kricak. Latoan adalah tanaman khas yang banyak terdapat di sekitar pantai yang dapat dimakan sebagai urap. Karena banyak terdapat di Lasem, maka motif ini digunakan sebagai motif batik. Selain latoan, terdapat motif batu pecah. Motif ini memiliki nilai sejarah. Pada zaman dahulu, tepatnya ketika Gubernur Jenderal Belanda, Daendels membuat jalan dari Anyer sampai dengan Panarukan sepanjang 1000 km, para bupati diminta menyerahkan para pemuda sebagai pekerja paksa mereka. Mereka berfungsi sebagai tenaga kerja pemecah batu, dan pada zaman tersebut juga terjadi epidemik malaria dan influenza yang menyerang Rembang yang menimbulkan banyak kematian di Rembang dan Lasem. Dampak dari itu adalah kesedihan mendalam bagi masyarakat Lasem. Kesedihan ini ditampilkan dalam bentuk motif batu pecah. Namun, karena bagusnya motif ini maka daerah lain pun meniru motif tersebut.
Warna khas dari Batik Lasem ini adalah warna merah darah (getih pitik) ayam, hijau botol bir dan warna biru tua. Selain itu, Batik Lasem ini jugsa dikenal dengan sebutan Batik Tiga Negeri.
Sebutan ini didapatkan dari proses pewarnaan batik. Terdapat tiga kali proses pewarnaan dalam pembuatan Batik Lasem ini.
Proses-proses itu adalah pewarnaan merah, lalu dimasukkan klorotan agar lilinnya hilang, dicampur dengan tanah, lalu dimasukkan kedalam pewarna biru dan yang terakhir adalah warna coklat. Semua proses tersebut dilakukan dalam satu rumah. Secara istilah, Batik Tiga Negeri itu, warna merahnya dari Lasem, biru dari Pekalongan dan Coklat (Soga) berasal dari Solo.
Beliau mengembangkan motif baru yang menggunakan huruf Thionghoa. Proses penciptaan motif ini adalah pada saat malam Tahun Baru China. Dalam perenungannya, beliau mendapatkan semacam ilham untuk membuat motif yang baru dalam batik. Akhir dari proses perenungan ini lahirlah motif baru. Motif tersebut adalah berupa kata-kata mutiara dalam aksara China. Filosofi yang terkandung pada motif ini adalah empat penjuru samudera semuanya adalah sama, bakti anak terhadap orang tua, murid kepada guru, dan rakyat kepada pemerintah. Agar bisa bergabung dengan filosofi Jawa, Beliau menuliskan motif ini ke dalam sebuah batik yang bermotifkan Sekar Jagat. Sekar jagat itu sendiri artinya adalah Bunga Dunia.
Selain itu beliau juga menciptakan motif dengan tulisan Tinghoa yaitu hek sia ping an wang se ru i, yang artinya adalah “Seisi rumah sentosa segala macam usaha sesusai dengan apa yang dikehendaki”. Ada beberapa motif batik yang bertuliskan filosofi Tionghoa yang beliau ciptakan.
Pada awalnya beliau ragu dengan motif ini, apakah bisa diterima di masyarakat atau tidak? Namun pada saat pameran batik di Rembang dan beliau memperlihatkan motif ini, justru sambutan meriah dan antusiasme tinggi yang beliau dapatkan. Sekarang batik dengan motif ini sangat laris manis.
Batik Lasem dapat dikatakan sebagai bukti akulturasi antara masyarakat China dan pribumi. Proses ini sudah berlangsung ratusan tahun dan karena akulturasi inilah maka Batik Lasem menjadi populer, unik dan banyak diminati.///Source///
Berlanjut ke : Sejarah dan Seluk Beluk Batik Nusantara P#3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU