Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Sabdo Palon: ‘agama budi’ bukan ‘agama buddha’


Sabdo Palon: 
‘agama budi’ bukan ‘agama buddha’
(syair).Per Gatra (larik) vokal terakhir tdk ngawur,hrs
sesuai pakem. Gatra 1,hrs jatuh pd vokal ‘A’, G-2 : I, G-3 : A, 6-4
: I, G-5 : I, G-6 : U, G-7 : U, G-8 : A dan Gatra 9,hrs jatuh pada
vokal ‘A’.
Pada Pada (Syair) ke-6 Serat Sabda Palon Gatra ke-4 hrs jatuh vokal ‘I’ (Wus nyebar Agama Budi),mengapa masih juga ditulis ‘Buda’ dlm banyak terjemahan?
*********************************************************

Candi Cetho
Sebenarnya tulisan tentang Sabdo Palon dan Serat Darmogandhul, sudah lama beredar di internet, namun jika kita rajin “browsing”, ada banyak tulisan tentangnya, yang sebagian adalah hasil COPY-PASTE dari site-site tertentu, dengan berbagai versi. Jika kita tidak cermat membandingkan beberapa versi yang beredar di internet, memungkinkan kita kebingungan memahaminya, atau memahami secara kurang tepat, karena bersumber hanya dari referensi yang terbatas.
Di internet, urutan bait-bait “tembang Sinom”-nya pun berbeda-beda. (bait-bait tembang Sinom itu adalah versi ringkas dari tulisan Serat Darmogandhul yang memang tidak ber-format ‘tembang’)
Contohnya, Mas “Damar Shashangka” di atas, mencatat kalimat “wus nyebar agama budi”, berada di bait ke-6, sedangkan saya disini, mencatat kalimat itu berada di bait ke-19, karena sumber saya memuat 20 bait tembang Sinom, dengan urutan yang mungkin berbeda dengan yang digunakan oleh Mas Damar Shashangka.
Dari 20 bait (pada) tembang Sinom yang ada, saya kutip bait 16-20 saja untuk meluruskan pemahaman, bahwa yang dimaksud Sabdo Palon adalah jelas “AGAMA BUDI”, bukan “AGAMA BUDDHA”. Bait ke-16 sampai 20 ini yang mungkin dapat secara erat dihubungkan dengan letusan Merapi di tahun 2010 ini, yang berbeda dengan letusan-letusan sebelumnya. Arah lahar (dan awan panas) ke BARAT DAYA, serta BAU BELERANG yang menyengat sampai radius yang cukup jauh, DAPAT DIANGGAP memenuhi “tanda” yang sudah disebutkan di tembang Sinom berikut.
Pada kaping 16:
Sabdo Palon matur sugal,
yen kawula mboten arsi,
angrasuk agama Islam
wit kula punika yekti,
ratuning danyang Jawi,
momong marang anak putu,
sagunging pri prayangan,
kang dumunung tanah Jawi,
wus pinasthi sayekti kula pisahan.
Pada kaping 17
Kalawan Paduka Nata,
wangsul mring kajiman mami,
mung kula matur pitungkas,
benjing ing sapungkur mami,
yen wus prapta kang wanci,
jangkep gangsal atus taun,
awit dinten punika,
kula gentos ing agami,
agami budi kula sebar tanah Jawa.
Pada kaping 18
Sinten tan purun nganggeya,
yekti kula risak sami,
sun ajakan putu kula,
brekasakan rupi-rupi,
dereng lega kang ati,
yen durung alebur tumpur,
kula damel pratanda,
praptane tembayan mami,
hardi Mrapi yen wus jeblug mili lahar.
Pada kaping 19
Ngidul ngilen purugira,
nggandha banger ingkang warih,
nggih punika wedal kula,
wiwit nyebar agama budi,
netepi janji mami,
anggere kodrat satuhu,
karsanireng Jawata,
sadaya gilir gumanti,
mboten kenging alamun hingga wahana.
Pada kaping 20
Sabdo Palon nulya muksa,
sakedap mboten kaeksi,
wangsul mring jaman kajiman,
langsung ngungun Sribupati,
jenger tan bisa angling,
kang manah langkung gegetun,
kaduwung solahira,
mupus karsaning Dewadi,
kodrat iku sayekti tan kena owah.
Perhatikan baik-baik, bahwa tiap baris kalimat (gatra) di setiap bait (pada) mengikuti pola yang sama, yaitu suku kata terakhir di baris-baris (kalimat – gatra) di bait (pada) itu berakhiran dengan bunyi vokal A-I-A-I-I-U-A-I-A. Ini memang “aturan” yang tidak boleh dilanggar dalam membuat gatra (kalimat) dalam sebuah tembang. Ini adalah majas.
Saya menterjemahkan secara “bebas dan lugas” baris demi baris dari dari bait-bait “tembang Sinom” diatas adalah sebagai berikut. (jika ada yang keliru, kurang pas, itu karena keterbatasan saya memahami bahasa Jawa “lama”, atau keterbatasan kata dalam bahasa Indonesia, sehingga kurang tepat seperti yang dimaksud dalam tulisan aslinya)
Bait ke-16
Sabda Palon menjawab kasar: – kalau saya tidak sudi – memeluk agama Islam – sebab saya ini sebenarnya – rajanya penguasa (di) Jawa – memelihara anak cucu – semua peri perayangan (mahkluk halus) – yang ada di tanah Jawa – sudah ditakdirkan saya harus berpisah.
Bait ke-17
Dengan Paduka – kembali ke asal mula saya. – namun saya berterus terang – kelak setelah saya pergi – ketika sudah tiba saatnya – genap limaratus tahun – sejak hari ini – saya akan mengganti agama – agama budi saya sebar di tanah Jawa
Bait ke-18
Siapapun yang tak mau memakai – akan saya rusak semua – saya berikan/sajikan cucu saya – (kepada) bermacam-macam dhemit – belum lega hati ini – jika belum hancur lebur – saya membuat tanda – dari kata-kata saya – jika gunung Merapi sudah meletus mengalirkan lahar.
Bait ke-19
Barat daya arahnya – airnya berbau busuk – itulah waktu saya – mulai menyebar agama budi – memenuhi janji saya – asal mengikuti kodrat – kehendak Yang Kuasa – semua ganti-berganti – tidak dapat dicegah hingga akhir.
Bait ke-20
Sabdo Palon kemudian lenyap – sesaat tidak kelihatan – kembali ke alam baka – Sribupati (maksudnya: Brawijaya) langsung menangis – terdiam tak bisa berkata-kata – hatinya menyesal – terlanjur bertindak – menolak kehendak Yang Kuasa – kodrat/takdir itu sebenarnya tak boleh berubah.
Versi lain dari bait ke-16 adalah sebagai berikut:
Klawan Paduka sang Nata,
Wangsul maring sunya ruri,
Mung kula matur petungna,
Ing benjang sakpungkur mami,
Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama buda kula sebar tanah Jawa.
Jika dari “versi lain” di bait ke-16, baris ke-9, tertulis “Gama buda kula sebar tanah Jawa”, kalaupun benar tulisan “gama buda” ini (karena dalam huruf Jawa, “a” dan “I” hanya beda di tanda “wulu” di atas huruf.), kata “gama buda” di baris ini, tidak seharusnya diartikan “Agama Buddha”, mengapa?
Tulisan dan bunyi pada bahasa Jawa membedakan antara “d” dan “dh”, buda bukan budha, apalagi buddha. Darmogandhul, bukan Darmogandul.
contoh:
kata “pada” (bait) berbeda makna dengan kata “padha” (sama)
Sehingga dapat dimengerti bahwa “gama buda” adalah bentuk lain dari kata “gama budi”. (tentang “gama” dan “agama” silakan baca Note saya “Aku mencari arti “Agama” dihttp://www.facebook.com/note.php?note_id=422084223550 )
Sapda Palon di Candi Cetho
Jika benar bahwa memang tertulis “gama buda” di situ, kata “buda” dapat dimengerti berarti “budi” bukan “buddha”, karena jika kita perhatikan dalam CANDRA SENGKALA (kata yang bernilai angka), kata ‘buda’ dan ‘budi’ bernilai sama yaitu SATU (1), setara dengan kata jalma, jalmi, janma, putra, aji, ratu, raja, nata, narpati, narendra, pangeran, gusti, allah, hyang, maha, bathara, bumi, jagat, budaya, dan lain-lain.
Ada teman yang menilai membahas Serat Darmogandhul adalah upaya menyudutkan Islam. Sebenarnya bukan masalah menyudutkan atau tidak, tetapi memang ini kisah Sabdo Palon yang tidak setuju (jengkel) karena Brawijaya V meninggalkan keyakinannya yang lama, dan masuk Islam, mengikuti istrinya.
Kalau mau lengkap bagaimana jengkelnya “Jawa” pada saat Islam masuk Majapahit, silakan cari dan baca bagian tulisan yang memuat dialog antara Buta Locaya dengan Sunan Bonang, ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang merusaki patung-patung yang dianggapnya berhala.
Apa yang dimaksud “agama budi”?
Banyak tafsir tentang “agama budi”, dan saya juga berhak memberi makna terhadapnya, sesuai dengan pemahaman saya saat ini.
Agama budi, bukanlah agama dengan format seperti agama-agama besar yang selama ini “menguasai” umat manusia dengan doktrin dan dogma yang diturunkan dari Kitab-kitab (yang dianggap) suci, yang dianggap/diyakini berisi perkataan Tuhan. (dan jelas, semua “kitab suci” itu IMPOR dari bangsa lain)
BUDI artinya PIKIRAN, ini tentang JIWA dan KESADARAN. Kesadaran manusia akan kemanusiaannya. Kesadaran bahwa manusia menjadi ada karena “diadakan” oleh YANG SUDAH ADA (almighty god) diluar diri manusia. (karena tidak mungkin ada berasal dari ketiadaan). Ini jelas bukan atheisme (anti Tuhan), tetapi juga bukan ber-Tuhan dengan cara (ritual-ritual) seperti yang diajarkan oleh agama-agama mainstream.
Orang Jawa memahami Tuhan sebagai “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan dari semua yang ada), yang “tan kena kinaya apa, tan kena winirasa” (tidak bisa diserupakan dengan apapun, tak bisa dirasakan –dengan panca indra); yang “adoh tanpa wangenan, cedhak datan senggolan” (jauh tanpa batas, -namun- dekat tanpa bersinggungan).
Konsepsi bahwa manusia itu “sangkan-e” (berasal) dari Tuhan dan “paran-e” (–akan– kembali) kepada Tuhan, karena menyadari bahwa manusia adalah bagian dariNya, atau ada “Dia” dalam diri manusia, namun manusia BUKAN Dia. (pangeran iku ana ing awakmu, nanging awakmu iku dudu pangeran).
Dalam diskusi dengan salah seorang “bangkokan” Kawruh Jiwa (Kawruh Jiwa adalah ‘ajaran’ Ki Ageng Suryamentaram), ketika saya bertanya tentang “awal segala sesuatu”, disebutkan bahwa awal segala sesuatu adalah KEHENDAK (karep), dan ketika saya kejar dengan pertanyaan, “kehendak itu apa?”. Jawabnya: “Kehendak itu ADA, SANG ADA”.
(sebagai orang yang mempelajari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, saya meng-amin-i pendapat itu, karena di Kitab Yohanes 1:1 ditulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Elohim dan Firman itu adalah Elohim.”, dan saya bisa memahami bahwa Firman = Kehendak, dan Kehendak itu ADA, dan (Sang) ADA = Elohim itu sendiri.)
Benarkah SANG ADA itu adalah Elohim (Tuhan, sesembahan, yang patut disembah)?
Jika kita lihat dalam Kitab Keluaran (Perjanjian Lama), dikisahkan ketika Nabi Musa bertemu muka dengan Tuhan, dan bertanya kepadaNya, “Siapakah Engkau Tuhan?”, Tuhan menjawab, “Ehyeh Asyer Ehyeh” (AKU ADA YANG AKU ADA. — yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia secara kurang tepat menjadi “AKU ADALAH AKU”) — bahwa kemudian “SANG ADA” ini disebut dengan tetragramaton “YHWH”, itu soal “nama” (bahasa), bukan esensi dari “SANG ADA” itu. Sebab nama bukan yang dinamakan.
Tentang YANG ADA (SANG ADA) ini juga terkonfirmasi dalam Kitab Wahyu 1:4 (Perjanjian Baru), Rasul Yohanes menyebutkan: “dari Dia, YANG ADA dan YANG SUDAH ADA dan yang akan datang” (kata “yang akan datang”, dapat saya ganti dengan “YANG AKAN ADA”).
Dalam Kawruh Jiwa, KESADARAN diwujudkan dengan memahami “AKU” (aku tukang nyawang), disamping KRAMADANGSA (tubuh/badan dan semua keinginan badaniah/jasmani). Kesadaran akan “AKU” itu yang akan menuntun kepada kesadaran (berikutnya) tentang hidup dan kehidupan manusia, yang secara singkat dikonsep dalam Kawruh Jiwa dalam prinsip hidup 6-SA (SAbutuhe, SAcukupe, SAperlune, SAbenere, SAmestine dan Sapenake). Sayangnya 6 SA ini sering disalah mengerti maknanya oleh orang-orang di luar komunitas Kawruh Jiwa, khususnya di SA yang ke-enam “SApenake”. Dianggap orang-orang Kawruh Jiwa memiliki pandangan bahwa hidup itu “seenaknya saja”. Padahal bukan begitu maksudnya, karena Ki Ageng Suryamentaram mengajarkan bahwa “penak iku yen ngepenakke liyan” (enak itu jika meng-enak-kan liyan/pihak lain), jadi bukan seenaknya saja, tanpa memperhatikan ‘enak’nya liyan.
Dalam Kejawen, KESADARAN tertinggi dicapai ketika manusia dalam kondisi “MANUNGGAL KALIYAN GUSTI”, oleh sebab itu “manunggaling kawula gusti” menjadi visi dalam olah Kejawen. Jika sudah manunggal, maka “pangeran ana ing awakmu” benar-benar dapat dirasakan. Sudah barang tentu, jika “manunggal dengan pangeran”, maka manusia akan memancarkan sifat dan sikap (dari) SANG ADA (pangeran), karena telah menjadi bagian dari SANG ADA sendiri.
Dalam agama Buddha, KESADARAN TERTINGGI, adalah hal yang hendak dicapai dari seluruh laku spiritual. Simbolisme pencapaian spiritual, dilambangkan dengan baik melalui relief yang ada di Candi Borobudur, mulai tingkat pertama KAMADATU, RUPADATU, hingga ARUPADATU (kekosongan) di puncak. Arupadatu adalah gambaran Nirvana menurut ajaran Buddha, dimana di sana tidak ada nafsu dan keinginan.
Kamadatu dan rupadatu, jika dihubungkan dengan konsepsi di Kawruh Jiwa, merupakan bagian dari Kramadangsa, yang seharusnya tidak mengendalikan hidup manusia, namun justru harus dikelola, sehingga sebagai manusia yang hidup bersama manusia lain (dan alam semesta), menjadi baik, nyaman, bahagia. Karena, ketika karep (keinginan – nafsu) yang mengendalikan, yang terjadi adalah kekacauan, ketakbahagiaan, yaitu ketika keinginan seseorang bertemu dengan keinginan yang berbeda dari orang lain, jadinya “sulaya”. Sebab, pada tingkat “kramadangsa” setiap manusia berbeda keingingannya, kesamaan manusia ada di tingkat “aku”, yang didalam Kejawen “aku” itu adalah bagian dari pangeran (SANG ADA). Semua manusia sama, dan karenanya disebut SESAMA, karena sama-sama menjadi bagian dari SANG ADA.
Manusia yang membenci, atau memusuhi SESAMA MANUSIA, adalah karena TIDAK SADAR, bahwa ada DIA yang SAMA, yang ada didalam diri tiap-tiap manusia.
Mengutip kata-kata Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma:
“Manusia yang masih terikat oleh tindakan menemukan Tuhan dalam api upacara, manusia yang masih terikat perasaan menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kesadarannya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang telah terbangun kesadarannya menemukan Tuhan di mana-mana.”
Tuhan, Dia ADA dimana-mana, dimana terdapat “ADA”, disitu ada DIA, bahkan dia ADA dalam KETIADAAN, (karena sesungguhnya ketiadaan itu tidak ada, ketiadaan adalah juga kondisi ada, yaitu ada ketiadaan, hahaha….).
Akhir kata, ketika agama dan berbagai doktrin dan dogma serta ritual-ritualnya ternyata tidak mampu membuat kehidupan ini lebih baik, nampaknya KESADARAN bahwa DIA ADA, dan ADA DIMANA-MANA, itu cukup untuk mengendalikan hidup dan kehidupan kita bersama, ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan hidup bersama alam.
Singkatnya begini, ketika kita SADAR bahwa DIA ADA (dan DIA ADA DIMANA-MANA), misalnya:
Apakah kita akan berbuat jahat kepada manusia lain?
Apakah kita akan semena-mena terhadap alam?
Apakah kita akan melanggar norma-norma?
Apakah kita akan menyia-nyiakan hidup?
Apakah kita akan mengasihi sesama?

Tidak perlu repot dengan tata-cara ibadah, tidak perlu repot menentukan arah kemana kita menghadap DIA, karena DIA ada DIMANA-MANA, tidak perlu repot dengan perangkat pengeras suara dan mengatur volume suara “doa”, karena DIA juga ada di hati kita. Tak perlu repot jauh-jauh pergi untuk datang ke rumahNYA, karena DIA juga ada disini. Tak perlu repot menjadi pembelaNYA, dengan menyalahkan orang lain, karena DIA juga ada didalam diri orang lain itu. 


Tak perlu repot (ijin) mendirikan “rumah ibadah”, karena ibadah kita dapat dilakukan dimana saja, kapan saja. Kalaupun “rumah ibadah” dibangun, mungkin perlu untuk menyediakan tempat berdiskusi tentang kehidupan yang lebih baik, bukan tempat untuk mengajarkan doktrin/dogma atau tempat menjalankan ritual-ritual yang dianggap paling berkenan bagi DIA, yang memanipulasi PIKIRAN kita, seolah-olah untuk beribadah seperti itulah kita hidup di dunia ini.
DIALAH SANG ADA yang SUDAH ADA, ADA dan AKAN TETAP ADA, dan SANG ADA itu ada DIMANA-MANA, milik semua orang YANG SADAR.

Tambahan
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
yang HILANG atau RUSAK

Pada kaping 153:
Miturut tjarito kuno, 
wetjane djanmo linuwih, 
kang wus kotjap aneng djongko manungso sirno sepalih, 
dene to kang biso urip,
jekti ono saratipun, 
karjo nulak kang bebojo, 
kalisse bebojo jekti, 
ngulatono kang winetjo poro kuno

Pada kaping 154:
Kang kotjap neng Djojobojo, 
manungso urip puniki, 
kadyo rumput aneng wono, 
jen wus tekan Djaman adil, 
kaluku ginaru sami, 
jekti katah ingkang lebur, 
kalamun nedyo juwono, 
luput ing sekalir - kalir, 
garu luku biso nlesep selaniro

Pada kaping 155:
Pada kaping 156:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU