Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Dongeng Timun Emas dan LuSi (Lumpur lapindo Sidoarjo)


Dongeng Timun Emas dan LuSi
(Lumpur lapindo Sidoarjo)
(Kisah kolam lumpur di Jawa Timur)

Alkisah di jaman dahulu kala di sebuah tepian hutan belantara hiduplah  seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.

Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. 

“Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.

Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun.


Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya 17 tahun”.
(Namun dengan satu syarat bahwa kelak jika anak itu telah genap berusia 17 tahun, maka sang Raksasa itu pun akan datang kembali untuk mengambilnya dan menjadikannya sebagai santapannya.)

Singkat cerita segera di tanamlah biji-biji mentimun pemberian sang Raksasa tadi di kebun milik mereka. Dan setelah berbulan – bulan sabar menunggu panen mentimun, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat ternyata di temukan suatu keanehan pada salah satu buah mentimun hasil panenan mereka dan ada salah satu mentimun yang cukup besar.. dan berwarna kuning keemasan…”
Mbok Sarni kemudian mengambilnya , Dengan harap cemas bercampur penasaran maka di bukalah buah mentimun itu dengan penuh kehati – hatian sesampainya mereka di rumah. Dan betapa terkejutnya mereka mengetahui bahwa ternyata terdapat seorang bayi perempuan di dalamnya….” Dengan hati riang gembira mereka berdua pun kemudian memelihara bayi mungil itu dan memberi nama : Timun Mas padanya. 
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.

Dan anak perempuan itu kian lama kian tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Semakin mendekati usianya yang ke 17 tahun, maka semakin teringatlah mbok Sarni akan perjanjiannya dengan sang Raksasa penguasa hutan. Yang sudah barang tentu membuat hati mbok Sarni merasa sedih dan berduka jika mengingatnya.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.


Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.

Ditengah kebingungan dan rasa takut kehilangan puteri satu – satunya yang sangat mereka cintai itu, maka pergilah mereka menemui seorang Pertapa Sakti, yang tengah tekun bertapa di dekat sebuah puncak gunung. Dan tanpa di duga sang Pertapa Sakti itu pun ternyata sudah mengetahui maksud kedatangan mereka…”
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. 
“Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. 

Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.

Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. 
Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Sang Raksasa pun kembali tercenggang demi melihat lautan luas di hadapannya, sementara si Timun Mas tengah berada di seberangnya. Dengan wajah yang kian buas dan marah, sang Raksasa pun tak mau kalah, lalu berusaha berenang menyebranginya mengejar Timun Mas. dengan mudah dilalui si raksasa. 

Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. 
timunemas3.gif

Dengan congkak dan tertawa terbahak – bahak sang Raksasa pun berniat kembali menyebrangi danau lumpur panas itu demi mendapatkan daging buruannya.

Namun ternyata kali ini sungguh di luar dugaanya. Sesampainya sang Raksasa di tengah danau lumpur panas itu, ternyata ia tak mampu lagi untuk berenang. Semakin Ia berusaha untuk berenang, justru tubuh besarnya itu pun kian lama kian terhisap kedalam lumpur panas itu hingga tenggelam dan tak muncul – muncul lagi..”

Melihat sang Raksasa pemburu itu tak muncul – muncul lagi, maka legalah kini hati si Timun Mas dan berniat kembali pulang ke Pondoknya. Sesampainya di rumah alangkah bahagia dan gembiranya hati kedua orang tuanya demi melihat sang puteri kesayangannya, ternyata Selamat dari kejaran sang Raksasa hutan pemangsa manusia itu.

Mereka pun kini dapat kembali berkumpul dan berbahagia bersama sebagai sebuah keluarga, seraya berucap syukur atas keselamatan dan perlindungan yang telah Tuhan berikan melalui senjata ampuh pemberian sang Pertapa Sakti, yang tekun bersamadhi di puncak sebuah gunung…”

Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
Apa kaitan bencana lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, dengan dongeng rakyat Timun Emas? 
Cerita Panji, tidak hanya berbicara masa lalu. Namun, ada yang menafsirkan, juga berbicara masa depan kehidupan masyarakat melalui prosa. Secara substansial sama dengan Jayabaya dan Ronggowarsita yang meramalkan masa depan melalui puisi, simbol, atau pralambang ini: terasi Timun Emas yang berubah jadi lumpur Lapindo.

Apabila penciptaan cerita rakyat atau folklor terjadi setelah muncul fakta ataupun fenomena alam, kemungkinan luapan lumpur lapindo pernah terjadi sebelumnya di Jawa Timur. Aktivis Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur Henry Nurcahyo menuturkan, cerita Timun Emas adalah varian cerita Panji yang populer pada masa Majapahit. Varian lain dari cerita Panji yang berkembang menjadi dongeng, seperti Keong Mas hingga Ande-ande Lumut. Cerita Panji sendiri bertutur dengan kisah cinta antara Raden Panji Asmarabangun dari Jenggala dan Dewi Sekar Taji dari Kediri.

Cerita Panji bermuatan ”ramalan masa depan” yang menyangkut sistem sosial-ekonomi kapitalis.

Cerita ini ditafsirkan bagaimana rakyat menghadapi sistem kapitalisme raksasa. Sosok Mbok Rondho sebagai kiasan rakyat yang melarat. Timun Emas adalah kiasan dari kekayaan harta benda. Bermaksud mendapatkan kekayaan, rakyat datang kepada kekuatan kapitalisme yang dikiaskan dengan Buto Ijo. Buto atau raksasa itu biasanya bersifat jahat, tamak, rakus, dan mentalan. Dari situ pula lahir penafsiran sistem ijon.

Fakta mengungkapkan, apa yang dilakukan pemilik PT Lapindo Brantas mirip kelakuan raksasa yang mengejar Timun Emas, menguasai segalanya dengan modal besar yang mereka miliki. ”Mereka bisa membeli media, dari televisi sampai koran. Mereka pun bisa membeli budayawan. 

Kapitalisme tidak pernah memberikan suatu dengan gratis, apalagi yang bersifat sedekah. Tidak peduli terhadap kemanusiaan. Selalu hanya pertimbangan mendapat keuntungan yang lebih besar dari apa yang diinvestasikan atau pura-pura disedekahkan.

Untuk mereguk Timun Emas atau kekayaan, kapitalisme akan menerjang apa saja biarpun ladang pertanian, hutan, ataupun lautan. Namun, pada akhirnya keserakahan, kerakusan, ketakaburan kapitalisme raksasa pada akhirnya akan ditenggelamkan bumi.

Cerita Timun Emas sarat ajaran bahwa manusia tidak boleh rakus, serakah. Kalau memberikan pertolongan, berikan dengan ikhlas tanpa pamrih. Kejahatan kemanusiaan akan membuat bumi murka.

Entah bagaimana asal muasalnya, cerita Timun Emas yang merupakan penggalan dari Cerita Panji ini lantas dikaitkan dengan peristiwa lumpur Lapindo. Menurut ”tafsir othak-athik mathuk” tadi, lokasi semburan ini berada di bekas istana Kerajaan Jenggala abad XI lalu.

”Di situ banyak ditemukan benda-benda arkeologis, seperti batu berundak, umpak, meja batu yang konon tempat duduk raja. Ada juga kolam untuk pemandian keluarga kerajaan. Tetapi, semuanya sudah tenggelam oleh lumpur,” kata M Mirdasy, warga Desa Siring yang juga terkena dampak langsung lumpur.

Kemudian, sekitar 800 me- ter meter sebelah timur pusat semburan terdapat Desa Banjar Panji.

”Banjar Panji berarti ada deretan rumah para panji atau bangsawan, atau bisa juga komandan militer. Sangat masuk akal apabila pusat semburan tersebut memang istana, sedangkan permukiman kalangan Panji di Desa Banjar Panji sekarang. Apalagi juga banyak bukti arkeologis lain yang menguatkan adanya pusat pemerintahan Jenggala di situ, seperti Candi Pari. Ada juga Kelurahan Candi yang mungkin sekali di situ dulunya tempat candi,” kata Dwi Cahyono, arkeolog Universitas Negeri Malang.

Untuk mendukung tafsir ”othak-athik mathuk” itu ditambahkan terasi adalah produksi ikon Sidoarjo. Garam yang jadi laut, sekitar 5 kilometer dari semburan, adalah Laut Jawa. Gunung Gundul ditafsirkan dengan Gunung Watukosek yang terletak di selatan semburan.

Jadi dalam tafsir ”othak-athik mathuk” itu disampaikan bahwa peristiwa lumpur Lapindo tersebut sebenarnya sudah diramalkan akan terjadi, termasuk segala nilai yang ada di dalamnya, baik nilai kemanusiaan, perjuangan, cinta, kejahatan, keserakahan, ketakaburan, dan tragedi mud volcano itu…

  • LUSI adalah juga telaga lumpur dan diakhir cerita, sang Buto Ijo juga meninggal tenggelam dalam telaga lumpur,
  • Juga kekasih hatinya Timun emas (Dewi Sekartaji) adalah Panji Asmara Bangun dan sumur lapindo namanya Banjar Panji-1 (ada nyrempet-nyrempet Panji-nya),
  • Juga cerita Timun Emas ini terjadi di jaman kerajaan Jenggala, yang juga menurut sejarah, katanya Pusat Kerajaan Jenggala itu ada disekitar Sumur Banjar Panji-1.
Pembahasan Inti  : ==Maaf Agak Panjang==

Kearifan lokal sering menjadi refleksi atas suatu bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. 
Ulasan mengenai bencana kini sering menempatkan kearifan lokal sebagai sesuatu yang penting  dipahami.  

Hal  itu  didasarkan  pada  kenyataan  bahwa  teknologi  belum  mampu menjawab semua persoalan. Tajuk Rencana pada Harian Kompas pernah menulis “Fenomena Mbah    Maridjan”    yang    intinya    membawa    pesan    agar    tidak    hanya    memutlakkan analisis-rasional,  tetapi  juga  melengkapkan  kearifan  lokal  dalam  analisis-rasional  dalam mitigasi, seismologi, vulkanologi. Kearifan lokal yang tampaknya irasional pada hakikatnya merupakan representasi kebersatuan psikis dan kultural manusia dengan alam.

Munsi Lampe menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan/pandangan, pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, moral dan etika, kelembagaan (melibatkan norma, praktik atau tindakan berpola,organisasi),  dan teknologi yang menyumbang kepada tercipta dan tetap terpeliharanya kondisi tatanan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, kemajuan, dan terjaganya kondisi ekosistem lingkungan dan sumber daya sehingga pemanfaatannya oleh kelompok  atau  komunitas  manusia  (sebagai  salah  satu komponen  ekosistem)  berlangsung secara berkesinambungan.

Kearifan lokal mengandung tiga unsur penting. Pertama, nilai religius dan etika sosial yang mendasari praktik-praktik pengelolaan sumber daya hayati.    
Kedua, norma/aturan adat, yang mengatur hubungan antarkomunitas dan lingkungan alam. Ketiga, pengetahuan lokal dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman empirik berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun mengelola sumber daya hayati dan lingkungan.
Sementara itu, pemahaman  mengenai  folklor  yang dikemukakan  James Danandjaja adalah “…. sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk  lisan  maupun  yang  disertai  dengan  gerak  isyarat  atau  alat  pembantu  pengingat. 

Folklor memiliki beberapa ciri pengenal seperti  

  • (a) penyebaran  dan pewarisannya  bersifat lisan; 
  • (b) bersifat tradisional; 
  • (c) ada (eksis) dalam berbagai versi dan varian yang berbeda; 
  • (d) bersifat anonim; 
  • (e) biasanya mempunyai bentuk berumus; 
  • (f) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; 
  • (g) bersifat pralogis; 
  • (h) milik bersama (kolektif); dan 
  • (i) pada umumnya bersifat polos dan lugu.

Bagian dari kebudayaan yang disebut folklor itu dapat berupa ujaran rakyat, ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah), teka-teki, cerita prosa seperti mitos, legenda dan dongeng (termasuk anekdot dan lelucon), nyanyian rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, kepercayaan/keyakinan rakyat, arsitektur rakyat, seni rupa dan seni lukis rakyat, musik rakyat, gerak isyarat (gesture), dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, folklor didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan.

Dalam  falsafah  Jawa  terdapat  istilah  sadhumuk  bathuk  senyari  bumi  ditohi  pati (sejengkal tanah akan dibela sampai mati). 

Itu artinya keterikatan warga dengan tanah tumpah darahnya tidak dapat tergantikan dengan uang berapapun. Dalam kasus lumpur Lapindo, tanah penduduk lenyap bukan karena dirampas oleh seorang penguasa. Lenyapnya tanah pertanian dan tempat tinggal penduduk disebabkan kelalaian suatu perusahaan yang menyebabkan musibah. 

Pandangan orang Jawa mengenai sadhumuk bahtuk itu masih terlihat dalam kasus lumpur Lapindo.
Bentuk  kearifan  lokal  dalam  semburan  lumpur  Lapindo  bukan  berupa  ajaran  atau tradisi lisan yang memperingatkan datangnya bencana. 

Kearifan lokal di Porong ini berupa dongeng mengenai peristiwa pada masa lampau yang dapat digunakan sebagai pelajaran pada masa mendatang.  Terlepas  apakah  dongeng    itu pernah terjadi  secara empiris  atau hanya realitas-fiksi, keberadaannya dapat digunakan sebagai pijakan untuk memahami kejadian (bencana) masa kini dari perpektif budaya.

Wawasan Geo-Culture 
Berbasis Kearifan Lokal

Catatan  sejarah-sastra   bahwa  kerajaan  Jenggala  tenggelam  oleh  bencana  banjir menarik  dikaji.  Kitab Pararaton terjemahan Brandes (1896) dalam Nurcahyo menyebutkan bahwa pada 1296 Caka atau 1374 Masehi telah terjadi bencana bernama "Pagunung Anyar" yang memundurkan Majapahit. Penelitian Nash (1930) dalam Nurcahyo menyatakan bahwa tanah Delta Brantas tidak stabil karena di bawahnya masih bergerak tujuh jajaran antiklin yang menyambungkan ujung Pegunungan Kendeng dengan Selat Madura.

Semburan  semacam  lumpur  Lapindo  sebenarnya  juga terjadi  di Kecamatan Sedati, tepatnya di antara Desa Buncitan Tani dengan Desa Gunung Rejo. Di  tempat  itu  terdapat bangunan  semacam  menara  pengawas  semburan  atau  tempat  ritual  pemujaan  yang  kini dikenal dengan Candi Tawangalun. Pada zaman dahulu, tampaknya tempat tersebut dijadikan sebagai  tempat  untuk  berdoa  kepada  Yang  Maha  Kuasa  guna  meminta  keselamatan  dari bencana semburan lumpur. Begitu pun dengan Candi Pari di Porong.

Sekaitan  dengan  keberadaan  candi  itu  terdapat  cerita  tentang  anak  raksasa  yang menikah  dengan  raja. Berikut  cerita  yang berkembang  di masyarakat  sesuai  dengan  yang disampaikan Ahmad Syaiful Munir, juru kunci candi.

Pada masa Raja Brawijaya II (1292) daerah Buncitan termasuk daerah kerajaan Majapahit yang paling ujung (Buncitan dalam bahasa Jawa, berarti: terakhir) karena berhadapan langsung dengan laut. Di desa Buncitan ada orang tua yang bernama Resi Tawangalun, dia memiliki seorang putri bernama Putri Alun. Daerah Buncitan dalam legenda termasuk daerah para “Buto”, tidak jelas bentuknya yang menyerupai Buto (raksasa) atau hanya perwatakannya yang seperti Buto beringasan.

Ketika  sang  Prabu  menyinggahi  daerah     Buncitan  untuk  melihat  daerah  kekuasaannya,
ternyata Putri Alun menaruh hati pada sang raja. Dengan kondisi fisik yang menyerupai Buto tentu tidak mungkin Prabu Brawijaya akan tertarik padanya. Melihat gejala tersebut akhirnya dengan kesaktiannya, Resi Tawangalun mengubah perawakan putrinya seakan-akan menjadi cantik jelita. Dari situlah awal ketertarikan Prabu Brawijaya pada Putri Alun sehingga dijadikan selir dan diboyong ke Kota Raja.
Sebagai bentuk cintanya kepada Putri Alun, sang Prabu memerintahkan kepada warga Buncitan
untuk membangun sebuah candi di daerah tersebut. Tentu dengan senang hati warga Buncitan bergotong royong membangun candi sebagai bentuk cinta dan pengabdiannya kepada raja.

Waktu  terus berjalan  akhirnya  sang Putri hamil, begitu senang hati sang Prabu mendengar
kabar tersebut, tetapi seiring pertumbuhan janin, Putri Alun terlihat aneh, yakni sang Putri memiliki kebiasaan   suka  makan   daging  mentah   dan  lain-lain   yang  tidak  seperti   manusia   biasa   hamil. Mengetahui  hal tersebut akhirnya sang prabu mengusir Putri Alun dari Kota Raja, karena raja tidak ingin memiliki selir yang berperilaku seperti Buto, apalagi dia sedang mengandung.

Dengan kondisi hamil tua akhirnya Putri Alun kembali pulang ke Buncitan ke tempat ayahnya berada.  Sesampainya  di sana,  dia menceritakan  apa  yang telah  dialami  selama  menjadi  selir Prabu Brawijaya. Resi Tawangalunpun menanggapi dengan bijak bahwa hal tersebut merupakan suratan takdir yang harus dihadapinya. Selama menunggu kelahiran sang bayi dia sering menenangkan diri di candi yang dibuatkan Raja untuknya.

Akhirnya Putri Alun pun melahirkan  seorang putra dan diberi nama Joko Dilah alias Arya Damar. Karena masih teringat akan perlakuan sang Prabu, Putri Alun meminta kepada ayahnya untuk tidak menceritakan  siapa ayah kandung Arya Damar. Sejak kecil Arya Damar  diasuh oleh ibu dan kakeknya. Dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Namun, berkat gemblengan dari kakeknya, Arya Damar tumbuh menjadi sosok yang sakti.

Waktu terus berjalan, Arya Damar pun semakin dewasa dan terus menanyakan kepada ibunya,
siapa ayahnya? Karena selalu tidak pernah diberi jawaban  atas pertanyaannya  tersebut Arya Damar dengan  kesaktiannya  membuat  sebuah  lampu  dari  besi  (waktu  itu  lampu  dari  bahan  alami).  Guna menarik perhatian orang agar datang ke Buncitan, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, dia masih belum menemukan siapa ayah kandungnya.

Melihat upaya yang dilakukan oleh cucunya, Resi Tawangalun menjadi kasihan dan memberi
tahu  bahwa  sesungguhnya  Arya  Damar  adalah  putra Prabu  Brawijaya.  Begitu  senang Arya  Damar mendengar penjelasan  dari sang kakek siapa ayah kandungnya tersebut, dia pun meminta ijin untuk menemui ayahandanya di Kota Raja.

Sesampainya  di  Kota  Raja,  Arya  Damar  menghadap  sang  Prabu  dan  mengaku  bahwa  dia
adalah putranya dari selir yang bernama Putri Alun dari daerah Buncitan. Tentunya sang Prabu masih ingat tentang selirnya yang dia usir dari Kota Raja karena berperilaku aneh saat mengandung. Guna membuktikan kebenaran dari pengakuan Arya Damar    sang Prabu memerintahkan pada Arya Damar untuk mengambil segenggam tanah dari daerah Buncitan, jika sama dengan tanah di Trowulan maka dia akan diakui sebagai anaknya.

Akhirnya Arya Damar kembali pulang ke Buncitan untuk mengambil tanah kelahirannya dan ditunjukkannya    pada sang Prabu. Ternyata memang sama tanah yang dibawa oleh Arya Damar dengan tanah di Trowulan. Di luar dugaan ternyata sang Prabu tidak mengakui Arya Damar sebagai anaknya, karena dia tahu benar bahwa tanah di Buncitan itu asin sebab dekat laut, mengapa tanah yang dibawa Arya Damar rasanya tawar seperti tanah di Trowulan.    Melihat penolakan dari ayahnya Arya Damar kembali ke Buncitan dan bersemedi di Candi Tawang Alun, kemudian menghilang entah ke mana.


Fenomena kisah Arya Damar itu masih bisa dibuktikan sekarang, yakni di desa Duran, tanah yang berada sebelah timur sungai terasa asin sedangkan di sebelah barat sungai terasa tawar dan subur. Konon Arya Damar mengambil tanah yang dari sebelah barat sungai. Nah, apakah keberadaan candi dan semburan lumpur di lokasi yang sama itu hanya suatu kebetulan belaka? Keduanya   sama-sama terjadi sejak ratusan tahun yang lalu.

Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jatim, Sofyan Hadi menyatakan semburan yang terjadi di Porong, Sedati, Gunung Anyar Surabaya hingga Kecamatan Geger Bangkalan  termasuk  satu  garis  patahan.  
Dalam  sejarah,  mud  volcano  pernah  terjadi, berdasarkan peta geologi buatan Belanda 1938 memperlihatkan bahwa di peta Sidoarjo terdapat dua "mudvolcano" (gunung lumpur) di daerah Gedangan. Satu di Poeloengan dan satu lagi di Desa Betro, Buncitan, Kalang Anyar. Blok Brantas (lokasi eksplorasi dan ekploitasi Lapindo) berada pada jalur "Active Mudvolcano"  yang  membentang  dari Purwodadi-Cepu-Bojonegoro-Porong.  
Fenomena gunung lumpur juga didapati di Sangiran, Kuwu Purwodadi  (masih aktif menyembur  sampai sekarang),  Tuban,  Koneng, Bangkalan, Gunung Anyar di Rungkut Surabaya (masih aktif), Gedangan Sidoarjo, Banjarpanji fase erupsi besar, sebelah utara Probolinggo, sebelah utara Bali sampai sebelah utara Lombok (NTB). Tiga lokasi terakhir ini semuanya di bawah permukaan laut.  Itulah yang disebut Geo-culture, yakni mengaitkan relevansi antara culture suatu wilayah dengan kejadian geologi.

Wawasan Geo-Mythology 
Berbasis Kearifan Lokal

Terkait dengan danau lumpur yang disebut Lumpur Lapindo, ada cerita rakyat atau dongeng mengenai Timun Emas. Berikut ceritanya.

Dalam dongeng itu dikisahkan ada seorang wanita, yakni Mbok Sirni. Ia seorang janda yang menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Suatu hari ia didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan kepada raksasa itu untuk disantap. Mbok Sirni pun setuju.

Raksasa kemudian memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat. Setelah dua minggu, di  antara  buah  ketimun  yang  ditanamnya  ada  satu  yang  paling  besar  dan  berkilau  seperti  emas. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata berisi seorang bayi cantik yang diberi nama Timun Emas.

Semakin hari Timun Emas tumbuh menjadi gadis jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk
menagih janji. Mbok Sirni amat takut kehilangan Timun Emas, dia mengulur janji agar raksasa datang dua tahun lagi, karena semakin dewasa, semakin enak untuk disantap. Raksasa pun setuju.

Mbok Sirnipun semakin sayang pada Timun emas, setiap kali ia teringat kepada janjinya, ia menjadi cemas dan sedih. Suatu malam Mbok Sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi. Di Gunung Gundul ia bertemu seorang petapa yang memberinya empat buah bungkusan kecil, yakni biji mentimun, jarum, garam, dan terasi sebagai penangkal.  Sesampainya  di  rumah  diberikannya  empat  bungkusan  tadi  kepada  Timun  Emas  dan disuruhnya    berdoa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. Timun Emas pun disuruh ke luar lewat pintu
belakang oleh Mbok sirni. Raksasa pun mengejarnya. Timun   Mas teringat   bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasa memakannya dengan lahap, tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu Timun  Emas
menaburkan  jarum,  dalam  sekejap  tumbuhlah  pohon-pohon  bambu  yang  sangat  tinggi  dan  tajam. Dengan  kaki  yang  berdarah-darah  raksasa  terus  mengejar.  Timun  Emas  lantas  membuka  bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutan menjadi lautan luas.

Dengan   kesakitannya   raksasa   dapat   melewati.   Yang   terakhir,   Timun   Emas   akhirnya menaburkan   terasi,  seketika  terbentuklah  lautan  lumpur  yang  mendidih,   akhirnya   raksasa  mati tenggelam dalam kubangan lumpur sehingga Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.

Kini yang perlu direnungkan adalah mengapa dalam dongeng   itu ada imajinasi lautan lumpur? Pada umumnya dongeng tercipta berdasarkan fakta yang ada sebelumnya. Inilah yang disebut Geo-Mythology. Dongeng Timun Emas,   jika dicermati merupakan varian Cerita Panji. Pada dasarnya Cerita Panji adalah sekumpulan cerita pada masa Hindu-Budha di Jawa yang berkisah seputar kisah asmara Panji Asmorobangun dari Kerajaan Jenggala dan Puteri Candrakirana (Dewi Sekartaji) dari Kerajaan Kadiri. 

Dongeng Timun Emas merupakan varian Cerita Panji sedangkan tokoh Panji Asmorobangun itu adalah seorang pangeran dari Kerajaan Jenggala yang berpusat di Sidoarjo sekarang, jadi benang merahnya adalah pada masa kerajaan Jenggala pernah terjadi bencana lautan lumpur di wilayah sekitar itu, sehingga menginspirasi lahirnya dongeng Timun Emas tersebut

Sebagai  telaah  komparasi,  buku “Benua  Atlantis”  karya  Prof. Arysio  Santos  yang menghebohkan   adalah   salah   satu   contohnya.   Prof   Santos   banyak   mempergunakan sumber-sumber tradisi lisan untuk memperkuat teorinya bahwa benua Atlantis yang hilang itu sesungguhnya adalah Indonesia. Pada buku “Eden in the East” karya Profesor asal Oxford, Inggris, Stephen Oppenheimer yang baru terbit juga menimbulkan kontroversi, namun hal itu justru semakin memperkuat tesis Prof. Santos tentang Atlantis yang hilang itu. Oppenheimer yang  juga  anggota  tim  Prof.  Santos  adalah  pakar  genetika  yang  sekaligus  mendalami antropologi dan folklor yang mengkaji dongeng-dongeng dunia. Oppenheimer mencatat ada sekitar 500 kisah soal banjir di seluruh dunia. Dari India sampai Amerika,  dari Australia sampai Eropa. Tingkat keberagaman cerita banjir di kawasan ini pun membuat Oppenheimer berteori, kalau bangsa yang terpaksa berimigrasi akibat banjir besar ialah Indonesia dan sekitarnya.

Dengan mengemukakan ilustrasi soal Atlantis dan Sundaland itu dapat disimpulkan bahwa  realitas-fiksi  dongeng  Timun  Emas  itu  sesungguhnya  tidak  dapat  diremehkan, khususnya  tentang  adanya  (semacam)  banjir  lumpur  sekian  abad  yang  lalu  di  kawasan kerajaan Jenggala atau Sidoarjo sekarang.

Wawasan Geo-Culture dan Geo-Mythology dalam Pembelajaran BIPA
Menurut Pallord (2003), di antara buku-buku terbitan Australia untuk tingkat madya yang menggunakan tradisi lisan adalah buku karangan McGarry dan Sumaryono (1994) yang membawakan  cerita Kancil dan cerita Ken Arok. Soewito Santosa dan Sumaryono (1979) membawakan  cerita  Sangkuriang  dan  Lorojonggrang.  White  (1989)  dan  Hibbs  (1998) masing-masing menggunakan cerita Nyai Roro Kidul dan Tangkuban Perahu. Herdie (2001) menggunakan empat cerita tradisi lisan, yakni Dewi Sri, Dongeng Minangkabau, Si Kancil yang Cerdik, dan cerita Seekor Kura-kura dan Dua Ekor Angsa.

Menurutnya, cerita tradisi lisan memiliki keunggulan dan kelemahan dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Keunggulannya adalah sampai kapan pun tradisi lisan bisa dipakai karena memiliki nilai-nilai universalitas, bentuk pembelajaran dapat dibuat secara menyenangkan dengan bermain peran, nilai-nilai moral dan budaya yang terkandung dalam cerita tradisi lisan dapat diinternalisasi secara mendalam dan mengesankan oleh siswa. Sementara itu kelemahannya adalah kadangkala dalam cerita tradisi lisan terdapat cerita yang mengandung kekerasan.

Berdasarkan  pengalamannya  mengajarkan  bahasa Indonesia  untuk penutur asing di Australia itu ia menyatakan bahwa cerita tradisi lisan dalam pengajaran bahasa Indonesia hanya sebagai pelengkap. Menurutnya semua komponen pengajaran bahasa Indonesia termasuk tata bahasa dan cerita tradisi lisan sama pentingnya. Hal itu dikuatkan Bascom dalam bukunya (1965) bahwa tradisi lisan mencerminkan suatu aspek kebudayaan, baik yang langsung maupun tidak langsung dengan tema-tema kehidupan mendasar, seperti kelahiran, kehidupan keluarga, penyakit, kematian, penguburan, dan malapetaka atau bencana alam.

Karena itu, wawasan geo-culture dan geo-mythology yang terdapat dalam folklor Lapindo dapat menjadi bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing kekinian sebab kontekstualitas dan substansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat menarik.

Penutup

Berdasarkan data cerita tradisi lisan, pengalaman penggunaan cerita tradisi lisan sebagai media pembelajaran BIPA, dan teori kemanfaatan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa wawasan Geo-Culture dan Geo-Mythology dalam folklor Lapindo dapat menjadi alternatif bahan ajar yang kontekstual berbasis kearifan lokal yang menarik dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing sebab bencana lumpur Lapindo sampai saat ini masih menjadi bahan pembicaraan oleh banyak kalangan masyarakat baik di dalam maupun luar negeri.

Karena itu, disarankan kepada pemerhati pendidikan agar terus menggali kearifan-kearifan lokal di Indonesia yang dapat dijadikan sumber belajar dan khusus kepada pengajar bahasa Indonesia  bagi penutur  asing disarankan  agar  memanfaatkan  cerita  tradisi  lisan Indonesia sebagai upaya mengenalkan budaya bangsa melalui bahasa Indonesia. 

Pustaka Rujukan
  • Bascom, W.R. 1965.The Form of Folklore: Prose Narratives. Journal of American Folklore.
  • The Hague: Mouton.
  • Danandjaja, James. 2008. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: PT.
  • Pustaka Utama Grafiti.
  • Lampe, Munsi. 2006. Kearifan Tradisional Lingkungan: Belajar dari Kasus-kasus Komunitas Petani  dan  Nelayan  Tradisional.  Makalah Lokakarya Menggali Kearifan Lingkungan Nelayan di Sulawesi Selatan. PPLH Regional Semapapua, Makassar.
  • Nurcahyo, Henri. 2010. Folklor Lumpur Lapindo. Makalah Konferensi Internasional Tradisi
  • Lisan di Bangka Belitung.
  • Oppenheimer, Stephen. 2010. Eden in the East. Jakarta: Ufuk Press.
  • Pollard, Nani. 2003. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing melalui Cerita Tradisi  Lisan.  Makalah  Konferensi  Internasional  Pengajaran  Bahasa  Indonesia  bagi Penutur Asing IV di Bali.
  • Pusat Bahasa Kemdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Santos, Arysii. 2010. Atlantis: The Lost Continent Finally Found. Jakarta: Ufuk Press.
  • Sofyan, Hadi. 2010. Bencana Lumpur Lapindo dalam Perspektif Budaya. Milis Ikatan Ahli
  • Geologi Indonesia (IAGI).
  • Tajuk Rencana. Sabtu, 30 Oktober 2010. Fenomena Mbah Maridjan. Jakarta: Harian Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMANGAT PAGI....SUKSES Untuk SEMUA
JIKA ANDA PIKIR BISA PASTI BISA..!
Maaf apabila dalam pengambilan GAMBAR dirasa VULGAR
(Gambaran ini Hanyalah FAKTA sesuai dengan ASLINYA)
dan TIDAK Mutlak untuk diperdebatkan......................!!!
AKU CINTA NUSANTARAKU