Gugon Tuhon
GUGON TUHON, PERILAKU MAKAN (A)
GUGON TUHON, TIDAK SEKEDAR "ORA ILOK" (4): PERILAKU MAKAN (A)
Dengan tetap merujuk unen-unen “Wong Jawa panggonane semu”, maka dalam memberikan pitutur khususnya sopan santun makan para sesepuh dulu juga tidak langsung mengatakan: “Jangan .... karena ....” atau “jangan .... nanti ....”. secara jelas; yang jelas kalau sudah ada embel-embel “ora ilok” maka kita akan berpikir dua kali untuk melanggarnya.
Di bawah adalah beberapa contoh perilaku bagaimana seharusnya kita makan, khususnya penggunaan alas makan, tempat makan dan etika makan, sekaligus kupasannya mengapa menjadi "ora ilok"
1. AJA SOK MANGAN NYANGGA AJANG, PINCUK, TAKIR, GODHONG LAN SEJENE, MUNDHAK KEMAGA
Boleh-boleh saja kita menggunakan ajang, pincuk, takir, daun dan sebagainya untuk alas makanan kita, yang penting jangan disangga (dipegang dengan tangan) karena dianggap tidak sopan. Risikonya pun ada yaitu makanan yang disangga mudah tumpah, apalagi kalau kesenggol orang lain. Alhasil makan tidak terpuaskan, perut tetap lapar. Makan yang benar adalah di tempat yang telah disediakan, yaitu meja makan. Dalam pitutur ini dikatakan “mundhak kemaga” (Kemaga: kecewa di kemudian hari karena yang dikerjakan tidak selesai).
Catatan: Seiring perubahan jaman, dewasa ini kita sering makan dengan menyangga piring. Misalnya makan prasmanan pada resepsi pernikahan, kecuali bila yang mengundang "Cina". Justru kita duduk dengan piring disangga meja, bukan tangan.
2. AJA SOK MADHANG AJANG CETHING, MUNDHAK NGENTEK-ENTEKAKE KAMUKTEN
“Cething” adalah tempat nasi sebelum didistribusikan ke piring. Bisa saja terjadi orang makan langsung dari “cething” misalnya kalau nasi di “cething” tinggal sedikit, kita tuntaskan langsung dari wadah nasinya (cething). Makan langsung dari cething adalah perilaku tidak sopan. Akan timbul kesan serakah bagi yang melihat. Oleh sebab itu ditakut-takuti dengan “ngentek-entekake kamukten” (hilang rejeki dan kemuliaan di masa depan karena sudah dihabiskan sekarang melalui ”cething”).
3. NEK MADHANG AJA SOK SALIN AJANG, BESUK MUNDHAK WAYUH UTAWI TUMRAPIPUN DHATENG LARE ESTRI: DIWAYUH
Makan berganti-ganti “ajang” (piring) merupakan perilaku kurang pas. Yang jelas tidak ekonomis karena menambah jumlah cucian piring kotor. “Wayuh” adalah kawin lagi, punya isteri lebih dari satu. Kalau "wayuh" tapi rukun memang tidak masalah, tetapi kalau tidak rukun akan banyak menimbulkan kesusahan. Keluarga bahkan tetangga bisa ikut prihatin. Ancamannya disini, kalau makan ganti-ganti piring, nanti akan sering kawin, atau ganti-ganti istri (untuk laki-laki). Sedangkan untuk perempuan, suaminya akan kawin lagi.
Catatan: Jaman sekarang kalau undangan manten kita pasti makan berganti-ganti piring. Habis ambil lontong kikil, ganti tahu campur, lanjut dengan kambing guling dan seterusnya seiring dengan penjelajahan kita dari meja ke meja. Baiknya kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di resepsi.
4. NEK MADHANG AJA NGOLAH-NGALIH PANGGONAN, BESUK MUNDHAK KEREP RABI UTAWA LAKI
Penjelasannya sama dengan angka 3 di atas, bedanya yang pertama makan berganti-ganti piring, yang ini makan pindah-pindah tempat. Ancamannya sama: laki-laki akan sering kawin, wanita akan punya madu, mungkin tidak hanya satu.
Catatan: Jaman sekarang bila menghadiri suatu resepsi, pasti kita akan makan sambil jalan-jalan. Mencari menu sekaligus menyapa teman-teman yang hadir. Kembali kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di luar rumah. Kalau di rumah sebaiknya ya di meja makan dan tidak pindah-pindah tempat sampai selesai makan.
5. AJA MADHANG ANA NGILO-ILO, MUNDHAK DIILONI SETAN
“Ngilo-ilo” adalah tempat di balik bayang-bayang lampu. Pengertiannya adalah jangan makan di tempat gelap, karena akan diikuti setan. Makan seharusnya di meja makan dengan penerangan yang baik. Makan di keremangan bisa membawa risiko serius. Contoh paling umum adalah duri ikan menyangkut di kerongkongan, karena tidak terlihat.
6. YEN NENGAHI MAMAH, NANEDHA AJA CECATURAN, MUNDHAK KESELAK
Sebenarnya ini bukan gugon tuhon. Pitutur dan risikonya jelas dan langsung masuk akal. Apa manfaatnya bicara sementara mulut kita masih penuh makanan. Disamping artikulasi kata menjadi tidak jelas, makanan pun bisa tumpah keluar dari mulut. Dalam subasita Jawa perilaku ini termasuk tidak sopan. “Keselak” atau tersedak, bukan ancaman yang menakutkan, dan memang demikianlah yang sering terjadi kalau orang makan sambil bicara. Celakanya kalau habis tersedak diikuti cegukan. Kalau makan sendirian, di rumah, tidak masalah. tapi kalau makan bersama orang lain, amat memalukan.
7. AJA SOK MEMANGAN KARO NGILO, MUNDHAK DIEWANI UWONG
Ada juga orang yang tengah-tengah makan (umumnya wanita) mengambil cermin dari tas lalu berkaca. Ancamannya juga wajar, yaitu tidak disukai (diewani) orang. Yang jelas perilaku ini tidak sopan tetapi celakanya justru lebih sering terjadi kalau kita sedang makan bersama orang lain, misalnya pada undangan makan malam. Kalau memang ada sesuatu sehingga kita perlu bercermin, mengapa tidak minta ijin sebentar, kita bercermin di toilet.
8. AJA SOK NGOKOP KOKOHAN, MUNDHAK PETENG ATINE
“Ngokop” adalah mulut langsung nempel ke piring. Sering kita lakukan untuk menghabiskan kuah sayuran, misalnya “sup” atau makanan yang lembek, misalnya “bubur”. Perilaku begini hanya dilakukan orang yang tidak tahu subasita atau tatakrama.
9. YEN SAMBELE UWIS ENTEK, AJA NYAMBEL MANEH, MUNDHAK ORA ILOK.
Sambal yang enak akan laku keras dan bisa habis sebelum kegiatan makan selesai, lalu kita membuat sambal lagi. Perilaku ini dikatakan “ora ilok” tetapi masuk akal juga. Sambal adalah sesuatu yang merangsang lambung. Terlalu banyak makan sambal salah-salah kita sakit perut dan diare.
10. YEN MADHANG AJA SOK NISA, MUNDHAK MATI PITIKE.
Kalau dikaji-kaji, alasannya memang tidak masuk akal. Justru kalau sisa makanan banyak, ayam kita akan gemuk. Tetapi maksud orang tua kita yang sebenarnya adalah:
Di bawah adalah beberapa contoh perilaku bagaimana seharusnya kita makan, khususnya penggunaan alas makan, tempat makan dan etika makan, sekaligus kupasannya mengapa menjadi "ora ilok"
1. AJA SOK MANGAN NYANGGA AJANG, PINCUK, TAKIR, GODHONG LAN SEJENE, MUNDHAK KEMAGA
Boleh-boleh saja kita menggunakan ajang, pincuk, takir, daun dan sebagainya untuk alas makanan kita, yang penting jangan disangga (dipegang dengan tangan) karena dianggap tidak sopan. Risikonya pun ada yaitu makanan yang disangga mudah tumpah, apalagi kalau kesenggol orang lain. Alhasil makan tidak terpuaskan, perut tetap lapar. Makan yang benar adalah di tempat yang telah disediakan, yaitu meja makan. Dalam pitutur ini dikatakan “mundhak kemaga” (Kemaga: kecewa di kemudian hari karena yang dikerjakan tidak selesai).
Catatan: Seiring perubahan jaman, dewasa ini kita sering makan dengan menyangga piring. Misalnya makan prasmanan pada resepsi pernikahan, kecuali bila yang mengundang "Cina". Justru kita duduk dengan piring disangga meja, bukan tangan.
2. AJA SOK MADHANG AJANG CETHING, MUNDHAK NGENTEK-ENTEKAKE KAMUKTEN
“Cething” adalah tempat nasi sebelum didistribusikan ke piring. Bisa saja terjadi orang makan langsung dari “cething” misalnya kalau nasi di “cething” tinggal sedikit, kita tuntaskan langsung dari wadah nasinya (cething). Makan langsung dari cething adalah perilaku tidak sopan. Akan timbul kesan serakah bagi yang melihat. Oleh sebab itu ditakut-takuti dengan “ngentek-entekake kamukten” (hilang rejeki dan kemuliaan di masa depan karena sudah dihabiskan sekarang melalui ”cething”).
3. NEK MADHANG AJA SOK SALIN AJANG, BESUK MUNDHAK WAYUH UTAWI TUMRAPIPUN DHATENG LARE ESTRI: DIWAYUH
Makan berganti-ganti “ajang” (piring) merupakan perilaku kurang pas. Yang jelas tidak ekonomis karena menambah jumlah cucian piring kotor. “Wayuh” adalah kawin lagi, punya isteri lebih dari satu. Kalau "wayuh" tapi rukun memang tidak masalah, tetapi kalau tidak rukun akan banyak menimbulkan kesusahan. Keluarga bahkan tetangga bisa ikut prihatin. Ancamannya disini, kalau makan ganti-ganti piring, nanti akan sering kawin, atau ganti-ganti istri (untuk laki-laki). Sedangkan untuk perempuan, suaminya akan kawin lagi.
Catatan: Jaman sekarang kalau undangan manten kita pasti makan berganti-ganti piring. Habis ambil lontong kikil, ganti tahu campur, lanjut dengan kambing guling dan seterusnya seiring dengan penjelajahan kita dari meja ke meja. Baiknya kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di resepsi.
4. NEK MADHANG AJA NGOLAH-NGALIH PANGGONAN, BESUK MUNDHAK KEREP RABI UTAWA LAKI
Penjelasannya sama dengan angka 3 di atas, bedanya yang pertama makan berganti-ganti piring, yang ini makan pindah-pindah tempat. Ancamannya sama: laki-laki akan sering kawin, wanita akan punya madu, mungkin tidak hanya satu.
Catatan: Jaman sekarang bila menghadiri suatu resepsi, pasti kita akan makan sambil jalan-jalan. Mencari menu sekaligus menyapa teman-teman yang hadir. Kembali kita sesuaikan saja situasinya. Makan di rumah atau makan di luar rumah. Kalau di rumah sebaiknya ya di meja makan dan tidak pindah-pindah tempat sampai selesai makan.
5. AJA MADHANG ANA NGILO-ILO, MUNDHAK DIILONI SETAN
“Ngilo-ilo” adalah tempat di balik bayang-bayang lampu. Pengertiannya adalah jangan makan di tempat gelap, karena akan diikuti setan. Makan seharusnya di meja makan dengan penerangan yang baik. Makan di keremangan bisa membawa risiko serius. Contoh paling umum adalah duri ikan menyangkut di kerongkongan, karena tidak terlihat.
6. YEN NENGAHI MAMAH, NANEDHA AJA CECATURAN, MUNDHAK KESELAK
Sebenarnya ini bukan gugon tuhon. Pitutur dan risikonya jelas dan langsung masuk akal. Apa manfaatnya bicara sementara mulut kita masih penuh makanan. Disamping artikulasi kata menjadi tidak jelas, makanan pun bisa tumpah keluar dari mulut. Dalam subasita Jawa perilaku ini termasuk tidak sopan. “Keselak” atau tersedak, bukan ancaman yang menakutkan, dan memang demikianlah yang sering terjadi kalau orang makan sambil bicara. Celakanya kalau habis tersedak diikuti cegukan. Kalau makan sendirian, di rumah, tidak masalah. tapi kalau makan bersama orang lain, amat memalukan.
7. AJA SOK MEMANGAN KARO NGILO, MUNDHAK DIEWANI UWONG
Ada juga orang yang tengah-tengah makan (umumnya wanita) mengambil cermin dari tas lalu berkaca. Ancamannya juga wajar, yaitu tidak disukai (diewani) orang. Yang jelas perilaku ini tidak sopan tetapi celakanya justru lebih sering terjadi kalau kita sedang makan bersama orang lain, misalnya pada undangan makan malam. Kalau memang ada sesuatu sehingga kita perlu bercermin, mengapa tidak minta ijin sebentar, kita bercermin di toilet.
8. AJA SOK NGOKOP KOKOHAN, MUNDHAK PETENG ATINE
“Ngokop” adalah mulut langsung nempel ke piring. Sering kita lakukan untuk menghabiskan kuah sayuran, misalnya “sup” atau makanan yang lembek, misalnya “bubur”. Perilaku begini hanya dilakukan orang yang tidak tahu subasita atau tatakrama.
9. YEN SAMBELE UWIS ENTEK, AJA NYAMBEL MANEH, MUNDHAK ORA ILOK.
Sambal yang enak akan laku keras dan bisa habis sebelum kegiatan makan selesai, lalu kita membuat sambal lagi. Perilaku ini dikatakan “ora ilok” tetapi masuk akal juga. Sambal adalah sesuatu yang merangsang lambung. Terlalu banyak makan sambal salah-salah kita sakit perut dan diare.
10. YEN MADHANG AJA SOK NISA, MUNDHAK MATI PITIKE.
Kalau dikaji-kaji, alasannya memang tidak masuk akal. Justru kalau sisa makanan banyak, ayam kita akan gemuk. Tetapi maksud orang tua kita yang sebenarnya adalah:
a. Manusia harus tahu ukuran. Lebih baik nambah daripada menyisakan.
b. Manusia harus tahu diri. Disini kita buang-buang makanan sementara di luar sana ada manusia yang mengais sisa-sisa makanan
c. Siapa yang akan makan sisa makanan? Berarti kita telah membuang-buang rejeki Allah. Dalam pitutur lain dikatakan kalau nasi tidak dihabiskan Dewi Sri akan menangis
KESIMPULAN
Perilaku makan di atas banyak terkait dengan aturan tatakrama, misalnya jangan makan sambil bicara, jangan bercermin saat makan dan jangan makan langsung dari cething. Disamping itu tersirat ajaran untuk mengendalikan diri, misalnya kalau sambal habis tidak usah bikin yang baru dan kalau makan jangan ada sisa. Ada juga yang sulit diterapkan di jaman moderen ini, misalnya karena situasi dan kondisi maka banyak orang makan berganti-ganti piring sambil bicara dan jalan-jalan. Waktu, ruang dan orang memang sudah berganti. (IwMM)
Disini kita akan lebih banyak mendapatkan “gugon tuhon” yang sulit dicerna akal dan memang tidak masuk akal, kecuali dalam bahasa perlambang. Beberapa contoh di bawah dapat dijadikan acuan.
1. AJA SOK SARAPAN SEGA WADHANG, MUNDHAK PETENG ATINE
“Sega wadhang” adalah nasi sisa tadi malam. Orang Jawa jaman dulu mengatakan “hawa sega wadhang amat dingin”. Kalau kita pagi-pagi sarapan “sega wadhang” kemudian berangkat kerja atau sekolah, maka hawa dingin akan bertentangan dengan panas siang hari. Badan kita akan meriang, panas dingin. Otak menjadi tumpul, malas kerja.
Bagaimanapun yang satu ini masih masuk akal. Nasi yang sudah menginap semalaman, tidak hanya keras dan dingin tetapi juga berpeluang tercemar bibit penyakit lebih-lebih bila tempat menyimpannya tidak aman, dapat dimasuki serangga pembawa penyakit, misalnya kecoak.
Bukannya kita tidak boleh makan sega wadhang. Sepanjang disimpan baik-baik dan sebelum dimakan dipanasi lebih dahulu sesuai aturan pemanasan, tentunya aman. Hanya kalau kita tidak bisa menjamin keamanannya, lebih baik tidak usah dimakan.
2. AJA SOK MANGAN IWAK TELAMPIK, MUNDHAK DITAMPIK JAKA UTAWA PRAWAN
“Telampik” adalah sayap unggas yang bisa digunakan untuk memukul (ngabruk, nladhung) musuh-musuhnya. Kata “Telampik” berasal dari kata dasar “Tampik” (tolak) dengan sisipan “el”. Analoginya sekaligus perlambang, kalau makan sayap ayam (telampik, chicken wings) nanti saatnya cari jodoh akan ditampik (ditolak). Tidak hanya ditampik saat cari jodoh, tetapi akan ditolak untuk semua yang urusannya menggunakan prosedur lamaran. Mencari kerja, mengirim artikel ke koran atau majalah, dll. Benar apa tidak, sumangga.
3. AJA SOK MANGAN BRUTU, MUNDHAK KEDHUWUNG BURI. LUWIH BECIK MANGANA ENDHAS UTAWA CAKAR BAE. KAREBEN BISA CUCUK-CUCUK UTAWA CEKER-CEKER
Yang ini juga hanya bisa dipahami dengan bahasa perlambang. Brutu (bagian ekor ayam, chicken ass) rasanya paling gurih, didukung dagingnya yang lunak dengan tulang amat kecil. Sementara kepala dan ceker ayam tulangnya besar dagingnya pun sedikit. Otak ayam memang enak, tetapi kita harus memecah tulang kepala lebih dahulu sebelum menyantapnya.
Bahasa perlambang disini adalah: sesuai peribahasa “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” maka anak muda yang makan brutu ibarat “bersenang-senang dahulu”. Seterusnya bisa menyesal seandainya di belakang hari yang terjadi adalah “bersakit-sakit kemudian”. Yang diperlukan sekarang ini adalah: Ceker (kaki ayam) untuk mencari makanan dan paruh (yang ada di kepala ayam) untuk mematuk makanan.
4. AJA MANGAN IWAK ATI, MUNDHAK SEBEL ING SAMUBARANG
Hati ayam, sebenarnya termasuk juga alat dalam (jeroan) yang lain seperti usus dan jantung, termasuk yang tidak boleh dimakan. Yang jelas “jeroan” itu enak, lunak dan tidak bertulang. Orang Barat pada umumnya tidak makan “jeroan”. Orang Maluku Utara tahun 1980an awal juga tidak suka jeroan, sehingga teman-teman Jawa yang mau bikin nasi tim untuk balitanya kesulitan cari hati ayam, kecuali ada orang menyembelih ayam, kita minta jeroannya sebelum keburu dibuang. Yang jelas “jeroan” kholesterolnya tinggi.
5. AJA SOK ANGGANYANG KRAMBIL, MUNDHAK KREMINEN
Parutan kelapa memang menyerupai “cacing keremi” tetapi tidak ada keterkaitan sama sekali antara makan daging kelapa dengan penyakit kecacingan khususnya “kereminen”. Walau demikian kelapa yang sudah siap di dapur untuk dijadikan bumbu masak, misalnya santan, janganlah kita pindah ke mulut. Kelapa yang jadi bumbu akan berkurang dan pada gilirannya sedap dan gurihnya makanan pun akan berkurang
6. AJA SOK LALAP NGANGGO LOMBOK ABANG, MUNDHAK ORA DUWE SEDULUR
Lombok merah, maksudnya lombok yang besar umumnya digunakan untuk membuat sambal, bukan untuk “diceplus” sebagai lalap waktu kita menyantap tahu bacem atau tempe. Entah apa sebabnya lombok besar tidak kita pakai sebagai lalap. Apa barangkali ada “wewaler” (larangan) bahwa kalau lalap lombok merah akan tidak punya teman? Reasoningnya tidak ada. Yang berlaku umum adalah lombok rawit untuk lalap dan lombok merah termasuk juga lombok hijau untuk sambal. Orang yang mengeremus lombok merah untuk lalap akan dianggap nyentrik. Kalau tidak percaya silakan coba di depan umum.
7. NEK ISIH BOCAH DHEMEN MANGAN INTIP, BESUK TUWANE SUGIH SANDHANGAN
Bedakan dengan intip goreng atau intip yang dikrawu dengan kelapa parut karena yang dua ini masuk katagori “nyamikan” (penganan). “Intip” yang dimaksud disini adalah kerak nasi dari hasil kita menanak nasi dengan cara diliwet. Jelas keras dan liat, jadi mengunyahnya harus lebih telaten. Kalau mau lunak ya direndam dulu dengan kuah sayuran, misalnya lodeh.
Keterkaitan antara suka makan intip dengan kelak punya banyak baju jelas tidak ada. Tetapi nilai ketelatenan dari orang yang makan intip bila diikuti dengan ketelatenan dalam melakukan sesuatu, misalnya sekolah, bekerja, menabung dan sebagainya tentunya akan berbuah: mampu beli baju banyak.
8. YEN MANGAN SEMANGKA, NANGKA SABRANG (SIRSAT), SAWO LAN SANESIPUN INGKANG MAWI ISI ALIT-ALIT: BANGSANIPUN KECIK, AJA NGANTI KATUT ISINE, MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Biji buah-buahan apa saja yang tertelan jelas tidak akan bersemi dalam tubuh kemudian tumbuh dan nongol di jidat kita. Biji-biji itu tidak tercerna tetapi akan keluar bersama kotoran waktu kita buang air besar. Kalau perut banyak kemasukan barang keras yang tidak bisa dicerna, bisa saja terjadi gangguan pencernaan. Nasihatnya benar, tetapi alasannya tidak masuk akal. Untuk menakut-nakuti anak memang cespleng, sehingga anak-anak hati-hati kalau makan buah-buahan yang berbiji, daripada di kepalanya tumbuh pohon.
9. AJA NGEMUT KECIK, MENGKO NEK KOLU MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Hampir sama dengan angka 8 di atas. Bedanya yang satu kita sedang makan buah dan yang ini kita memang mengulum biji buah tanpa makan buah. “Kecik” adalah biji sawo kecik. Jaman dulu dipakai anak-anak untuk main dakon atau adu kecik. Sering dengan sadar atau tanpa sadar biji sawo ini mereka kulum seperti permen, dengan risiko tertelan. Tidak ada masalah dengan biji yang tertelan, tidak akan tumbuh di dahi kita. Yang jelas, biji buah yang sudah dijadikan alat bermain dan pindah-pindah tangan tentunya kotor. Mengulum barang kotor sama dengan mendekatkan penyakit. Jadi nasihatnya benar tetapi penjelasannya harus diluruskan.
KESIMPULAN
Terkait dengan makanan yang kita makan maka gugon tuhon lebih banyak yang tidak masuk akal. Larangan untuk tidak makan sesuatu harus kita cermati baik-baik. Misalnya larangan makan sesuatu yang bergizi dan ditujukan kepada anak-anak yang masih tumbuh kembang dan ibu hamil. Kalau kita ragu, tanyakan kepada ahlinya. Diantara larangan tersebut ada yang masuk akal dan benar, tetapi penjelasannya yang mengada-ada.
Hal ini perlu diluruskan supaya tidak terjadi salah terima (IwMM).
1. AJA SOK SARAPAN SEGA WADHANG, MUNDHAK PETENG ATINE
“Sega wadhang” adalah nasi sisa tadi malam. Orang Jawa jaman dulu mengatakan “hawa sega wadhang amat dingin”. Kalau kita pagi-pagi sarapan “sega wadhang” kemudian berangkat kerja atau sekolah, maka hawa dingin akan bertentangan dengan panas siang hari. Badan kita akan meriang, panas dingin. Otak menjadi tumpul, malas kerja.
Bagaimanapun yang satu ini masih masuk akal. Nasi yang sudah menginap semalaman, tidak hanya keras dan dingin tetapi juga berpeluang tercemar bibit penyakit lebih-lebih bila tempat menyimpannya tidak aman, dapat dimasuki serangga pembawa penyakit, misalnya kecoak.
Bukannya kita tidak boleh makan sega wadhang. Sepanjang disimpan baik-baik dan sebelum dimakan dipanasi lebih dahulu sesuai aturan pemanasan, tentunya aman. Hanya kalau kita tidak bisa menjamin keamanannya, lebih baik tidak usah dimakan.
2. AJA SOK MANGAN IWAK TELAMPIK, MUNDHAK DITAMPIK JAKA UTAWA PRAWAN
“Telampik” adalah sayap unggas yang bisa digunakan untuk memukul (ngabruk, nladhung) musuh-musuhnya. Kata “Telampik” berasal dari kata dasar “Tampik” (tolak) dengan sisipan “el”. Analoginya sekaligus perlambang, kalau makan sayap ayam (telampik, chicken wings) nanti saatnya cari jodoh akan ditampik (ditolak). Tidak hanya ditampik saat cari jodoh, tetapi akan ditolak untuk semua yang urusannya menggunakan prosedur lamaran. Mencari kerja, mengirim artikel ke koran atau majalah, dll. Benar apa tidak, sumangga.
3. AJA SOK MANGAN BRUTU, MUNDHAK KEDHUWUNG BURI. LUWIH BECIK MANGANA ENDHAS UTAWA CAKAR BAE. KAREBEN BISA CUCUK-CUCUK UTAWA CEKER-CEKER
Yang ini juga hanya bisa dipahami dengan bahasa perlambang. Brutu (bagian ekor ayam, chicken ass) rasanya paling gurih, didukung dagingnya yang lunak dengan tulang amat kecil. Sementara kepala dan ceker ayam tulangnya besar dagingnya pun sedikit. Otak ayam memang enak, tetapi kita harus memecah tulang kepala lebih dahulu sebelum menyantapnya.
Bahasa perlambang disini adalah: sesuai peribahasa “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” maka anak muda yang makan brutu ibarat “bersenang-senang dahulu”. Seterusnya bisa menyesal seandainya di belakang hari yang terjadi adalah “bersakit-sakit kemudian”. Yang diperlukan sekarang ini adalah: Ceker (kaki ayam) untuk mencari makanan dan paruh (yang ada di kepala ayam) untuk mematuk makanan.
4. AJA MANGAN IWAK ATI, MUNDHAK SEBEL ING SAMUBARANG
Hati ayam, sebenarnya termasuk juga alat dalam (jeroan) yang lain seperti usus dan jantung, termasuk yang tidak boleh dimakan. Yang jelas “jeroan” itu enak, lunak dan tidak bertulang. Orang Barat pada umumnya tidak makan “jeroan”. Orang Maluku Utara tahun 1980an awal juga tidak suka jeroan, sehingga teman-teman Jawa yang mau bikin nasi tim untuk balitanya kesulitan cari hati ayam, kecuali ada orang menyembelih ayam, kita minta jeroannya sebelum keburu dibuang. Yang jelas “jeroan” kholesterolnya tinggi.
5. AJA SOK ANGGANYANG KRAMBIL, MUNDHAK KREMINEN
Parutan kelapa memang menyerupai “cacing keremi” tetapi tidak ada keterkaitan sama sekali antara makan daging kelapa dengan penyakit kecacingan khususnya “kereminen”. Walau demikian kelapa yang sudah siap di dapur untuk dijadikan bumbu masak, misalnya santan, janganlah kita pindah ke mulut. Kelapa yang jadi bumbu akan berkurang dan pada gilirannya sedap dan gurihnya makanan pun akan berkurang
6. AJA SOK LALAP NGANGGO LOMBOK ABANG, MUNDHAK ORA DUWE SEDULUR
Lombok merah, maksudnya lombok yang besar umumnya digunakan untuk membuat sambal, bukan untuk “diceplus” sebagai lalap waktu kita menyantap tahu bacem atau tempe. Entah apa sebabnya lombok besar tidak kita pakai sebagai lalap. Apa barangkali ada “wewaler” (larangan) bahwa kalau lalap lombok merah akan tidak punya teman? Reasoningnya tidak ada. Yang berlaku umum adalah lombok rawit untuk lalap dan lombok merah termasuk juga lombok hijau untuk sambal. Orang yang mengeremus lombok merah untuk lalap akan dianggap nyentrik. Kalau tidak percaya silakan coba di depan umum.
7. NEK ISIH BOCAH DHEMEN MANGAN INTIP, BESUK TUWANE SUGIH SANDHANGAN
Bedakan dengan intip goreng atau intip yang dikrawu dengan kelapa parut karena yang dua ini masuk katagori “nyamikan” (penganan). “Intip” yang dimaksud disini adalah kerak nasi dari hasil kita menanak nasi dengan cara diliwet. Jelas keras dan liat, jadi mengunyahnya harus lebih telaten. Kalau mau lunak ya direndam dulu dengan kuah sayuran, misalnya lodeh.
Keterkaitan antara suka makan intip dengan kelak punya banyak baju jelas tidak ada. Tetapi nilai ketelatenan dari orang yang makan intip bila diikuti dengan ketelatenan dalam melakukan sesuatu, misalnya sekolah, bekerja, menabung dan sebagainya tentunya akan berbuah: mampu beli baju banyak.
8. YEN MANGAN SEMANGKA, NANGKA SABRANG (SIRSAT), SAWO LAN SANESIPUN INGKANG MAWI ISI ALIT-ALIT: BANGSANIPUN KECIK, AJA NGANTI KATUT ISINE, MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Biji buah-buahan apa saja yang tertelan jelas tidak akan bersemi dalam tubuh kemudian tumbuh dan nongol di jidat kita. Biji-biji itu tidak tercerna tetapi akan keluar bersama kotoran waktu kita buang air besar. Kalau perut banyak kemasukan barang keras yang tidak bisa dicerna, bisa saja terjadi gangguan pencernaan. Nasihatnya benar, tetapi alasannya tidak masuk akal. Untuk menakut-nakuti anak memang cespleng, sehingga anak-anak hati-hati kalau makan buah-buahan yang berbiji, daripada di kepalanya tumbuh pohon.
9. AJA NGEMUT KECIK, MENGKO NEK KOLU MUNDHAK THUKUL ANA NGEMBUN-EMBUNAN
Hampir sama dengan angka 8 di atas. Bedanya yang satu kita sedang makan buah dan yang ini kita memang mengulum biji buah tanpa makan buah. “Kecik” adalah biji sawo kecik. Jaman dulu dipakai anak-anak untuk main dakon atau adu kecik. Sering dengan sadar atau tanpa sadar biji sawo ini mereka kulum seperti permen, dengan risiko tertelan. Tidak ada masalah dengan biji yang tertelan, tidak akan tumbuh di dahi kita. Yang jelas, biji buah yang sudah dijadikan alat bermain dan pindah-pindah tangan tentunya kotor. Mengulum barang kotor sama dengan mendekatkan penyakit. Jadi nasihatnya benar tetapi penjelasannya harus diluruskan.
KESIMPULAN
Terkait dengan makanan yang kita makan maka gugon tuhon lebih banyak yang tidak masuk akal. Larangan untuk tidak makan sesuatu harus kita cermati baik-baik. Misalnya larangan makan sesuatu yang bergizi dan ditujukan kepada anak-anak yang masih tumbuh kembang dan ibu hamil. Kalau kita ragu, tanyakan kepada ahlinya. Diantara larangan tersebut ada yang masuk akal dan benar, tetapi penjelasannya yang mengada-ada.
Hal ini perlu diluruskan supaya tidak terjadi salah terima (IwMM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU