KEBERMAKNAAN BABAT MAJAPAHIT "BESERTA URAIAN LENGKAP" VERSI KEKINIAN "WILWATIKTA"
Babad Majapahit
" Artikel ini adalah Fakta Sejarah dan tidak ada unsur keberpihakan dalam penyajian dan Literatur Pustaka "
Surya Majapahit
Surya Majapahit disebut juga Surya Wilwatikta adalah Matahari Majapahit, lambang yang kerap ditemukan di reruntuhan bangunan yang berasal dari masa Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di tengah menampilkan dewa-dewa Hindu.
Lambang ini membentuk diagram kosmologi yang disinari jurai matahari khas “Surya Majapahit”, atau lingkaran matahari dengan bentuk jurai sinar yang khas. Karena begitu populernya lambang matahari ini pada masa Majapahit, para ahli arkeologi menduga bahwa lambang ini berfungsi sebagai lambang negara Majapahit.
Bentuk paling umum dari Surya Majapahit terdiri dari gambar sembilan dewa dan delapan berkas cahaya matahari. Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa Hindu yang disebut Dewata Nawa Sanga. Dewa-dewa utama di bagian tengah ini diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di tengah.
Dewa-dewa ini diatur dalam posisi:
- Tengah: Syiwa.
- Timur: Isywara
- Barat: Mahadewa
- Utara: Wishnu
- Selatan: Brahma
- Timur laut: Sambhu
- Barat laut: Sangkara
- Tenggara: Mahesora
- Barat daya: Rudra
Dewa-dewa pendamping lainnya terletak pada lingkaran luar matahari dan dilambangkan sebagai delapan jurai sinar matahari:
- Timur: Indra
- Barat: Baruna
- Utara: Kuwera
- Selatan: Yama
- Timur laut: Isyana
- Barat laut: Bayu
- Tenggara: Agni
- Barat daya: Nrti
Lambang ini digambar dalam berbagai variasi bentuk, seperti lingkaran dewa-dewa dan sinar matahari, atau bentuk sederhana matahari bersudut delapan, seperti lambang Surya Majapahit yang ditemukan di langit-langit Candi Penataran.
Dewa-dewa ini diatur dalam bentuk seperti mandala. Variasi lain dari Surya Majapahit berupa matahari bersudut delapan dengan gambar dewa Surya di tengah lingkaran tengah mengendarai kuda atau kereta perang.
Ukiran Surya Majapahit biasanya dapat ditemukan di tengah langit-langit garbhagriha (ruangan tersuci) dari beberapa candi seperti Candi Bangkal, Candi Sawentar, dan Candi Jawi.
Ukiran Surya Majapahit juga kerap ditemukan pada ‘stella’, ukiran ‘halo’ atau ‘aura’, pada bagian belakang kepala arca yang dibuat pada masa Majapahit.
Ukiran ini juga ditemukan di batu nisan yang berasal dari masa Majapahit, seperti di Trowulan.
Bendera Kerajaan Majapahit
Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul Abang Putih), ternyata Majapahit mempunyai bendera kerajaan yaitu bendera Merah-Putih dan Prajurit Majapahit dinamakan Prajurit Gula Kelapa.
Gula Kelapa itu berwarna Merah dan terbuat dari sari buah Kelapa yang berwarna Putih. Ada juga yang menyebutkan bahwa prajurit Majapahit dinamakan Prajurit Getih-Getah seperti yang kita ketahui bahwa Getih itu berwarna Merah dan Getah berwarna Putih.
Kejayaan Majapahit
SEJARAH BERDIRINYA MAJAPAHIT
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan Filipina.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
Berikut adalah nama Raja-raja yang berkuasa di Majapahit:
- Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
- Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
- Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 –1350)
- Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
- Wikramawardhana (1389– 1429)
- Suhita (1429 – 1447)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447-1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456-1466)
- Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII(1498-1518)
Sesudah abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana dan pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, serta pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468. Saat bersamaan, muncul kekuatan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Kehidupan sosial keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi. Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Buddha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit. Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang didalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharmamangrua”.
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Prabu Kertarajasa Jayawardhana
Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana
Penguasa monarki Kerajaan Majapahit
Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana
Penguasa monarki Kerajaan Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Semula berlokasi di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.
B. Sri Jayanagara
- Kalagamet, bergelar
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Tunggadewi
C. Tribhuwana Wijayatunggadewi
- Sri Gitarja, bergelar
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan Tribhuwanottungadewi, ratu Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
E. Wikramawardhana
- (
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir.
Raja sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Cina. Ketika terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi Jawa.
Menurut kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena kasihan.
Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram.
Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci.
F. Prabu Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
BRAWIJAYA RAJA MAJAPAHIT
Asal usul nama BRAWIJAYA
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna “baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.
Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir.
Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara.
Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447-1451)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456-1466)
- Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII(1498-1518)
- Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447-1451)
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.
H. Rajasawardhana, Brawijaya II
Rajasawardhana alias Bhre Matahun
Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).
Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.
Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.
Rajasawardhana Sang Sinagara Raja Majapahit
Rajasawardhana yang kedua muncul dalam Pararaton sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan.
Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa, Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.
Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardhana.
Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447).
Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.
Sementara itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.
Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.
Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.
I. Purwawisesa atau Girishawardhana,
Brawijaya III
Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton
Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.
Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya
Girisawardhana Dyah Suryawikrama
Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya.
Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara.
Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.
Baginda Raja Brawijaya III naik tahta kerajaan pada tahun 1447 M dan bergelar Wijayaparakramawardhana, menggantikan Ratu Suhita (Raja Wanita) yang meninggal dunia. Penyebutan Dyah krtawijaya sebagai Brawijaya III tersebut karena raja ini memiliki nama yang berunsur Wijaya (keturunan Raden Wijaya) dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga dikagumi rakyatnya.
Dalam Prasasti Waringin Pitu disebutkan bahwa Krtawijaya bersifat Dewa Wisnu, memiliki jiwa yang tinggi dalam pemujaan terhadap para Dewa dan diibaratkan matahari (mentari), menyilaukan mata, bersumarak bersih nirmala yang disebabkan kemegahan beliau karena pada tubuh sang raja mengeluarkan cahaya (aurora). Sudah barang tentu sang raja memiliki ilmu supranatural yang sangat tinggi.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa dyah Kertanegara ini bernama Raden Hardiwijaya, putra Prabu Murdaningkung. Raden Hadiwijaya iai naik tahta dengan sebutan Prabhu Brawijaya III, dengan patihnya Panular II (Adipati Patih Demang Panular II- Pangeran Demang).
Kehidupan Prabu Brawijaya III ini penuh kemewahan dan kebahagiaan. Bahkan dalam Prasasti Widjaya-parakrama-wardana, sebagaimana ditulis oleh Prof HM Yamin dalam bukunya Negarakrtagama Sapta-parwa,
menguraikan:
Dipertuan segala machluk yang menguasai seluruh duniadan tak ubahnya sperti yang tertua darisegala Dewa, nan mengatasi puncak bagunan segala raja-raja musuh, sehingga tak ubahnya sepeti Wisjnu yang mengirimkan tentaranya menuju segala penjuru alam, nan berjiwa pemujaan segakla pujian seluruh buana, yang menjadi daerah kekaguman tentang sekalian ilmu pengetahuannya, nan berwajah kembang tunjung utama, yang berseri-seri karena kelimpahan pujian dan kemegahan gilang gemilang, yang dihinggapi serangga tabuhan berbondongan, yaitulah, seri mahkota sekalian raja-raja yang lain, nan berpelayan orang-orang utama diantara para musuh dikalahkan dan yang bergirang hati sehingga mengganti upah mereka dengan kegembiraan, seperti berlaku dengan para pelayan yang lain, nan bertubuh menjadi pujian segala orang yang mencari perlindungan padanya, karena gelisah dan berpecah-belah, nan bersifat lemah lembut seperti aliran batang air Gangga yang memiliki pengetahuan dan kemurahan, nan bersemangat dapat dibandingkan dengan suatu bangunan gedung dan yang berkatetapan sebagai kaki raja di gunung (Adri-sja yaitu Himalaya), raja yang mahaluhur dan mahatunggal, serta terpuji sebesar-besar diatas dunia jagad, nan menyedarkan muka segala manusia yang baik-baik, seperti Dang Rembulan mengembang bunga tunjung, nan menghilang gelap gulita pada watak manusia, seolah-olah berlaku sebagai sang mentari, nan mengarahkan wajah-muka kepada kebajikan yang mendekatinya, tetapi yang memalingkan muka dari segala keburukan, nan mengembara diatas bumi menyilaukan mata karena bersumarak bersih-nirmala disebabkan kemegahan beliau, yang bertegak gelar kerajaan berbunyi Wijaya-parakrama-wardana dan bernama kecil Dyah Kertawijaya.
Sedemikian rupa pujian serta penggambaran tentang figure maharaja terhadap sang Prabhu Brawijaya III dalam prasati Wijaya-parakrama-wardana yang berasal dari Desa Surodakan (Trenggalek) bertarich tahun saka 1369 = Masehi 1447.
Dalam prasati tersebut juga sapat diketahui bahwa system pemerintahan yang dijalankan oleh sang Prabhu Brawijaya III menganut system pembagian kekuasaan (Distribution of Power) dan diatur melalui perintah Seri Paduka Maharaja.
Sebagai contoh di bidang sengketa hokum, kewenangannya diberikan kepada Hakim Dharma Upapati. Pekerjan mereka memutuskan sengketa-sengketa hukum dan berbagai perselisihan.
Adapun perintah Seri Paduka Maharaja dalam hal ini menyebutkan:
Banyak tindakan-tindakan strategis yang diambil Paduka Raja Brawijaya III selama dalam menjalankan pemeritahan kerajaan, baik dalam menindak lanjuti konsep-konsep pemerintahan sebelumnya maupun kebijakan –kebijakan barunya. Tercatat tindakan populernya adalah pembentukan daerah-daerah perdikan (swasembada) yang masih bisa kita lihat sampai tahun 1979, karena setelah tahun tersebut tanah- tanah perdikan maupun tanah-tanah adat lainnya telah terhapus dengan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemeritanhan Desa, yang mengatur tentang nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa.
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1979 tersebut maka seluruh tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia , diseragamkan setatusnya sesuai dengan sistem hukum pertanahan di Indonesia. Sebagai konsekwensinya, bila semula didaerah perdikan memiliki kewenangan sendiri, seperti adanya kewenangan untuk mengatur jual-beli tanah, menetapkan dan memungut pajak di wilayah perdikan, semua kewenangan tersebut menjadi terhapus, bahkan wajib mengikuti segala aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Waktupun berlalu sesuai kebijakan pemeritah yang berkuasa, UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dihapus dan diganti dengan UU No 2 Tahun !999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang secara implisit telah mengatur tentang pemeritahan desa. Namun status dan kewenangan daerah perdikan sebagaimana telah pernah dibentuk berdasarkan perintah Seri Paduka Maharaja Sinuhun Prabhu Brawijaya III pada masa pemerintahan Kerajaan Mojopahit tersebut sudah tidak ada tempat lagi untuk kembali, sehingga semua hanya tinggal kenangan.
J. Pandanalas, atau Suraprabhawa,
Brawijaya IV (1466 – 1468)
Bhre Pandansalas dalam Pararaton
Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).
Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan.
Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana.
Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi.
Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.
Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi.
Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.
Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.
Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.
Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi (diidentifikasi sebagai Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.
Kerajaan Mojopahit
pada Masa Raja Brawijaya IV
Tersebut nama Brawijaya IV adalah Dyah Wijaya Kumara (Bhre Pamotan – Bhre Keling – Bhre Kahuripan). Di dalam Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh raja Krtawijaya, disebutkan bahwa Dyah Wijaya Kumara adalah seorang raja terpelajar, bergelar Rajasa Wardhana, memiliki jiwa petualang.
UCAPAN dan perintahnya dianut serta diturut para cendekiawan. Atas Kehendak Dewata Agung (Girinata), Dyah Wijaya Kumara dengan patihnya Raden Banteng dijadikan Penguasa Lelembut di tanah Jawa (di alam nyata dan maya). Menurut Dr. Suwito Santoso, kerajaan dan istananya dalam sebuah hutan yang bernama Hutan Ketonggo, yang kelak akan menjadi Kerajaan besar di tanah Jawa, setelah adanya Ratu Adil.
Melihat gelar Rajasa Wardhana, maka Brawijaya IV yang bernama Dyah Wijaya Kumara ini masih masih keturunan Ken Arok, yang memiliki kesamaan pada tubuhnya memancarkan cahaya (aurora).
Hal ini menunjukkan, bahwa sang Maharaja diketahui oleh rakyatnya telah mempunyai kekuatan supranatural yang tinggi atau kesaktian. Dalam prasasti juga disebutkan, bahwa baginda menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi, terutama padi demi kesejahteraan rakyat.
Pada masa pemerintahan Brawijaya IV tersebut telah muncul dan berkembang berbagai agama di Kerajaan Mojopahit, antara lain: tradisi kepercayaan asli, agama Hindu, agama Budha dan agama Islam.
Sebagai ahli agama, raja sangat bertoleransi dengan berbagai agama, sehingga terciptalah hidup dalam kerukunan beragama.
Dalam akhir kehidupannya, Prabhu Brawijaya IV bersama dengan Patih Banteng telah menghilang, yang menurut para Prajurit maupun pengawalnya, hilang di hutan Penggerit, yang kemudian berubah nama menjadi hutan Ketonggo.
Akhirnya oleh seluruh pembesar, keluarga dan sebagaian pasukannya (yang mengikuti berburu) menyatakan Prabhu Brawijaya IV dan Patih Banteng tewas dalam hutan dan tidak kembali lagi. Untuk itu kemudian kedudukannya digantikan oleh Prabhu Brawijaya V bernama Raden Arya Angka Wijaya, anaknya yang dianggap pantas menggantikan kedudukan sang Prabhu Brawijaya IV.
Sedangkan Patih Banteng yang mengikuti pergi sang Prabhu juga di anggap tewas dan kedudukannya di gantikan oleh anaknya bernama Raden Gajah dengan sebutan Patih Gajah, yang kemudian terkenal dengan nama Patih Gajah Muda II.
Prabhu Brawijaya IV dalam menjalankan kekuasaannya ternyata juga meneruskan kebijakan pendahulunya, yaitu memutuskan pemberian status tanah perdikan yang mempunyai kedudukan otonomi (swatantradeg – ringgit).
Salah satu contoh dapat dilihat dalam seri Tatanegara Mojopahit, Prof. M. Yamin (218), bagian Anugeraha disebutkan:
” oleh karena sang Aria Surung tak putus-putusnya menyatakan kesetiannya, maka dia menerima anugeraha berupa sebidang tanah yang akan dijadikan tanah perdikan dengan nama Pemintihan. Berhubungan dengan itu maka Pamegat Djambi menerima perintah supaya membuat piagam kerajaan dengan bertujuan untuk menetapkan kedudukan tanah- perdikan sebaik-baiknya. Karena tanah pemerintah telah dianugerahkan oleh Sri Baginda Maharaja kepada sang Aria Surung agar supaya diwariskan turun-temurun kepada anak cucunya sang Aa Surung sampai dengan nanti hari kemudian”.
Di dalam penganugerahan tanah perdikan, ternyata juga disertai dengan pernyataan sumpah (kutukan) dari Baginda Maharaja.:
”sekiranya ada orang yang merintangi penganugerahan seri Baginda Maharaja, baik sekarang atau nanti sampai ke akhir zaman, maka akan ditimpa hukuman maha-kehajatan yang lima dan oleh sebaliknya dari tujuh macam kemakmuran seperti diucapkan oleh bibir Berahma. Selanjutnya mereka akan binasa menjadi abu dan sisa akan kena aniaya segala yang masih tinggal dengan termasuk anak dan cucunya mereka semuanya”. Begitulah diucapkan di depan hadirat saksi yang 13, barang demikian hendaknya berlaku.
Seperti telah diketahui dalam sejarah, bahwa tanah-tanah perdikan telah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam kerajaan dan keberadaannya banyak terdapat di tanah Jawa. Gangguan terhadap tanah perdikan, disamakan dengan penolakan terhadap perintah seri Baginda Maharaja, sehingga bagi siapa saja yang melanggarnya diancam akan terkena kutukannya.
Kini semua telah berubah sejalan dengan perjalanan bangsa, dianggap sudah tidak berlaku lagi dan diabaikan begitu saja. Tanah-tanah perdikan yang dahulu telah dijaga dengan segala hormat seperti penghormatan terhadap seri Baginda Maharaja, keberadaannya di tanah Jawa sudah tak ada lagi. Warisan leluhur bangsa dianggap sudah tak berharga dan tak dapat dipertahankan lagi di masa sekarang. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, perusakan alam, penebangan liar, penggundulan hutan, penambangan/pengeboran perut bumi tanpa ada batasnya. Meskipun negara memiliki kewenangan dan otoritas untuk mengelola bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, ternyata tak mampu menjalankan sesuai dengan keharusannya.
Demikianlah keadaannya, sehingga kini dapat kita saksikan bersama-sama telah terjadi bencana alam dimana-mana. Putusnya ekosistem telah merubah keadaan alam menjadi cerai-berai dengan membentuk karakternya sendiri-sendiri. Munculah tsunami, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, sumburan lumpur Lapindo, dan lain-lain. Mungkinkah semua ini pertanda masih berlakunya kutukan sang Prabhu Brawijaya? hanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu atas segalanya.
Perjalanan sejarah Mojopahit pada masa Brawijaya IV telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya dibidang swasembada pangan dan toleransi beragama. Di bidang swasembada pangan, Baginda raja telah berketetapan untuk memproteksi keamanan bagi kaum petani, dengan perintah seri Baginda Maharaja untuk menghukum seberat-beratnya kepada siapa saja yang mengganggu kehidupan petani. Adapun tujuannya tak lain adalah agar rakyat (petani) dapat berkosentrasi dalam peningkatan produksi pangan, sebagai penopang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Selain memproteksi keamanan, Baginda raja juga banyak memberikan tehnologi baru dalam bidang pertanian, mulai dari tehnologi pengelolaan lahan sawah, tehnologi pembibitan dan pemeliharaannya, sampai dengan pemungutan hasil panenan.
Dengan cara demikian ternyata hasilnya sangat menggembirakan, dimana-mana produksi pangan meningkat, sehingga rakyat menjadi senang dan semakin menghormati dan menjunjung tinggi keagungan rajanya. Begitu pula di bidang agama, Baginda sebagai ahli agama telah berhasil menciptakan toleransi kehidupan beragama, sehingga para pemeluk agama pada saat itu telah dapat duduk berdampingan, bersatu dalam pikiran dan perbuatan, membangun negara yang kokoh lahir dan batin, dijiwai dengan semangat hidup bergotong royong
.
K. Bhre Kertabumi, (Brawijaya Pungkas)
bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
Rajasawardhana alias Bhre Matahun
Menurut Nagarakretagama, Rajasawardhana alias Bhre Matahun adalah suami dari Indudewi alias Bhre Lasem putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Dari perkawinan itu, lahir Nagarawardhani yang menikah dengan Bhre Wirabhumi putra Hayam Wuruk, raja Majapahit saat itu (1351-1389).
Pejabat Bhre Matahun yang identik dengan Rajasawardhana dalam Pararaton adalah Raden Larang. Istrinya adalah adik kandung Hayam Wuruk. Perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan, karena istri Bhre Wirabhumi versi Pararaton adalah putri Raden Sumana alias Bhre Paguhan, bukan putri Raden Larang.
Dalam hal ini, berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya, karena ditulis tahun 1365, saat Rajasawardhana masih hidup.
Rajasawardhana Sang Sinagara Raja Majapahit
Rajasawardhana yang kedua muncul dalam Pararaton sebagai raja Majapahit yang naik takhta tahun 1451. Disebutkan bahwa, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan.
Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa, Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.
Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardhana.
Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447).
Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.
Sementara itu, Rajasawardhana Sang Sinagara dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabhumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi belum lahir.
Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita Cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.
Menurut Pararaton, sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453, Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu.
I. Purwawisesa atau Girishawardhana,
Brawijaya III
- Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456-1466)
Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton
Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.
Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya
Girisawardhana Dyah Suryawikrama
Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya.
Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara.
Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.
Baginda Raja Brawijaya III naik tahta kerajaan pada tahun 1447 M dan bergelar Wijayaparakramawardhana, menggantikan Ratu Suhita (Raja Wanita) yang meninggal dunia. Penyebutan Dyah krtawijaya sebagai Brawijaya III tersebut karena raja ini memiliki nama yang berunsur Wijaya (keturunan Raden Wijaya) dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga dikagumi rakyatnya.
Dalam Prasasti Waringin Pitu disebutkan bahwa Krtawijaya bersifat Dewa Wisnu, memiliki jiwa yang tinggi dalam pemujaan terhadap para Dewa dan diibaratkan matahari (mentari), menyilaukan mata, bersumarak bersih nirmala yang disebabkan kemegahan beliau karena pada tubuh sang raja mengeluarkan cahaya (aurora). Sudah barang tentu sang raja memiliki ilmu supranatural yang sangat tinggi.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa dyah Kertanegara ini bernama Raden Hardiwijaya, putra Prabu Murdaningkung. Raden Hadiwijaya iai naik tahta dengan sebutan Prabhu Brawijaya III, dengan patihnya Panular II (Adipati Patih Demang Panular II- Pangeran Demang).
Kehidupan Prabu Brawijaya III ini penuh kemewahan dan kebahagiaan. Bahkan dalam Prasasti Widjaya-parakrama-wardana, sebagaimana ditulis oleh Prof HM Yamin dalam bukunya Negarakrtagama Sapta-parwa,
menguraikan:
Dipertuan segala machluk yang menguasai seluruh duniadan tak ubahnya sperti yang tertua darisegala Dewa, nan mengatasi puncak bagunan segala raja-raja musuh, sehingga tak ubahnya sepeti Wisjnu yang mengirimkan tentaranya menuju segala penjuru alam, nan berjiwa pemujaan segakla pujian seluruh buana, yang menjadi daerah kekaguman tentang sekalian ilmu pengetahuannya, nan berwajah kembang tunjung utama, yang berseri-seri karena kelimpahan pujian dan kemegahan gilang gemilang, yang dihinggapi serangga tabuhan berbondongan, yaitulah, seri mahkota sekalian raja-raja yang lain, nan berpelayan orang-orang utama diantara para musuh dikalahkan dan yang bergirang hati sehingga mengganti upah mereka dengan kegembiraan, seperti berlaku dengan para pelayan yang lain, nan bertubuh menjadi pujian segala orang yang mencari perlindungan padanya, karena gelisah dan berpecah-belah, nan bersifat lemah lembut seperti aliran batang air Gangga yang memiliki pengetahuan dan kemurahan, nan bersemangat dapat dibandingkan dengan suatu bangunan gedung dan yang berkatetapan sebagai kaki raja di gunung (Adri-sja yaitu Himalaya), raja yang mahaluhur dan mahatunggal, serta terpuji sebesar-besar diatas dunia jagad, nan menyedarkan muka segala manusia yang baik-baik, seperti Dang Rembulan mengembang bunga tunjung, nan menghilang gelap gulita pada watak manusia, seolah-olah berlaku sebagai sang mentari, nan mengarahkan wajah-muka kepada kebajikan yang mendekatinya, tetapi yang memalingkan muka dari segala keburukan, nan mengembara diatas bumi menyilaukan mata karena bersumarak bersih-nirmala disebabkan kemegahan beliau, yang bertegak gelar kerajaan berbunyi Wijaya-parakrama-wardana dan bernama kecil Dyah Kertawijaya.
Sedemikian rupa pujian serta penggambaran tentang figure maharaja terhadap sang Prabhu Brawijaya III dalam prasati Wijaya-parakrama-wardana yang berasal dari Desa Surodakan (Trenggalek) bertarich tahun saka 1369 = Masehi 1447.
Dalam prasati tersebut juga sapat diketahui bahwa system pemerintahan yang dijalankan oleh sang Prabhu Brawijaya III menganut system pembagian kekuasaan (Distribution of Power) dan diatur melalui perintah Seri Paduka Maharaja.
Sebagai contoh di bidang sengketa hokum, kewenangannya diberikan kepada Hakim Dharma Upapati. Pekerjan mereka memutuskan sengketa-sengketa hukum dan berbagai perselisihan.
Adapun perintah Seri Paduka Maharaja dalam hal ini menyebutkan:
- Pamegat Kandangan Tua: Dang Acarca Naradaya, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantic agama Budha,
- Pamegat Manghuri: Dan Acarca Taranata, yang putus pengajiannya dalam ilmu Waisjsika,
- Pamegat Pamotan: Dang Arcaca Arkanata, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan bahasa,
- Pamegat Kandangan Muda: Dang Arcaca Djina-indra, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan agama Budha.
Banyak tindakan-tindakan strategis yang diambil Paduka Raja Brawijaya III selama dalam menjalankan pemeritahan kerajaan, baik dalam menindak lanjuti konsep-konsep pemerintahan sebelumnya maupun kebijakan –kebijakan barunya. Tercatat tindakan populernya adalah pembentukan daerah-daerah perdikan (swasembada) yang masih bisa kita lihat sampai tahun 1979, karena setelah tahun tersebut tanah- tanah perdikan maupun tanah-tanah adat lainnya telah terhapus dengan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemeritanhan Desa, yang mengatur tentang nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa.
Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1979 tersebut maka seluruh tanah-tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia , diseragamkan setatusnya sesuai dengan sistem hukum pertanahan di Indonesia. Sebagai konsekwensinya, bila semula didaerah perdikan memiliki kewenangan sendiri, seperti adanya kewenangan untuk mengatur jual-beli tanah, menetapkan dan memungut pajak di wilayah perdikan, semua kewenangan tersebut menjadi terhapus, bahkan wajib mengikuti segala aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Waktupun berlalu sesuai kebijakan pemeritah yang berkuasa, UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dihapus dan diganti dengan UU No 2 Tahun !999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang secara implisit telah mengatur tentang pemeritahan desa. Namun status dan kewenangan daerah perdikan sebagaimana telah pernah dibentuk berdasarkan perintah Seri Paduka Maharaja Sinuhun Prabhu Brawijaya III pada masa pemerintahan Kerajaan Mojopahit tersebut sudah tidak ada tempat lagi untuk kembali, sehingga semua hanya tinggal kenangan.
J. Pandanalas, atau Suraprabhawa,
Brawijaya IV (1466 – 1468)
- Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
Bhre Pandansalas dalam Pararaton
Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).
Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan.
Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana.
Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi.
Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.
Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi.
Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.
Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.
Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.
Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi (diidentifikasi sebagai Brawijaya V adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.
Kerajaan Mojopahit
pada Masa Raja Brawijaya IV
Tersebut nama Brawijaya IV adalah Dyah Wijaya Kumara (Bhre Pamotan – Bhre Keling – Bhre Kahuripan). Di dalam Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh raja Krtawijaya, disebutkan bahwa Dyah Wijaya Kumara adalah seorang raja terpelajar, bergelar Rajasa Wardhana, memiliki jiwa petualang.
UCAPAN dan perintahnya dianut serta diturut para cendekiawan. Atas Kehendak Dewata Agung (Girinata), Dyah Wijaya Kumara dengan patihnya Raden Banteng dijadikan Penguasa Lelembut di tanah Jawa (di alam nyata dan maya). Menurut Dr. Suwito Santoso, kerajaan dan istananya dalam sebuah hutan yang bernama Hutan Ketonggo, yang kelak akan menjadi Kerajaan besar di tanah Jawa, setelah adanya Ratu Adil.
Melihat gelar Rajasa Wardhana, maka Brawijaya IV yang bernama Dyah Wijaya Kumara ini masih masih keturunan Ken Arok, yang memiliki kesamaan pada tubuhnya memancarkan cahaya (aurora).
Hal ini menunjukkan, bahwa sang Maharaja diketahui oleh rakyatnya telah mempunyai kekuatan supranatural yang tinggi atau kesaktian. Dalam prasasti juga disebutkan, bahwa baginda menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi, terutama padi demi kesejahteraan rakyat.
Pada masa pemerintahan Brawijaya IV tersebut telah muncul dan berkembang berbagai agama di Kerajaan Mojopahit, antara lain: tradisi kepercayaan asli, agama Hindu, agama Budha dan agama Islam.
Sebagai ahli agama, raja sangat bertoleransi dengan berbagai agama, sehingga terciptalah hidup dalam kerukunan beragama.
Dalam akhir kehidupannya, Prabhu Brawijaya IV bersama dengan Patih Banteng telah menghilang, yang menurut para Prajurit maupun pengawalnya, hilang di hutan Penggerit, yang kemudian berubah nama menjadi hutan Ketonggo.
Akhirnya oleh seluruh pembesar, keluarga dan sebagaian pasukannya (yang mengikuti berburu) menyatakan Prabhu Brawijaya IV dan Patih Banteng tewas dalam hutan dan tidak kembali lagi. Untuk itu kemudian kedudukannya digantikan oleh Prabhu Brawijaya V bernama Raden Arya Angka Wijaya, anaknya yang dianggap pantas menggantikan kedudukan sang Prabhu Brawijaya IV.
Sedangkan Patih Banteng yang mengikuti pergi sang Prabhu juga di anggap tewas dan kedudukannya di gantikan oleh anaknya bernama Raden Gajah dengan sebutan Patih Gajah, yang kemudian terkenal dengan nama Patih Gajah Muda II.
Prabhu Brawijaya IV dalam menjalankan kekuasaannya ternyata juga meneruskan kebijakan pendahulunya, yaitu memutuskan pemberian status tanah perdikan yang mempunyai kedudukan otonomi (swatantradeg – ringgit).
Salah satu contoh dapat dilihat dalam seri Tatanegara Mojopahit, Prof. M. Yamin (218), bagian Anugeraha disebutkan:
” oleh karena sang Aria Surung tak putus-putusnya menyatakan kesetiannya, maka dia menerima anugeraha berupa sebidang tanah yang akan dijadikan tanah perdikan dengan nama Pemintihan. Berhubungan dengan itu maka Pamegat Djambi menerima perintah supaya membuat piagam kerajaan dengan bertujuan untuk menetapkan kedudukan tanah- perdikan sebaik-baiknya. Karena tanah pemerintah telah dianugerahkan oleh Sri Baginda Maharaja kepada sang Aria Surung agar supaya diwariskan turun-temurun kepada anak cucunya sang Aa Surung sampai dengan nanti hari kemudian”.
Di dalam penganugerahan tanah perdikan, ternyata juga disertai dengan pernyataan sumpah (kutukan) dari Baginda Maharaja.:
”sekiranya ada orang yang merintangi penganugerahan seri Baginda Maharaja, baik sekarang atau nanti sampai ke akhir zaman, maka akan ditimpa hukuman maha-kehajatan yang lima dan oleh sebaliknya dari tujuh macam kemakmuran seperti diucapkan oleh bibir Berahma. Selanjutnya mereka akan binasa menjadi abu dan sisa akan kena aniaya segala yang masih tinggal dengan termasuk anak dan cucunya mereka semuanya”. Begitulah diucapkan di depan hadirat saksi yang 13, barang demikian hendaknya berlaku.
Seperti telah diketahui dalam sejarah, bahwa tanah-tanah perdikan telah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam kerajaan dan keberadaannya banyak terdapat di tanah Jawa. Gangguan terhadap tanah perdikan, disamakan dengan penolakan terhadap perintah seri Baginda Maharaja, sehingga bagi siapa saja yang melanggarnya diancam akan terkena kutukannya.
Kini semua telah berubah sejalan dengan perjalanan bangsa, dianggap sudah tidak berlaku lagi dan diabaikan begitu saja. Tanah-tanah perdikan yang dahulu telah dijaga dengan segala hormat seperti penghormatan terhadap seri Baginda Maharaja, keberadaannya di tanah Jawa sudah tak ada lagi. Warisan leluhur bangsa dianggap sudah tak berharga dan tak dapat dipertahankan lagi di masa sekarang. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, perusakan alam, penebangan liar, penggundulan hutan, penambangan/pengeboran perut bumi tanpa ada batasnya. Meskipun negara memiliki kewenangan dan otoritas untuk mengelola bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, ternyata tak mampu menjalankan sesuai dengan keharusannya.
Demikianlah keadaannya, sehingga kini dapat kita saksikan bersama-sama telah terjadi bencana alam dimana-mana. Putusnya ekosistem telah merubah keadaan alam menjadi cerai-berai dengan membentuk karakternya sendiri-sendiri. Munculah tsunami, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, sumburan lumpur Lapindo, dan lain-lain. Mungkinkah semua ini pertanda masih berlakunya kutukan sang Prabhu Brawijaya? hanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu atas segalanya.
Perjalanan sejarah Mojopahit pada masa Brawijaya IV telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya dibidang swasembada pangan dan toleransi beragama. Di bidang swasembada pangan, Baginda raja telah berketetapan untuk memproteksi keamanan bagi kaum petani, dengan perintah seri Baginda Maharaja untuk menghukum seberat-beratnya kepada siapa saja yang mengganggu kehidupan petani. Adapun tujuannya tak lain adalah agar rakyat (petani) dapat berkosentrasi dalam peningkatan produksi pangan, sebagai penopang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Selain memproteksi keamanan, Baginda raja juga banyak memberikan tehnologi baru dalam bidang pertanian, mulai dari tehnologi pengelolaan lahan sawah, tehnologi pembibitan dan pemeliharaannya, sampai dengan pemungutan hasil panenan.
Dengan cara demikian ternyata hasilnya sangat menggembirakan, dimana-mana produksi pangan meningkat, sehingga rakyat menjadi senang dan semakin menghormati dan menjunjung tinggi keagungan rajanya. Begitu pula di bidang agama, Baginda sebagai ahli agama telah berhasil menciptakan toleransi kehidupan beragama, sehingga para pemeluk agama pada saat itu telah dapat duduk berdampingan, bersatu dalam pikiran dan perbuatan, membangun negara yang kokoh lahir dan batin, dijiwai dengan semangat hidup bergotong royong
.
K. Bhre Kertabumi, (Brawijaya Pungkas)
bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
- Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa.
Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya.
Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
- Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
- Prabu Brakumara
- Prabu Brawijaya I
- Ratu Ayu Kencanawungu
- Prabu Brawijaya II
- Prabu Brawijaya III
- Prabu Brawijaya IV
- dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama dikisahkan berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak, bergelar Panembahan Jimbun
L. Girindrawardhana,
bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
- Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Pa Bu Ta La adalah bupati bekas Kerajaan Majapahit yang memerintah sekitar tahun 1488-1527 sebagai bawahan Kesultanan Demak.
Ia menantu Kertabhumi dan ipar Raden Fatah/Senapati Jin Bun. Ia dilantik oleh Panembahan Jin Bun/Raden Fatah menjadi penguasa Majapahit sejak tahun 1488 dan meninggal tahun 1527. Tahun 1517 ia menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka, karena itu Kesultanan Demak kembali menyerang Majapahit pada tahun tersebut, tetapi jabatannya sebagai bupati di Majapahit masih dipertahankan karena ia ipar Jin Bun/Raden Fatah, sebab menikahi adik bungsu Jin Bun. Setelah wafatnya, sebagai bupati Majapahit dijabat oleh salah seorang anak Sultan Trenggana.
M. Hudhara,
bergelar Brawijaya VII(1498-1518)
Sepeninggal Bhre Pandan Salas (Dyah Suraprabhawa), kedudukan sebagai raja Mojopahit digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhattara I Kling dengan sebutan Brawijaya VII).
Dalam menjalankan pemerintahannya , dia tetap berkedudukan di Daha-Kediri. Itulah sebabnya dalam prasasti-prasati yang dikeluarkan masih disebutkan pula sebagai Paduka Sri Maharaja Bhattara I Kling, disamping disebut sebagai Paduka Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kediri Prabhunutha. Dengan demikian terdapatlah dua pemerintahan Mojopahit, yaitu Mojopahit di Trowulan dibawah pimpinan Bhre Krtabhumi (BrawijayaV) dan di Daha-Kediri dibawah pimpinan (BrawijayaVI), kemudian dilanjutkan oleh Dyah Ranawijaya (Brawijaya VII),
masuk silsilah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana.
Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha dengan susah payah untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan Mojopahit yang telah pecah belah akibat pertentangan (internal) merebutkan kekuasaan.
Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, pada tahun1478 M, Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Krtabhumi, guna merebut kembali kekuasaan ayahnya (Bhre Pandan Salas) yang pernah diambil alih secara paksa oleh Bhre Krtabhumi.
Serangan tersebut berhasil dan Bhre Kertabhumi gugur di Kedaton (peristiwa ini tertulis dalam Kitab Paraton, sebagaimana disitir oleh Hasan Djafar, Girindrawardhana,1978 : 50)
Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Dyah Ranawijaya awalnya didampingi seorang Rakyan Apatih bernama Pu Wahan, sedangkan dimasa akhirnya didampingi seorang patih bernama Udara (anak patih Pu Wahan). Sebagai seorang patih, waktu itu patih Udara atau patih Andura sangat berpengaruh di dalam pemerintahan Mojopahit dan kekuasaannya sangat besar sekali.
Bahkan di manca negara ada yang menganggapnya sebagai raja. Mengingat peranan dan kekusaannya yang sangat besar, mungkin ia mempunyai kedudukan sebagai patih Hamangku Bhumi seperti kedudukan Gajah Mada yang menggantikan Arya Tadah, pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi dan berlanjut ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Dalam silsilsah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana, Dyah Ranawijaya menempati urutan raja-raja terakhir (ke XII) dan mendapat sebutan Raja Brawijaya VII (catatan: tidak semua raja-raja Mojopahit mendapat sebutan Brawijaya, kecuali hanya 7 orang raja saja).
Sesuai namanya, Ranawijaya terdiri dari dua unsur suku kata, yaitu Rana dan Wijaya. Dalam istilah sekarang nama Rana berarti Penutup Pintu (dalam bahasa Jawa Aling-aling), akan tetapi artinya lebih dalam adalah Penutup Generasi. Sedangkan unsur Wijaya, tentunya masih mengacu bahwa Diah Ranawijaya masih keturunan Raden Wijaya. Jadi Ranawijaya artinya Penutup Keturunan Wijaya. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Dyah Ranawijaya (Rawijaya VII) adalah merupakan raja terakhir kerajaan Mojopahit.
Menurut sumber tradisi, Mojopahit runtuh (Sirno Ilang Kertaning Bumi) terjadi pada tahun 1478 M, akan tetapi menurut sumber asing China dari zaman Dinasti Ming masih menyebutkan adanya kerajaan Mojopahit pada tahun1499 M.
Bahkan penulis Italia Anthonio Pigafetta pada tahun 1522 M, masih menyebut adanya Kota Mojopahit. Pada tahun-tahun tersebut, beberapa sumber telah menyebutkan bahwa Pati Unus adalah raja Demak (merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa). Kerajaan baru di pantai Jawa ini makin lama makin mendesak kerajaan Mojopahit yang makin melemah akibat pertentangan keluarga, akhirnya Mojopahit tidak dapat bertahan lagi dan kemudian musnah ditelan masa.
Kini masa kejayaan Mojopahit memang telah berlalu, namun banyak peninggalan berharga (budaya positif) yang dapat kita pelajari dan dikelola dengan baik, kemudian digunakan untuk kepentingan membangun msyarakat dan Bangsa Indonesia, baik dimasa kini maupun dimasa-masa mendatang.
Sudah saatnya kita berjuang dan bekerja untuk kemakmuran bangsa dengan dasar Logika, Etika dan Estetika. Mari kita bangun negeri ini dengan mengandalkan budi pekerti dan moral yang baik serta dengan cara-cara yang benar yang dapat diterima oleh masyarakat.
Janganlah masyarakat yang hingga kini masih kesulitan ekonomi sebagai dampak krisis multidimensi, disuguhi terus dengan permainan politik yang membosankan. Marilah kita buang jauh-jauh sikap congkak, arogansi dengan mengutamakan kekuatan okol daripada akal, perebutan kekuasaan dengan cara memaksakan kehendak, saling fitnah bemi memperoleh kekayaan dan kekuasaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa pertengkaran-pertengkaran sebagai akibat perebutan kekuasaan (tahta) di kerajaan Mojopahit telah menghancurkan peradaban bangsa. Hal ini terbukti bahwa perebutan kekuasaan hingga munculnya dualisme kepemimpinan di Mojopahit, ternyata menjadi fakta akhir, yang telah mengakhiri kebasaran Mojopahit.
Masihkah kita membutakan hal itu !!!
Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Ia menantu Kertabhumi dan ipar Raden Fatah/Senapati Jin Bun. Ia dilantik oleh Panembahan Jin Bun/Raden Fatah menjadi penguasa Majapahit sejak tahun 1488 dan meninggal tahun 1527. Tahun 1517 ia menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka, karena itu Kesultanan Demak kembali menyerang Majapahit pada tahun tersebut, tetapi jabatannya sebagai bupati di Majapahit masih dipertahankan karena ia ipar Jin Bun/Raden Fatah, sebab menikahi adik bungsu Jin Bun. Setelah wafatnya, sebagai bupati Majapahit dijabat oleh salah seorang anak Sultan Trenggana.
M. Hudhara,
bergelar Brawijaya VII(1498-1518)
- Hudhara, bergelar Brawijaya VII(1498-1518)
Sepeninggal Bhre Pandan Salas (Dyah Suraprabhawa), kedudukan sebagai raja Mojopahit digantikan oleh anaknya yaitu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhattara I Kling dengan sebutan Brawijaya VII).
Dalam menjalankan pemerintahannya , dia tetap berkedudukan di Daha-Kediri. Itulah sebabnya dalam prasasti-prasati yang dikeluarkan masih disebutkan pula sebagai Paduka Sri Maharaja Bhattara I Kling, disamping disebut sebagai Paduka Sri Maharaja Wilwatiktapura Janggala Kediri Prabhunutha. Dengan demikian terdapatlah dua pemerintahan Mojopahit, yaitu Mojopahit di Trowulan dibawah pimpinan Bhre Krtabhumi (BrawijayaV) dan di Daha-Kediri dibawah pimpinan (BrawijayaVI), kemudian dilanjutkan oleh Dyah Ranawijaya (Brawijaya VII),
masuk silsilah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana.
Pada masa pemerintahannya, Ranawijaya berusaha dengan susah payah untuk mempersatukan kembali wilayah kerajaan Mojopahit yang telah pecah belah akibat pertentangan (internal) merebutkan kekuasaan.
Untuk melaksanakan cita-citanya tersebut, pada tahun1478 M, Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Krtabhumi, guna merebut kembali kekuasaan ayahnya (Bhre Pandan Salas) yang pernah diambil alih secara paksa oleh Bhre Krtabhumi.
Serangan tersebut berhasil dan Bhre Kertabhumi gugur di Kedaton (peristiwa ini tertulis dalam Kitab Paraton, sebagaimana disitir oleh Hasan Djafar, Girindrawardhana,1978 : 50)
Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Dyah Ranawijaya awalnya didampingi seorang Rakyan Apatih bernama Pu Wahan, sedangkan dimasa akhirnya didampingi seorang patih bernama Udara (anak patih Pu Wahan). Sebagai seorang patih, waktu itu patih Udara atau patih Andura sangat berpengaruh di dalam pemerintahan Mojopahit dan kekuasaannya sangat besar sekali.
Bahkan di manca negara ada yang menganggapnya sebagai raja. Mengingat peranan dan kekusaannya yang sangat besar, mungkin ia mempunyai kedudukan sebagai patih Hamangku Bhumi seperti kedudukan Gajah Mada yang menggantikan Arya Tadah, pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi dan berlanjut ke pemerintahan Hayam Wuruk.
Dalam silsilsah Rajawangsa dinasti raja-raja Mojopahit-Girindrawardhana, Dyah Ranawijaya menempati urutan raja-raja terakhir (ke XII) dan mendapat sebutan Raja Brawijaya VII (catatan: tidak semua raja-raja Mojopahit mendapat sebutan Brawijaya, kecuali hanya 7 orang raja saja).
Sesuai namanya, Ranawijaya terdiri dari dua unsur suku kata, yaitu Rana dan Wijaya. Dalam istilah sekarang nama Rana berarti Penutup Pintu (dalam bahasa Jawa Aling-aling), akan tetapi artinya lebih dalam adalah Penutup Generasi. Sedangkan unsur Wijaya, tentunya masih mengacu bahwa Diah Ranawijaya masih keturunan Raden Wijaya. Jadi Ranawijaya artinya Penutup Keturunan Wijaya. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa Dyah Ranawijaya (Rawijaya VII) adalah merupakan raja terakhir kerajaan Mojopahit.
Sirno Ilang Kertaning Bumi
Akhir : Menurut sumber tradisi, Mojopahit runtuh (Sirno Ilang Kertaning Bumi) terjadi pada tahun 1478 M, akan tetapi menurut sumber asing China dari zaman Dinasti Ming masih menyebutkan adanya kerajaan Mojopahit pada tahun1499 M.
Bahkan penulis Italia Anthonio Pigafetta pada tahun 1522 M, masih menyebut adanya Kota Mojopahit. Pada tahun-tahun tersebut, beberapa sumber telah menyebutkan bahwa Pati Unus adalah raja Demak (merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa). Kerajaan baru di pantai Jawa ini makin lama makin mendesak kerajaan Mojopahit yang makin melemah akibat pertentangan keluarga, akhirnya Mojopahit tidak dapat bertahan lagi dan kemudian musnah ditelan masa.
Kini masa kejayaan Mojopahit memang telah berlalu, namun banyak peninggalan berharga (budaya positif) yang dapat kita pelajari dan dikelola dengan baik, kemudian digunakan untuk kepentingan membangun msyarakat dan Bangsa Indonesia, baik dimasa kini maupun dimasa-masa mendatang.
Sudah saatnya kita berjuang dan bekerja untuk kemakmuran bangsa dengan dasar Logika, Etika dan Estetika. Mari kita bangun negeri ini dengan mengandalkan budi pekerti dan moral yang baik serta dengan cara-cara yang benar yang dapat diterima oleh masyarakat.
Janganlah masyarakat yang hingga kini masih kesulitan ekonomi sebagai dampak krisis multidimensi, disuguhi terus dengan permainan politik yang membosankan. Marilah kita buang jauh-jauh sikap congkak, arogansi dengan mengutamakan kekuatan okol daripada akal, perebutan kekuasaan dengan cara memaksakan kehendak, saling fitnah bemi memperoleh kekayaan dan kekuasaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa pertengkaran-pertengkaran sebagai akibat perebutan kekuasaan (tahta) di kerajaan Mojopahit telah menghancurkan peradaban bangsa. Hal ini terbukti bahwa perebutan kekuasaan hingga munculnya dualisme kepemimpinan di Mojopahit, ternyata menjadi fakta akhir, yang telah mengakhiri kebasaran Mojopahit.
Masihkah kita membutakan hal itu !!!
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Kepustakaan
- Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
- Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKISBabad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU